Posted by : Lisfatul Fatinah 13 January 2013

(Lanjutan Bagian 1)

Our Trip is Begin! ^_^

Yup. Perjalanan yang sesungguhnya menuju gugusan pulau di seberang sana baru saja dimulai! Kami semua menempati posisi yang nyaman menurut masing-masing dari kami. Di dalam perahu ini, jujur saja saya tiba-tiba menjadi orang yang autis dan hiperaktif -,- entah kenapa rasanya tempat duduk saya bukanlah angel yang tepat untuk menikmati hamparan air yang meluas. Dampaknya, saya harus pindah tempat duduk hingga beberapa kali. Akhirnya, saya mendapatkan posisi ternyaman setelah hampir separuh perjalanan di atas air, yaitu di ujung perahu, dekat dengan pengemudi perahu.

Dari posisi ini, pemandangannya terasa sangat berbeda. Entah apa yang membedakan, padahal semua yang dipandang sama; sama-sama air laut yang beriak perlahan dan langit biru yang membentang, hanya posisi memandangnya saja yang berbeda. Nah, dari sinilah sebenarnya satu pelajaran baru telah saya terima.

Adalah diri kita sendiri yang membuat diri kita nyaman adanya. Karena setiap sudut pasti akan menangkap hal berbeda dari objek yang sama. Seperti saya yang menatap lautan luas dari sudut-sudut berbeda hingga saya menemukan sudut ternyaman, di ujung perahu tepat dekat pengemudi perahu.

Kami semakin jauh kami daratan. Lautan yang  ada di bawah kami semakin dalam dan cahaya yang terpantul dari air lautan semakin biru. Dari ujung perahu ini, pandangan saya terus tertuju pada hamparan air dan langit yang terlihat menyatu. ^^

Hitam, Hijau, Biru; Arti Ilmu dan Kehidupan

Gradasi warna hitam, hijau, dan biru air laut yang kami arungi, entah bagaimana caranya, mengingatkan saya pada salah satu syair terkenal milik Imam Syafi’I tentang menuntu ilmu atau merantau. Bahwa air yag diam pasti akan terlihat keruh dan air yang mengalir akan terlihat jernih. Right, that is mean kedalaman ilmu yang dimiliki seseorang tak pernah menipu. Kegusaran dan kepanikan seseorang dalam menghadapi kehidupan ini cukup mengartikan dangkalnya ilmu yang dimiliki. Sebaliknya, ketenangan dan keteduhan seseorang kerap kali menandakan luasnya ilmu yang melekat di pikiran dan hati.  Seperti air laut yang bergradasi dari hitam menuju biru kukuh. Air-air yang menggenang di dermaga, hitam keruh dan berbau anyir. Tapi semakin jauh kita menuju lautan, semakin jernih dan biru air laut yang tampak.
  
Lalu, biru laut yang semakin pekat seakan menunjukkan kerahasiaannya dengan jemawa. Ya. Biru selalu membuat saya terkagum-kagum dengan maknanya. Laut biru yang semakin tua warnanya, bagi saya menandakan kerahasiaan dan pelajaran besar yang tersembunyi ribuan kilometer di bawahnya. Seperti setiap kali melihat warna biru, di pikiran saya hanya ada satu konklusi bahwa biru selalu indah dengan segenap kekukuhan dan kemisteriusannya, begitu pula setiap kali saya melihat segala sisi kehidupan. Bahwa kehidupan bukan hanya tentang yang ada di depan mata, tapi tentang banyak hal yang tersembunyi dari mati, tentang mimpi, masa depan, perasaan, dan janji-janji Allah.

Pak Waris; Teladan di Tengah Lautan

Setelah asik menikmati air laut, seperti biasa, saya kembali selalu ingin bergerak. (Duh, dasar autis/hiperaktif -,-) Well, sambil menengok kanan kiri, menatap air laut dan Kakak-Kakak Nuraniku yang asik dengan aktivitasnya sendiri, saya akhirnya menemukan satu sosok yang membuat saya penasaran. Dialah lelaki paruh baya yang sedari tadi menjaga kami, sejak dari dermaga hingga nanti kami tiba di Pulau Cipir. Pak Waris, itulah nama lelaki paruh baya ini yang sekejap membuat saya terkagum-kagum pada sosoknya. Peringai Beliau sederhana, tak ada setitikpun keistimewaan yang terlihat dari pembawaannya. Tapi, lagi-lagi, pembawaan seorang Bapak selalu berbeda dan membuat saya bangga pada Beliau.

Mulanya, saya hanya bertanya hal-hal kecil yang ada di sekeliling kami, di atas lautan ini. Saya bertanya tentang bangunan dari bambu yang tersebar di atas lautan ini. Menurut penuturan Pak Waris, bangunan bambu-bambu itu adalah Bangkang, tempat nelayan memasang jaring atau sejenis jebakan untuk menangkap ikan. Selain itu, dari bambu-bambu bangkang itu nelayan bisa mendapatkan kerang hijau yang memang suka menempel di bambu.

Bangkang yang tersebar di lautan 

Pertanyaan saya berlanjut pada banyak hal dan saya semakin nyaman dengan perbincangan singkat dan sederhana ini.

Usia Pak Waris hampir setengah abad. Hampir 30 tahun lalu Pak Waris mengenal kehidupan lautan. Itu berarti sudah hampir 30 tahun juga hidupnya dihabiskan di atas laut sebagai pengemudi perahu.

“Orangtua Bapak juga tukang perahu. Bapak udah belajar narik perahu dari SMP,” Pak Waris mengenal masa kecilnya.

Kalian tahu apa yang saya rasakan saat itu. Betapa lugunya Pak Waris saat menceritakan masa lalunya, tak ada sedikitpun keluh kesah dalam garis wajahnya. Meski hanya sebagai pengemudi perahu, Pak Waris terlihat bangga dengan profesinya dan seakan tak pernah bilang, “Saya hanya tukang perahu.” Tapi dengan bangga berseru, “Sejak SMP saya sudah narik perahu.”

Pembicaraan kami mengalir begitu saja, hingga Pak Waris menceritakan tentang anak-anaknya. Dan, sesi pembicaraan tentang anak-anaknya inilah yang paling saya suka.

Pak Waris dengan penampilan sederhananya duduk di sisi mesin perahu :')

Pak Waris memiliki tiga orang anak. Ketiga anaknya perempuan. Semuanya bersekolah. Yang mengejutkan saya, ketiga anaknya tidak hanya “asal” sekolah. Anak pertama Pak Waris sudah lulus sekolah keperawatan, kini sedang bekerja sebagai perawat di Ciledug. Anak kedua Pak Waris kuliah jurusan Akuntansi BSI, sedangkan anak ketiga Pak Waris baru akan lulus sekolah. Subhanallah, masya Allah, laa haulaa wa laa quwwata illa billah. Tiada daya dan upaya kecuali atas kehendak Allah swt.

Siapa kira, seorang pengemudi perahu yang berpenghasilan tidak tetap bisa menghasilkan anak-anak yang (insya Allah) sukses di akademiknya. Meskipun–menurut Pak Waris–hasil menarik perahu hanya lumayan di hari libur, penghasilannya selalu cukup untuk kebutuhan sekolah anak-anaknya. Bahkan, hingga salah satu anaknya benar-benar “jadi” :’)

Betapa nyata janji Allah seperti yang dikatakan-Nya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. 5:3]

CUKUP! Itu yang Allah janjikan kepada kita selaku hamba-Nya. Cukup. Hanya itu. Allah memang tidak pernah menjanjikan kelebihan harta atau nikmat, tapi sebatas pada kata “cukup”. Begitulah Allah Mahacinta yang tercinta mengajarkan kita bahwa hidup ini sebatas pada “cukup”. Pak Waris dan anak-anaknyalah contohnya; tak perlu berlebihan harta atau menjadi nahkodah kapal mewah, tapi “cukup” menjadi pengemudi perahu sederhana, Pak Waris sudah bisa menciptakan anak-anak yang sukses. Satu lagi, mungkin berkat “kepolosan” Pak Waris dalam menerima qodratullah, maka hartanya yang “cukup” itu menjadi berkah dan bermanfaat banyak untuk keluarga dan anak-anaknya. Satu doa saya untuk Pak Waris, semoga Allah senantiasa memberkahi rizkinya dan meridhoi kehidupannya. Amin. :’)

Perahu yang Menepi dan Keindahan Cipir yang Menanti ^^

Yup. Perbincangan saya dengan Pak Waris berakhir seiring dengan semakin dekatnya kami dengan Pulau Cipir. Ada sekumpulan rasa yang beremulsi dalam dada saya. Entah apa itu namanya. Bahagia karena bisa berbincang dengan Pak Waris yang luar biasa menginspirasi saya, bahagia karena sekali lagi saya menyadari bahwa saya benar-benar ada di antara orang luar biasa lainnya; Keluarga Nuraniku, dan syukur tak terkira karena kami tiba di dermaga Pulau Cipir dengan selamat :)

Baru tiba di Pulau Cipir ^_^

(bersambung ke Bagian 3…,)

{ 9 komentar... read them below or Comment }

  1. Maasya Allaah, akhwat2 pada rihlah, serunyaaa.. :)

    *nyambung ke bagian 3*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya nih, Mbak. Akhwat-akhwat plus sejumout ikhwan #eh :D

      Delete
  2. Masyaallah de''
    kelak kamu jadi novelis terkenal.. benar terkenal :)
    Amiin :)

    ReplyDelete
  3. Dek, ini tulisaaaaaan kamuu ituuuuuuuu, Gizinya banyak banget. MaasyaAllah. :)
    Fatabaarakallaah!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masya Allah. Amin-amin ya Allah. Semoga bermanfaat, Kak :)

      Delete
  4. Ok, satu lagi penulis berbakat dari Nuraniku (y).

    Nice blog :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. masya Allah. Amin. Amin. Jazakallah atas kunjungannya, Kak :)

      Delete

Terima kasih atas komentarnya :)

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -