Posted by : Fatinah Munir 11 October 2019

Photo by Thomas Q on Unsplash
Saya pernah mendapat cerita dari teman sesama pendidik tentang seorang individu dengan autisme yang harus mengeluarkan seluruh isi tasnya di lobi sekolah. Kemudian seluruh isi tasnya dimasukkan lagi satu per satu ke dalam tas. Katanya rutinitas ini dilakukan setiap pulang sekolah, setiap inidividu dengan autisme yang dimaksud dijemput oleh ibunya. Katanya lagi rutinitas ini dilakukan untuk memastikan tugas-tugas kelas dikerjakan dengan baik dan benar, serta tidak ada barang yang tertinggal di dalam kelas ataupun hilang. Efeknya individu yang bersangkutan menjadi pencemas di dalam kelas dan sangat takut melakukan kesalahan.

Di cerita lainnya ada juga tentang individu dengan autisme yang selalu berusaha mengerjakan segala sesuatunya hingga sempurna atau paling tidak mendapatkan “pengakuan” sempurna dari orang sekitarnya. Hal ini ternyata terus berlanjut hingga individu dengan autisme tersebut berusia dewasa. Perilaku meminta “pengakuan” sempurna ini bahkan terus muncul ketika individu dengan autisme ini tidak memiliki kapasitas untuk melakukan hal yang diharapkannya sempurna. Kebayang bagaimana jadinya? Ya! Panik dan cemas adalah dampak yang muncul ketika individu yang bersangkutan mendapatkan koreksi atas apa yang dilakukannya.

Teman-teman ada yang pernah punya pengalaman atau cerita seperti di atas? Bagaimana menurut teman-teman dengan dua cerita di atas? Ada yang mengganjal kah? Atau mungkin teman-teman menganggap dua cerita di atas adalah hal yang wajar terjadi pada individu dengan autisme?

Saat mengetahui dua kisah di atas, sejujurnya saya langsung merasakan ada yang keliru dengan keduanya. Bukan perilaku keduanya yang keliru, karena besar kemungkinan kalau perilaku kedua individu dengan autisme di atas sangat berkaitan dengan ciri keautistikan mereka; yaitu mengulang perilaku secara berpola sesuai dengan intervensi yang pernah diterima atau yang pernah diajarkan.

Lalu di mana letak kekeliruannya?

Supaya lebih mudah terlihat kekeliruannya, bisa kita mulai dengan melihat perilaku keduanya secara utuh. Pertama apakah setiap orang tidak boleh lupa atas barang yang dibawanya? Apakah setiap orang tidak boleh melakukan kesalahan dan harus melakukan semua hal dengan sempurna?

Tentu tidak, kan? Tidak ada orang yang tidak pernah lupa atau meninggalkan barang tanpa sengaja. Begitu juga tidak ada orang yang tidak pernah melakukan kesalahan. Kalau kita mau menggunakan kata “normal”, pasti tidak ada orang “normal” yang seperti itu. Kalaupun ada orang yang tidak pernah lupa dan tidak pernah melakukan kesalahan,  justru orang itu “tidak normal”.

Terus, kenapa sih dua cerita di atas bisa terjadi? Satu-satunya jawaban yang saya punya sampai saat ini adalah karena kedua individu dengan autisme di atas dituntut beradaptasi dengan lingkungannya dengan cara yang salah. Orang tua, pendidik, ataupun terapis pasti ingin yang terbaik untuk individu dengan autisme yang sedang ditanganinya. Tapi menjadikan individu dengan autisme mampu beradaptasi dan mandiri tidak sama dengan menjadikan individu dengan autisme orang yang “normal” menurut standard kita sendiri. Toh “normal” bukan berarti anak harus selalu melakukan semua hal dengan benar, tertata, dan tidak pernah salah, kan?

Karena cerita-cerita seperti di atas, saya jadi bertanya ke diri sendiri. Sebenarnya apa sih target utama dalam mendidik individu dengan autisme? Kalau target utamanya adalah menjadikan mereka individu yang mandiri, sebagaimana tujuan pendidikan secara umum, lalu apa standar mandiri untuk individu dengan autisme? Pasti tidak sama dengan individu tanpa autisme, kan? Ya, setidaknya saya berpikiran begitu :)

Saya jadi ingat penelitian yang pernah saya buat saat kuliah. Saat itu penelitian saya tentang menghilangkan perilaku maladaptif seorang murid dengan autisme dan mengubah perilaku maladaptif tersebut menjadi perilaku adaptif. Pertanyaan yang paling saya ingat saat ujian adalah “Apa indikator perilaku murid tersebut disebut perilaku maladaptif sehingga perlu dihilangkan dan diganti dengan perilaku adaptif?”

Pertanyaan ini sudah saya perkirakan sebelumnya dan hanya satu jawaban yang memungkinkan, yaitu dikatakan maladaptif dan perlu dihilangkan ketika perilaku yang muncul menjadi perilaku yang mengganggu dan menghambat proses belajar atau aktivitas anak. Alhamdulillah, ternyata jawaban ini diterima dengan baik oleh para penguji. Dan jawaban ini terus saya pegang sampai sekarang saya mengajar, ketika perilaku tersebut tidak mengganggu proses belajar dan aktivitas lainnya yang dilakukan individu dengan autisme maka tidak perlu ada tindakan untuk menghapus perilaku tersebut atau mengganti dengan perilaku yang baru. Sederhananya, kita tidak bisa memaksa mereka menjadi “normal” atau berperilaku selayaknya orang “normal” karena keautistikan yang mereka punya tidak akan hilang dan akan terus ada pada diri mereka selama hidupnya.

Duh! Sadis ya penjabaran saya. Ya, mau bagaimana lagi? Karena memang seperti itu kenyataannya. Bukankah realistis adalah syarat utama dalam membersamai individu berkebutuhan khusus :)

Apa dong kaitannya dengan cerita di tulisan kali ini? Adalah keliru ketika kita –siapapun kita, pendidik, terapis, dan orang tua– membiasakan individu dengan autisme mengecek barang bawaaanya dengan cara harus terus-menerus mengeluarkan seluruh isi tas dan dimasukkan satu per satu lagi ke dalam tas. Adalah keliru besar ketika mengajarkan individu dengan autisme untuk terus mengerjakan sesuatu dengan sempurna sampai mereka takut melakukan kesalahan.

Daripada menuntut individu dengan autisme untuk terus mengecek barang yang dibawa, kenapa tidak diajarkan untuk mengatur peletakan barang di dalam tas. Sehingga tanpa mengeluarkan dan merapikan ulang seluruh isi tas individu dengan autisme yang bersangkutan bisa bertanggung jawab dalam merapikan barang-barangnya sesuai dengan posisi barangnya di dalam tas. Daripada mengajarkan individu dengan autisme untuk melakukan segala hal dengan sempurna, mengapa tidak mengajarkan individu dengan autisme tersebut bahwa dirinya bisa memperbaiki kesalahan yang sudah dilakukan dan harus berusaha lebih giat agar hasil belajarnya meningkat.

Mengharapkan individu dengan autisme bisa beradaptasi dengan lingkungan baru dan mampu mandiri memang wajar, tapi menjadi tidak wajar ketika kita lupa bahwa setiap individu dengan autisme akan tetap memiliki keautistikan sepanjnag hayatnya. Tidak ada cara untuk menghapus keautistikan tersebut, yang ada hanya membantu mereka beradaptasi sesuai dengan kapasitas mereka. Lalu yang terpenting adalah bagaimana lingkungan sekitarnya bisa menerima individu dengan autisme tersebut agar lebih adaptif pada kondisi mereka.

Lisfatul Fatinah Munir | 11 Oktober 2019

{ 1 komentar... read them below or add one }

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya :)

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -