Posted by : Fatinah Munir 09 October 2019


Ternyata orang dengan gangguan mental sama seperti rembulan yang bercahaya. Mereka bisa bercahaya, tapi bukan sebenarnya cahaya yang mereka punya. Cahaya itu hanya biasan dari tempat lain, hanya delusi dari kehidupan lain. Rembulan itu tetap saja gelap walau disinari pantulan cahaya matahari. Sama seperti mereka yang memiliki gangguan mental tetap membutuhkan pertolongan meski tampak biasa saja ataupun bahagia.


Photo by Daniel Lincoln on Unsplash
Disclaimer:
Saya bukan orang yang memahami ilmu psikologi. Saya hanya penikmat film yang semangat menulis tentang film kalau saya menilai film tersebut memiliki banyak pelajaran hidup dan perlu ditonton oleh lebih banyak orang. Saya hanya orang yang senang mengamati perilaku orang-orang sekitar saya karena tuntutan profesi sebagai pendidik individu dengan autisme.

Awalnya saya tidak begitu tertarik menonton Joker. Satu-satunya alasan adalah karena saya tidak mengikuti serial Bat Man dan sama sekali tidak mengenal sosok Joker. Ya hanya sekadar tahu kalau Joker adalah musuh Bat Man. That’s it.

Tapi akhir pekan lalu rekan psikolog di tempat saya mengajar bilang kalau film ini sangat bagus dan dia terus ngomporin saya untuk menonton film ini. Rasa penasaran saya semakin menjadi ketika statement “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti” yang mengiringi poster Joker berseliweran di media sosial. Akhirnya kemarin sepulang mengajar saya memutuskan menonton film ini.

Sepanjang film ini berputar, saya terus mengamati perilaku setiap tokoh yang ada di dalamnya. Beberapa scene yang katanya menyeramkan, justru membuat saya merasa miris. Ingin menangis tapi juga merasa sakit di saat bersamaan. Hingga setelah menonton film ini secara tuntas, ada satu hal besar yang muncul di kepala saya. Yakni betapa buruknya dampak dari ketidaksadaran dan ketidakpedulian masyarakat terhadap orang dengan gangguan mental di saat mereka berjuang menjadi “normal” di lingkungan masyarakat yang tidak sedikit pun memahami mereka.

“My mother always tells me to smile and put on a happy face. She told me I had a purpose to bring laughter and joy to the world.”


Kalimat ini diucapkan Joker alias Arthur Fleck beberapa kali dalam film ini. Saat pertama kali mendengar kalimat ini, saya langsung merasakan hal yang aneh. Apakah setiap orang harus terus tersenyum? Apakah setiap orang harus terus bahagia dan membahagiakan orang lain?

Saya jadi teringat film Inside Out, sebuah film animasi yang menceritakan betapa sulitnya menjadi seorang anak yang diatur untuk terus bahagia dan mengabaikan empat emosi utama lainnya; marah, sedih, jijik, dan takut. Padahal merasakan lima emosi utama adalah pengalaman yang penting untuk dapat melatih diri meregulasi emosi dengan benar.

Serupa dengan tokoh utama Inside Out yang dituntut untuk terus bahagia di berbagai kondisi, di film ini Joker juga terus tersenyum di berbagai kondisi yang dialaminya. Saat merasa bahagia ataupun tidak, “doktrin” ibunya membuat Joker terus tersenyum dan berusaha membuat orang-orang sekitarnya tersenyum juga.

Di bagian inilah saya mulai menyadari bahwa Joker dan kebanyakan orang dengan gangguan mental sama seperti bulan yang bercahaya karena pantulan sinar matahari. Senyuman mereka bukanlah karena mereka ingin tersenyum dan bahagia, tetapi karena lingkungan mereka memaksa mereka untuk “berpura-pura” bahagia. Apakah menjadi seperti ini tetap membuat mereka bahagia? Pasti tidak. Justru bisa membuat mereka semakin merasa tidak bahagia seperti salah satu kalimat yang ditulis Joker dalam jurnal hariannya.

Photo from Mothership

“The worst part of having a mental illness is people expect you to behave as if you don’t.”


Kalimat ini cukup menggambarkan betapa sulitnya menjadi orang dengan gangguan mental di tengah masyarakat yang tidak memahami mereka. Ketika mereka tetap dituntut menjadi “normal” tapi tidak diperlakukan secara “normal”. Saat scene Joker menulis kalimat ini, berbagai emosi kembali berkecamuk dalam hati saya. Sedih, sakit, dan kesal bersatu begitu saja, membuat saya ingin menangis sekaligus marah pada masyarakat yang menyepelekan kondisi mental seseorang.

Yang paling menyebalkan buat saya adalah ketika di dalam bus Joker berusaha membuat seorang anak kecil yang duduk di depannya tertawa, tetapi ibu si anak marah dan mengatakan kalau Joker telah mengganggu anak tersebut. Saat itu Joker bingung kenapa dia dimarahi padahal dia ingin menghibur. Lalu Joker tertawa terbahak-bahak di luar kontrolnya dan memberikan kartu identitas yang menjelaskan kondisi neurologisnya yang tidak bisa mengontrol tawa kepada ibu si anak. Bagaimana reaksi ibu ini? Bukannya berempati, dia hanya memasang ekspresi aneh sambil mengatakan maaf tanpa ekspresi dan tanpa menoleh ke arah Joker.

Mental Health Poster Campaign photo by Dan Meyer on Unsplash
Seperti rembulan yang bersinar karena bias cahaya, ada waktunya cahaya itu menghilang dan rembulan itu menjadi gelap sebagaimana dirinya yang sesungguhnya. Begitu pula Joker dan orang dengan gangguan mental lainnya. Ketika bias-bias bahagia hilang, mereka akan redup sebagaimana mereka sebenarnya. Bahkan pada kisah Joker, mereka bisa melakukan banyak hal yang bisa membahayakan keselamatan dirinya dan orang lain.

Joker mungkin tidak akan menjadi seorang pembunuh jika saja orang-orang di sekitarnya lebih peduli terhadap dirinya. Kejahatan-kejahatan yang dilakukannya tidak akan terjadi jika banyak orang yang memahami kondisinya dan ikut serta membantunya. Apalagi setelah di akhir cerita diungkap bahwa ternyata ibu Joker, Penny Fleck, juga seorang dengan gangguan mental yang tidak mendapatkan kepedulian masyarakat. Ibu dari Joker juga salah satu korban dari buruknya kesadaran masyarakat akan kondisi kesehatan mental.

Teringat lagi statement “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti” yang berseliweran di media sosial, rasanya statement ini salah besar jika kita memahami betul kisah Joker dan latar belakang kehidupannya. Joker bukan orang baik ataupun jahat. Joker pun itu ibunya adalah orang dengan gangguan mental yang luput dari perhatian masyarakat, yang tidak dipedulikan, tersingkirkan, lalu retak dan rusak. Mereka membutuhkan orang-orang baik yang mau mempedulikan mereka, menyadari kondisi kesehatan mental mereka, dan membantu mereka berjuang menghadapi kondisi mental yang mereka punya.

Jangan biarkan orang dengan gangguan mental terus menjadi bulan dan menghilang dari langit malam karena hilangnya pantulan cahaya matahari, delusi kehidupan “normal” dari kita yang merasa “normal”. Mari rangkul juga mereka agar bisa menjadi matahari, menjadi bagian masyarakat sebagaimana kita mengaku “normal”.

Lisfatul Fatinah Munir | 9 Oktober 2019
Selamat merayakan kepedulian di bulan kesehatan mental!

Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -