Showing posts with label Nuraniku. Show all posts
Wisata Hati 1 Januari; Nuraniku Goes to Cipir (Bag. 3)
(Lanjutan Bagian 1 dan Bagian 2)
Ahlan wa Sahlan yaa ‘Aly Nuraniku^^
Lewat pukul 11.30 WIB, Pulau Cipir yang sempat digunakan sebagai tempat karantina calon haji
ini sudah terlihat jelas di pelupuk mata. Mungkin karena bertepatan dengan
pergantian tahun masehi, maka dari kejauhan sudah tampak banyak pengunjung yang tiba lebih dahulu daripada kami. Oh iya, saat berbincang dengan Pak Waris,
Beliau juga sempat berkata kalau Pulau Cipir sudah ramai sejak satu hari sebelum
pergantian tahun masehi. Bahkan, Pak Waris sempat mengantarkan beberapa
muda-mudi tepat malam hari perhantian tahun masehi. Masya Allah, semangatnya!
Sedangkan yang lainnya
duduk-duduk di bangku tepi pantai atau ada juga yang langsung makan di bibir
pantai. Oh iya, ada satu spot yang menarik perhatian saya, yaitu potongan
batang pohon yang terdampar begitu saja di bibir pantai. Indah. Itu yang muncul
di benak saya. Keindahan potongan batang pohon ini semakin mengagumkan ketika
gelombang ombak menghantamnya. A, masya Allah, subhanallah karya-Nya. Satu dua
jepretan saya ambil dengan angle potongan batang pohon dan kakak-kakak
perempuan yang sedang duduk di atasnya.
Ahlan wa Sahlan yaa ‘Aly Nuraniku^^
Pintu masuk Pulau Cipir
Yup. Alhamdulillahirabbil
‘aalamin. Akhirnya, kami tiba di Pulau Cipir. Dermaga yang belum tuntas
direnovasi menjadi pijakan pertama kami di pulau ini. Ada satu syair karya Kak
Chai yang menjadi pembuka kedatangan kami di pulau ini; Bu Kumkum lagi
nyupir, assalamu’alaikum Pulau Cipir
^_^
Berdasarkan arahan The Big Abah dan Abah (Kak Udin dan Kak Hakim), kami
berjalan menuju salah satu tepian pulau yang masih lumayan sepi. Di jalan
menuju salah satu sisi pantai ini saya sebenarnya agak risih. Bagaimana tidak,
banyak sekali orang yang berkemah di sini. Tidak hanya sampah bertebaran
yang membuat gusar, tapi perut-perut bertelanjang alias tak berbaju juga
membuat risih >,<
Tapi alhamdulillah, pantai tempat kami beristirahat jauh dari
pemandangan merisihkan di atas. Setiba di pantai, saya sendiri langsung menceburkan
diri ke air laut. Menghirup udara pantai Pulau Cipir dalam-dalam, membiarkannya
menyusup ke paru-paru saya yang selama ini menghirup udara pekat Jakarta. Senyak,
saya juga menikmati deburan ombak yang selalu mengagumkan, indah sekaligus
menyeramkan.
Pantai dan Sejuta
Kenangan
Setelah asik beberapa
menit menikmati pantai, kami makan siang dan shalat Zuhur berjemaah (bagi yang
sedang shalat) di mushalah yang tak jauh dari tempat kami beristirahat. Setelah
shalat selesai, saya sendiri memilih duduk menyendiri di salah satu batu
menghadap pantai sambil membaca novel yang saya bawa. Entah mengapa, dari tepi
pantai ini sekali lagi saya terpana pada hamparan pasir yang bertemu dengan
gelombang air. Truthfully, mata ini tidak pernah bosan pada ciptaan-Nya
yang Mahaindah. Dan untuk kesekian kalinya dalam setiap perjalanan menelusuri
alam-Nya, saya merasa bahwa Indonesia benar-benar secuil tepian surga yang
Allah lemparkan ke bumi yang saya pijak :’)
"Sepotong Surga"
My favorite landscape in Cipir Island
Saat menyendiri
bersama novel yang saya baca, sesekali pandangan saya tertuju pada kumpulan
bocah-bocah yang bermain. Satu dua kali saya tertawa sendiri melihat mereka
berlarian, berteriak, dan bercanda di hadapan saya. Hehe, sekilas saya teringat
gambaran masa kecil saya yang senang bermain-main di air sampai pernah
tenggelam atau mengalami hal-hal mistik yang sampai sekarang belum bisa saya
tanggap secara logika. Sempat teringat juga kenangan beberapa tahun lalu saat
pertama kali ke Kepulauan Seribu. Saat itu saya masih duduk di bangku SMA, saya
beserta beberapa murid pilihan lainnya mendapatkan hadiah jalan-jalan ke
Kepulauan Seribu ini bersama para mahasiswa dan saya harus menunggu hampir satu
jam di dermaga karena salah naik kapal :D
“Asik banget baca
novel di pinggir pantai,” suara Kak Shumi membuyarkan pikiran saya. Hanya tawa
kecil yang menjadi jawab saya. Ya, selalu asik jika kita bisa menyatu dengan
alam, entah itu di pantai ataupun pegunungan, batin saya menjawab :)
Narsis Time!
Yeach, selayaknya
banyak perjalanan. Perjalanan kami juga diwarnai dengan aneka kenarsisan di
mata kamera. Maka, beberapa menit sebelum acara yang ditunggu-tunggu (oleh
saya), kami berpose di depan dua kamera.
Mimpi Kami dan
Debur Ombak yang Mengamini :’)
Ada satu agenda yang
beberapa kali saya tagih ke Kak Izzah, yakni acara inti kami ke pulau ini. Entah
apapun itu nama acaranya, tapi menurut saya satu dua patah kata yang saling
terlontar dalam acara di tepi pantai ini insya Allah bisa menguatkan ukhuwah
kami.
Dibuka dengan bacaan
ayat-ayat Allah, saya semakin merasakan keindahan kebersamaan bersama orang-orang
luar biasa ini. Hampir saja sebulir air mata menggelinding di pipi, tapi
sengaja saya tahan agar kebersamaan ini tidak terlalu melankolis.
Well, sesi
selanjutnya, satu per satu dari kami berbagi kabar dan mimpi untuk satu tahun
ke depan. Saya, sebagai orang yang pertama kali datang di perjalanan ini pun
mendapatkan giliran pertama. Agak kikuk memang. Selain karena menjadi yang
paling cupu di antara mereka, saya juga bukan siapa-siapa di antara mereka yang
terlalu menginspirasi saya. Beberapa menit di giliran saya. Saya mengucapkan
beberapa keingin besar saya di tahun ini; menerbitkan novel psikologi Tiga
Tubuh, belajar di SLBN Semarang, backpacker-an
ke Semeru dan Rinjani, Lombok, dan mengajak Bapak saya menonton tinju di sasana pertarungan.
Tiba ke giliran yang
lainnya yang notabene adalah senior-senior saya di UNJ. Masya Allah, dahsyatnya
mimpi mereka. Ada yang ingin melanjutkan usaha atau bisnis sambil kuliah, ada
yang ingin meneruskan hafalan Qur’an, bahkan ada yang ingin punya anak di tahun ini (padahal belum menikah) ^_* Pastinya, berhubung mereka sudah di semester atas,
dominan dari mereka ingin lulus kuliah di tahun ini, entah pada Maret atau
September nanti.
Begitulah satu per
satu di antara kami merapalkan mimpi. Sedangkan kami yang mendengarkan, desir angin,
deru ombak, dan ikan-ikan kecil sibuk mengamini. Ya, semoga kalian bisa lulus
dengan mudah, dengan nilai yang memuaskan dan ilmu yang berkah. Doakan saya
juga ya, semoga 2015 nanti bisa lulus segera, mengajar bocah-bocah surga,
anak-anak berkebutuhan khusus, selama satu atau dua tahun. Lalu merantau ke
luar Jakarta atau keluar Jawa, membangun peradaban pendidikan yang baru,
khususnya untuk anak-anak istimewa di pelosok negeri tercinta. Kemudian, sesekali
menyatukan diri dengan alam Indonesia melalui hobi backpacker dan travelling :)
Selesai berbagi dan
saling mengamini mimpi, tiba saatnya bertukar kado. Ini sesi yang lucu. Kami
bertukar kado tapi hanya beberapa yang membawa kado. But that’s not a big
problem, karena saya senang masih tetap melihat mereka tertawa juga karena melihat tingkah
yang lainnya.
Abah and The Big Abah with their gift
Kebersamaan di
Antara Pasir dan Lautan
Matahari sudah
merangkak perlahan ke Barat bumi. Teriknya sudah mulai pudar, berganti sepoi
angin yang lamat-lamat membuat saya ingin terpejam di bibir pantai ini. Kami,
akhirnya memutuskan menuju sisi pantai yang lain, yang mulai sepi dari
pengunjung.
Di sinilah sesi kami
berbasah-basahan. Kendati saya dan perempuan yang lainnya hanya bisa
berbasah-basahan sebatas lutut, tapi kami tetap senang. Karena di sini lagi-lagi
alam mengeratkan ukhuwah kami. Di antara pasir dan lautan, kami berpose dengan
semangat. Hingga di penghujung keasyikan ini, entah siapa yang memulai idenya, kami
membentuk kata “nuraniku” dengan tubuh kami.
Tak terasa, waktunya
shalat Ashar. Ini pertanda kami harus segera meninggalkan Pulau Cipir. Kami pun
bergegas membersihkan diri dan shalat Ashar berjemaah sebelum menuju dermaga
dan kembali ke Jakarta.
Pulang dan Hujan Pelengkap
Kebersamaan
Perjalanan pulang.
Kami kembali menaiki perahu Pak Waris. Sebelum menaiki perahu, Kak Chai sempat bersyair lagi; di sana senja di sini pasir, sampai jumpa yaa Pulau Cipir :)
Di perjalanan pulang ini kami tak banyak berbincang, mungkin karena terlalu lelah. Beberapa kakak-kakak menenggelamkan diri dalam lautan kalam Illahi. Saya juga mulai menikmati angin senja sambil merapalkan zikir al-ma’tsurat di ujung perahu, tempat favorit saya sejak perjalanan ini. Lantas sesekali berbicara dengan Pak Waris.
Di perjalanan pulang ini kami tak banyak berbincang, mungkin karena terlalu lelah. Beberapa kakak-kakak menenggelamkan diri dalam lautan kalam Illahi. Saya juga mulai menikmati angin senja sambil merapalkan zikir al-ma’tsurat di ujung perahu, tempat favorit saya sejak perjalanan ini. Lantas sesekali berbicara dengan Pak Waris.
Tiba di Muara Kamal, hujan menyambut kedatangan kami. Alhamdulillah. Bagi saya, hujan selalu
pertanda nikmat dari Allah. Hujan juga selalu indah, di manapun ia turun
membasahi bumi-Nya. Dan kali ini, hujan penyambut kepulangan perjalanan kami,
memiliki arti khusus bagi saya; hujan ini adalah keberkahan yang Allah kirimkan
atas kebersamaan kami sekaligus pelengkap kehangatan ukhuwah ini.
Hujan yang “mencegat”
kami tetap turun hingga kami tiba di Rawa Buaya. Kami memutuskan menyantap
bakso sambil menunggu azan Maghrib di salah satu tempat sederhana di dekat Rawa
Buaya. Hingga azan Maghrib berkumandang, itu pertanda kami harus segera
memenuhi kebutuhan rukhiyah dan juga pertanda perjalanan hari ini akan segera
berakhir.
Alhamdulillah. Pukul 19.30
saya tiba di rumah. Berhubung rumah saya ada di kawasan Tomang, sekitar enam
shulter dari shulter transjakarta Rawa Buaya, sepertinya saya yang pertama kali
sampai rumah dibandingkan yang lainnya.
Yes, We are The Big Family of NURANIKU ^^
Lelah, memang begitulah adanya setiap satu perjalanan terlaksana. Tapi selalu ada kenangan indah yang selalu mengiringi
lelah. Selalu ada syukur yang tak terukur di setiap akhir perjalanan. Begitu
pula dengan akhir perjalanan ini. Ada banyak kenangan dan syukur yang membayar
lelahnya perjalanan ini. Hanya satu harapan saya, semoga perjalanan ini mempererat
persaudaraan kami, menjadi pemicu mimpi dan angan-angan masa depan kami, serta
menjadi sepotong keberkahan untuk keluarga sederhana ini. Amin.
-Belum
Selesai-
(Karena ada banyak kisah perjalanan luar biasa
yang masih menjadi rahasia-Nya)
Wisata Hati 1 Januari; Nuraniku Goes to Cipir (Bag. 2)
(Lanjutan Bagian 1)
Our Trip is Begin! ^_^
Gradasi warna hitam,
hijau, dan biru air laut yang kami arungi, entah bagaimana caranya, mengingatkan
saya pada salah satu syair terkenal milik Imam Syafi’I tentang menuntu ilmu
atau merantau. Bahwa air yag diam pasti akan terlihat keruh dan air yang
mengalir akan terlihat jernih. Right, that is mean kedalaman ilmu yang
dimiliki seseorang tak pernah menipu. Kegusaran dan kepanikan seseorang dalam
menghadapi kehidupan ini cukup mengartikan dangkalnya ilmu yang dimiliki.
Sebaliknya, ketenangan dan keteduhan seseorang kerap kali menandakan luasnya
ilmu yang melekat di pikiran dan hati. Seperti
air laut yang bergradasi dari hitam menuju biru kukuh. Air-air yang menggenang
di dermaga, hitam keruh dan berbau anyir. Tapi semakin jauh kita menuju lautan,
semakin jernih dan biru air laut yang tampak.
Bangkang yang tersebar di lautan
“Orangtua Bapak juga tukang perahu. Bapak udah belajar narik perahu dari SMP,” Pak Waris mengenal masa kecilnya.
Baru tiba di Pulau Cipir ^_^
Our Trip is Begin! ^_^
Yup. Perjalanan yang
sesungguhnya menuju gugusan pulau di seberang sana baru saja dimulai! Kami
semua menempati posisi yang nyaman menurut masing-masing dari kami. Di dalam
perahu ini, jujur saja saya tiba-tiba menjadi orang yang autis dan hiperaktif
-,- entah kenapa rasanya tempat duduk saya bukanlah angel yang tepat untuk
menikmati hamparan air yang meluas. Dampaknya, saya harus pindah tempat duduk
hingga beberapa kali. Akhirnya, saya mendapatkan posisi ternyaman setelah
hampir separuh perjalanan di atas air, yaitu di ujung perahu, dekat dengan
pengemudi perahu.
Dari posisi ini,
pemandangannya terasa sangat berbeda. Entah apa yang membedakan, padahal semua
yang dipandang sama; sama-sama air laut yang beriak perlahan dan langit biru yang
membentang, hanya posisi memandangnya saja yang berbeda. Nah, dari sinilah
sebenarnya satu pelajaran baru telah saya terima.
Adalah diri kita
sendiri yang membuat diri kita nyaman adanya. Karena setiap sudut pasti akan
menangkap hal berbeda dari objek yang sama. Seperti saya yang menatap lautan
luas dari sudut-sudut berbeda hingga saya menemukan sudut ternyaman, di ujung
perahu tepat dekat pengemudi perahu.
Kami semakin jauh kami
daratan. Lautan yang ada di bawah kami
semakin dalam dan cahaya yang terpantul dari air lautan semakin biru. Dari
ujung perahu ini, pandangan saya terus tertuju pada hamparan air dan langit
yang terlihat menyatu. ^^
Hitam, Hijau, Biru;
Arti Ilmu dan Kehidupan
Lalu, biru laut yang
semakin pekat seakan menunjukkan kerahasiaannya dengan jemawa. Ya. Biru selalu
membuat saya terkagum-kagum dengan maknanya. Laut biru yang semakin tua
warnanya, bagi saya menandakan kerahasiaan dan pelajaran besar yang tersembunyi
ribuan kilometer di bawahnya. Seperti setiap kali melihat warna biru, di
pikiran saya hanya ada satu konklusi bahwa biru selalu indah dengan segenap kekukuhan
dan kemisteriusannya, begitu pula setiap kali saya melihat segala sisi kehidupan.
Bahwa kehidupan bukan hanya tentang yang ada di depan mata, tapi tentang banyak
hal yang tersembunyi dari mati, tentang mimpi, masa depan, perasaan, dan
janji-janji Allah.
Pak Waris; Teladan
di Tengah Lautan
Setelah asik menikmati
air laut, seperti biasa, saya kembali selalu ingin bergerak. (Duh, dasar autis/hiperaktif
-,-) Well, sambil menengok kanan kiri, menatap air laut dan Kakak-Kakak
Nuraniku yang asik dengan aktivitasnya sendiri, saya akhirnya menemukan satu sosok yang
membuat saya penasaran. Dialah lelaki paruh baya yang sedari tadi menjaga kami,
sejak dari dermaga hingga nanti kami tiba di Pulau Cipir. Pak Waris, itulah nama
lelaki paruh baya ini yang sekejap membuat saya terkagum-kagum pada sosoknya. Peringai
Beliau sederhana, tak ada setitikpun keistimewaan yang terlihat dari
pembawaannya. Tapi, lagi-lagi, pembawaan seorang Bapak selalu berbeda dan
membuat saya bangga pada Beliau.
Mulanya, saya hanya
bertanya hal-hal kecil yang ada di sekeliling kami, di atas lautan ini. Saya
bertanya tentang bangunan dari bambu yang tersebar di atas lautan ini. Menurut
penuturan Pak Waris, bangunan bambu-bambu itu adalah Bangkang, tempat
nelayan memasang jaring atau sejenis jebakan untuk menangkap ikan.
Selain itu, dari bambu-bambu bangkang itu nelayan bisa mendapatkan kerang hijau
yang memang suka menempel di bambu.
Pertanyaan saya
berlanjut pada banyak hal dan saya semakin nyaman dengan perbincangan singkat
dan sederhana ini.
Usia Pak Waris hampir setengah abad. Hampir 30 tahun lalu Pak Waris mengenal kehidupan lautan.
Itu berarti sudah hampir 30 tahun juga hidupnya dihabiskan di atas laut sebagai
pengemudi perahu.
“Orangtua Bapak juga tukang perahu. Bapak udah belajar narik perahu dari SMP,” Pak Waris mengenal masa kecilnya.
Kalian tahu apa yang
saya rasakan saat itu. Betapa lugunya Pak Waris saat menceritakan masa
lalunya, tak ada sedikitpun keluh kesah dalam garis wajahnya. Meski hanya
sebagai pengemudi perahu, Pak Waris terlihat bangga dengan profesinya dan
seakan tak pernah bilang, “Saya hanya tukang perahu.” Tapi dengan bangga
berseru, “Sejak SMP saya sudah narik perahu.”
Pembicaraan kami
mengalir begitu saja, hingga Pak Waris menceritakan tentang anak-anaknya. Dan, sesi
pembicaraan tentang anak-anaknya inilah yang paling saya suka.
Pak Waris dengan penampilan sederhananya duduk di sisi mesin perahu :')
Pak Waris memiliki
tiga orang anak. Ketiga anaknya perempuan. Semuanya bersekolah. Yang
mengejutkan saya, ketiga anaknya tidak hanya “asal” sekolah. Anak pertama Pak
Waris sudah lulus sekolah keperawatan, kini sedang bekerja sebagai perawat di
Ciledug. Anak kedua Pak Waris kuliah jurusan Akuntansi BSI, sedangkan anak
ketiga Pak Waris baru akan lulus sekolah. Subhanallah, masya Allah, laa haulaa
wa laa quwwata illa billah. Tiada daya dan upaya kecuali atas kehendak Allah
swt.
Siapa kira, seorang
pengemudi perahu yang berpenghasilan tidak tetap bisa menghasilkan anak-anak
yang (insya Allah) sukses di akademiknya. Meskipun–menurut Pak Waris–hasil menarik
perahu hanya lumayan di hari libur, penghasilannya selalu cukup untuk kebutuhan
sekolah anak-anaknya. Bahkan, hingga salah satu anaknya benar-benar “jadi” :’)
Betapa nyata janji
Allah seperti yang dikatakan-Nya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai
Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa
sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS.
5:3]
CUKUP! Itu yang Allah
janjikan kepada kita selaku hamba-Nya. Cukup. Hanya itu. Allah memang tidak
pernah menjanjikan kelebihan harta atau nikmat, tapi sebatas pada kata “cukup”.
Begitulah Allah Mahacinta yang tercinta mengajarkan kita bahwa hidup ini
sebatas pada “cukup”. Pak Waris dan anak-anaknyalah contohnya; tak perlu
berlebihan harta atau menjadi nahkodah kapal mewah, tapi “cukup” menjadi
pengemudi perahu sederhana, Pak Waris sudah bisa menciptakan anak-anak yang
sukses. Satu lagi, mungkin berkat “kepolosan” Pak Waris dalam menerima
qodratullah, maka hartanya yang “cukup” itu menjadi berkah dan bermanfaat
banyak untuk keluarga dan anak-anaknya. Satu doa saya untuk Pak Waris, semoga
Allah senantiasa memberkahi rizkinya dan meridhoi kehidupannya. Amin. :’)
Perahu yang Menepi
dan Keindahan Cipir yang Menanti ^^
Yup. Perbincangan saya
dengan Pak Waris berakhir seiring dengan semakin dekatnya kami dengan Pulau
Cipir. Ada sekumpulan rasa yang beremulsi dalam dada saya. Entah apa itu namanya.
Bahagia karena bisa berbincang dengan Pak Waris yang luar biasa menginspirasi
saya, bahagia karena sekali lagi saya menyadari bahwa saya benar-benar ada di
antara orang luar biasa lainnya; Keluarga Nuraniku, dan syukur tak terkira
karena kami tiba di dermaga Pulau Cipir dengan selamat :)
(bersambung ke Bagian 3…,)
Wisata Hati 1 Januari, Nuraniku Goes to Cipir (Bag.1)
Bismillahirrahmanirrahim
Setiap hari adalah istimewa. Ia datang bersama mentari tanpa sekalipun diminta. Ritme kehidupan, itulah namanya. Setiap detik bergulir, maka satu ritme terlaksana sudah dan kita harus siap menuju ritme berikutnya. Putaran 24 jam yang bergelinding membentuk kenangan hari-hari dan berkulum menjadi sekumpulan kisah berjumlah 355. Inilah hidup kita, hidup kamu juga hidup saya.
Kini, satu ritme terlaksana lagi. Satu hari baru dibuka lagi, di tahun baru masehi. Satu satu, adalah deretan angka pembuka cerita untuk setiap waktu yang merekah bersama bahagia, menuju 355 hari selanjutnya. Bismillah, inilah sebuah cerita pembuka untuk 2013.
Sebuah Pengantar Cerita
Hari pertama di 2013. Pagi
ini, semua cerita bermula dari satu keluarga kecil yang mau menerima saya;
Nuraniku. Who’s Nuraniku?
Tak perlu deskriptif
ilmiah atau teoritik untuk menjelaskan satu keluarga kecil yang mau menerima saya
selama satu tahun ini. Nuraniku, adalah rumah sederhana yang terselip di antara
rumah-rumah kreatif dan profokatif di negeri bernama UNJ.
Di rumah sederhana bernama
Nuraniku ini saya bertemu (bukan menemukan) keluarga kecil yang penuh dengan
keunikan. Mereka adalah orang-orang luar biasa yang memberi banyak inspirasi
pada saya. Ya, di hari pertama di angka 2013 ini, saya menghabiskan putaran
mentari bersama mereka di Pulau Cipir, Kepulauan Seribu.
Sebelum melanjutkan
cerita, saya ingin memperkenalkan anggota dari rumah sederhana ini yang ikut ke Pulau Cipir berdasarkan
perspektif saya. So, let’s check them out! ^_^

Yup, merekalah anggota
keluarga kami yang ada dalam perjalanan kali ini. Next, this time to enjoy the
story of our trip. ^_^
Senin, 1 Januari
2013 Masehi
Ini adalah perjalanan
pertama saya bersama orang-orang luar biasa ini. Sesuai dengan schedule yang saya
terima melalui sms, kami harus berkumpul di Shulter Transjakarta Matraman pukul
7.00 WIB Malam sebelum perjalanan kami, saya sebenarnya tidur pukul 2.00 WIB
dini hari. Selain tidak bisa terlelap karena bunyi “duar dor” dari seluruh
penjuru langit, saya juga harus menyelesaikan beberapa tugas.
Pukul 4.30 WIB mata
saya sudah terjaga, meski hanya terpejam dua setengah jam. Segala keperluar
pergi sudah saya siapkan sejak malam. Sebelum berangkat, tugas kewanitaan alias
ngebenah dan memasak harus tetap dilakukan. Hehe.
Yup. Jam tangan saya
menunjukkan pukul 6.45 WIB dan saya dipastikan terlambat tiba di shulter
transjakarta karena tidak ada yang bisa mengantar saya. Sekitar pukul 7.00 WIB,
sambil meminum susu kedelai di dalam bus 502 jurusan Tanah Abang-Kampung
Melayu, saya mengirim sms ke Kak Izzah.
“Kak, I’m late.
15minutes again, I’m there. Insya Allah.” Message sent.
Beberapa menit
kemudian, saya menerima sebuah balasan dari Kak Izzah. “Aku juga masih di
jalan, Fatul. Hehe.”
Deuh, -,- ßbeginilah ekpresi saya saat menerima sms dari
Kak Izzah. Saat itu juga saya mulai berprasangka, jangan-jangan saya orang
yang pertama kali datang.
Then, pukul 7.15 WIB
saya sudah turun dari bus dan –sekali lagi– berlari menuju shulter
transjakarta. Dan benar saja, ternyata memang saya yang datang pertama. Saat
itu saya hanya duduk di bangku shulter sambil membaca novel Negeri Para
Bedebah karya Tere Liye hingga Kak Izzah datang.
Singkat cerita, satu
per satu dari kami mulai datang. Kurang lebih pukul 8.30 WIB saya, Kak Izzah,
Kak Chai, Kak Amel, Kak Euis, Kak Hakim,
dan Kak Aris berangkat menuju shulter transjakarta Harmoni. Saat itu Kak Shumi
sudah menunggu di Harmoni. Sisanya? Kak Udin yang paling telat. Beliau langsung
menyusul ke Harmoni dan kami menunggu Beliau sebelum melanjutkan perjalanan ke
Muara Kamal.
Lewat pukul 9.00 WIB,
Kak Udin datang, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Rawa Buaya menggunakan
transjakarta tujuan Kali Bata. Kami tiba di shulter transjakarta Rawa Buaya
kurang lebih tigapuluh menit kemudian. Di sini, kami berhenti sejenak, karena
beberapa di antara kami membeli makanan untuk makan siang.
Perjalanan kami
lanjutkan menggunakan sebuah mobil angkutan yang mirip elf. Mobil elf inilah
yang akan mengantarkan kami menuju Muara Kamal. Tarif angkutan ini di atas
rata-rata tarif angkutan mikrolet. Untuk mencapai Muara Kamal dari Rawa Buaya
menggunakan elf diperlukan uang Rp5.000,- per orang.
Kami turun elf di sebuah jalanan setapak yang bersisian langsung dengan laut. Dari sini, kami harus berjalan kaki menuju dermaga.
Potret kesibukan Muara Kamal
Di sepanjang jalan menuju dermaga Muara Kamal ini, pemandangan sontak berubah drastis. Jika sebelumnya gedung-gedung tinggi dan mobil yang berlalu lalang menjadi santapan mata kami, kini jejeran bak ikan, deretan perahu, dan bau anyir menjadi spot utama di perjalanan ini. Bagi saya, sayang sekali jika pemandangan sosial yang unik ini tidak diabadikan. Maka, satu dua jepretan saya ambil dengan spot kegiatan warga sekitar. Ini bisa jadi kenang-kenangan sekaligus potongan gambar yang akan mengingatkan saya bahwa ada sisi kehidupan yang berbeda di sekitar saya :)
Dermaga Muara Kamal
Lanjut kepada cerita
perjalanan kami. Akhirnya kami tiba di bibir dermaga dan bersiap menaiki perahu
yang akan mengantarkan kami ke potongan indah lainnya dari negeri ini ^^