- Back to Home »
- Sepotong Inspirasi »
- Hari Raya Cinta
Posted by : Lisfatul Fatinah
04 September 2017
Bismillahirrahmanirrahim
“...Pada
hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku
cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai
agamamu,...”
(Allah
swt. dalam QS. Al-Maidah: 3)
Tiga
hari lalu, tepat 10 Dzulhijjah 1438 H, menjadi salah satu hari raya
bagi setiap muslim di dunia, termasuk saya. Berbeda dengan hari raya
Idul Fitri yang penuh dengan euforia dengan berbagai makanan ringan,
kue, pakaian, dan pernak pernik serba baru di rumah, hari raya Idul
Adha cenderung disambut dengan cara yang lebih sederhana. Meskipun
demikian, di kampung orang tua saya, Madura, Idul Adha biasanya
disambut lebih meriah daripada Idul Fitri. Ini juga ternyata berlaku
di negara-negara Timur Tengah, lebih khususnya Tanah Haram –I got
this information several years ago from my friend who lives there.
Di Timur
Tengah, suasana hari raya Idul Fitri akan terasa hingga ziarah antar
satu keluarga ke keluarga yang lainnya usai. Setelah itu, biasanya
selepas zuhur, hari raya Idul Fitri berjalan seperti hari-hari biasa.
Tetapi berbeda pada hari raya Idul Adha, takbir terus berkumandang sejak
malam hari raya hingga hari tasyrik, tiga hari setelah hari raya.
Setiap orang berbondong-bondong di jalanan, di lapangan, dan di
masjid-masjid. Belum lagi di Mekkah dan Madinah yang semakin
diramaikan oleh muslim dari berbagai negara yang tengah menunaikan
haji.
Kemeriahan
hari raya Idul Adha ini pastinya berhubungan dengan sejarah yang ada
di baliknya. Jika menilik lagi kepada kisah para anbiya, mulai dari
pembangunan ka'bah, masa kenabian Ibrahim as., sejarah perjuangan
Rasulullah saw. membuka kembali Mekkah (untuk kebebasan muslimin
berhaji sesuai tuntunan Nabi Ibrahim as.), hingga pada sejarah haji
pertama dan terakhir Rasulullah, setelah haji dihukumkan sebagai rukun
Islam. Kita pasti akan menemukan di mana Idul Adha sejatinya telah
termaktub dalam alquran sebagai hari besar yang menjadi titik
kesempurnaan pada Islam. Hal ini disebut pula dalam berbagai
literatur yang ditulis para salafus shaleh.
Karena hal
di ataslah setiap kali mendekati hari raya Idul Adha, ada dua hal
yang tertanam dalam benak saya; kemuliaan cinta keluarga Nabi Ibrahim
as. pada Allah swt. dan jerih payah Rasulullah saw. memperjuangkan
Mekkah agar kembali dibuka untuk umat Islam dari segala penjuru
dunia. Kemudian, saya biasanya akan membuka kembali buku-buku yang
berkisah tentang Nabi Ibrahim as. dan juga Rasulullah saw., hingga
setiap lembar kisah yang saya baca seolah membawa diri ini
berwisata melihat khazanah dan perjuangan Islam terdahulu. Sebagai
dampaknya, setidaknya dapat saya rasakan Idul Adha adalah keharuan
yang meluap-luap dalam dada saya. Sedikit demi sedikit saya merasakan
Idul Adha sebagai hari besar perayaan cinta kepada Allah swt.,
sebagai satu-satunya Pencipta dan tujuan kehidupan manusia.
Pada
hari-hari menjelang dan sesudah Idul Adha ini, yang saya rasakan
tidak kurang dari sebuah melankoli dan berbagai rasa yang menjejal di
dada. Sedih yang saya rasa, karena kecintaan saya pada Allah belumlah
sebesar yang dimiliki dua lelaki mulia yang selalu saya kagumi.
Bangga yang saya rasa, adalah ketika kesyukuran saya hanturkan sebab
Allah swt. takdirkan saya mengimani kedua lelaki mulia ini. Semoga
hidayah-Nya terlimpahkan kepada kita. Rindu yang saya rasa yakni
ketika hati kecil saya sungguh ingin ikut hadir dalam kehidupan kedua
lelaki mulia ini, menemani perjuangan beliau atau setidaknya berharap
kerinduan ini bisa tercurah pada keduanya di surga kelak. Semua rasa
itu menjadi satu dalam beberapa hari ini bahkan hingga saya membuat
tulisan ini, hati saya masih tetap bergemuruh.
***
Seperti
apa gemuruh rasa pada Idul Adha ini ada? Adalah apabila tiap lembar
sirah yang saya baca membawa saya berlari pada ribuan tahun lalu,
mengingatkan saya pada titik awal Nabi Ibrahim memperjuangkan Kakbah
hingga dapat ditawafi dan menjadi arah temu sujud setiap muslim
kepada Allah swt.
Saat itu
adalah masa di mana Nabi Ibrahim as. mendakwahkan ketauhidan kepada
kaumnya sendirian, benar-benar menjadi satu-satunya orang yang
memperjuangkan agama Allah saw. Ketika itu, Nabi Ibrahim as.
berpura-pura sakit demi menghindari upacara kemusyrikan kaumnya. Lalu
beliau menghancurkan berhala yang ditegakkan di sekitar Kakbah. Dan beliau mengatakan kebohongan pada kaumnya, bahwa berhala yang paling besarlah
yang telah menghancurkan berhala yang lain. Hingga kemudian
perjuangan awal Nabi Ibrahim as. ini berujung pada perapian yang
membakar dirinya, meskipun pada akhirnya kobaran api pun mendingin
ketika menyentuh kulit beliau.
Di situlah
gemuruh dalam dada yang saya rasakan mewakili kebanggaan
berlipat-lipat kepada Nabi Ibrahim as. bersama rasa terima kasih yang
tidak ternilai.
Sekumpulan
rasa itu kembali berwujud keharuan sekaligus rasa malu saya pada diri
sendiri ketika jemari saya menelusuri lembaran-lembaran yang berisi
bagian lain dari kehidupan Nabi Ibrahim as. Adalah ketika Hajar telah
melahirkan Nabi Ismail as. dan kecemburuan membuat Sarah meminta
kepada Nabi Ibrahim as. untuk membawa pergi Hajar. Maka saat itu,
dengan petunjuk Allah swt., Nabi Ibrahim as. membawa Hajar ke sebuah
lembah kering tak berpohon tak berair. Di sanalah Nabi Ibrahim as.
juga menerima titah Allah swt. untuk meninggalkan Hajar dan Nabi
Ismail as. yang masih berusia beberapa hari dalam keadaan tanpa
perbekalan.
Ternyata,
ketakwaan Hajar melebihi kesedihannya ditinggalkan sang suami, Nabi
Ibrahim as. Maka ketika Nabi Ibrahim as. tidak memberikan penjelasan
apapun akan kepergiannya, Hajar yakin itu tidak lain adalah perintah
Allah swt. dan dirinya meminta Nabi Ibrahim as. pergi dengan segenap
kepasrahan.
Di
sinilah, ketika Hajar mencari seteguk air untuk Nabi Ismail as. yang
masih bayi, beliau berlari antara bukit Safa dan Marwah berkali-kali.
Kendati kondisi jelas menunjukkan bahwa tidak akan ada sumber air di
sana, tetapi Hajar terus saja berlari dengan segenap ketakwaan dan
kepasrahan bahwa Allah swt. pasti akan menolongnya. Ketika itulah
dirinya mendapati air yang berlimpah dari kaki Nabi Ismail as. yang
masih bayi menendang-nendangkan ke tanah. Dan hingga kini air itu
menjadi menjadi sumber air yang tidak pernah ada habisnya meskipun
muslim dari belahan dunia telah meminumnya; zamzam namanya yang
berarti berlimpah.
Tatkala
Ismail as. telah tumbuh dewasa, Nabi Ibrahim as. mendapatkan mimpi
yang berulang kali hadir dalam tidurnya. Dengan segenap keyakinannya,
Nabi Ibrahim as. percaya bahwa mimpinya adalah petunjuk dari Allah
swt. Tetapi sayangnya, dalam mimpi tersebut Nabi Ibrahim as.
diharuskan menyembelih putra semata wayangnya dari Hajar.
Namun
ketakwaan Ismail as. mengalahkan rasa takutnya untuk disembelih.
Diserahkannya dirinya kepada sang ayah demi ketaatannya kepada
perintah Allah swt. Maka ketika Nabi Ismail telah berbaring dengan
wajah ditutupi kain putih (beberapa sumber menyebutkan wajah Nabi
Ismail as. ditutupi daun lebar), tepat ketika sebilah pisah besar
siap melukai lehernya itulah Allah swt. menggantikan dirinya dengan
seekor kambing dan dirinya selamat dari penyembelihan.
Pada
ketakwaan keluarga inilah semestinya rasa malu itu muncul, terutama
pada diri saya. Ketika sebuah keluarga, suami, istri, dan anak
mengedepankan perintah Allah swt. dan mengesampingkan segala
kemasukakalan dan perasaan, di sanalah buah dari ketakwaan yang tak
bertepi ini tak lain adalah kemulian dari Allah swt. dengan
menjadikan peristiwa yang terjadi pada keluarga Nabi Ibrahim sebagai
rangkaian ibadah haji dan hari raya Idul Adha. Bahkan lebih jauh
lagi, yang semestinya membuat iri adalah Pengakuan Allah swt. yang
menjadikan keluarga ini sebagai keluarga yang disayangi-Nya, keluarga
khalilullah.
Di sisi
lain, setelah tugas kenabian Ibrahim as. selesai dan berganti kepada
nabi terakhir, di sanalah Rasulullah saw. mengambil perannya untuk
kembali memurnikan rukun haji berdasarkan tuntunan Nabi Ibrahim as.
Maka pada tahun 10 Hijriah, saat itulah pertama kalinya Rasulullah
saw. berhaji setelah hijrah –meskipun sebelum berhijrah beliau
sudah beberapa kali menunaikan haji. Saat Rasulullah saw. menunaikan
haji di tahun itulah berarti kewajiban haji kepada setiap muslim yang
mampu telah genap empat tahun sejak perintah tersebut diturunkan pada
tahun 6 Hijriah.
Dan pada
tahun itu, 10 Hijriah, adalah tahun di mana lebih dari 100.000 muslim
dari berbagai penjuru negeri berbondong-bondong menunaikan haji demi
satu kesempatan berhaji bersama Rasulullah saw. Tetapi sayangnya, di
haji pertama Rasulullah saw. setelah hijrah tersebut sekaligus
merupakan haji terakhir Rasulullah atau Haji Wada' sebelum akhirnya
Rasulullah saw. berpulang di tahun hijriah berikutnya.
Sungguh
kepergian Rasulullah saw. terlah dibaca oleh Abu Bakr as-Shidiq
ketika Rasulullah saw. menyampaikan wahyu yang baru diterimanya
selepas wukuf di Arafah. Sesaat setelah mendengar wahyu yang
Rasulullah saw. sampaikan, Abu Bakr as-Shidiq menangis tersedu hingga
Umar ibn Khattab menegurnya.
“.....Pada
hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku
cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai
agamamu, …..” kata Rasulullah saw. kepada seluruh jemaah haji di
Arafah.
“Bukankah
itu kabar gembira atas kesempurnaan keislaman kita?” tanya Umar ibn
Khattab kepada Abu Bakr as-Shidiq.
“Bukankah
pada setiap hal yang sempurna pasti akan ada yang berkurang?” dalam
sedunya Abu Bakr as-Shidiq menjawab dengan isyarat bahwa firasatnya
menyatakan bahwa tak lama lagi Rasulullah saw. akan berpulang.
Pada ahli
hadits menyatakan bahwa wahyu yang Rasulullah saw. sampaikan pada 9
Dzulhijjah 10 H lalu adalah benar sebuah isyarat kepulangan
Rasulullah saw. Akan tetapi di balik itu semua, para ahli hadist dan
ulama menyepakati bahwa salah satu makna yang ada di balik wahyu ini
adalah Idul Adha sebagai hari besar umat Islam sekaligus hari Jumat
sebagai hari raya umat Islam –sebab wahyu ini diturunkan pada hari
Jumat.
Jauh
dibalik haji pertama dan terakhir Rasulullah saw. ada banyak
perjuangan Rasulullah saw. dan para sahabat untuk mendapatkan kembali
Mekkah hingga setiap muslim bebas memasuki Mekkah dan berhaji di
dalamnya. Kemudian Allah swt. melalui Rasulullah saw. mengharamkan
Tanah Haram dimasuki kaum musyrikin.
***
Melalui serangkaian kisah dan sejarah
inilah saya pribadi belajar bagaimana menerjemahkan Idul Adha dengan
cinta. Bahwa ada lapis-lapis cinta berbuah takwa dari keluarga Nabi
Ibrahim as. khalilullah yang menjadikan peristiwa-peristiwa dalam
keluarga beliau sebagai rangkaian yang harus dilakukan dalam ibadah
haji dan menjadi hari raya umat muslim. Di balik sejarah Idul Adha
inilah, Nabi Ibrahim as. menunjukkan sebenar-benarnya cinta yang
sami'na wa atha'na, kami dengar dan kami taat. Yang menjadi bukti
bahwa ketika kepatuhan berakar cinta ini ditanamkan, maka kemuliaan
adalah satu-satunya balasan yang layak dari Allah swt.
Melalui serangkaian kisah dan sejarah dakwah
Rasulullah saw. saya belajar bagaimana kecintaan dan ketaatan
sesungguhnya pasti menyisahkan rindu pada temu. Ketika Rasulullah
saw. murung di setiap shalatnya yang menghadap Masjidil Aqsha dan
senyum di wajah mulianya terkembang setelah Allah swt. mengabarkan
perpindahan kiblat menjadi ke arah Kakbah, Mekkah al-Mukarramah, kota
kelahiran beliau dan awal perjuangan Islam dimulai.
Pada saat itu bagi Rasulullah saw. dan para
sahabat yang bertahun-tahun dilarang memasuki Mekkah, menunaikan
umrah ataupun haji ke Baitullah sebagai pelampiasan rindu yang
teramat dalam pada Allah swt. Hal inilah yang sejatinya menjadi
pengantar setiap pemilik hati yang menginjakkan kakinya di Masjidil
Haram, hati dengan kerinduan yang mendalam demi beribadah dengan
tuntunan Nabi Ibrahim as. dan Rasulullah saw. dan berharap bisa
mendapat rahmat-Nya agar kelak bisa dipertemukan dengan keduanya di
surga.
Di balik sejarah peradaban Islam sejak masa Nabi
Ibrahim as. hingga Nabi Muhammad saw. inilah Idul Adha telah
benar-benar disiapkan Allah swt. sebagai hari besar untuk merayakan
cinta. Yakni sebuah kecintaan kepada-Nya yang dititipkan hikmahnya
pada kisah-kisah dua lelaki mulia yang namanya selalu disebut dalam
shalat kita, muslim.
Semoga kita menjadi termasuk muslim yang
menghargai sejarah Islam sehingga kita mampu merasakan keimanan yang
dimiliki para nabi, rasul, dan ulama terdahulu. Sehingga tidak ada
hal lain yang dapat kita rasakan dari kisah-kisah mereka kecuali
setiap hari adalah peribadahan atas nama cinta kepada-Nya, manisnya
iman, kenikmatan berislam, dan semangat mendakwahkan Islam di
berbagai lini kehidupan; dalam pendidikan, kesehatan, dan bisnis, dan
pemerintahan.
“Orang yang beruntung adalah orang yang
mengambil pelajaran dari peristiwa yang dialami orang lain.”
Yakni tentang sebuah ketakwaan tanpa tapi yang
telah diteladani Nabi Ibrahiim as., Hajar, dan Nabi Ismail as. yang
senantiasa mengedepankan perintah Allah swt., yang ketakutan dan
kecemasan ketiganya mampu mengalahkan kepatuhannya kepada Allah swt.
Yakni tentang sebuah perjuangan yang Rasulullah saw. dan para sahabat
lewati melalui Fathul Mekkah, perjanjian Hudaibuyah, hingga Haji
Perpisahan Rasulullah saw. bersama para sahabat dan ratusan ribu
muslim menjadi pertanda keberhasilan dakwah beliau selama puluhan
tahun. Hingga hari-hari dalam merayakan Idul Adha adalah hari-hari
merayakan cinta kepada-Nya.
Betapa ini adalah sejarah yang semestinya menjadi
pengikat antar hati muslim agar tetap mengingat perjuangan para Nabi
dan Rasulullah saw. demi terwujudnya Islam yang sempurna seperti
sekarang. Di sisi lain, seperti yang dinasihati para ulama terdahulu,
mendengarkan atau membaca kisah orang-orang saleh, termasuk pada
nabi, merupakan salah satu cara untuk menguatkan keimanan melalui
hikmah yang ada di dalamnya.
@fatinahmunir | Jakarta, 4 September 2017