Showing posts with label Nuraniku. Show all posts

Wisata Hati 1 Januari; Nuraniku Goes to Cipir (Bag. 3)

(Lanjutan Bagian 1 dan Bagian 2)

Ahlan wa Sahlan yaa ‘Aly Nuraniku^^

 Pintu masuk Pulau Cipir

Lewat pukul 11.30 WIB, Pulau Cipir yang sempat digunakan sebagai tempat karantina calon haji ini sudah terlihat jelas di pelupuk mata. Mungkin karena bertepatan dengan pergantian tahun masehi, maka dari kejauhan sudah tampak banyak pengunjung yang tiba lebih dahulu daripada kami. Oh iya, saat berbincang dengan Pak Waris, Beliau juga sempat berkata kalau Pulau Cipir sudah ramai sejak satu hari sebelum pergantian tahun masehi. Bahkan, Pak Waris sempat mengantarkan beberapa muda-mudi tepat malam hari perhantian tahun masehi. Masya Allah, semangatnya!

Yup. Alhamdulillahirabbil ‘aalamin. Akhirnya, kami tiba di Pulau Cipir. Dermaga yang belum tuntas direnovasi menjadi pijakan pertama kami di pulau ini. Ada satu syair karya Kak Chai yang menjadi pembuka kedatangan kami di pulau ini; Bu Kumkum lagi nyupir, assalamu’alaikum Pulau  Cipir ^_^

Berdasarkan arahan The Big Abah dan Abah (Kak Udin dan Kak Hakim), kami berjalan menuju salah satu tepian pulau yang masih lumayan sepi. Di jalan menuju salah satu sisi pantai ini saya sebenarnya agak risih. Bagaimana tidak, banyak sekali orang yang berkemah di sini. Tidak hanya sampah bertebaran yang membuat gusar, tapi perut-perut bertelanjang alias tak berbaju juga membuat risih >,<

Tapi alhamdulillah,  pantai tempat kami beristirahat jauh dari pemandangan merisihkan di atas. Setiba di pantai, saya sendiri langsung menceburkan diri ke air laut. Menghirup udara pantai Pulau Cipir dalam-dalam, membiarkannya menyusup ke paru-paru saya yang selama ini menghirup udara pekat Jakarta. Senyak, saya juga menikmati deburan ombak yang selalu mengagumkan, indah sekaligus menyeramkan.

Sedangkan yang lainnya duduk-duduk di bangku tepi pantai atau ada juga yang langsung makan di bibir pantai. Oh iya, ada satu spot yang menarik perhatian saya, yaitu potongan batang pohon yang terdampar begitu saja di bibir pantai. Indah. Itu yang muncul di benak saya. Keindahan potongan batang pohon ini semakin mengagumkan ketika gelombang ombak menghantamnya. A, masya Allah, subhanallah karya-Nya. Satu dua jepretan saya ambil dengan angle potongan batang pohon dan kakak-kakak perempuan yang sedang duduk di atasnya.

Pantai dan Sejuta Kenangan

Setelah asik beberapa menit menikmati pantai, kami makan siang dan shalat Zuhur berjemaah (bagi yang sedang shalat) di mushalah yang tak jauh dari tempat kami beristirahat. Setelah shalat selesai, saya sendiri memilih duduk menyendiri di salah satu batu menghadap pantai sambil membaca novel yang saya bawa. Entah mengapa, dari tepi pantai ini sekali lagi saya terpana pada hamparan pasir yang bertemu dengan gelombang air. Truthfully, mata ini tidak pernah bosan pada ciptaan-Nya yang Mahaindah. Dan untuk kesekian kalinya dalam setiap perjalanan menelusuri alam-Nya, saya merasa bahwa Indonesia benar-benar secuil tepian surga yang Allah lemparkan ke bumi yang saya pijak :’)

"Sepotong Surga"
My favorite landscape in Cipir Island

Saat menyendiri bersama novel yang saya baca, sesekali pandangan saya tertuju pada kumpulan bocah-bocah yang bermain. Satu dua kali saya tertawa sendiri melihat mereka berlarian, berteriak, dan bercanda di hadapan saya. Hehe, sekilas saya teringat gambaran masa kecil saya yang senang bermain-main di air sampai pernah tenggelam atau mengalami hal-hal mistik yang sampai sekarang belum bisa saya tanggap secara logika. Sempat teringat juga kenangan beberapa tahun lalu saat pertama kali ke Kepulauan Seribu. Saat itu saya masih duduk di bangku SMA, saya beserta beberapa murid pilihan lainnya mendapatkan hadiah jalan-jalan ke Kepulauan Seribu ini bersama para mahasiswa dan saya harus menunggu hampir satu jam di dermaga karena salah naik kapal :D

“Asik banget baca novel di pinggir pantai,” suara Kak Shumi membuyarkan pikiran saya. Hanya tawa kecil yang menjadi jawab saya. Ya, selalu asik jika kita bisa menyatu dengan alam, entah itu di pantai ataupun pegunungan, batin saya menjawab :)

Narsis Time!

Yeach, selayaknya banyak perjalanan. Perjalanan kami juga diwarnai dengan aneka kenarsisan di mata kamera. Maka, beberapa menit sebelum acara yang ditunggu-tunggu (oleh saya), kami berpose di depan dua kamera.


Mimpi Kami dan Debur Ombak yang Mengamini :’)

Ada satu agenda yang beberapa kali saya tagih ke Kak Izzah, yakni acara inti kami ke pulau ini. Entah apapun itu nama acaranya, tapi menurut saya satu dua patah kata yang saling terlontar dalam acara di tepi pantai ini insya Allah bisa menguatkan ukhuwah kami.

Dibuka dengan bacaan ayat-ayat Allah, saya semakin merasakan keindahan kebersamaan bersama orang-orang luar biasa ini. Hampir saja sebulir air mata menggelinding di pipi, tapi sengaja saya tahan agar kebersamaan ini tidak terlalu melankolis.

Well, sesi selanjutnya, satu per satu dari kami berbagi kabar dan mimpi untuk satu tahun ke depan. Saya, sebagai orang yang pertama kali datang di perjalanan ini pun mendapatkan giliran pertama. Agak kikuk memang. Selain karena menjadi yang paling cupu di antara mereka, saya juga bukan siapa-siapa di antara mereka yang terlalu menginspirasi saya. Beberapa menit di giliran saya. Saya mengucapkan beberapa keingin besar saya di tahun ini; menerbitkan novel psikologi Tiga Tubuh,  belajar di SLBN Semarang, backpacker-an ke Semeru dan Rinjani, Lombok, dan mengajak Bapak saya menonton tinju di sasana pertarungan.

Tiba ke giliran yang lainnya yang notabene adalah senior-senior saya di UNJ. Masya Allah, dahsyatnya mimpi mereka. Ada yang ingin melanjutkan usaha atau bisnis sambil kuliah, ada yang ingin meneruskan hafalan Qur’an, bahkan ada yang ingin punya anak di tahun ini (padahal belum menikah) ^_* Pastinya, berhubung mereka sudah di semester atas, dominan dari mereka ingin lulus kuliah di tahun ini, entah pada Maret atau September nanti.

Begitulah satu per satu di antara kami merapalkan mimpi. Sedangkan kami yang mendengarkan, desir angin, deru ombak, dan ikan-ikan kecil sibuk mengamini. Ya, semoga kalian bisa lulus dengan mudah, dengan nilai yang memuaskan dan ilmu yang berkah. Doakan saya juga ya, semoga 2015 nanti bisa lulus segera, mengajar bocah-bocah surga, anak-anak berkebutuhan khusus, selama satu atau dua tahun. Lalu merantau ke luar Jakarta atau keluar Jawa, membangun peradaban pendidikan yang baru, khususnya untuk anak-anak istimewa di pelosok negeri tercinta. Kemudian, sesekali menyatukan diri dengan alam Indonesia melalui hobi backpacker dan travelling :)
  
Selesai berbagi dan saling mengamini mimpi, tiba saatnya bertukar kado. Ini sesi yang lucu. Kami bertukar kado tapi hanya beberapa yang membawa kado. But that’s not a big problem, karena saya senang masih tetap melihat mereka tertawa juga karena melihat tingkah yang lainnya.


Abah and The Big Abah with their gift

Kebersamaan di Antara Pasir dan Lautan

Matahari sudah merangkak perlahan ke Barat bumi. Teriknya sudah mulai pudar, berganti sepoi angin yang lamat-lamat membuat saya ingin terpejam di bibir pantai ini. Kami, akhirnya memutuskan menuju sisi pantai yang lain, yang mulai sepi dari pengunjung.

Di sinilah sesi kami berbasah-basahan. Kendati saya dan perempuan yang lainnya hanya bisa berbasah-basahan sebatas lutut, tapi kami tetap senang. Karena di sini lagi-lagi alam mengeratkan ukhuwah kami. Di antara pasir dan lautan, kami berpose dengan semangat. Hingga di penghujung keasyikan ini, entah siapa yang memulai idenya, kami membentuk kata “nuraniku” dengan tubuh kami.



Tak terasa, waktunya shalat Ashar. Ini pertanda kami harus segera meninggalkan Pulau Cipir. Kami pun bergegas membersihkan diri dan shalat Ashar berjemaah sebelum menuju dermaga dan kembali ke Jakarta.

Pulang dan Hujan Pelengkap Kebersamaan

Perjalanan pulang. Kami kembali menaiki perahu Pak Waris. Sebelum menaiki perahu, Kak Chai sempat bersyair lagi; di sana senja di sini pasir, sampai jumpa yaa Pulau Cipir :)

Di perjalanan pulang ini kami tak banyak berbincang, mungkin karena terlalu lelah. Beberapa kakak-kakak menenggelamkan diri dalam lautan kalam Illahi. Saya juga mulai menikmati angin senja sambil merapalkan zikir al-ma’tsurat di ujung perahu, tempat favorit saya sejak perjalanan ini. Lantas sesekali berbicara dengan Pak Waris.

Tiba di Muara Kamal, hujan menyambut kedatangan kami. Alhamdulillah. Bagi saya, hujan selalu pertanda nikmat dari Allah. Hujan juga selalu indah, di manapun ia turun membasahi bumi-Nya. Dan kali ini, hujan penyambut kepulangan perjalanan kami, memiliki arti khusus bagi saya; hujan ini adalah keberkahan yang Allah kirimkan atas kebersamaan kami sekaligus pelengkap kehangatan ukhuwah ini.

Hujan yang “mencegat” kami tetap turun hingga kami tiba di Rawa Buaya. Kami memutuskan menyantap bakso sambil menunggu azan Maghrib di salah satu tempat sederhana di dekat Rawa Buaya. Hingga azan Maghrib berkumandang, itu pertanda kami harus segera memenuhi kebutuhan rukhiyah dan juga pertanda perjalanan hari ini akan segera berakhir.

Alhamdulillah. Pukul 19.30 saya tiba di rumah. Berhubung rumah saya ada di kawasan Tomang, sekitar enam shulter dari shulter transjakarta Rawa Buaya, sepertinya saya yang pertama kali sampai rumah dibandingkan yang lainnya.

Yes, We are The Big Family of NURANIKU ^^

Lelah, memang begitulah adanya setiap satu perjalanan terlaksana. Tapi selalu ada kenangan indah yang selalu mengiringi lelah. Selalu ada syukur yang tak terukur di setiap akhir perjalanan. Begitu pula dengan akhir perjalanan ini. Ada banyak kenangan dan syukur yang membayar lelahnya perjalanan ini. Hanya satu harapan saya, semoga perjalanan ini mempererat persaudaraan kami, menjadi pemicu mimpi dan angan-angan masa depan kami, serta menjadi sepotong keberkahan untuk keluarga sederhana ini. Amin.

-Belum  Selesai-
(Karena ada banyak kisah perjalanan luar biasa yang masih menjadi rahasia-Nya)
13 January 2013
Posted by Lisfatul Fatinah

Wisata Hati 1 Januari; Nuraniku Goes to Cipir (Bag. 2)

(Lanjutan Bagian 1)

Our Trip is Begin! ^_^

Yup. Perjalanan yang sesungguhnya menuju gugusan pulau di seberang sana baru saja dimulai! Kami semua menempati posisi yang nyaman menurut masing-masing dari kami. Di dalam perahu ini, jujur saja saya tiba-tiba menjadi orang yang autis dan hiperaktif -,- entah kenapa rasanya tempat duduk saya bukanlah angel yang tepat untuk menikmati hamparan air yang meluas. Dampaknya, saya harus pindah tempat duduk hingga beberapa kali. Akhirnya, saya mendapatkan posisi ternyaman setelah hampir separuh perjalanan di atas air, yaitu di ujung perahu, dekat dengan pengemudi perahu.

Dari posisi ini, pemandangannya terasa sangat berbeda. Entah apa yang membedakan, padahal semua yang dipandang sama; sama-sama air laut yang beriak perlahan dan langit biru yang membentang, hanya posisi memandangnya saja yang berbeda. Nah, dari sinilah sebenarnya satu pelajaran baru telah saya terima.

Adalah diri kita sendiri yang membuat diri kita nyaman adanya. Karena setiap sudut pasti akan menangkap hal berbeda dari objek yang sama. Seperti saya yang menatap lautan luas dari sudut-sudut berbeda hingga saya menemukan sudut ternyaman, di ujung perahu tepat dekat pengemudi perahu.

Kami semakin jauh kami daratan. Lautan yang  ada di bawah kami semakin dalam dan cahaya yang terpantul dari air lautan semakin biru. Dari ujung perahu ini, pandangan saya terus tertuju pada hamparan air dan langit yang terlihat menyatu. ^^

Hitam, Hijau, Biru; Arti Ilmu dan Kehidupan

Gradasi warna hitam, hijau, dan biru air laut yang kami arungi, entah bagaimana caranya, mengingatkan saya pada salah satu syair terkenal milik Imam Syafi’I tentang menuntu ilmu atau merantau. Bahwa air yag diam pasti akan terlihat keruh dan air yang mengalir akan terlihat jernih. Right, that is mean kedalaman ilmu yang dimiliki seseorang tak pernah menipu. Kegusaran dan kepanikan seseorang dalam menghadapi kehidupan ini cukup mengartikan dangkalnya ilmu yang dimiliki. Sebaliknya, ketenangan dan keteduhan seseorang kerap kali menandakan luasnya ilmu yang melekat di pikiran dan hati.  Seperti air laut yang bergradasi dari hitam menuju biru kukuh. Air-air yang menggenang di dermaga, hitam keruh dan berbau anyir. Tapi semakin jauh kita menuju lautan, semakin jernih dan biru air laut yang tampak.
  
Lalu, biru laut yang semakin pekat seakan menunjukkan kerahasiaannya dengan jemawa. Ya. Biru selalu membuat saya terkagum-kagum dengan maknanya. Laut biru yang semakin tua warnanya, bagi saya menandakan kerahasiaan dan pelajaran besar yang tersembunyi ribuan kilometer di bawahnya. Seperti setiap kali melihat warna biru, di pikiran saya hanya ada satu konklusi bahwa biru selalu indah dengan segenap kekukuhan dan kemisteriusannya, begitu pula setiap kali saya melihat segala sisi kehidupan. Bahwa kehidupan bukan hanya tentang yang ada di depan mata, tapi tentang banyak hal yang tersembunyi dari mati, tentang mimpi, masa depan, perasaan, dan janji-janji Allah.

Pak Waris; Teladan di Tengah Lautan

Setelah asik menikmati air laut, seperti biasa, saya kembali selalu ingin bergerak. (Duh, dasar autis/hiperaktif -,-) Well, sambil menengok kanan kiri, menatap air laut dan Kakak-Kakak Nuraniku yang asik dengan aktivitasnya sendiri, saya akhirnya menemukan satu sosok yang membuat saya penasaran. Dialah lelaki paruh baya yang sedari tadi menjaga kami, sejak dari dermaga hingga nanti kami tiba di Pulau Cipir. Pak Waris, itulah nama lelaki paruh baya ini yang sekejap membuat saya terkagum-kagum pada sosoknya. Peringai Beliau sederhana, tak ada setitikpun keistimewaan yang terlihat dari pembawaannya. Tapi, lagi-lagi, pembawaan seorang Bapak selalu berbeda dan membuat saya bangga pada Beliau.

Mulanya, saya hanya bertanya hal-hal kecil yang ada di sekeliling kami, di atas lautan ini. Saya bertanya tentang bangunan dari bambu yang tersebar di atas lautan ini. Menurut penuturan Pak Waris, bangunan bambu-bambu itu adalah Bangkang, tempat nelayan memasang jaring atau sejenis jebakan untuk menangkap ikan. Selain itu, dari bambu-bambu bangkang itu nelayan bisa mendapatkan kerang hijau yang memang suka menempel di bambu.

Bangkang yang tersebar di lautan 

Pertanyaan saya berlanjut pada banyak hal dan saya semakin nyaman dengan perbincangan singkat dan sederhana ini.

Usia Pak Waris hampir setengah abad. Hampir 30 tahun lalu Pak Waris mengenal kehidupan lautan. Itu berarti sudah hampir 30 tahun juga hidupnya dihabiskan di atas laut sebagai pengemudi perahu.

“Orangtua Bapak juga tukang perahu. Bapak udah belajar narik perahu dari SMP,” Pak Waris mengenal masa kecilnya.

Kalian tahu apa yang saya rasakan saat itu. Betapa lugunya Pak Waris saat menceritakan masa lalunya, tak ada sedikitpun keluh kesah dalam garis wajahnya. Meski hanya sebagai pengemudi perahu, Pak Waris terlihat bangga dengan profesinya dan seakan tak pernah bilang, “Saya hanya tukang perahu.” Tapi dengan bangga berseru, “Sejak SMP saya sudah narik perahu.”

Pembicaraan kami mengalir begitu saja, hingga Pak Waris menceritakan tentang anak-anaknya. Dan, sesi pembicaraan tentang anak-anaknya inilah yang paling saya suka.

Pak Waris dengan penampilan sederhananya duduk di sisi mesin perahu :')

Pak Waris memiliki tiga orang anak. Ketiga anaknya perempuan. Semuanya bersekolah. Yang mengejutkan saya, ketiga anaknya tidak hanya “asal” sekolah. Anak pertama Pak Waris sudah lulus sekolah keperawatan, kini sedang bekerja sebagai perawat di Ciledug. Anak kedua Pak Waris kuliah jurusan Akuntansi BSI, sedangkan anak ketiga Pak Waris baru akan lulus sekolah. Subhanallah, masya Allah, laa haulaa wa laa quwwata illa billah. Tiada daya dan upaya kecuali atas kehendak Allah swt.

Siapa kira, seorang pengemudi perahu yang berpenghasilan tidak tetap bisa menghasilkan anak-anak yang (insya Allah) sukses di akademiknya. Meskipun–menurut Pak Waris–hasil menarik perahu hanya lumayan di hari libur, penghasilannya selalu cukup untuk kebutuhan sekolah anak-anaknya. Bahkan, hingga salah satu anaknya benar-benar “jadi” :’)

Betapa nyata janji Allah seperti yang dikatakan-Nya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. 5:3]

CUKUP! Itu yang Allah janjikan kepada kita selaku hamba-Nya. Cukup. Hanya itu. Allah memang tidak pernah menjanjikan kelebihan harta atau nikmat, tapi sebatas pada kata “cukup”. Begitulah Allah Mahacinta yang tercinta mengajarkan kita bahwa hidup ini sebatas pada “cukup”. Pak Waris dan anak-anaknyalah contohnya; tak perlu berlebihan harta atau menjadi nahkodah kapal mewah, tapi “cukup” menjadi pengemudi perahu sederhana, Pak Waris sudah bisa menciptakan anak-anak yang sukses. Satu lagi, mungkin berkat “kepolosan” Pak Waris dalam menerima qodratullah, maka hartanya yang “cukup” itu menjadi berkah dan bermanfaat banyak untuk keluarga dan anak-anaknya. Satu doa saya untuk Pak Waris, semoga Allah senantiasa memberkahi rizkinya dan meridhoi kehidupannya. Amin. :’)

Perahu yang Menepi dan Keindahan Cipir yang Menanti ^^

Yup. Perbincangan saya dengan Pak Waris berakhir seiring dengan semakin dekatnya kami dengan Pulau Cipir. Ada sekumpulan rasa yang beremulsi dalam dada saya. Entah apa itu namanya. Bahagia karena bisa berbincang dengan Pak Waris yang luar biasa menginspirasi saya, bahagia karena sekali lagi saya menyadari bahwa saya benar-benar ada di antara orang luar biasa lainnya; Keluarga Nuraniku, dan syukur tak terkira karena kami tiba di dermaga Pulau Cipir dengan selamat :)

Baru tiba di Pulau Cipir ^_^

(bersambung ke Bagian 3…,)
Posted by Lisfatul Fatinah

Wisata Hati 1 Januari, Nuraniku Goes to Cipir (Bag.1)


Bismillahirrahmanirrahim

Setiap hari adalah istimewa. Ia datang bersama mentari tanpa sekalipun diminta. Ritme kehidupan, itulah namanya. Setiap detik bergulir, maka satu ritme terlaksana sudah dan kita harus siap menuju ritme berikutnya. Putaran 24 jam yang bergelinding membentuk kenangan hari-hari dan berkulum menjadi sekumpulan kisah berjumlah 355. Inilah hidup kita, hidup kamu juga hidup saya.
Kini, satu ritme terlaksana lagi. Satu hari baru dibuka lagi, di tahun baru masehi. Satu satu, adalah deretan angka pembuka cerita untuk setiap waktu yang merekah bersama bahagia, menuju 355 hari selanjutnya. Bismillah, inilah sebuah cerita pembuka untuk 2013.

Sebuah Pengantar Cerita

Hari pertama di 2013. Pagi ini, semua cerita bermula dari satu keluarga kecil yang mau menerima saya; Nuraniku. Who’s Nuraniku?

Tak perlu deskriptif ilmiah atau teoritik untuk menjelaskan satu keluarga kecil yang mau menerima saya selama satu tahun ini. Nuraniku, adalah rumah sederhana yang terselip di antara rumah-rumah kreatif dan profokatif di negeri bernama UNJ.

Di rumah sederhana bernama Nuraniku ini saya bertemu (bukan menemukan) keluarga kecil yang penuh dengan keunikan. Mereka adalah orang-orang luar biasa yang memberi banyak inspirasi pada saya. Ya, di hari pertama di angka 2013 ini, saya menghabiskan putaran mentari bersama mereka di Pulau Cipir, Kepulauan Seribu.

Sebelum melanjutkan cerita, saya ingin memperkenalkan anggota dari rumah sederhana ini yang ikut ke Pulau Cipir berdasarkan perspektif saya. So, let’s check them out! ^_^
  
First. The Best One Leader, Ahmad Khairudin, Si Udin yang Baik kalau kata Udin Sedunia :) Beliau adalah The Big Abah di rumah sederhana ini. Biarpun secara fisik paling kecil, tapi dari dalam he is the biggest and awesome. The Big Abah ini cenderung pendiam, tapi ide-idenya amazing dan kadang suka melontarkan humor-humor yang bisa membuat semuanya tertawa.

Abah Hakim. He is the second Abah on our trip :) Abah Hakim adalah panggilan yang diciptakan Ummi Izzah. Abah Hakim adalah leader saya di bagian redaksi. Beliau adalah sosok yang –menurut saya– penuh guyonan, suka melucu meski sepertinya beliau tidak merasa apa yang dikatakan atau dilakukannya adalah hal yang lucu bagi orang lain. Selama di rumah sederhana ini, baru sekali saya melihat Abah Hakim serius.

Om Aris. Om yang satu ini kurang saya kenal, karena memang hampir tidak pernah berinteraksi secara lisan ataupun tulisan. Tapi, di perjalanan ini saya melihat Om Aris adalah Om yang kalem dan humoris, kadang plagmatis. (Um, this is just my opinion)

Izzah Rabbaniyah, Super Ummi yang menjadi peretas leader-leader di rumah sederhana kami ini. Kak Izzah adalah orang yang pertama kali saya kenal di rumah sederhana ini. Beliau orang yang ekstrinsik, energik, dan tegas. Yang saya kagumi dari beliau adalah, keterbukaannya tidak menutupi dirinya yang senantiasa menjaga rukhiyah. Kenapa saya berpendapat demikian? Karena ketika kebanyakan orang ekstrinsik cenderung lemah dalam urusan ilmu apalagi ilmu agama, Kak Izzah malah tetap menjaga keseimbangan dunia dan akhiratnya. Strengthering of this statement is setiap kali saya bertemu dengan beliau, hampir selalu beliau sedang menghapal al-Qur’an. Masya Allah :’)

Kak Shumi. Wanita yang berposisi sebagai ahli dalam surat menyurat dan kesekretariatan ini adalah anggota keluarga yang sangat murah senyum. Dari pembawaannya, sepertinya Kak Shumi adalah pecinta pink. Di balik sisi kekalemannya, ternyata Kak Shumi suka narsis dengan pose yang tak terduga.

Bundadari (Bunda Bidadari) a.k.a Kak Chai. Wanita ini mempunyai wajah yang mirip dengan salah satu adik saya. Wanita yang menjuluki dirinya sebagai Pengamat Langit ini adalah orang yang paling ceria di antara kami selama perjalanan ini berlangsung –sepertinya di mana pun itu Kak Chai akan tetap menjadi orang yang paling ceria. Dalam perjalanan ini, saya baru tahu ternyata Kak Chai pandai berpantun dan bersyair. Hehe, ini mengingatkan saya pada tokoh Arai di Tetralogi Laskar Pelangi dan Zafran di 5 cm ^^

Kak Amel. Kakak yang satu ini adalah salah satu keluarga kami yang cukup pendiam. Sebenarnya, tidak banyak yang saya tahu tentang beliau, karena memang beliau tidak banyak bicara di perjalanan ini dan saya hanya beberapa kali bertemu selama satu tahun ini. Saya suka senyum Kak Amel, garisnya menunjukkan beliau adalah orang yang ramah dan lembut di balik peringainya yang pendiam.

Teh Euis. Teteh berbadan mungil ini adalah anggota keluarga yang penuh kejutan. Kenapa bisa begitu? Karena, di balik sosoknya yang pendiam, Teh Euis menyimpan kepribadian yang luar biasa. Beliau memang tak banyak bicara, bahkan mungkin hanya akan bicara kalau diajak bicara. Tapi, kalau sudah berbincang dengan beliau, ternyata beliau asik. Beliau juga penikmat novel –sama seperti saya, jadi saya nyaman sekali jika berbicara tentang novel dengan beliau. Apalagi, ternyata beliau pembaca novel-novel Dan Brown yang cenderung tidak disukai oleh hijabers :)

The Last, saya sendiri, Lisfatul Fatinah. Wanita biasa yang selalu mencoba menjadi luar biasa. Di rumah sederhana bernama Nuraniku, sayalah yang paling cupu, tidak tahu apa-apa, dan selalu mengagumi mereka dalam diam :)

Yup, merekalah anggota keluarga kami yang ada dalam perjalanan kali ini. Next, this time to enjoy the story of our trip. ^_^





Senin, 1 Januari 2013 Masehi

Ini adalah perjalanan pertama saya bersama orang-orang luar biasa ini.  Sesuai dengan schedule yang saya terima melalui sms, kami harus berkumpul di Shulter Transjakarta Matraman pukul 7.00 WIB Malam sebelum perjalanan kami, saya sebenarnya tidur pukul 2.00 WIB dini hari. Selain tidak bisa terlelap karena bunyi “duar dor” dari seluruh penjuru langit, saya juga harus menyelesaikan beberapa tugas.

Pukul 4.30 WIB mata saya sudah terjaga, meski hanya terpejam dua setengah jam. Segala keperluar pergi sudah saya siapkan sejak malam. Sebelum berangkat, tugas kewanitaan alias ngebenah dan memasak harus tetap dilakukan. Hehe.

Yup. Jam tangan saya menunjukkan pukul 6.45 WIB dan saya dipastikan terlambat tiba di shulter transjakarta karena tidak ada yang bisa mengantar saya. Sekitar pukul 7.00 WIB, sambil meminum susu kedelai di dalam bus 502 jurusan Tanah Abang-Kampung Melayu, saya mengirim sms ke Kak Izzah.

“Kak, I’m late. 15minutes again, I’m there. Insya Allah.” Message sent.

Beberapa menit kemudian, saya menerima sebuah balasan dari Kak Izzah. “Aku juga masih di jalan, Fatul. Hehe.”

Deuh, -,- ßbeginilah ekpresi saya saat menerima sms dari Kak Izzah. Saat itu juga saya mulai berprasangka, jangan-jangan saya orang yang pertama kali datang.

Then, pukul 7.15 WIB saya sudah turun dari bus dan –sekali lagi– berlari menuju shulter transjakarta. Dan benar saja, ternyata memang saya yang datang pertama. Saat itu saya hanya duduk di bangku shulter sambil membaca novel Negeri Para Bedebah karya Tere Liye hingga Kak Izzah datang.

Singkat cerita, satu per satu dari kami mulai datang. Kurang lebih pukul 8.30 WIB saya, Kak Izzah, Kak Chai,  Kak Amel, Kak Euis, Kak Hakim, dan Kak Aris berangkat menuju shulter transjakarta Harmoni. Saat itu Kak Shumi sudah menunggu di Harmoni. Sisanya? Kak Udin yang paling telat. Beliau langsung menyusul ke Harmoni dan kami menunggu Beliau sebelum melanjutkan perjalanan ke Muara Kamal.

Lewat pukul 9.00 WIB, Kak Udin datang, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Rawa Buaya menggunakan transjakarta tujuan Kali Bata. Kami tiba di shulter transjakarta Rawa Buaya kurang lebih tigapuluh menit kemudian. Di sini, kami berhenti sejenak, karena beberapa di antara kami membeli makanan untuk makan siang.

Perjalanan kami lanjutkan menggunakan sebuah mobil angkutan yang mirip elf. Mobil elf inilah yang akan mengantarkan kami menuju Muara Kamal. Tarif angkutan ini di atas rata-rata tarif angkutan mikrolet. Untuk mencapai Muara Kamal dari Rawa Buaya menggunakan elf diperlukan uang Rp5.000,- per orang.

Kami turun elf di sebuah jalanan setapak yang bersisian langsung dengan laut. Dari sini, kami harus berjalan kaki menuju dermaga. 

Potret kesibukan Muara Kamal

Di sepanjang jalan menuju dermaga Muara Kamal ini, pemandangan sontak berubah drastis. Jika sebelumnya gedung-gedung tinggi dan mobil yang berlalu lalang menjadi santapan mata kami, kini jejeran bak ikan, deretan perahu, dan bau anyir menjadi spot utama di perjalanan ini. Bagi saya, sayang sekali jika pemandangan sosial yang unik ini tidak diabadikan. Maka, satu dua jepretan saya ambil dengan spot kegiatan warga sekitar. Ini bisa jadi kenang-kenangan sekaligus potongan gambar yang akan mengingatkan saya bahwa ada sisi kehidupan yang berbeda di sekitar saya :)


Dermaga Muara Kamal

Lanjut kepada cerita perjalanan kami. Akhirnya kami tiba di bibir dermaga dan bersiap menaiki perahu yang akan mengantarkan kami ke potongan indah lainnya dari negeri ini ^^

(bersambung ke bagian 2 dan bagian 3...,)
10 January 2013
Posted by Lisfatul Fatinah

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -