Posted by : Fatinah Munir 17 August 2017




Tuan Garuda bertengger lesu di tempatnya, di posisi tertinggi dalam setiap dinding putih. Atau di dada kiri setiap pribumi. Tua. Itulah nasib Tuan Garuda saat ini. Sepertinya ia tak lagi pantas dipanggil tuan karena cahaya bulu-bulunya yang memudar. Atau mungkinkah karena huruf “n” yang diasungnya kini menggelinding dan hancur terinjak tuan-tuan lain, yang juga menginjak-injak nilai-nilai negeri ini? Entahlah, padahal usia Tuan Garuda tak setua rupanya. Jika dalam lembar sejarah Tuan Garuda dikatakan terlahir 11 Februari 1950 silam, itu berarti usianya belum menginjak enampuluh.

Akhir-akhir ini Tuan Garuda sering sekali mendesah.

“Ah…,” begitu desahnya berulang setiap tuan-tuan tak berhati melakon lagi di tanah tempatnya dijunjung tinggi. Kentara sekali perbedaan rupa Tuan Garuda yang dulu dan sekarang. Tuan Garuda seperti seorang kakek yang banyak pikiran dengan wajah layu dan bulu-bulu yang mulai kelabu.

Dulu, saat tanahnya masih subur karena pupuk jujur, Tuan Garuda selalu tampak gagah. Kini ketika Tuan Garuda berkaca pada jendela gelap yang ada di depannya, ia hampir lupa bahwa dulu ia sempat bahagia. “Siapakah aku sekarang ini?” tanyanya pada diri sendiri. Tuan Garuda semakin menampakkan murungnya yang bergelantung di paruhnya yang kini tumpul.


Masih lekat dalam benak Tuan Garuda keagungan masa mudanya saat namanya diteriakkan bersama seruan pribumi yang menggetarkan langit penjajah, mengusir orang-orang asing yang seenaknya mengambil hasil. Saat itu kepalanya tegak memancarkan pesona pada hijaunya semesta, pada panji-panji pejuang bersurban. Lehernya kokoh menopang bulu-bulu emas yang berkilauan. Dadanya gagah mengusung bangga perisai tanah air tercinta. Cakarnya menggenggam kuat pita suci bersemboyankan kesatuan negeri.

Tapi kini, kepalanya tak lagi tegak menghadap kanan. Tuan Garuda seakan dehidrasi, lemas tanpa daya. Tuan Garuda menundukkan kepalanya seakan menopang malu pada dunia.  Tuan Garuda malu pada para pendahulu yang memperjuangkan bangsa yang mungkin ikut menyaksikkan penerus-penerusnya menjajakan harga diri negeri dengan harga yang tak tinggi sama sekali. Tuan Garuda malu melihat pemuda-pemuda yang sibuk beradu pikir tanpa saling bekerjasama membangun pikir. Tuan Garuda malu melihat pemuda-pemudi yang sibuk saling menyalahkan atas penguasa asing tanpa bermawas diri dan tak pernah mempelajari sejarah negerinya sendiri.

Duka dan malunya Tuan Garuda tidaklah sendiri. Di sudut lain dalam ruangan ruangan yang sama, ada sosok lain yang merasakan hal serupa. Sosok yang menemaninya sejak ia masih muda hingga keduanya sama-sama renta.


***
Semilir angin senja menari dengan centilnya di antara pepohonan tanah air yang tak lagi rindang. Genit. Tiupannya gemulai. Penuh kehalusan. Dengan kelembutannya yang disengaja, angin senja membuyarkan lamunan Tuan Garuda. Angin senja terkikik, tertawa ala remaja, menyisakan kesejukan pada Tuan Garuda. Lalu pergi setelah membelai lembut Nyonya Sang Saka yang tertidur nyenyak di ruang putih dan lembab.

“Uhuk, uhuk!” Nyonya Sang Saka terbatuk dan menggigil sesaat.

Nyonya Sang Saka menggeliat di tiang kayunya. Ruangan yang penuh dengan kesunyian itu tak mampu membuatnya berkibar dengan ketegaran yang mengakar pada tiang tempatnya berpijar.

Tujuhpuluh dua tahun silam, dari dua tangan Ibunda Fatmawati, Nyonya Sang Saka lahir dan menjadi nyonya tanah air. Sama seperti Tuan Garuda, keduanya lahir di tengah gemuruh kebebasan dari penjajahan. Keduanya dijunjung bersama kebahagiaan pribumi. Tuan Garuda dan Nyonya  Sang Saka memang ditakdirkan berjumpa dalam riuh ricuh kemenangan, kebebasam dan kekhitmatan syukur pada Tuhan.

Merah dan putih adalah kecantikan sempurna yang dimiliki Nyonya Sang Saka. Kain sutra yang menjadi tubuhnya, membuat Nyonya Sang Saka semakin terlihat megah namun tetap bersahaja. Dalam merah dan putih, tubuh dan jiwa Nyonya Sang Saka melebur dalam keberanian yang suci. Sempurna, itulah sosok Nyonya Sang Saka di tanah Bhineka.

Mungkin hanya Nyonya Sang Saka satu-satunya nyonya yang mampu melawan teriknya matahari di bumi khatulistiwa dengan penuh keanggunan. Kala itulah Nyonya Sang Saka berkibar di tengah tanah merdeka, bersinar di tengah hari yang panas namun menyejukkan.

Semasa mudanya, sepanjang hari Nyonya Sang Saka hanya menari di udara. Nyonya Sang Saka tak mengenal siang dan malam. Nyonya Sang Saka hanya ingin menarikan kibaran di sepanjang hidupnya. “Ini untuk tanah air yang melahirkanku,” serunya sesekali ketika sedang menembus batas kenikmatan tariannya.

Tapi itu semua adalah sosok Nyonya Sang Saka yang dulu. Jauh sebelum mentari di bumi khatulistiwa mengganas. Jauh sebelum keberanian suci yang dimilikinya direnggut tuan-tuan bertangan hitam.

Kenyataannya, nasib Nyonya Sang Saka tidak lebih baik dari Tuan Garuda. Tuan Garuda dan Nyonya Sang Saka sama-sama tumbuh dari keringat para pejuang negeri lalu kini tenggelam dalam airmata pribumi.

Saat masih muda dan merah putihnya masih segar di mata, Nyonya Sang Saka belum mengerti tentang kehidupan yang sebenarnya. Ia kira, ia dapat menari selamanya. Berdansa dengan angin yang telah berkelana dari Aceh hingga Papua, diiringi dedaunan yang cemburu padanya. Nyonya Sang Saka tak pernah mengira, bahwa matahari tak selamanya mau menyaksikan tariannya.

Tubuh Nyonya Sang Saka semakin lusuh. Merah darahnya kini berubah menjadi warna senja. Putih tulangnya kini semakin kusam dan buram. Nyonya Sang Saka semakin renta.

“Sedihkah yang selama ini kau rasakan, Nyonya?” Tuan Garuda membuka suaranya.

“Hanya pernah, Tuan. Tidak untuk selamanya.”

“Tapi, apakah kau tidak merasakan sedih yang mendalam hingga kau merasa bahwa kau akan sedih untuk selamanya?”

“Aku tidak pernah mengharapkannya.”

“Ya, akupun begitu. Tapi tangan Tuhan merangkainya dengan berbeda.”

Nyonya Sang Saka tersenyum tipis di balik balutan tubuhnya. “Tuhan memang menentukan. Tapi kita masih punya satu senjata, Tuan. Mungkin Tuan lupa.”

“Masih adakah yang dapat diharapkan?”

“Pilihan.”

“Ketentuan-Nya bukanlah pilihan, Nyonya.”

“Memang ketentuan-Nya bukan pilihan. Tapi Dia memberikan kita pilihan untuk menindaki ketentuan-Nya, Tuan. Aku dan Tuan masih memiliki pilihan untuk dapat menyerah pada ketentuan-Nya atau menerjangnya.”

“Cukuplah berfilosofi Nyonya Tua! Ini tentang negeri yang melahirkan kita, yang pernah bahagia dan kita pun pernah merasakannya.”

“Aku mengerti  maksudmu, Tuan yang tetap gagah. Lalu, apa yang sebenarnya kau rasakan? Kesedihan mendalam yang membuatmu merasa akan berada dalam ruang kelam selamanya?”

“Ah…, tidakkah kau merasa, Nyonya, bahwa tanah air telah kehilangan sinarnya meski kini banyak terlihat kemegahan di mana-mana? Aku seperti hidup di tengah arus kedustaan, Nyonya. Dusta yang sangat dusta. Tanah air dipercantik hingga terlihat bergemerlap dari luar sana. Tapi di dalamnya, banyak coreng dan penindasan. Tuan-tuan pemangku amanah seakan tak pernah punya agama. Mereka seperti tak punya Tuhan yang akan mengadili dirinya. Tidakkah kau merasakannya?” Suara Tuan Garuda bergetar, geram, cakarnya tiba-tiba menegang seperti ingin mencengkeram.

“Tuan, ingatkah kau bahwa aku adalah pasanganmu? Kita terlahir di tangan yang sama. Tangan pejuang negeri padi yang kekar akan pengorbanan. Mungkinkah Tuan melupakannya sehingga Tuan menanyakannya kepadaku? Tak berbeda denganmu. Akupun sakit, Tuan. Sakitku sakit sepi. Sakit yang tak dapat kubagi.”

“Aku tempat berbagi padamu, Nyonya.” Tuan Garuda menyela.

“Ya…, tapi tak akan mudah Tuan mengerti sakitnya Nyonya Muda yang pernah jatuh cinta pada ketulusan perjuangan yang pernah dijunjung tinggi di negeri ini. Tak akan mudah Tuan mengerti bahwa nyanyian tanah air telah menarik hati Nyonya Merah Putih ini. Tuan, aku telah mencintai tanah air ini jauh sebelum tanah air mempertemukan kita. Jauh ketika tuan-tuan Majapahit menguasai negeri ini sebelum para asing datang untuk melukai. Semakin aku memendam cinta ini, semakin menjadi gemuruh yang terjadi dalam dadaku. Aku mencintai tanah air  yang melahirkanku hingga saat ini. Meski ia telah melupakan arti kehadiranku yang sesungguhnya kini.” Nyonya Sang Saka merapatkan tubuhnya pada tiang coklat termpatnya terikat.

Nyonya Sang Saka memang telah jatuh cinta pada tanah air yang melahirkannya. Bukan atas nama cinta antara ibunda dan anak yang ia punya, melainkan cinta sebagaimana dua makhluk disatukan untuk melahirkan keindahan lainnya di dunia.

Nyonya Sang Saka juga mencintai Tuan Garuda, tapi tak sebesar cintanya pada tanah air Bhineka. Hingga suatu masa, cinta Nyonya Sang Saka menyakiti dirinya. Tanah air melupakan Nyonya Sang Saka —juga Tuan Garuda. Tanah air lupa arti keanggunan Nyonya Sang Saka. Tanah air tak lagi melihat tarian Nyonya Sang Saka dengan khitmat. Cinta Nyonya Sang Saka pada tanah air mendarahkan darah yang melekat pada tubuhnya, merenggut paksa kesucian yang menjadi bagian dari keanggunannya.

“Tanah air melupakan keberartianku. Tanah air melupakan semboyan dalam cengkramanmu. Aku sakit, sesakit mata yang tercungkil paksa, Tuan.”

Tuan Garuda merangkul Nyonya Sang Saka.

“Kita memang tak dapat berbuat apa-apa, Tuan. Bahkan pada pilihan kita sekalipun. Haruskah kuungkapkan ini padamu yang bernasib sama denganku? Bukan karena aku tak peduli masa lalu kita yang sempat cerah. Aku masih mengingatnya. Bahkan di setiap pejamanku. Rekaman masa lalu itu terulang nyata dalam benakku, Tuan. Aku merindukan tarianku yang sesungguhnya kutujukan pada tanah air tercinta. Aku merindukan nyanyi mereka yang penuh dengan makna, serta kebanggaan pribumi kepada kita, kepada tanah air yang melahirkan kita.”


“Ya, Nyonya. Pribumi lupa pada dua wujud kebesaran tanah airnya. Tanah air pun lupa pada pita putih yang pernah mereka buat aku mencengkeramnya hingga kini,” Tuan Garuda menunduk, memandang semboyan yang dicengkeramnya sejak puluhan tahun silam
“Sesungguhnya aku takut, Tuan”

Tuan Garuda merapatkan rangkulannya.

“Aku takut saat menyaksikan pribumi terpecah belah. Aku ngilu saat melihat tuan-tuan pemimpin tanah air mulai memutarbalikkan fitrah. Perih, Tuan, saat dalam tarianku, aku melihat banyak pribumi yang dijajah oleh saudara sendiri.” Nyonya Sang Saka menitikkan airmatanya, satu-satu.

“Menangislah, Nyonya. Mungkin airmatamu bisa menyuburkan kejujuran dalam tanah air ini. Atau jika aku masih mampu, akan kukepakkan sayapku di angkasa nusantara, agar kekejian tanah air dapat terhempas ke dimensi neraka.”

“Aku tak ingin ini terjadi selamanya, Tuan. Tak sanggup aku membayangkan kelangsungan nasib kita. Aku tak pernah menginginkan kesedihan. Terlebih di atas tanah air ini.” kata Nyonya Sang Saka sedih.

“Aku pun begitu, Nyonya. Berdoalah! Semoga tanah air sembuh dari sakit yang tak dirasakannya. Semoga tuan-tuan yang mengaku pemimpin tanah air ini menyadari bahwa mereka memiliki tanggungan di hadapan Tuhannya. Semoga pribumi kembali mengalirkan semboyan yang kucengkram dalam deras nadi mereka. Berdoalah, Nyonya! Semoga kita bisa kembali dihayati. Biar mereka, pribumi yang masih berhati, yang menjalankan tugasnya sebagai makhluk Tuhan yang sesungguhnya, yang memimpin muka bumi ini dengan penuh cinta dan tanggung jawab kepada tanah air yang melahirkan kita, kepada Tuhan yang Menciptakan kita.”

Tuan Garuda dan Nyonya Sang Saka berpelukan, saling menguatkan.

Dengan satu sayapnya, Tuan Garuda memperbaiki posisi perisai yang hampir lepas dari dadanya. Tuan Garuda mengeratkan pita di cakarnya. Lalu ia mengepakkan sayapnya, menghadap kanan, melihat matahari dari balik jendela dengan mata tajam.

Nyonya Sang Saka mengurung dukanya. Entah kemana ia membuang kunci kesedihan itu. Kini ia menari dalam ruang putih yang tak berpenghuni tanpa disaksikan matahari.

Tuan Garuda dan Nyonya Sang Saka memang mempunyai kisah yang sama. Hingga akhir kisahnya, mereka sudah ditakdirkan bersama. Kini mereka menanti kisah mereka yang selanjutnya. Tuan Garuda dan Nyonya Sang Saka menunggu tuan-tuan berhati yang mau mengembalikan fitrah tanah air yang dicintainya.

“Semoga tanah air ini adil, makmur, dan sentosa. Semoga kibaranku di seluruh pantai tanah air tetap dipuja dengan rasa. Semoga!”

Nyonya Sang Saka menari bersama airmatanya yang menetes, satu-satu.


***

@fatinahmunir
Kamis, 17 Agustus 2017
Semoga Allah SWT limpahkan Rahmat-Nya kepada Indonesia

Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -