Posted by : Fatinah Munir 08 August 2017



Bismillahirrahmanirrahim

Tulisan ini merupakan catatan dari sebuah kajian yang saya hadiri beberapa hari lalu di salah satu masjid yang ada di Jakarta Pusat dengan judul kajian yang sama dengan judul tulisan ini. Kajian ini disampaikan oleh Ustaz Bendri Jaisyurrahman, salah satu ustaz favourite saya dalam hal parenting islam dan pernikahan. Sebelum saya menuliskan apa yang saya dapatkan dari kajian ini, saya mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan ataupun isi. Saya mohon koreksi kepada pembaca melalui kolom komentar yang ada di bawah tulisan ini :)

Berbicara tentang berbakti kepada orang tua, tentunya semua ini adalah harapan besar orang tua kepada anak-anaknya dan menjadi cita-cita bagi setiap anak kepada kedua orang tuanya. Akan tetapi banyak di antara kita dan juga saya tentunya yang sebatas memahami bahwa berbakti kepada orang tua adalah salah satu kewajiban sebagai seorang anak. Ternyata itu salah sekali bukan! Berbakti kepada orang tua bukanlah kewajiban sebagai seorang anak, melainkan itu adalah kewajiban sebagai seorang hamba Allah SWT.

Berbakti kepada Kedua Orang Tua dan Ketauhidan

Berbakti kepada kedua orang tua adalah bagian dari ilmu tauhid, bahkan dikatakan bahwa baiknya agama seseorang, ketauhidan seseorang, tergantung kepada bagaimana sikapnya kepada kedua orang tua. Dalam QS. Luqman, yang di dalamnya terdapat dasar-dasar parenting Islam disebutkan bagaimana berbakti kepada kedua orang tua menjadi hal yang harus dilakukan setelah kita memahami ketauhidan.

Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman 12-14)

Tiga ayat di atas menggambarkan sebagian dari nilai-nilai parenting islam dalam QS Luqman, yang mana setelah bersyukur kepada Allah SWT dan mengesakan Allah SWT (tidak menyekutukan Allah SWT), setiap anak diharuskan berbakti kepada orang tua. Di sinilah berbakti kepada kedua orang tua dalam tekstual disebutkan berbuat baik dan bersyukur kepada keduanya diposisikan setelah ketauhidan. Oleh sebab itu dikatakan bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah wujud ketauhidan kita kepada Allah SWT.

Hal ini juga sejalan dengan salah satu hadits Rasulullah SAW yang berbunyi kurang lebih, “Ridha Allah SWT tergantung kepada ridha kedua orang tua”. Berdasarkan firman Allah dan sabda Rasulullah ini, apabila ada seorang muslim yang tidak berbakti kepada kedua orang tuanya maka semestinya aqidah agamanya harus dipertanyakan.

Tapi bagaimana jika kedua orang tua kita tidak pernah mengajarkan kebaikan kepada kita dan melakukan hal yang dilarang oleh Allah SWT? Jawabannya adalah tetaplah berbuat baik kepada kedua orang tua.

Banyak kasus anak yang tidak ingin atau enggan berbuat baik kepada kedua orang tua dengan alasan perbuatan buruk yang diterimanya dari orang tua. Hal ini sama saja seperti ungkapan “saya mau membalas dendam saya kepada kedua orang tua”. Kesalahan dalam pemikiran “balas dendam” ini adalah di mana berbuat baik kepada kedua orang tua dianggap sebagai membalas jasa kedua orang tua. Padahal berbuat baik kepada kedua orang tua bukanlah proses membalas jasa-jasa orang tua kepada kita, anak-anaknya, berbuat baik kepada kedua orang tua adalah perihal bagaimana kita mentauhidkan Allah SWT.

Di dalam al-Qur’an, berbuat baik kepada kedua orang tua disebut menggunakan kata “ihsan” bukan “khairan”. Ketika suatu kebaikan disebutkan menggunakan kata ihsan, itu artinya kebaikan tersebut harus dilakukan terus menerus dengan dasar muqorabatullah (selalu merasa dilihat oleh Allah). Oleh sebab itu, berbuat baik kepada orang tua bukan sebatas bagaimana anak berinteraksi dengan keduanya, tetapi ketika anak jauh dari orang tua  dan tetap menjaga kehormatan dan kemuliaan kedua orang tuanya juga merupakan bagian dari berbakti kepada kedua orang tua.

Bagaimana menjaga kehormatan dan kemulian orang tua saat jauh dari keduanya? Hal ini dicontohkan mulai dari hal yang paling sederhana seperti tidak mendumel saat melakukan perintah orang tua. Lebih jauh lagi adalah kita sebagai anak harus tetap  menutupi aib kedua orang tua meskipun hal itu adalah benar.

Perlu kita sadari bahwa kedua orang tua kita bukanlah malaikat yang memiliki kesempurnaan. Keduanya pasti memiliki kekurangan sebagaimana kita juga anaknya. Oleh sebab  itu pasti akan ada orang tua yang memiliki karakter yang tidak diharapkan oleh anak-anaknya dan berbagai karakter orang tua inilah yang menjadi karunia bagi anak, sehingga anak patut mensyukurinya.

Sebagaimana di  awal dikatakan bahwa berbakti kepada kedua orang tua merupakan wujud ketauhidan kita kepada Allah, maka beragam karakter orang tua merupakan ujian tauhid bagi setiap anak  demi mendapatkan pintu surga yang seluas-luasnya selagi masih di dunia. Ketika ujian tauhid ini datang pilihan kita sebagai anak hanya dua; mempertahankan pintu surga itu untuk kita atau melepaskannya untuk selama-lamanya. Apabila seorang anak memilih mempertahankan pintu surganya dengan tetap berbakti kepada kedua orang tuanya, niscaya pahala dalam ujian tauhid ini  akan berlipat-lipat nilainya. Setidaknya dua di antaranya adalah pahala mengikuti perintah Allah SWT untuk birul walidain dan pahala berbuat baik kepada orang-orang terdekat.

Terdapat sebuah kisah pada zaman Nabi Musa as. Saat itu Nabi Musa as. mendapatkan kabar dari Allah bahwa akan ada seorang pemuda yang bertetangga dengannya. Nabi Musa as. penasaran bagaimana pemuda ini bisa bertetangga dengannya nanti surga, sedangkan dirinya tidak pernah mengenal pemuda ini.  Alkisah, Nabi Musa as. mendatangi pemuda ini berdasarkan petunjuk Allah dan bertamu ke rumahnya. Saat menyambut Nabi Musa as., tidak ada yang istimewa dari pemuda ini. Justru pemuda ini sering pamit ke belakang meninggalkan Nabi Musa as. sendirian. Lantas Nabi Musa as. mengintip apa yang dilakukan pemuda tersebut yang ternyata pemuda ini rela meninggalkan Nabi Musa as. bertamu untuk memberi makan dua ekor babi dengan begitu telaten.

Ketika pemuda itu  kembali, Nabi Musa as. menegurnya karena telah tega meninggalkan Nabi Musa as. yang bertamu hanya demi memberi makan dua ekor babi. Saat itu juga pemuda ini menangis dan memohon maaf kepada Nabi Musa as. sambil menceritakan bahwa kedua babi yang dia beri makan adalah kedua orang tuanya yang telah dikutuk oleh Alah SWT karena kedurhakaan keduanya kepada Allah SWT. Saat itulah Nabi Musa as. mengerti mengapa pemuda yang ada di depannya bisa menjadi tetangganya di surga kelak.

Di sinilah kisah ini menunjukkan kepada kita betapa Allah SWT memuliakan siapa saja yang berbuat baik kepada kedua orang tuanya meskipun keduanya telah mendurhakai Allah SWT atau dibenci Allah SWT hingga dikutuk menjadi dua ekor babi. Melalui kisah ini pula kita belajar bagaimana berbakti kepada kedua orang tua  bisa dilakukan kapan saja melalui hal apa saja seperti yang dilakukan pemuda dalam kisah ini yang memberi  makan dua ekor babi dengan kelembutannya. Dari sini pula kita bisa mencontoh, sesalah apapun kedua orang tua tetaplah berlemah lembut kepada keduanya. Meskipun ingin menasihati, sebaiknya tetap menggunakan kata-kata yang lembut dan memulainya dengan panggilan yang baik kepada kedua orang tua.

Kisah lainnya datang dari keluarga taqwa, sebuah keluarga yang sangat saya cintai dan berharap bisa meneladani ketaqwaan keluarga ini. Inilah kisah keluarga Nabi Ibrahim as., keluarga yang senantiasa menunjukkan kecintaannya kepada Allah SWT tanpa tapi.

Nabi Ibrahim as. dalam beberapa kitab kisah nabi dikisahkan adalah sosok bapak yang jarang sekali bertemu dengan anak-anak dan keluarganya karena perjalanan dakwahnya. Saat Siti Hajar hendak melahirkan Ismail, Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim as. membawa Siti Hajar ke lebah tandus yang kini kita kenal sebagai kota Mekkah al-Mukarramah. Saat itulah Nabi Ismail as. dilahirkan di padang tandus tak berkehidupan. Kemudian setelah sekian tahun lamanya, barulah Nabi Ibrahim as. kembali menjumpai Siti Hajar dan Nabi Ismail as. bersama dengan perintah Allah SWT untuk menyembeli Nabi Ismail as. yang baru ditemuinya. 

Saat itu, dengan ketaatan kepada Allah SWT dan bapaknya, Nabi Ismail as. bersedia disembelih dengan jawaban yaa aba tif’al maa tu-maruu, wahai bapakku kerjakanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu. Tetapi setelahnya terselip jawabannya satajiduniii insya Allah minas shaabiriin, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Beberapa ahli tafsir menyatakan bahwa kalimat pertama Nabi Ismail as. mengartikan ketaatannya kepada Allah SWT dan bapanya. Tetapi kalimat kedua yang diucapkannya mengartikan betapa sebenarnya Nabi Ismail as. takut menjalankannya dan dirinya terus berusaha dan berdoa di tengah ketaatan dan rasa takutnya.

Pada bagian kehidupan lainnya antara Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. dikisahkan Nabi Ibrahim as. ingin menjumpai Nabi Ismail as. yang telah menikah. Saat itu Nabi Ibrahim as. hanya berjumpa dengan seorang wanita yang tak lain adalah menantunya yang belum mengenal rupa dirinya. Nabi Ibrahim as. pun bertanya tentang sikap suami wanita tersebut tanpa menyebut bahwa dirinya adalah bapak dari suaminya atau mertua darinya. Wanita itupun menceritakan keluh kesahnya akan sikap Nabi Ismail as., hingga saat Nabi Ibrahim hendak pulang dan tidak berjumpa dengan anaknya, Nabi Ibrahim as. berpesan kepada wanita tersebut, menantunya, “Jika suamimu datang, katakalah bahwa seorang lelaki tua mencarinya dan sampaikan pesanku kepadanya untuk segera mengganti palang pintunya.”

Pesan Nabi Ibrahim as. pun disampaikan kepada Nabi Ismail as. Wanita itu terkejut ketika mengetahui  bahwa lelaki yang diajaknya berbicara tetang keburukan suaminya adalah mertuanya sendiri. Dan yang  dimaksudn  dengan “mengganti palang pintu” dalam pesan yang disampaikannya adalah sebuah perintah untuk menceraikannya.

Hikmah dalam kisah ini adalah Nabi Ismail as. yang jarang bertemu dengan bapaknya mampu membaca pesan tersembunyi yang disampaikan Nabi Ibrahim as. Di sinilah kita sebagai anak juga diharapkan bisa membaca beberapa pesan atau nasihat tersirat yang disampaikan kedua orang tua kita. Selanjutnya adalah ketaatan kepada kedua orang tua yang dilakukan Nabi Ismail as. saat hendak disembeli ataupun saat diperintah untuk menceraikan istrinya betul-betul langsung dilakukan saat itu juga setelah mendengar perintah. Di  sinilah Nabi Ismail as. meneladani kita akan ketaatan kepada kedua orang tua tanpa ditunda seperti halnya ketaatan kita kepada Allah SWT. Terakhir adalah tauladan tentang ikatan antara anak dan orang tua yang begitu kuat meskipun keduanya jarang bertemu. Apakah yang menguatkan ikatan mereka meskipun jarang adanya pertemuan? Adalah ketaatan keduanya kepada Allah SWT yang menjadikan hubungan mereka kuat, tidak hanya sebatas pertemuan fisik melainkan pula pertemuan hati.

Seperti itulah beberapa kisah yang bisa menjadi teladan bagi setiap muslim tentang berbuat baik kepada kedua orang tua. Mulai dari menaati keduanya tanpa tapi selama itu tidak bertentangan dengan ajaran Allah SWT dan Rasulullah SAW hingga menumbuhkan ikatan batin antar anak dan orang tua melalui ketaatan kepada agama.

Pada bagian al-Qur’an yang lain, tepatnya pada QS. al-Isra’ disebutkan pula perintah berbuat baik kepada kedua orang tua setelah perintah mengesakan Allah SWT. Di tambahkan dalam surat tersebut perintah Allah SWT untuk berlemah lembut dalam berbuat berbuat dan berkata kepada kedua orang tua dengan tidak sekali-kali berkata “ah” pada keduanya.

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. an rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS. al-Isra’ 23-24)

Kata “Uff” yang berarti “ah” dalam ayat ini oleh beberapa ahli bahasa diartikan apabila ada debu di atas batu dan ketika kita mengeluarkan suara dekat batu tersebut maka debu yang ada di atasnya berterbangan, maka hal itu sudah disebut “Uff”. Maka sekecil apapun gerutu yang keluar dari mulut kita, hal itu sudah disebut “Uff”.

Jika melakukan “Uff” atau “ah” saja sudah dilarang dalam al-Qu’an, maka membantah dan berselisih pendapat dengan kedua orang tua dengan saling berdebat adalah yang seharusnya dijauhi oleh setiap anak sebagai wujud ketauhidan dan ketaatan kita kepada Allah SWT. Bahkan dalam sebuah hadits di tegaskan (saya lupa bunyi haditsnya), bahwa apabila seseorang membentak orang tua maka ribuan malaikat melaknat dirinya. Na’udzubullahi mindzalik.

Bagaimana bakti kita kepada kedua orang tua setelah menikah? Mungkin itu yang akan menjadi pertanyaan bagi sebagian anak yang sudah tumbuh menjadi dewasa, siap menikah atau bahkan sudah menikah. Dalam hal ini dikisahkan kisah nyata Ustaz Bendri ketika ibu mertuanya, ibu dari istrinya, tinggal di rumah beliau dan sedang sakit. Saat itu istri Ustaz Bendri fokus mengurus ibunya yang sedang sakit sehingga Ustaz Bendri sendiri terkadang tidak terurus. Saat itu, di puncak kecemburuan seorang suami, Ustaz Bendri membentak istrinya sambil berkata,"Titipkan ibumu ke panti jompo!"

Sontak istri Ustaz Bendri menangis dan mencium tangan beliau sambil berkata, "Ada banyak pintu surga yang Allah SWT sediakan untuk kita. Ada pintu untuk orang-orang yang berpuasa, tapi saya jarang berpuasa sunnah. Ada pintu untuk orang-orang yang gemar bertahajjud, tapi saya jarang sekali salat tahajjud karena terlalu lelah mengurus rumah dan juga ibu. Ada juga pintu surga untuk orang-orang yang gemar bersedekah, tapi kamu tahu kalau saya bukanlah ahli sedekah. Lalu pintu surga mana yang saya punya? Saya berharap dengan merawat ibu di masa tuanya, saat beliau sakit seperti ini bisa menjadi salah satu pintu surga yang saya punya. Apakah kamu mau mengambil pintu surga itu dari saya?"

Ustaz Bendri tersentak mendengarkan jawaban istrinya. Beliau pun meminta maaf kepada istrinya yang sedang mencoba berbakti kepada ibunya. "Maafkan saya yang egois. Saya rodhoi kamu merawat ibumu dengan sebaik-baiknya, supaya menjadi pintu surga buatmu kelak. Semoga ridho yang berikan kepadamu ini bisa menjadi sebab saya menemanimu di surga kelak," jawab Ustaz Bendri meridhai istrinya merawat ibunya.

Kisah di atas nyata di alami Ustaz Bendri dan sungguh menyesakkan dada para jamaah yang hadir, termasuk saya. Dari kisah ini tentu kita bisa mengambil hikmahnya bahwa meskipun seteah menikah istri harus taat kepada suami, tetapi suami juga harus tetap mendukung istrinya untuk tetap berbakti kepada kedua orang tuanya tanpa menghilangkan baktinya kepada suami. Demikian pula meskipun suami tetap menjadi milik ibunya meskipun telah berkeluarga, istri semestinya tidak mencemburui bakti suami kepada ibunya. Lebih baik lagi jika seorang istri berterima kasih kepada ibu dari suaminya karena dirinya diperkenankan menikahi anaknya. Demikianlah suami istri harus tetap saling mendukung pasangannya untuk tetap berbakti kepada kedua orang tua dan juga mertua demi terciptanya sebuah hubungan yang senantiasa dalam kebaikan. Dalam istilah saya pribadi, beginilah semestinya pernikahan menjadi sebuah projek kebaikan, yang mana suami istri saling mendukung dan saling menciptakan jalan kebaikan untuk keduanya.

Beranjak ke bagian akhir tausiyah yang diberikan oleh Ustaz Bendri, terdapat banyak lagi amal baik yang bisa kita lakukan sebagai bakti kepada kedua orang tua semasa hidup dan selepas wafatnya selain contoh-contoh di atas. Di antaranya adalah dengan tidak banyak menuntut kepada kedua orang tua, banyak memberi kepada kedua orang tua meskipun keduanya hidup berkecukupan, selalu menyambung doa untuk kebaikan keduanya, selalu berusaha menunaikan hajat-hajat dan amanah-amanahnya, tetap berbuat baik dan menyambung kekerabatan dengan orang-orang terdekat kedua orang tua kita, terakhir jangan lupa untuk  selalu meminta kemulian dan ampunan Allah SWT untuk  kedua orang tua.

Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Hakim, diceritakan bahwa ada seseorang yang diangkat derajatnya  di akhirat meskipun tidak ada yang istimewa dari ibadahnya. Dan ternyata diangkat derajatnya di akhirat dikarenakan doa-doa kebaikan, kemuliaan, dan ampunan anaknya untuk dirinya.

Terakhir, sebuah nasihat indah dari Ustaz Bendri apabila hidup kita begitu sulit berkembang dan mengalami banyak masalah sementara kita  sudah berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka coba periksalah hubungan kita dengan kedua orang tua kita. Karena mungkin ada kesalahan yang terselip dalam interaksi kita dengan keduanya yang menghilangkan keridhaan Allah SWT.

Inilah sedikit catatan yang bisa saya tuliskan dalam blog ini sebagai pengingat untuk saya terutama dan untuk kita semua agar tetap berbakti kepada kedua orang tua kita semasa hidupnya dan setelah wafatnya hingga sisa usia kita  sebagai anak-anaknya.



Semoga kedua orang tua kita senantiasa dilindungi-Nya, senantiasa dilindungi dari fitnah dunia dan akhirat, selalu dilimpahkan keberkahan atas setiap hal yang diberikan-Nya, dan diluaskan rahmat-Nya hingga Dia mudahkan menginjakkan kaki keduanya di surga. Teruntuk orang tua kita yang sudah meninggalkan dunia ini, semoga Allah luaskan kuburnya seluas taman-taman surga, semoga Allah teduhkan kuburnya seperti waktu dhuha dengan semilir angina yang dikirimkan dari surga, semoga Allah muliakan tempatnya di surga terbaik Allah SWT. Aamiin.

Teruntuk kita semua, semoga kita bisa menjadi anak yang memuliakan kedua orang tua di  akhirat kelak, yang dapat memudahkan keduanya untuk menginjakkan kaki di surga hingga kita bisa berkumpul kembali di tempat sebaik-baiknya tempat berkumpul kita, surga tertinggi Allah SWT. Aamiin ya Allah, taqobbal du’a.

Jakarta, 8 Agustus 2017
@fatinahmunir

Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -