- Back to Home »
- Nuraniku , Travel and Adventure »
- Wisata Hati 1 Januari; Nuraniku Goes to Cipir (Bag. 2)
Posted by : Lisfatul Fatinah
13 January 2013
(Lanjutan Bagian 1)
Our Trip is Begin! ^_^
Bangkang yang tersebar di lautan
“Orangtua Bapak juga tukang perahu. Bapak udah belajar narik perahu dari SMP,” Pak Waris mengenal masa kecilnya.
Baru tiba di Pulau Cipir ^_^
Our Trip is Begin! ^_^
Yup. Perjalanan yang
sesungguhnya menuju gugusan pulau di seberang sana baru saja dimulai! Kami
semua menempati posisi yang nyaman menurut masing-masing dari kami. Di dalam
perahu ini, jujur saja saya tiba-tiba menjadi orang yang autis dan hiperaktif
-,- entah kenapa rasanya tempat duduk saya bukanlah angel yang tepat untuk
menikmati hamparan air yang meluas. Dampaknya, saya harus pindah tempat duduk
hingga beberapa kali. Akhirnya, saya mendapatkan posisi ternyaman setelah
hampir separuh perjalanan di atas air, yaitu di ujung perahu, dekat dengan
pengemudi perahu.
Dari posisi ini,
pemandangannya terasa sangat berbeda. Entah apa yang membedakan, padahal semua
yang dipandang sama; sama-sama air laut yang beriak perlahan dan langit biru yang
membentang, hanya posisi memandangnya saja yang berbeda. Nah, dari sinilah
sebenarnya satu pelajaran baru telah saya terima.
Adalah diri kita
sendiri yang membuat diri kita nyaman adanya. Karena setiap sudut pasti akan
menangkap hal berbeda dari objek yang sama. Seperti saya yang menatap lautan
luas dari sudut-sudut berbeda hingga saya menemukan sudut ternyaman, di ujung
perahu tepat dekat pengemudi perahu.
Kami semakin jauh kami
daratan. Lautan yang ada di bawah kami
semakin dalam dan cahaya yang terpantul dari air lautan semakin biru. Dari
ujung perahu ini, pandangan saya terus tertuju pada hamparan air dan langit
yang terlihat menyatu. ^^
Hitam, Hijau, Biru;
Arti Ilmu dan Kehidupan
Gradasi warna hitam,
hijau, dan biru air laut yang kami arungi, entah bagaimana caranya, mengingatkan
saya pada salah satu syair terkenal milik Imam Syafi’I tentang menuntu ilmu
atau merantau. Bahwa air yag diam pasti akan terlihat keruh dan air yang
mengalir akan terlihat jernih. Right, that is mean kedalaman ilmu yang
dimiliki seseorang tak pernah menipu. Kegusaran dan kepanikan seseorang dalam
menghadapi kehidupan ini cukup mengartikan dangkalnya ilmu yang dimiliki.
Sebaliknya, ketenangan dan keteduhan seseorang kerap kali menandakan luasnya
ilmu yang melekat di pikiran dan hati. Seperti
air laut yang bergradasi dari hitam menuju biru kukuh. Air-air yang menggenang
di dermaga, hitam keruh dan berbau anyir. Tapi semakin jauh kita menuju lautan,
semakin jernih dan biru air laut yang tampak.
Lalu, biru laut yang
semakin pekat seakan menunjukkan kerahasiaannya dengan jemawa. Ya. Biru selalu
membuat saya terkagum-kagum dengan maknanya. Laut biru yang semakin tua
warnanya, bagi saya menandakan kerahasiaan dan pelajaran besar yang tersembunyi
ribuan kilometer di bawahnya. Seperti setiap kali melihat warna biru, di
pikiran saya hanya ada satu konklusi bahwa biru selalu indah dengan segenap kekukuhan
dan kemisteriusannya, begitu pula setiap kali saya melihat segala sisi kehidupan.
Bahwa kehidupan bukan hanya tentang yang ada di depan mata, tapi tentang banyak
hal yang tersembunyi dari mati, tentang mimpi, masa depan, perasaan, dan
janji-janji Allah.
Pak Waris; Teladan
di Tengah Lautan
Setelah asik menikmati
air laut, seperti biasa, saya kembali selalu ingin bergerak. (Duh, dasar autis/hiperaktif
-,-) Well, sambil menengok kanan kiri, menatap air laut dan Kakak-Kakak
Nuraniku yang asik dengan aktivitasnya sendiri, saya akhirnya menemukan satu sosok yang
membuat saya penasaran. Dialah lelaki paruh baya yang sedari tadi menjaga kami,
sejak dari dermaga hingga nanti kami tiba di Pulau Cipir. Pak Waris, itulah nama
lelaki paruh baya ini yang sekejap membuat saya terkagum-kagum pada sosoknya. Peringai
Beliau sederhana, tak ada setitikpun keistimewaan yang terlihat dari
pembawaannya. Tapi, lagi-lagi, pembawaan seorang Bapak selalu berbeda dan
membuat saya bangga pada Beliau.
Mulanya, saya hanya
bertanya hal-hal kecil yang ada di sekeliling kami, di atas lautan ini. Saya
bertanya tentang bangunan dari bambu yang tersebar di atas lautan ini. Menurut
penuturan Pak Waris, bangunan bambu-bambu itu adalah Bangkang, tempat
nelayan memasang jaring atau sejenis jebakan untuk menangkap ikan.
Selain itu, dari bambu-bambu bangkang itu nelayan bisa mendapatkan kerang hijau
yang memang suka menempel di bambu.
Pertanyaan saya
berlanjut pada banyak hal dan saya semakin nyaman dengan perbincangan singkat
dan sederhana ini.
Usia Pak Waris hampir setengah abad. Hampir 30 tahun lalu Pak Waris mengenal kehidupan lautan.
Itu berarti sudah hampir 30 tahun juga hidupnya dihabiskan di atas laut sebagai
pengemudi perahu.
“Orangtua Bapak juga tukang perahu. Bapak udah belajar narik perahu dari SMP,” Pak Waris mengenal masa kecilnya.
Kalian tahu apa yang
saya rasakan saat itu. Betapa lugunya Pak Waris saat menceritakan masa
lalunya, tak ada sedikitpun keluh kesah dalam garis wajahnya. Meski hanya
sebagai pengemudi perahu, Pak Waris terlihat bangga dengan profesinya dan
seakan tak pernah bilang, “Saya hanya tukang perahu.” Tapi dengan bangga
berseru, “Sejak SMP saya sudah narik perahu.”
Pembicaraan kami
mengalir begitu saja, hingga Pak Waris menceritakan tentang anak-anaknya. Dan, sesi
pembicaraan tentang anak-anaknya inilah yang paling saya suka.
Pak Waris dengan penampilan sederhananya duduk di sisi mesin perahu :')
Pak Waris memiliki
tiga orang anak. Ketiga anaknya perempuan. Semuanya bersekolah. Yang
mengejutkan saya, ketiga anaknya tidak hanya “asal” sekolah. Anak pertama Pak
Waris sudah lulus sekolah keperawatan, kini sedang bekerja sebagai perawat di
Ciledug. Anak kedua Pak Waris kuliah jurusan Akuntansi BSI, sedangkan anak
ketiga Pak Waris baru akan lulus sekolah. Subhanallah, masya Allah, laa haulaa
wa laa quwwata illa billah. Tiada daya dan upaya kecuali atas kehendak Allah
swt.
Siapa kira, seorang
pengemudi perahu yang berpenghasilan tidak tetap bisa menghasilkan anak-anak
yang (insya Allah) sukses di akademiknya. Meskipun–menurut Pak Waris–hasil menarik
perahu hanya lumayan di hari libur, penghasilannya selalu cukup untuk kebutuhan
sekolah anak-anaknya. Bahkan, hingga salah satu anaknya benar-benar “jadi” :’)
Betapa nyata janji
Allah seperti yang dikatakan-Nya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai
Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa
sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS.
5:3]
CUKUP! Itu yang Allah
janjikan kepada kita selaku hamba-Nya. Cukup. Hanya itu. Allah memang tidak
pernah menjanjikan kelebihan harta atau nikmat, tapi sebatas pada kata “cukup”.
Begitulah Allah Mahacinta yang tercinta mengajarkan kita bahwa hidup ini
sebatas pada “cukup”. Pak Waris dan anak-anaknyalah contohnya; tak perlu
berlebihan harta atau menjadi nahkodah kapal mewah, tapi “cukup” menjadi
pengemudi perahu sederhana, Pak Waris sudah bisa menciptakan anak-anak yang
sukses. Satu lagi, mungkin berkat “kepolosan” Pak Waris dalam menerima
qodratullah, maka hartanya yang “cukup” itu menjadi berkah dan bermanfaat
banyak untuk keluarga dan anak-anaknya. Satu doa saya untuk Pak Waris, semoga
Allah senantiasa memberkahi rizkinya dan meridhoi kehidupannya. Amin. :’)
Perahu yang Menepi
dan Keindahan Cipir yang Menanti ^^
Yup. Perbincangan saya
dengan Pak Waris berakhir seiring dengan semakin dekatnya kami dengan Pulau
Cipir. Ada sekumpulan rasa yang beremulsi dalam dada saya. Entah apa itu namanya.
Bahagia karena bisa berbincang dengan Pak Waris yang luar biasa menginspirasi
saya, bahagia karena sekali lagi saya menyadari bahwa saya benar-benar ada di
antara orang luar biasa lainnya; Keluarga Nuraniku, dan syukur tak terkira
karena kami tiba di dermaga Pulau Cipir dengan selamat :)
(bersambung ke Bagian 3…,)
Maasya Allaah, akhwat2 pada rihlah, serunyaaa.. :)
ReplyDelete*nyambung ke bagian 3*
Iya nih, Mbak. Akhwat-akhwat plus sejumout ikhwan #eh :D
DeleteMasyaallah de''
ReplyDeletekelak kamu jadi novelis terkenal.. benar terkenal :)
Amiin :)
sekarang aja udah terkenal tau, Chai, :)
DeleteMasya Allah. Amin amin ya Robb Karim :)
DeleteDek, ini tulisaaaaaan kamuu ituuuuuuuu, Gizinya banyak banget. MaasyaAllah. :)
ReplyDeleteFatabaarakallaah!
Masya Allah. Amin-amin ya Allah. Semoga bermanfaat, Kak :)
DeleteOk, satu lagi penulis berbakat dari Nuraniku (y).
ReplyDeleteNice blog :)
masya Allah. Amin. Amin. Jazakallah atas kunjungannya, Kak :)
Delete