Enak Jadi Kamu
1 Januari 2023
Ada kalimat baru yang membuat saya terganggung di awal tahun ini, yaitu kalimat “Enak jadi kamu”. Kalimat ini dikirim kakak sore tadi saat kami sedang chat. Bukan tanpa alasan kakak bilang seperti itu. Latar belakang kehidupan kakak yang kompleks, kehidupan anak pertama yang jauh dari standar sukses orang kebanyakan dan kondisi rumah yang tidak kondusif untuk single mother beranak disabilitas sudah menjadi daftar alasan yang lebih dari cukup untuk memahami mengapa kakak mengatakan itu kepada saya.
Karena kondisi saya yang juga sedang tidak baik-baik saja -sedang tidak sehat dan memikirkan banyak hal yang tertunda dikerjakan selama tubuh tumbang beberapa hari, saya pun menjawab dengan satir betapa enaknya menjadi saya. Enaknya menjadi saya, anak terakhir rasa anak pertama yang harus memikirkan seluruh keluarga, menjadi tulang punggung keluarga, usia bertambah tetapi belum kunjung menikah. Bahkan untuk memikirkan pernikahan saja, saya harus memikirkan kondisi keluarga jika saya menikah kelak. Enaknya menjadi saya, ketika kebanyakan mahasiswa Indonesia penerima beasiswa di negara rantau bisa fokus belajar dan asik menikmati jalan-jalan sedangkan saya harus memutar otak mengolola pengeluaran agar bisa menyisikan sebagiannya untuk dikirim ke keluarga di Indonesia dan juga untuk tabungan.
Setelah berbalas chat dengan kalimat-kalimat yang memperpekat keadaan, saya matikan koneksi internet. Lalu saya malah jadi berasa bersalah. Ah, dasar saya! Kenapa harus merasa bersalah setelah berbuat? Kenapa tidak berpikir sejenak sebelum berbuat supaya tidak merasa bersalah?!
Kalimat-kalimat yang sudah terlanjur saya sampai ke kakak, saya kembalikan kepada diri saya sendiri. Apakah saya akan bertahan jika saya ada di kondisi kakak? Apakah saya bisa tetap tegar jika saya menikah muda, melahirkan anak disabilitas lalu ditinggalkan suami begitu saja? Apakah saya bisa hidup terus berketergantungan pada keluarga seperti kakak, tidak bekerja tapi tetap harus hidup dan membersamai anaknya? Apakah saya sanggup?
Tidak. Mungkin saya tidak akan sanggup.
Pagi harinya saya mengaktifkan koneksi internet dan membaca pesan dari kakak. “Aku selalu doain kamu supaya sukses, lancar semuanya. Semoga jodoh kamu lelaki baik yang sayang kamu dan bahagiain kamu. Kalau aja bapak masih ada, mungkin aku gak akan sesedih ini dan bapak masih bisa ngerasain hasil jerih payah kamu.” Begitu kata kakak.
Semakin bersalah. Itu yang saya rasakan setelah membaca pesan kakak. Tapi di sisi lain, saya merasa kami perlu saling mengungkapkan apa yang kami rasakan meskipun dengan momen yang bergesekan. Setidaknya dari kejadian ini kami bisa saling tahu apa yang kami rasakan kepada satu sama lainnya. Setidaknya saya jadi bisa sedikit belajar merefleksikan kondisi kakak yang selama ini luput saya pandang dan pikirkan.
Apresiasi Setiap Proses dan Progres
Photo by Suzanne D. Williams on Unsplash |
Selamat merayakan syukur!
Kadang Kita Lupa ...
Photo by Thomas Q on Unsplash |
Jingga; Tentang Sebuah Semangat yang Tidak Boleh Padam
Photo by Geronimo Giqueaux o Unsplash |
“…………… Warna jingga yang merupakan turunan dari warna kuning melambangkan kehangatan, kenyamanan, dan optimisme yang merepresentasikan harapan-harapan Kitainklusi agar menjadi komunitas yang memberikan manfaat, kenyamanan, dan harapan bagi teman-teman yang terlibat dalam Kitainklusi. ……………”
Kalimat di atas tertulis dalam salah satu bagian penjelasan logo Kitainklusi. Saat membaca tulisan ini saya tersenyum sendiri, bertanya-tanya ke diri sendiri. Saya pernah menulis ini ya? Saya pernah merancang ini ya? Seperti ini ya impian saya dulu saat memulai Kitainklusi?
Belajar dari Joker
Ternyata orang dengan gangguan mental sama seperti rembulan yang bercahaya. Mereka bisa bercahaya, tapi bukan sebenarnya cahaya yang mereka punya. Cahaya itu hanya biasan dari tempat lain, hanya delusi dari kehidupan lain. Rembulan itu tetap saja gelap walau disinari pantulan cahaya matahari. Sama seperti mereka yang memiliki gangguan mental tetap membutuhkan pertolongan meski tampak biasa saja ataupun bahagia.
Photo by Daniel Lincoln on Unsplash |
“My mother always tells me to smile and put on a happy face. She told me I had a purpose to bring laughter and joy to the world.”
Photo from Mothership |
“The worst part of having a mental illness is people expect you to behave as if you don’t.”
Mental Health Poster Campaign photo by Dan Meyer on Unsplash |
Kenapa Memilih Menjadi Pendidik Autisme Dewasa?
Photo by Carli Jeen on Unsplash |
Photo by Robin Worall on Unsplash |
Bagaimana nasib mereka setelah menerima layanan pendidikan dan lulus sekolah? Apakah pendidikan yang sudah mereka terima cukup membuat mereka mandiri, seperti tujuan pendidikan nasional? Apa indikator mandiri untuk individu autisme dewasa? Akankah mereka terus tergantung pada lembaga pendidikan dan pelatihan hingga mereka tua?
Photo by Ian Schneider on Unsplash |
Membersamai Individu Berkebutuhan Khusus di Antara Ketakutan dan Kesempatan
Photo by Joshua Sukoff on Unsplash |
Photo by Bram on Unsplash |