Posted by : Lisfatul Fatinah 05 September 2017


What do you think when you look at me?


Apa yang Anda pikirkan ketika Anda melihat saya? Apa yang orang-orang pikirkan ketika melihat saya? Pertanyaan ini terlintas begitu saja di pikiran saya selama beberapa pekan ini, setelah saya melewati sebuah pengalaman yang tidak pernah saya duga sebelumnya terkait penampilan saya, especially the way I wear my hijab.

Beberapa pekan lalu, saat saya tiba di tempat saya mengajar, saya langsung menuju pantry untuk membuat secangkir kopi sebagai mood booster pagi hari sebelum mengajar. Di sana saya bertemu dengan seorang staff dari divisi lain, yang baru beberapa hari pindah ke ruangan di gedung dan lantai yang sama dengan saya. 

Sebelumnya saat bertemu atau berpapasan, kami hanya saling senyum sapa dan hampir tidak pernah mengobrol. Pagi itulah, saat belum banyak staff, pengajar, dan students yang datang, kami mengobrol singkat karena sebuah pertanyaan yang beliau sampai kepada saya.

Mbak, sorry, memangnya di sini boleh pakai hijab syar’i?” tanya mbak tersebut dengan intonasi suara yang menunjukkan kehati-hatian.

Senyum adalah respon pertama saya saat itu. “Sepertinya boleh, Mbak. Tapi saya belum tahu pastinya ya, karena sejauh ini saya belum pernah membaca peraturan tentang hijab,” jawab saya dan berlanjut pada perbincangan tentang hijab selama beberapa menit sambil menikmati minuman kami masing-masing.

Sebagai informasi, tempat saya bekerja saat ini merupakan sebuah kampus komunikasi bertaraf internasional dengan staff, pengajar, dan students yang dituntut bekerja dan penampilan berstandart international juga. Oleh karena itu, sudah pasti kebanyakan di antara kami, terutama pengajar dan tim management selalu berpenampilan elegan dengan fashion berkelas. 

Belum lagi lingkungan yang tercipta sudah sangat plural, kental akan pengaruh western culture, dan didominasi oleh nonmuslim. Maka tidak heran di beberapa minggu pertama saya mengajar, ada beragam respon yang saya terima terkait penampilan saya. Mulai dari tatapan students reguler yang membuat saya canggung, hingga respon staff dan pengajar lain yang mengira saya adalah tamu, bukan pengajar. Semua ini terjadi karena satu hal; hijab lebar yang saya kenakan.

Memang di tempat saya bekerja terdapat pengajar, staff, dan team management muslimah yang mengenakan hijab. Tetapi hijab yang digunakan biasanya hijab dengan berbagai model yang menunjang fashion mereka. Maka saya dan hijab lebar saya menjadi hal yang paling menonjol di antara lingkungan kampus modern ini. Bahkan bisa dibilang, saya adalah satu-satunya muslimah dengan hijab lebar di antara pengajar yang ada.

Saya sebenarnya pengin banget pakai hijab syar'i saat kerja, Mbak. Tapi saya takut dan lebih mencari aman. Terus waktu tahu mbak pakai hijab syar'i dan tetap kerja di sini, saya jadi sedikit lebih lega meskipun belum berani pakai di sini.” Ucap beliau di sela perbincangan pagi kami.

Mbak ini sempat sedikit bercerita bahwa kesehariannya memang menggunakan hijab syar'i, meskipun baru dimulai dan masih belajar. Tetapi beliau tidak berani mengenakan hijab syar'i di tempat kami bekerja, mengingat lingkungan dan budaya kampus yang sangat kebaratan, juga beliau takut ditegur atau dilarang oleh team management.

Memang benar, menggunakan hijab syar'i menjadi hal sangat baru di tengah lingkungan saya mengajar. Tapi sejujurnya, saat diterima sebagai pengajar, saya sama sekali tidak tahu bahwa lingkungan yang akan saya masuki akan seperti ini. Bagian positifnya, saat pertama kali ke tempat kerja untuk wawancara, saya dengan santainya berpenampilan seperti biasa dengan rok dan hijab lebar. Saya sangat bersyukur atas ketidaktahun ini. :)

Saat briefing sebelum akivitas belajar mengajar semester baru dimulai, salah satu staff akademik pernah berpesan kepada para pengajar baru yang perempuan, termasuk saya, untuk tidak mengenakan rok selama mengajar. Imbauan untuk tidak mengenakan rok ini memang sangat bisa diterima alasannya, karena demi keselamatan kerja pengajar selama menangani students –mengingat saya mengajar di bagian Autism Centre yang mana mengajar students dengan autism. Tapi saat itu saya mencoba meminta izin kepada kepala akademik untuk tetap mengenakan rok selama mengajar dan alhamdulillah beliau mengizinkan.

Di balik mempertahankan penampilan saya apa adanya, sebenarnya ini adalah salah satu bentuk kepercayaan saya pada tempat saya mengajar. Saya percaya bahwa kampus bertaraf internasional pasti akan menilai pengajarnya dari performance dan profesionalitas kerja, bukan dari penampilan atau hijab yang dikenakan. Apalagi ini berkaitan dengan hak saya dalam menjalankan perintah agama.

Selain kecanggungan pada respon beberapa students reguler, pengajar, dan staff di beberapa minggu pertama mengajar, ada juga beberapa moment melegakan yang sangat saya syukuri berkat hijab lebar yang saya gunakan di lingkungan kerja yang minoritas muslim ini. Salah satunya adalah ketika beberapa staff nonmuslim bertanya, mengapa saya mengenakan hijab yang panjang dan lebar sedangkan yang lainnya tidak. Biasanya saya hanya akan menjawab bahwa inilah cara berhijab yang membuat saya senang, nyaman, dan aman. Tetapi setiap kali saya menanggapi demikian, pasti ada jawaban tambahan dari staff muslimah lainnya.

Hijab yang dipakai Miss Lisfah itu cara pakai hijab yang benar, Miss. Yang saya pakai sekarang ini, yang pendek-pendek ini nih yang belum benar,” jawab salah satu staff muslimah yang juga berhijab.

Jawaban seperti ini adalah salah satu kesyukuran lain yang saya terima dari hijab lebar yang saya gunakan. Alhamdulillah, sejak saat itu hampir tidak ada staff nonmuslim yang menanyakan hijab lebar yang saya gunakan. Tetapi justru mereka balik bertanya kepada staff muslimah lainnya, kapan akan berhijab dengan cara yang benar sesuai ajaran Islam. :D

Di tempat lainnya, di sebuah klub bahasa Inggris yang baru saya geluti beberapa bulan ini pun saya menerima respon yang kurang lebih sama seperti minggu-minggu pertama saya di tempat mengajar. Di klub yang terdiri dari mahasiswa dan pekerja dengan beragam latar belakang ini, sebelumnya memang tidak ada yang berhijab lebar, sehingga kedatangan saya menjadi hal baru dan menarik perhatian.

Ada satu komentar tentang diri saya dari salah seorang teman di klub yang tidak pernah saya duga. Komentar ini membuat saya merenung dan menjadi alasan saya untuk membuat tulisan ini. Ini terjadi beberapa pekan lalu, saat saya mengajak salah seorang teman saya datang ke pertemuan rutin klub selepas bekerja. Saat itu, saya mengenalkan teman saya kepada salah satu anggota klub yang cukup sering berbincang dengan saya.

She is an expert at Japanese. Dia jago banget bahasa Jepang-nya loh!,” kata saya sambil mengacungkan dua jempol, sebelum saya asik dengan komik online dan membiarkan mereka berbincang di dekat saya.

Hanya butuh beberapa menit ternyata kedua teman saya sudah berbicara banyak sekali, terdengar mereka saling berbincang tentang diri masing-masing. Kemudian saya mendengar mereka menyebut nama saya dan saya mencoba mendengarkan meskipun tidak terlibat dalam obrolan mereka.

Yeach, she often askes me to join in her community or a community she involved like this English club,” kata teman saya.

I wonder about her. I was amazed when I saw her at the first time in this class. Can you imagine a hijaber, woman in a big hijab speaks in English fluently? Even she spoke to the point, and her once speech about happiness was very good. She's clever!,” kata teman klub bahasa Inggris saya kepada teman yang baru saya ajak bergabung ke klub. Yang sejujurnya, pujiannya agak berlebihan. I'm not really that good at English :(

Yeach, she is,” jawab teman saya singkat dan padat. Kemudian mereka semakin asik membicarakan saya, yang mendengarkan langsung pembicaraan mereka dengan sangat jelas dari jarak tidak lebih dari duapuluh sentimeter. Bahkan mereka baru berhenti membicarakan saya ketika conductor (pemateri kelas) datang. Fiuh! -_-”


Saya bersama students saat sedang melakukan field trip ke Museum Nasional

***

Dari pengalaman di atas, saya menemukan beberapa hal yang bisa menjadi pelajaran bagi diri saya pribadi dan mungkin bisa diambil hikmahnya oleh muslimah lain yang membaca tulisan ini. Juga sejak dua hal di atas terjadi, sedikit banyak saya bisa mengetahui tentang pandangan orang lain terhadap saya, khususnya sebagai muslimah berhijab lebar.

Beberapa tahun belakangan, sejak peristiwa 9/11 (nine-eleven), islamphobia merebak ke negara-negara minoritas muslim atau kadang muncul dalam tingkat ringan di sekitar kita yang mayoritas muslim. Hal ini tampak ketika perpektif kebanyakan orang, nonmuslim dan kadang muslim itu sendiri, yang merasa takut dan curiga pada keberadaan muslim yang berpenampilan berbeda. Atau contoh khususnya merasa takut dan curiga pada keberadaan muslimah berhijab lebar seperti saya. Akan tetapi, dari sudut pandang lain saya melihat islamphobia justru berputar arah. Islamphobia bukannya dimiliki oleh nonmuslim, melainkan dimiliki oleh muslim itu sendiri.

Maksudnya adalah jika isalamphobia pada umumnya berupa rasa takut dan kekhawatiran nonmuslim atas keberadaan muslim, maka kini telah tampak rasa takut dan khawatir itu malah dimiliki seorang muslim dengan jenggot yang terawat atau seorang muslimah dengan hijab lebarnya di tengah lingkungan nonmuslim. Contoh riilnya adalah ketika seorang muslimah takut dipecat dari tempat kerja atau takut dijauhi teman-temannya karena hijab lebar yang digunakan.

Rasa takut pada pengucilan atau penolakan karena hijab lebar yang digunakan ini niscaya akan tetap ada ketika kita, muslimah, masih memiliki keraguan dalam hati meskipun hanya setitik. Akan tetapi, ketika keyakinan dalam hati sudah begitu dalam dan teguh, niscaya ketakutan pada pengucilan dan penolakan akan luluh dengan sendirinya. Justru bisa menjadi pemantik semangat untuk terus berkarya dengan hijab lebar yang digunakan, tanpa peduli anggapan orang lain tentang hijab yang digunakan.

Cara setiap muslimah bersikap juga perlu menjadi perhatian. Sebab sikap muslimah kepada lingkungan yang dikhawatirkan tidak menerimanya akan mempengaruhi penilaian orang-orang di lingkungan tersebut. Sebagaimana Islam mengajarkan untuk berbuat baik kepada siapa saja, termasuk kepada yang berbuat buruk kepada diri kita sekalipun, maka menjalin hubungan baik kepada siapa saja dan di mana saja bukan sekadar untuk mendapatkan penerimaan diri. Lebih jauh lagi, semoga bisa mengubah penilaian lingkungan kita kepada Islam itu sendiri.

No matter what happens in life, be nice to people. Being nice to people is a peacful way to live, and a beautiful legacy to leave behind.”(Marc and Angel)



Tiga tahun lalu saat saya diminta berbicara tentang pendidikan anak di Indonesia Morning Show, Net.TV

Di sisi lain, komentar yang disampaikan teman klub bahasa Inggris saya hingga saat ini terus berputar di kepala. Saya memikirkan kalimat yang dikatakannya selama beberapa minggu belakangan ini, sebagai perenungan atas diri saya, khususnya sebagai seorang muslimah yang berhijab lebar.

Can you imagine a hijaber, woman in a big hijab speaks in English fluently? Even she spoke to the point, and her once speech about happiness was very good. She's clever! 

Kebayang gak sih seorang hijaber, cewek pakai hijab gede ngomong bahasa Inggrisnya lancar gitu? Malahan dia kalau ngomong to the point dan pidatonya tentang kebahagiaan itu bagus banget. Cerdas deh!

Kebayang gak sih...? Entah, bagi saya ekspresi yang disampaikan dalam komentar ini tidak semata-mata pujian. Jauh di dalam kalimatnya tersimpan makna yang patut direnungkan, yang mungkin bisa menjadi pelajaran untuk banyak muslimah, lagi-lagi khususnya saya. 

Komentar ini, bagi saya, seperti menunjukkan bahwa muslimah berhijab lebar yang mampu berbahasa asing dengan baik adalah hal yang tidak lazim atau jarang terjadi. Bisa jadi dikarenakan perspektif orang kebanyakan adalah setiap yang berpenampilann sesuai tuntunan agamanya adalah orang yang hanya akan tertarik pada hal-hal keakhiratan dan agama. Mungkin kebanyakan orang berpikir bahwa muslimah yang berjilbab lebar adalah orang-orang yang hanya peduli dengan ilmu agama, hanya ingin bergaul dalam lingkup keislaman dan mengesampingkan keilmuan dunia.

Kebayang gak sih...? Mungkin ini adalah komentar jujur dari yang mengungkapkannya. Karena mungkin selama ini muslimah berhijab lebar yang senang belajar dan bergabung dalam klub keilmuan selain ilmu agama adalah spesies yang langka. Dampaknya, ketika ada satu saja muslimah yang berusaha aktif di majelis ilmu yang tidak berhubungan dengan ilmu agama, hal ini menjadi sesuatu yang wah dan tidak lazim. Padahal jika saja kita, para muslimah, mau sedikit bersabar menelisik jejak para sahabat wanita Rasulullah saw., maka akan kita dapati begitu banyak sahabat wanita yang tidak hanya kaya akan ilmu agama tetapi juga memiliki banyak ilmu dunia bahkan menjadi ahli di bidangnya.

Sebut saja Khadijah binti Khuwailid, wanita pengusaha kaya raya yang dikenal karena bijaksana, cerdas, dan pandai menjaga kesuciannya. Istri pertama Rasulullah saw. menjadi wanita yang dimuliakan di sukunya, karena ilmunya dalam berdagang dan membelanjakan hartanya di jalan Allah swt. Belum lagi Aisyah binti as-Shidiq yang dikenal sebagai wanita berperingai kecil, lincah, dan memiliki ketegasan di balik kelembutan dan kemanjaan sikapnya. Beliaulah wanita yang dimuliakan karena kekuatan hapalannnya, dan kecerdasannya dalam berbagai ilmu. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai wanita yang sangat pandai berbahasa atau dalam hal linguistik.

Di sisi lain, ada as-Syifa' binti Abdullah, seorang dokter muslimah sekaligus terapis yang dimuliakan di zaman Rasulullah. Bahkan sebagai rasa hormat, Rasulullah saw. memberikannya sebuah rumah untuk dijadikan tempat orang-orang berobat dan menuntut ilmu kepadanya. Lain lagi dengan Ummu Hakim binti Harits, muslimah yang masuk Islam di akhir dakwah Rasulullah saw. dan turut serta dalam peperangan Islam melawan Romawi. Beliaulah muslimah yang dengan kegigihannya memperjuangkan Islam dan berhasil membunuh tujuh orang kafir di medan perang meskipun di saat bersamaan suaminya menjemput kesyahidan.

Mbak Dewi, muslimah intelektual, bersama suami dan anaknya. Mereka adalah keluarga kecil yang sangat menginspirasi saya.
Secara pribadi, saya juga mempunyai dua sosok muslimah masa kini yang saya kagumi. Pertama adalah Mbak Dewi Nur Aisyah, seorang muslimah, berhijab lebar, ibu satu anak, sekaligus calon doktor di University College London. Beliau adalah seorang blogger yang tulisan-tulisannya ikut memberi suntikan motivasi bagi saya, untuk menuntut ilmu setinggi mungkin. Kendati harus mendidik anak pertamanya di London, Mbak Dewi dan suaminya yang juga seorang calon doktor mampu mengukir prestasi hingga tingkat internasional. Keduanya bergantian memperoleh penghargaan di berbagai negara atas penelitian dan jurnal yang dibuat, terlebih lagi Mbak Dewi selalu menjadi satu-satunya muslimah berhijab lebar yang berdiri di antara cendikiawan lainnya.

Sosok lainnya adalah Mbak Ferihana, seorang muslimah, bercadar, dan juga seorang istri yang berprofesi sebagai dokter kecantikan di Jogjakarta. Mbak Ferihana juga memiliki klinik yang membebas biayakan pasien miskin tanpa memandang agama dan ras. Klinik beliau tersebar di beberapa daerah di pulau Jawa, termasuk salah satunya di Depok, Jawa Barat.

Sosok dr. Ferihana saat sedang memeriksa seorang pasien dhuafa.
Nama-nama di atas hanya sebagian dari muslimah mulia yang Allah swt. Muliakan karena ilmunya, yang bisa menjadi teladan bagi setiap muslimah. Keberadan mereka setidaknya bisa menjadi pengingat bagi muslimah lainnya, terutama saya, bahwa Allah swt. dan Rasulullah tidak pernah membatasi wanita untuk hanya belajar dan mengajarkan ilmu agama atau alquran. Akan tetapi, muslimah juga diperbolehkan untuk ikut menekuni ilmu keduniaan, bahkan beberapa pendapat ulama yang saya baca dikatakan bahwa menjadi baik jika muslimah bisa menjadi ahli dalam bidang yang ditekuninya dan bisa membawa kemaslahatan bagi umat.

Menuntut ilmu, memperkaya ilmu dunia sebagaimana muslimah-muslimah mulia di atas merupakan salah satu hal yang sangat dianjurkan oleh Allah swt. dan Rasulullah saw. Terlebih lagi mencintai ilmu pengetahuan adalah sifat yang dimuliakan dalam Islam, termasuk juga mengembangkan ilmu sebagaimana ulama-ulama terdahulu seperti al-Kindi, Ibnu Sina, dan banyak lainnya juga menjadi ahli dalam ilmu agama dan pengetahuan dunia di masa Kegelapan Eropa, ketika Islam menguasai lebih dari dua pertiga dunia.

Namun demikian, kemulian muslimah atas ilmunya bukanlah untuk menjadi pesaing para lelaki di luar sana. Kemulian ilmu yang dimiliki muslimah adalah bekal yang akan diturunkan kepada anak-anaknya. Kemuliaan ilmu yang dimiliki muslimah, seperti halnya yang dimiliki Khadijah binti Khawailid untuk membela suaminya, ilmu Aisyah binti as-Shidiq untuk memurnikan ajaran suaminya, dan ilmu serta keberanian Ummu Hakim binti Harits untuk menebus kesyahidan suaminya.

Dari banyak muslimah yang dimuliakan karena ilmunya di atas, apabila setiap kita, para muslimah, mampu meneladani salah satu saja dari mereka, niscaya keberadaan muslimah yang berhijab lebar, berilmu, dan aktif dalam perkumpulan ilmu tidak akan menjadi hal yang langka lagi. Niscaya nama-nama cendikiawan dunia pun akan diisi oleh muslimah-muslimah, yang mencintai ilmu karena kecintaannya kepada Allah swt. Semoga kita, para muslimah terutama yang membaca tulisan ini, termasuk dalam golongan muslimah yang terkenal di langit karena ilmunya yang bermanfaat dan membawa kemaslahatan, dan mampu memuliakan orang tua, suami, dan anak keturunan kita kelak. Amin.

Barang siapa menempuh jalan mencari ilmu, Allah akan memberikan baginya jalan ke surga. Sesungguhnya para malaikat menaungkan sayap-sayapnya karena senang kepada yang menuntut ilmu”(HR. Tirmizi)


@fatinahmunir | 5 September 2017

Notes:
Judul tulisan ini diambil dari video Dalia Mogahed dalam the best talk and performance of TED Conference 2016 di sini.

{ 1 komentar... read them below or add one }

  1. Is the author of the article speaking to a specific person or to the general public?
    Visit Tel-U

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya :)

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -