- Back to Home »
- Catatan Kajian »
- Berbakti Semasa Hidupnya dan Setelah Wafatnya
Posted by : Fatinah Munir
08 August 2017
Bismillahirrahmanirrahim
Tulisan
ini merupakan catatan dari sebuah kajian yang saya hadiri beberapa hari lalu di
salah satu masjid yang ada di Jakarta Pusat dengan judul kajian yang sama
dengan judul tulisan ini. Kajian ini disampaikan oleh Ustaz Bendri
Jaisyurrahman, salah satu ustaz favourite saya dalam hal parenting islam dan
pernikahan. Sebelum saya menuliskan apa yang saya dapatkan dari kajian ini,
saya mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan ataupun isi. Saya mohon
koreksi kepada pembaca melalui kolom komentar yang ada di bawah tulisan ini :)
Berbicara
tentang berbakti kepada orang tua, tentunya semua ini adalah harapan besar
orang tua kepada anak-anaknya dan menjadi cita-cita bagi setiap anak kepada
kedua orang tuanya. Akan tetapi banyak di antara kita dan juga saya tentunya
yang sebatas memahami bahwa berbakti kepada orang tua adalah salah satu
kewajiban sebagai seorang anak. Ternyata itu salah sekali bukan! Berbakti
kepada orang tua bukanlah kewajiban sebagai seorang anak, melainkan itu adalah
kewajiban sebagai seorang hamba Allah SWT.
Berbakti
kepada Kedua Orang Tua dan Ketauhidan
Berbakti
kepada kedua orang tua adalah bagian dari ilmu tauhid, bahkan dikatakan bahwa
baiknya agama seseorang, ketauhidan seseorang, tergantung kepada bagaimana
sikapnya kepada kedua orang tua. Dalam QS. Luqman, yang di dalamnya terdapat
dasar-dasar parenting Islam disebutkan bagaimana berbakti kepada kedua orang
tua menjadi hal yang harus dilakukan setelah kita memahami ketauhidan.
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada
Lukman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur
(kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji". Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
(Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang
besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman 12-14)
Tiga
ayat di atas menggambarkan sebagian dari nilai-nilai parenting islam dalam QS
Luqman, yang mana setelah bersyukur kepada Allah SWT dan mengesakan Allah SWT
(tidak menyekutukan Allah SWT), setiap anak diharuskan berbakti kepada orang
tua. Di sinilah berbakti kepada kedua orang tua dalam tekstual disebutkan
berbuat baik dan bersyukur kepada keduanya diposisikan setelah ketauhidan. Oleh
sebab itu dikatakan bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah wujud
ketauhidan kita kepada Allah SWT.
Hal ini
juga sejalan dengan salah satu hadits Rasulullah SAW yang berbunyi kurang
lebih, “Ridha Allah SWT tergantung kepada ridha kedua orang tua”. Berdasarkan firman
Allah dan sabda Rasulullah ini, apabila ada seorang muslim yang tidak berbakti
kepada kedua orang tuanya maka semestinya aqidah agamanya harus dipertanyakan.
Tapi
bagaimana jika kedua orang tua kita tidak pernah mengajarkan kebaikan kepada
kita dan melakukan hal yang dilarang oleh Allah SWT? Jawabannya adalah tetaplah
berbuat baik kepada kedua orang tua.
Banyak
kasus anak yang tidak ingin atau enggan berbuat baik kepada kedua orang tua
dengan alasan perbuatan buruk yang diterimanya dari orang tua. Hal ini sama
saja seperti ungkapan “saya mau membalas dendam saya kepada kedua orang tua”.
Kesalahan dalam pemikiran “balas dendam” ini adalah di mana berbuat baik kepada
kedua orang tua dianggap sebagai membalas jasa kedua orang tua. Padahal berbuat
baik kepada kedua orang tua bukanlah proses membalas jasa-jasa orang tua kepada
kita, anak-anaknya, berbuat baik kepada kedua orang tua adalah perihal
bagaimana kita mentauhidkan Allah SWT.
Di dalam
al-Qur’an, berbuat baik kepada kedua orang tua disebut menggunakan kata “ihsan”
bukan “khairan”. Ketika suatu kebaikan disebutkan menggunakan kata ihsan, itu
artinya kebaikan tersebut harus dilakukan terus menerus dengan dasar muqorabatullah
(selalu merasa dilihat oleh Allah). Oleh sebab itu, berbuat baik kepada orang
tua bukan sebatas bagaimana anak berinteraksi dengan keduanya, tetapi ketika
anak jauh dari orang tua dan tetap
menjaga kehormatan dan kemuliaan kedua orang tuanya juga merupakan bagian dari
berbakti kepada kedua orang tua.
Bagaimana
menjaga kehormatan dan kemulian orang tua saat jauh dari keduanya? Hal ini
dicontohkan mulai dari hal yang paling sederhana seperti tidak mendumel saat
melakukan perintah orang tua. Lebih jauh lagi adalah kita sebagai anak harus
tetap menutupi aib kedua orang tua
meskipun hal itu adalah benar.
Perlu
kita sadari bahwa kedua orang tua kita bukanlah malaikat yang memiliki
kesempurnaan. Keduanya pasti memiliki kekurangan sebagaimana kita juga anaknya.
Oleh sebab itu pasti akan ada orang tua
yang memiliki karakter yang tidak diharapkan oleh anak-anaknya dan berbagai
karakter orang tua inilah yang menjadi karunia bagi anak, sehingga anak patut
mensyukurinya.
Sebagaimana
di awal dikatakan bahwa berbakti kepada
kedua orang tua merupakan wujud ketauhidan kita kepada Allah, maka beragam
karakter orang tua merupakan ujian tauhid bagi setiap anak demi mendapatkan pintu surga yang
seluas-luasnya selagi masih di dunia. Ketika ujian tauhid ini datang pilihan
kita sebagai anak hanya dua; mempertahankan pintu surga itu untuk kita atau
melepaskannya untuk selama-lamanya. Apabila seorang anak memilih mempertahankan
pintu surganya dengan tetap berbakti kepada kedua orang tuanya, niscaya pahala
dalam ujian tauhid ini akan
berlipat-lipat nilainya. Setidaknya dua di antaranya adalah pahala mengikuti
perintah Allah SWT untuk birul walidain dan pahala berbuat baik kepada
orang-orang terdekat.
Terdapat
sebuah kisah pada zaman Nabi Musa as. Saat itu Nabi Musa as. mendapatkan kabar
dari Allah bahwa akan ada seorang pemuda yang bertetangga dengannya. Nabi Musa
as. penasaran bagaimana pemuda ini bisa bertetangga dengannya nanti surga,
sedangkan dirinya tidak pernah mengenal pemuda ini. Alkisah, Nabi Musa as. mendatangi pemuda ini
berdasarkan petunjuk Allah dan bertamu ke rumahnya. Saat menyambut Nabi Musa
as., tidak ada yang istimewa dari pemuda ini. Justru pemuda ini sering pamit ke
belakang meninggalkan Nabi Musa as. sendirian. Lantas Nabi Musa as. mengintip
apa yang dilakukan pemuda tersebut yang ternyata pemuda ini rela meninggalkan
Nabi Musa as. bertamu untuk memberi makan dua ekor babi dengan begitu telaten.
Ketika
pemuda itu kembali, Nabi Musa as.
menegurnya karena telah tega meninggalkan Nabi Musa as. yang bertamu hanya demi
memberi makan dua ekor babi. Saat itu juga pemuda ini menangis dan memohon maaf
kepada Nabi Musa as. sambil menceritakan bahwa kedua babi yang dia beri makan
adalah kedua orang tuanya yang telah dikutuk oleh Alah SWT karena kedurhakaan
keduanya kepada Allah SWT. Saat itulah Nabi Musa as. mengerti mengapa pemuda
yang ada di depannya bisa menjadi tetangganya di surga kelak.
Di
sinilah kisah ini menunjukkan kepada kita betapa Allah SWT memuliakan siapa
saja yang berbuat baik kepada kedua orang tuanya meskipun keduanya telah
mendurhakai Allah SWT atau dibenci Allah SWT hingga dikutuk menjadi dua ekor
babi. Melalui kisah ini pula kita belajar bagaimana berbakti kepada kedua orang
tua bisa dilakukan kapan saja melalui
hal apa saja seperti yang dilakukan pemuda dalam kisah ini yang memberi makan dua ekor babi dengan kelembutannya.
Dari sini pula kita bisa mencontoh, sesalah apapun kedua orang tua tetaplah
berlemah lembut kepada keduanya. Meskipun ingin menasihati, sebaiknya tetap
menggunakan kata-kata yang lembut dan memulainya dengan panggilan yang baik
kepada kedua orang tua.
Kisah
lainnya datang dari keluarga taqwa, sebuah keluarga yang sangat saya cintai dan
berharap bisa meneladani ketaqwaan keluarga ini. Inilah kisah keluarga Nabi
Ibrahim as., keluarga yang senantiasa menunjukkan kecintaannya kepada Allah SWT
tanpa tapi.
Nabi
Ibrahim as. dalam beberapa kitab kisah nabi dikisahkan adalah sosok bapak yang
jarang sekali bertemu dengan anak-anak dan keluarganya karena perjalanan
dakwahnya. Saat Siti Hajar hendak melahirkan Ismail, Allah SWT memerintahkan
Nabi Ibrahim as. membawa Siti Hajar ke lebah tandus yang kini kita kenal
sebagai kota Mekkah al-Mukarramah. Saat itulah Nabi Ismail as. dilahirkan di
padang tandus tak berkehidupan. Kemudian setelah sekian tahun lamanya, barulah Nabi
Ibrahim as. kembali menjumpai Siti Hajar dan Nabi Ismail as. bersama dengan
perintah Allah SWT untuk menyembeli Nabi Ismail as. yang baru ditemuinya.
Saat
itu, dengan ketaatan kepada Allah SWT dan bapaknya, Nabi Ismail as. bersedia
disembelih dengan jawaban yaa aba tif’al maa tu-maruu, wahai bapakku
kerjakanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu. Tetapi setelahnya terselip jawabannya satajiduniii insya Allah minas shaabiriin, insya
Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Beberapa ahli
tafsir menyatakan bahwa kalimat pertama Nabi Ismail as. mengartikan ketaatannya
kepada Allah SWT dan bapanya. Tetapi kalimat kedua yang diucapkannya
mengartikan betapa sebenarnya Nabi Ismail as. takut menjalankannya dan dirinya
terus berusaha dan berdoa di tengah ketaatan dan rasa takutnya.
Pada bagian
kehidupan lainnya antara Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. dikisahkan Nabi
Ibrahim as. ingin menjumpai Nabi Ismail as. yang telah menikah. Saat itu Nabi
Ibrahim as. hanya berjumpa dengan seorang wanita yang tak lain adalah
menantunya yang belum mengenal rupa dirinya. Nabi Ibrahim as. pun bertanya
tentang sikap suami wanita tersebut tanpa menyebut bahwa dirinya adalah bapak
dari suaminya atau mertua darinya. Wanita itupun menceritakan keluh kesahnya
akan sikap Nabi Ismail as., hingga saat Nabi Ibrahim hendak pulang dan tidak
berjumpa dengan anaknya, Nabi Ibrahim as. berpesan kepada wanita tersebut,
menantunya, “Jika suamimu datang, katakalah bahwa seorang lelaki tua mencarinya
dan sampaikan pesanku kepadanya untuk segera mengganti palang pintunya.”
Pesan
Nabi Ibrahim as. pun disampaikan kepada Nabi Ismail as. Wanita itu terkejut
ketika mengetahui bahwa lelaki yang
diajaknya berbicara tetang keburukan suaminya adalah mertuanya sendiri. Dan
yang dimaksudn dengan “mengganti palang pintu” dalam pesan
yang disampaikannya adalah sebuah perintah untuk menceraikannya.
Hikmah
dalam kisah ini adalah Nabi Ismail as. yang jarang bertemu dengan bapaknya
mampu membaca pesan tersembunyi yang disampaikan Nabi Ibrahim as. Di sinilah
kita sebagai anak juga diharapkan bisa membaca beberapa pesan atau nasihat
tersirat yang disampaikan kedua orang tua kita. Selanjutnya adalah ketaatan
kepada kedua orang tua yang dilakukan Nabi Ismail as. saat hendak disembeli ataupun
saat diperintah untuk menceraikan istrinya betul-betul langsung dilakukan saat
itu juga setelah mendengar perintah. Di
sinilah Nabi Ismail as. meneladani kita akan ketaatan kepada kedua orang
tua tanpa ditunda seperti halnya ketaatan kita kepada Allah SWT. Terakhir
adalah tauladan tentang ikatan antara anak dan orang tua yang begitu kuat
meskipun keduanya jarang bertemu. Apakah yang menguatkan ikatan mereka meskipun
jarang adanya pertemuan? Adalah ketaatan keduanya kepada Allah SWT yang menjadikan
hubungan mereka kuat, tidak hanya sebatas pertemuan fisik melainkan pula
pertemuan hati.
Seperti
itulah beberapa kisah yang bisa menjadi teladan bagi setiap muslim tentang
berbuat baik kepada kedua orang tua. Mulai dari menaati keduanya tanpa tapi
selama itu tidak bertentangan dengan ajaran Allah SWT dan Rasulullah SAW hingga
menumbuhkan ikatan batin antar anak dan orang tua melalui ketaatan kepada
agama.
Pada
bagian al-Qur’an yang lain, tepatnya pada QS. al-Isra’ disebutkan pula perintah
berbuat baik kepada kedua orang tua setelah perintah mengesakan Allah SWT. Di
tambahkan dalam surat tersebut perintah Allah SWT untuk berlemah lembut dalam
berbuat berbuat dan berkata kepada kedua orang tua dengan tidak sekali-kali
berkata “ah” pada keduanya.
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka
dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. an rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku waktu kecil". (QS.
al-Isra’ 23-24)
Kata “Uff”
yang berarti “ah” dalam ayat ini oleh beberapa ahli bahasa diartikan apabila ada
debu di atas batu dan ketika kita mengeluarkan suara dekat batu tersebut maka
debu yang ada di atasnya berterbangan, maka hal itu sudah disebut “Uff”. Maka sekecil
apapun gerutu yang keluar dari mulut kita, hal itu sudah disebut “Uff”.
Jika
melakukan “Uff” atau “ah” saja sudah dilarang dalam al-Qu’an, maka membantah
dan berselisih pendapat dengan kedua orang tua dengan saling berdebat adalah
yang seharusnya dijauhi oleh setiap anak sebagai wujud ketauhidan dan ketaatan
kita kepada Allah SWT. Bahkan dalam sebuah hadits di tegaskan (saya lupa bunyi
haditsnya), bahwa apabila seseorang membentak orang tua maka ribuan malaikat melaknat
dirinya. Na’udzubullahi mindzalik.
Bagaimana bakti kita kepada kedua orang tua setelah menikah? Mungkin itu yang akan menjadi pertanyaan bagi sebagian anak yang sudah tumbuh menjadi dewasa, siap menikah atau bahkan sudah menikah. Dalam hal ini dikisahkan kisah nyata Ustaz Bendri ketika ibu mertuanya, ibu dari istrinya, tinggal di rumah beliau dan sedang sakit. Saat itu istri Ustaz Bendri fokus mengurus ibunya yang sedang sakit sehingga Ustaz Bendri sendiri terkadang tidak terurus. Saat itu, di puncak kecemburuan seorang suami, Ustaz Bendri membentak istrinya sambil berkata,"Titipkan ibumu ke panti jompo!"
Sontak istri Ustaz Bendri menangis dan mencium tangan beliau sambil berkata, "Ada banyak pintu surga yang Allah SWT sediakan untuk kita. Ada pintu untuk orang-orang yang berpuasa, tapi saya jarang berpuasa sunnah. Ada pintu untuk orang-orang yang gemar bertahajjud, tapi saya jarang sekali salat tahajjud karena terlalu lelah mengurus rumah dan juga ibu. Ada juga pintu surga untuk orang-orang yang gemar bersedekah, tapi kamu tahu kalau saya bukanlah ahli sedekah. Lalu pintu surga mana yang saya punya? Saya berharap dengan merawat ibu di masa tuanya, saat beliau sakit seperti ini bisa menjadi salah satu pintu surga yang saya punya. Apakah kamu mau mengambil pintu surga itu dari saya?"
Ustaz Bendri tersentak mendengarkan jawaban istrinya. Beliau pun meminta maaf kepada istrinya yang sedang mencoba berbakti kepada ibunya. "Maafkan saya yang egois. Saya rodhoi kamu merawat ibumu dengan sebaik-baiknya, supaya menjadi pintu surga buatmu kelak. Semoga ridho yang berikan kepadamu ini bisa menjadi sebab saya menemanimu di surga kelak," jawab Ustaz Bendri meridhai istrinya merawat ibunya.
Kisah di atas nyata di alami Ustaz Bendri dan sungguh menyesakkan dada para jamaah yang hadir, termasuk saya. Dari kisah ini tentu kita bisa mengambil hikmahnya bahwa meskipun seteah menikah istri harus taat kepada suami, tetapi suami juga harus tetap mendukung istrinya untuk tetap berbakti kepada kedua orang tuanya tanpa menghilangkan baktinya kepada suami. Demikian pula meskipun suami tetap menjadi milik ibunya meskipun telah berkeluarga, istri semestinya tidak mencemburui bakti suami kepada ibunya. Lebih baik lagi jika seorang istri berterima kasih kepada ibu dari suaminya karena dirinya diperkenankan menikahi anaknya. Demikianlah suami istri harus tetap saling mendukung pasangannya untuk tetap berbakti kepada kedua orang tua dan juga mertua demi terciptanya sebuah hubungan yang senantiasa dalam kebaikan. Dalam istilah saya pribadi, beginilah semestinya pernikahan menjadi sebuah projek kebaikan, yang mana suami istri saling mendukung dan saling menciptakan jalan kebaikan untuk keduanya.
Bagaimana bakti kita kepada kedua orang tua setelah menikah? Mungkin itu yang akan menjadi pertanyaan bagi sebagian anak yang sudah tumbuh menjadi dewasa, siap menikah atau bahkan sudah menikah. Dalam hal ini dikisahkan kisah nyata Ustaz Bendri ketika ibu mertuanya, ibu dari istrinya, tinggal di rumah beliau dan sedang sakit. Saat itu istri Ustaz Bendri fokus mengurus ibunya yang sedang sakit sehingga Ustaz Bendri sendiri terkadang tidak terurus. Saat itu, di puncak kecemburuan seorang suami, Ustaz Bendri membentak istrinya sambil berkata,"Titipkan ibumu ke panti jompo!"
Sontak istri Ustaz Bendri menangis dan mencium tangan beliau sambil berkata, "Ada banyak pintu surga yang Allah SWT sediakan untuk kita. Ada pintu untuk orang-orang yang berpuasa, tapi saya jarang berpuasa sunnah. Ada pintu untuk orang-orang yang gemar bertahajjud, tapi saya jarang sekali salat tahajjud karena terlalu lelah mengurus rumah dan juga ibu. Ada juga pintu surga untuk orang-orang yang gemar bersedekah, tapi kamu tahu kalau saya bukanlah ahli sedekah. Lalu pintu surga mana yang saya punya? Saya berharap dengan merawat ibu di masa tuanya, saat beliau sakit seperti ini bisa menjadi salah satu pintu surga yang saya punya. Apakah kamu mau mengambil pintu surga itu dari saya?"
Ustaz Bendri tersentak mendengarkan jawaban istrinya. Beliau pun meminta maaf kepada istrinya yang sedang mencoba berbakti kepada ibunya. "Maafkan saya yang egois. Saya rodhoi kamu merawat ibumu dengan sebaik-baiknya, supaya menjadi pintu surga buatmu kelak. Semoga ridho yang berikan kepadamu ini bisa menjadi sebab saya menemanimu di surga kelak," jawab Ustaz Bendri meridhai istrinya merawat ibunya.
Kisah di atas nyata di alami Ustaz Bendri dan sungguh menyesakkan dada para jamaah yang hadir, termasuk saya. Dari kisah ini tentu kita bisa mengambil hikmahnya bahwa meskipun seteah menikah istri harus taat kepada suami, tetapi suami juga harus tetap mendukung istrinya untuk tetap berbakti kepada kedua orang tuanya tanpa menghilangkan baktinya kepada suami. Demikian pula meskipun suami tetap menjadi milik ibunya meskipun telah berkeluarga, istri semestinya tidak mencemburui bakti suami kepada ibunya. Lebih baik lagi jika seorang istri berterima kasih kepada ibu dari suaminya karena dirinya diperkenankan menikahi anaknya. Demikianlah suami istri harus tetap saling mendukung pasangannya untuk tetap berbakti kepada kedua orang tua dan juga mertua demi terciptanya sebuah hubungan yang senantiasa dalam kebaikan. Dalam istilah saya pribadi, beginilah semestinya pernikahan menjadi sebuah projek kebaikan, yang mana suami istri saling mendukung dan saling menciptakan jalan kebaikan untuk keduanya.
Beranjak
ke bagian akhir tausiyah yang diberikan oleh Ustaz Bendri, terdapat banyak lagi
amal baik yang bisa kita lakukan sebagai bakti kepada kedua orang tua semasa
hidup dan selepas wafatnya selain contoh-contoh di atas. Di antaranya adalah
dengan tidak banyak menuntut kepada kedua orang tua, banyak memberi kepada
kedua orang tua meskipun keduanya hidup berkecukupan, selalu menyambung doa
untuk kebaikan keduanya, selalu berusaha menunaikan hajat-hajat dan
amanah-amanahnya, tetap berbuat baik dan menyambung kekerabatan dengan
orang-orang terdekat kedua orang tua kita, terakhir jangan lupa untuk selalu meminta kemulian dan ampunan Allah SWT
untuk kedua orang tua.
Sebagaimana
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Hakim, diceritakan bahwa ada
seseorang yang diangkat derajatnya di
akhirat meskipun tidak ada yang istimewa dari ibadahnya. Dan ternyata diangkat
derajatnya di akhirat dikarenakan doa-doa kebaikan, kemuliaan, dan ampunan
anaknya untuk dirinya.
Terakhir,
sebuah nasihat indah dari Ustaz Bendri apabila hidup kita begitu sulit
berkembang dan mengalami banyak masalah sementara kita sudah berusaha mendekatkan diri kepada Allah
SWT, maka coba periksalah hubungan kita dengan kedua orang tua kita. Karena
mungkin ada kesalahan yang terselip dalam interaksi kita dengan keduanya yang
menghilangkan keridhaan Allah SWT.
Inilah
sedikit catatan yang bisa saya tuliskan dalam blog ini sebagai pengingat untuk
saya terutama dan untuk kita semua agar tetap berbakti kepada kedua orang tua
kita semasa hidupnya dan setelah wafatnya hingga sisa usia kita sebagai anak-anaknya.
Semoga
kedua orang tua kita senantiasa dilindungi-Nya, senantiasa dilindungi dari fitnah dunia dan akhirat, selalu dilimpahkan keberkahan
atas setiap hal yang diberikan-Nya, dan diluaskan rahmat-Nya hingga Dia
mudahkan menginjakkan kaki keduanya di surga. Teruntuk orang tua kita yang
sudah meninggalkan dunia ini, semoga Allah luaskan kuburnya seluas taman-taman
surga, semoga Allah teduhkan kuburnya seperti waktu dhuha dengan semilir angina
yang dikirimkan dari surga, semoga Allah muliakan tempatnya di surga terbaik
Allah SWT. Aamiin.
Teruntuk
kita semua, semoga kita bisa menjadi anak yang memuliakan kedua orang tua
di akhirat kelak, yang dapat memudahkan
keduanya untuk menginjakkan kaki di surga hingga kita bisa berkumpul kembali di
tempat sebaik-baiknya tempat berkumpul kita, surga tertinggi Allah SWT. Aamiin
ya Allah, taqobbal du’a.
Jakarta, 8 Agustus 2017
@fatinahmunir