Posted by : Fatinah Munir 02 April 2019



Bismillahirrahmanirrahim

Beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan salah satu orang tua dari murid besar saya. Dengan tersenyum, beliau menghampiri saya sambil menyapa. Wajah beliau sedikit berubah ketika beranjak duduk di depan saya.

“Bagaimana perkembangan anak saya selama ini, Bu? Mohon maaf kalau dia masih tidak sopan, ya, Bu!”

Di waktu yang berbeda seorang ibu dari salah satu murid besar saya yang lain berkata, “Saya khawatir anak saya kurang ajar, Bu. Makanya, saya sering ikutan saat dia ngedeketin orang tua murid atau murid lain.”

Kurang lebih begitulah kalimat yang beliau-beliau sampaikan kepada saya. Wah, saya agak terkejut dengan pertanyaan dan penyataan ini. Pasalnya, saya dan –saya pikir juga– seluruh  pendidik juga staf di tempat saya mengajar tidak pernah ada yang beranggapan kalau kedua murid besar yang dimaksud pernah atau telah bersikap tidak sopan.

Kalimat yang disampaikan kedua orang tua ini memang bukan tanpa sebab. Ada alasan mengapa mereka meminta maaf dan khawatir atas perilaku anaknya yang sejauh ini diterjemahkan sebagai perilaku tidak sopan. Salah satu anak yang dimaksud dalam percakapan di atas adalah murid besar yang cerdas. Bukan untuk membesar-besarkan, tetapi memang ini yang saya lihat dari performanya di kelas, mulai dari pemahaman konsep yang baik, perencanaan yang cukup rapi, juga desain-desain yang dibuatnya cukup rapi dan kreatif.

Di samping performa akademik, sebagai individu dengan autisme yang menerima layanan khusus di tempat belajar, pastinya mereka tidak hanya akan diperhatikan perkembangan akademiknya. Mereka juga membutuhkan bantuan dalam perkembangan perilaku, komunikasi, dan sosial interaksinya. Nah, di tahun pertama belajar, salah satu murid besar yang dimaksud memang cukup mempunyai masalah dengan tiga aspek di luar akademik ini. Misalnya, perilaku membentak setiap kali disapa, menaikkan kaki ke atas meja jika duduk, atau berbaring di sofa perpustakaan dan menyalakan musik dengan suara nyaring tanpa menggunakan headset.

Perilaku-perilaku negatif seperti inilah yang diterjemahkan oleh orang tua atau keluarga. Saya tidak pungkiri juga, sih, keluarga dan masyarakat umum juga pasti menganggap semua perilaku ini negatif dan bisa dilabeli perilaku tidak sopan. Tapi bagi kami, semua itu bukan tentang sopan atau tidak sopan. Sama sekali bukan!

Mari Kita Fokus Kepada Individunya

Kembali lagi kepada SIAPA, sih, yang sedang kita bahas di sini? Ya, betul. Kita sedang membahas anak dari orang tua yang megkhawatirkan dan sangat menyayanginya. Eh, tapi jangan lupa, orang yang dimaksud juga sekaligus seorang murid besar yang memiliki kondisi keautistikan dan membutuhkan layanan khusus, khususnya untuk membantunya dalam aspek perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial.

Lalu, apa hubungannya antara perilaku yang muncul dan masalah keautistikan ini? Hubungannya adalah perilaku yang muncul merupakan dampak dari masalah pada tiga aspek keautistikan di atas. Jadi, semua perilaku yang muncul pada individu dengan autisme bukan karena sopan atau tidak sopan melainkan karena mereka TIDAK TAHU DAN BELUM PAHAM bagaimana harus berperilaku dan merespon lingkungannya.

NORMA SOSIAL? Wow! Itu Abstrak Banget!

Kita semua pasti sepakat kalau yang namanya sikap, adab, berperilaku sesuai norma sosial, dan aturan-aturan lingkungan sekitar adalah hal yang sangat abstrak. Apalagi aturan setiap tempat pasti berbeda, misalnya perbedaan aturan di rumah, di kelas, dan di perpustakaan. Secara implisit kita juga punya aturan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua seperti orang tua, guru, atau petugas di tempat-tempat layanan masyarakat. Semuanya punya aturan yang berbeda-beda, aturan yang abstrak, tidak tertulis atau dibacakan secara terang-terangan. Bahkan kalau kita pergi ke daerah/kota baru, pasti ada aturan sosial tertentu yang harus kita ikuti, kan. Itu pun kita sebagai individu “normal” yang mempunyai kemampuan nalar yang sangat baik pasti membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri.

Hal-hal abstrak dan membutuhkan nalar kompleks seperti inilah yang menjadi dampak dari keterbatasan individu dengan autisme untuk mampu berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat. Untuk lebih jelasnya, yuk kita tengok lagi contoh perilaku yang tampak tidak sopan ini.

Pertama, perilaku membentak saat disapa. Di sini kemungkinan besar murid besar saya dan sebagian besar individu dengan autisme tidak tahu kalau kata hai!, apa kabar?, selamat pagi, dan sebagainya adalah beberapa bentuk sapaan yang biasa kita lakukan ketika bertemu. Karena tidak tahu tentang apa itu sapaan, mereka pastinya tidak tahu bagaimana cara menanggapi atau merespon sapaan tadi sesuai aturan yang berlaku di masyarakat kita. Contohnya adalah bagaimana merespon sapaan dengan kembali menyapa halo, hai, dan sebagainya. Ditambah lagi aturan-aturan sosial untuk menggunakan honorifik ibu, bapak, dan sebagainya untuk menjawab sapaan orang yang lebih tua darinya. Termasuk pemilihan intonasi. Duuh, secara tidak sadar, intonasi bicara itu hal yang kompleks banget, loh, teman-teman. Teman-teman pasti pernah mengalami bagaimana ribetnya memilih intonasi bicara yang pas saat praktik pidato atau bicara di depan banyak orang, kan? Ya, seribet itu pula individu dengan autisme belajar menggunakan intonasi yang tepat untuk berbicara dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, perilaku berbaring di sofa perpustakaan dan menyalakan musik tanpa headset dengan volume suara nyaring. Sama seperti contoh sebelumnya, di sini kemungkinan besar  Ann juga individu dengan autisme lainnya tidak tahu aturan sosial bahwa kita tidak boleh tiduran berbaring di tempat umum seperti perpustakaan.

Bagaimana dengan aturan “tidak boleh berbisik di dalam perpustakaan”? Bukannya sering ada poster atau stiker yang memberitahukan aturan “tidak boleh berisik” ini? Ya, memang seperti itu peraturan “tidak boleh berisik di perpustakaan” disampaikan. Tapi apa, sih, berisik itu? Kata “berisik” itu hal yang abstrak, loh, dan menjadi hal yang sangaaaaaaat abstrak bagi individu dengan autisme. Selain karena berbisik punya banyak jenis atau contohnya, berisik juga punya makna dan ukuran yang berbeda di tempat yang berbeda. Misalnya saja arti berisik di perpustakaan tidak pernah sama dengan arti berisik di rumah. Jadi, perlu ada contoh konkrit dan spesifik untuk menerjemahkan aturan dilarang berisik di perpustakaan, seperti harus bersuara pelan, harus menggunakan headset jika ingin mendengarkan musik sambil membaca buku, dan sebagainya. Hal seperti ini juga berlaku untuk aturan-aturan abstrak lainnya.

Sebenarnya Semuanya Tampak Tidak Jelas dan Tidak Saling Berhubungan

Kurang lebih begitulah kondisi sebenarnya dari individu dengan autisme ketika mereka berada di suatu lingkungan (misalnya di perpustakaan) dan mendapat stimulus dari lingkungannya (contohnya saat disapa oleh orang yang melihat dan bertemu dengannya). Individu dengan autisme sebenarnya melihat banyak hal dalam satu konsep yang sama. Perbedaan aturan sosial dan kondisi adalah hal yang sangat samar, tidak jelas, dan hal yang sangat sulit dipahami oleh mereka. Oleh sebab itu, mereka kerap kali berperilaku tidak sesuai dengan konteks aturan sosial pada umumnya dan perilaku yang muncul tampak menjadi perilaku tidak sopan bagi orang-orang yang melihat dan belum memahami kondisi mereka.

Sopan dan Tidak Sopan ATAU Tidak Tahu dan Belum Paham?

Balik lagi ke cerita saya di awal tulisan ini tentang pertanyaan berbalut kekhawatiran yang dilontarkan beberapa orang tua dari murid besar saya. Jadi, apakah benar selama ini mereka dan sejumlah individu dengan autisme yang berperilaku tidak sesuai norma adalah tidak sopan? BIG NO! Selama ini mereka tidak tahu dan belum paham bagaimana mereka seharusnya bersikap dan berperilaku. Ini semua karena kondisi keautistikan mereka yang memperngaruhi pemahaman terhadap aturan dan norma sosial yang amat sangat abstrak.

Lalu kenapa sampai ada label sopan-tidak sopan pada individu dengan autisme yang belum memahami aturan dan norma sosial? Secara pribadi saya menilai semua itu karena ketidakpahaman banyak pihak terhadap individu dengan autisme. Bukan hanya dari sisi keluarga dan masyarakat yang masih awam tentang autisme, melainkan juga dari sisi para pendidik itu sendiri.

Secara sadar atau tidak, ketidakpahaman kita akan suatu hal akan sangat mempengaruhi sudut pandang kita terhadap apa yang kita lihat, termasuk dalam hal kondisi keautistikan. Ketika kita memahami kondisi individu dengan autisme, sudut pandang pertama yang kita gunakan pasti adalah individu dengan autisme itu sendiri BUKAN aturan umum, norma sosial, atau takaran sopan-tidak sopan yang sangat abstrak dan sulit dipahami.

Jadi, “sopan-tidak sopan” begitukah menakar perilaku individu dengan autisme? TIDAK. Ketika kita membicarakan individu dengan autisme dan masalah-masalah yang berkaitan dengan mereka, maka takaran yang kita punya untuk menilainya adalah dari sudut pandang mereka, dari sisi seorang dengan autisme.

So dear, ibu dan bapak yang memiliki anak dengan autisme juga teman-teman yang bergelut di dunia pendidikan khusus bersama individu dengan autisme, mari lepaskan segala label sosial dan norma atas perilaku yang muncul pada individu dengan autisme. Posisikan diri kita sebagai seseorang yang kesulitan dalam berkomunikasi, berinteraksi, dan berperilaku yang berada di tengah kehidupan masyarakat, yang penuh dengan aturan-aturan sosial yang abstrak dan selalu berubah berdasarkan waktu dan tempatnya. Lalu perlakukan individu dengan autisme yang kita bersamai tersebut sebagaimana kita ingin diperlakukan dengan kesulitan-kesulitan yang dimilikinya.

Mengubah sudut pandnag kita sebagai individu dengan autisme memang hal yang sepele. Tapi saya secara pribadi sangat yakin, hal inilah yang harus dilakukan pertama kali sebelum kita memberikan penanganan atas perilaku-perilaku mereka. Di samping itu, mengubah sudut pandang kita sebagai individu yang memiliki keautistikan perlahan akan menghemat energi kita untuk berpusing-pusing memikirkan label perilaku pada mereka. Alhasil, kita akan tetap fokus pada apa penyebabnya dan bagaimana mengatasinya.

Fokus kepada individunya, kurang lebih begitulah salah satu langkah awal yang bisa kita lakukan untuk membersamai individu dengan autisme atau individu dengan disabilitas lainnya. Teman-teman pembaca, apakah punya cara lain untuk memulai membersamai individu dengan autisme? Atau adakah yang punya pengalaman serupa dengan cerita saya di awal tulisan? Yuk bagikan di kolom komentar! :)

Lisfatul Fatinah Munir | 2 April 2019
Selamat Hari Autisme Sedunia!



Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -