Posted by : Fatinah Munir 05 April 2019





Bismillahirrahmanirrahim

Pada tulisan sebelumnya kita sudah sedikit membahas tentang kesulitan individu dengan autisme untuk mengikuti aturan sosial karena keterbatasan mereka memahami lingkungan sosial yang penuh dengan hal abstrak dan kompleks. Setelah bersama-sama mengenal dan belajar mengukur perilaku individu dengan autisme dari sudut pandang mereka, lalu pasti akan ada pertanyaan “apakah itu artinya setiap perilaku individu dengan autisme yang tidak sesuai dengan aturan sosial harus kita biarkan saja?”

Walaupun individu dengan autisme memiliki kesulitan dalam memahami aturan dan kondisi sosial, bukan berarti kita membiarkan merekatetap berperilaku tidak sesuai aturan sosial. Justru sebagai orang-orang yang ada di lingkungan mereka, kita punya peran yang cukup banyak untuk mengajarkan mereka tentang berbagai aturan sosial, kondisi sosial, cara merespon lingkungan yang semuanya terangkum dalam keterampilan sosial.

Keterampilan Sosial

Berbicara tentang keterampilan sosial artinya kita sedang berbicara tentang aturan sosial, adab atau cara bersikap, dan kemampuan kita memahami hal-hal tersebut juga meresponnya, termasuk juga kemampuan berinteraksi dengan orang lain di waktu dan tempat yang berbeda-beda. Kemampuan ini adalah satu dari banyak kemampuan yang kurang dimiliki oleh individu dengan autisme.

Sebenarnya keterampilan sosial ini sendiri lingkupnya sangat luas. Tidak melulu tentang apa yang dapat kita lihat, seperti perilaku dan cara merespon lingkungan. Ada juga keterampilan-keterampilan sosial lainnya yang  tidak tampak, seperti memahami sebab-akibat suatu kejadian, kemampuan menjalin pertemanan, hingga kemampuan memprediksi suatu peristiwa dan menjadi fleksibel terhadap perubahan-perubahan yang ada.

Aturan Sosial

Seperti yang sudah kita bahas di atas, aturan sosial adalah salah satu aspek dari keterampilan sosial. Aturan-aturan sosial ini melingkupi bagaimana kita membedakan lingkungan sosial (perbedaan tempat di rumah, sekolah, tempat umum seperti bank, mal, dan sebagainya), memahami adanya perbedaan aturan di setiap lingkungan sosial (berbedanya aturan di rumah, di sekolah, di restoran, di perpustakaan, dan sebagainya), memahami perbedaan social role di lingkungan kita (seperti membedakan setiap orang berdasarkan perannya sebagai anak, murid, orang tua, guru, teman , dan sebagainya).

Mengajarkan Aturan Sosial

Secara umum kita yang tidak memiliki keautistikan biasanya akan mempelajari dan mengembangkan keterampilan-keterampilan sosial secara natural dan mudah melalui pengalaman sehari-hari sejak kita berusia anak-anak hingga sekarang. Sehingga dari waktu ke waktu pemahaman kita tentang apa yang terjadi di sekitar kita dan bagaimana merespon atau menanggapinya terus berkembang .

Berbeda dengan kita pada umumnya, untuk individu dengan autisme yang kesulitan berinteraksi sosial keterampilan ini bisa menjadi hal yang sangat sulit. Mereka membutuhkan usaha besar untuk memahami kondisi sekeliling, beradaptasi dengan aturan sosial di tempat tertentu, hingga memutuskan bagaimana seharusnya bersikap dan merespon kondisi tersebut. Pemahaman mereka terhadap kondisi sosial seperti ini tidak bisa mereka dapatkan secara natural dan mudah melalui pengalaman, sehingga mereka butuh dikenalkan, diajarkan, dan dilatih untuk memiliki keterampilan sosial ini.  

Ada banyak sekali bentuk intervensi atau penanganan yang bisa kita lakukan untuk mengajarkan keterampilan sosial pada individu dengan autisme. Dari yang pernah saya baca, pelajari, dan praktikkan ada beberapa cara yang cukup “ampuh” untuk mengajarkan aturan sosial adalah social story, praktik langsung, dan mengoreksi di tempat kejadian.

Social Story. Mengajarkan aturan sosial kepada individu dengan autisme menggunakan social story adalah dengan cara menceritakan cerita pendek yang mengandung satu hal yang ingin diajarkan kepada anak.

Jika kita ingin mengajarkan aturan sosial menggunakan social story, kita harus menyiapkan cerita pendek berisi satu sampai dua paragraf yang berisi aturan sosial. Subjek pada cerita sebaiknya menggunakan kata “aku” atau langsung menggunakan nama anak. Cerita dalam social story sebaiknya menggunakan kalimat aktif dan langsung, misalnya “Aku ingin…”. Satu cerita yang dibuat sebaiknya hanya berisi satu hal spesifik yang mau diajarkan, misalnya tentang topik “Menjawab sapaan orang lain” atau “Peraturan dilarang makan dan minum di dalam kelas”. Sebagai opsional, di akhir cerita kita bisa menambahkan satu pertanyaan untuk memancing pemahaman individu dengan autisme terhadap hal yang akan diajarkan.

Saat mengajarkan aturan sosial story, bukan berarti kita hanya memberikan cerita kepada anak. Sambil memberikan cerita, bantuan visual tetap dibutuhkan. Bantuan visual ini bisa menyatu bersama social story yakni memberikan ilustrasi pada setiap social story atau menggunakan visual terpisah berupa flash card.

Salah satu social story yang saya gunakan untuk menguji pemahaman murid besar saya tentang aturan bertarsportasi.
Praktik Langsung. Praktik langsung ini dapat kita lakukan jika sebelumnya individu dengan autisme sudah diberikan pemahaman tentang aturan sosial, misalnya melalui social story. Setelah mengajarkan satu nilai aturan sosial melalui social story, kita bisa mempraktikkan langsung bersama individu dengan autisme. Contohnya, jika kita ingin mengajarkan aturan sosial ketika di perpustakaan, kita bisa mengajak individu dengan autisme langsung mengunjungi perpustakaan.

Jangan lupa, sebelum memasuki perpustakaan, individu dengan autisme harus diingatkan terlebih dahulu tentang aturan-aturan sosial yang telah kita ajarkan melalui social story dan flash card.

Mengoreksi di Tempat Kejadian. Cara terakhir ini adalah cara yang sangat berbeda dengan dua cara sebelumnya. Jika social story dan praktik langsung adalah cara yang harus kita persiapkan dan kita atur, cara ketiga ini adalah lebih kepada mengoreksi perilaku individu dengan autisme langsung saat mereka melakukan kekeliruan di kondisi sosial tertentu. Misalnya ketika kita pergi ke mal bersama individu dengan autisme dan mereka melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan aturan di mal, maka pengoreksian dapat dilakukan secara langsung di tempat kejadian.

Pengoreksian yang dimaksud adalah mengoreksi perilaku individu dengan autisme melalui lisan dan meminta mereka meniru perilaku atau kalimat yang diberikan oleh kita sebagai pengoreksi. Dalam mengoreksi sebaiknya dengan intonasi suara yang netral, tidak seperti memarahi ataupun memanjakan. Pengoreksian juga dilakukan menggunakan kalimat yang spesifik dan tidak berbelit.

Hal lain yang membedakan cara ini dengan dua cara sebelumnya adalah jika dua cara sebelumnya dilakukan terbatas oleh professional ataupun orang tua, cara yang ketiga ini bisa dilakukan oleh siapapun yang ada di sekitar lingkungan anak.

Dengan kata lain mengoreksi langsung di tempat kejadian ini tidak terikat hanya oleh pendidik individu dengan autisme, orang tua, keluarga yang tinggal serumah. Akan tetapi staf di tempat belajar, sekalipun itu security dan maintenance di lingkungan belajar individu dengan autisme juga bisa memberikan pengoreksian selama cara pengoreksiannya benar dan sesuai dengan cara yang dibutuhkan oleh individu dengan autisme. Inilah yang dinamakan support sistem untuk individu dengan autisme, yakni siapapun kita, jika kita memiliki irisan lingkungan sosial dengan individu dengan autisme, maka kita memiliki peran untuk mengajarkan aturan sosial.

Sebenarnya ada banyak sekali cara atau srategi yang bisa kita gunakan untuk mengajarkan aturan sosial pada individu dengan autisme. Tiga cara yang kita bahas di atas adalah beberapa cara yang menurut saya sangat aplikatif dan cukup mudah dilakukan, terutama oleh orang tua bagi individu dengan autisme.

Keberhasilan dari ketiga cara di atas tentu tidak kita dapatkan hanya dengan satu atau dua kali mengajarkan. Waktu yang dibutuhkan agar individu dengan autisme memahami aturan sosial yang sudah kita ajarkan adalah tergantung dengan kondisi individu dengan autisme itu sendiri. Tingkat kognitif, kemampuan memahami sebab-akibat, dan pengalaman pribadi individu dengan autisme sangat mempengaruhi keberhasilan pengajaran aturan sosial yang kita berikan.  Oleh karena itu, kita harus tetap mengulang dan mengulang mengajarkan aturan sosial ini kepada mereka terutama dengan cara mengoreksi di tempat kejadian.

Selain tiga cara di atas, apakah teman-teman punya pengalaman dari cara atau strategi lain untuk mengajarkan aturan sosial kepada individu dengan autisme? Jika punya, yuk bagikan pengalaman teman-teman di kolom komentar supaya bisa lebih bermanfaat untuk banyak orang! ^_^

Lisfatul Fatinah Munir | 5 April 2019

{ 1 komentar... read them below or add one }

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya :)

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -