- Back to Home »
- Ibu Lisfah dan Murid Istimewa »
- Teacher's Diary: Kenapa Orang “Normal” Tidak Bisa Tertib?
Posted by : Lisfatul Fatinah
28 September 2017
Gamabar ini menunjukkan cara penggunaan eskalator yang benar. Sisi kiri untuk pengguna yang ingin tetap berdiri dan sisi kanan dibiarkan kosong untuk pengguna yang ingin menggunakan eskalator sambil berjalan. (Photo credit: Japan Times) |
Siang tadi, di sela-sela jam istirahat mengajar, ada percakapan kecil dari salah satu mahasiswa berkebutuhan khusus di tempat saya mengajar. Mahasiswa ini merupakan salah satu mahasiswa dengan autisme high function. Atau dengan bahasa lain, mahasiswa ini sudah memiliki kemandirian yang sangat baik.
“Yaaa,
saya lagi kesal aja, Bu. Soalnya orang-orangnya gak tertib. Saya yang
ABK (Anak Berkebutuhuan Khusus) aja ngeliatnya malu.” begitu salah
satu kalimat ungkapan perasaannya yang saya dengar dan masih terngiang di telinga saya.
Hal ini
terjadi sebab saat di perjalanan menuju kampus, Muri, inisialnya,
mengalami hal yang membuatnya kurang nyaman di stasiun Tanah Abang. Di stasiun ini, Muri harus transit
kereta sebelum sampai di kampus. Menurut ceritanya, kondisi kereta
memang penuh dan perilaku orang-orang yang tidak tertib membuat
traffic penumpang kereta menjadi semakin kacau.
Belum lagi
saat dirinya harus melewati eskalator di jembatan penyeberangan
stasiun. Dalam ceritanya, Muri juga menyatakan kekesalannya kepada
orang-orang “normal” yang tidak mau berjalan dengan tertib di
eskalator, yang mana semestinya sisi kiri eskalator digunakan untuk
pengguna yang ingin tetap berdiri dan sisi kanan untuk pengguna yang
ingin berjalan. Dampaknya, kekacauan traffic penumpang di stasiun
ini membuat Muri terlambat masuk kelas. Padahal pagi itu Muri harus menghadiri perkuliahan di kelas reguler,
bergabung dengan mahasiswa reguler di kampus utama di semester ketiganya.
“Saya
ngeliatnya mereka gak tertib banget. Kenapa harus desak-desakan,
padahal kalau orang-orang yang 'normal' itu tertib kondisinya jadi
tidak akan sekacau tadi. Yaa, saya yang ABK aja ngeliatinnya malu, Bu.”
***
Tersentil.
Itu yang saya rasakan saat mendengar cerita Muri siang tadi.
Betapa
tenyata orang-orang “normal” terkadang dapat terlihat tidak cukup mampu
untuk tertib dan mengkondusifkan kondisi. Dan bagi mereka, semua itu
sama sekali tidak normal dan tidak seharusnya terjadi.
Mungkin
ada benarnya yang disampaikan Muri, jika saja orang-orang “normal”
itu mau sedikit tertib dan sedikit mematuhi peraturan –salah
satunya dengan menggunakan eskalator sesuai prosedurnya,
sebanyak apapun penumpang kereta, niscaya kekacauan traffic penumpang
di stasiun bisa lebih mudah dihindari. Bahkan besar kemungkinan
ketika orang-orang “normal” ini bersikap “normal”, tertib,
dan mematuhi peraturan yang sederhana, mungkin hal besar bisa ikut
diperbaiki.
Ini hanya
sedikit refleksi yang biasa saya terima dari murid-murid saya. Yang
menurut saya, nilai refleksi yang mereka berikan kepada saya melalui
kejujuran dan ketulusan mereka, jauh lebih berharga daripada apa yang
sudah saya lakukan kepada mereka.
Memang, rigiditas atau kekakuan rutinitas dan pikiran, yang salah satunya adalah strict dan patuh terhadap peraturan adalah salah satu ciri keautistikan. Tetapi jika kita, para orang-orang “normal”, mau menengok sedikit kepada diri kita masing-masing, memang terkadang kita sediri yang sering menyusahkan diri dengan membentrokkan diri pada kenormalan itu sendiri. Sebagai contohnya adalah pengalaman yang didapatkan Muri pagi tadi, ketika dirinya malu melihat orang-orang “normal” yang tidak tertib.
Meskipun begitu, ada banyak juga individu dengan autisme yang tidak mampu memahami dan mengikuti peraturan, sehingga membutuhkan tindakan khusus seperti terapi perilaku untuk bisa memahami aturan sederhana. So, jika orang-orang "normal" merasa nyaman untuk tidak tertib dan menaati peraturan, mungkinkah orang-orang "normal" tersebut memerlukan tindakan khusus berupa terapi perilaku? :D
***
“Terus
bagaimana kira-kira solusinya, Muri?” tanya salah satu staff yang
sejak tadi menyimak cerita yang disampaikan Muri.
“Kayaknya
saya akan naik kereta yang jadwalnya lebih pagi untuk menghindari traffic
penumpang, Bu. Atau mungkin bisa lewat tangga manual yang lebih lebar daripada
eskalator. Yaaa, karena masih lebih wajar melihat orang-orang berdesakan di
tangga manual daripada di eskalator,” Muri menjawab dengan gayanya yang kritis.
@fatinahmunir
| Jakarta, 28 September 2017