Posted by : Fatinah Munir 14 August 2018





Zero Waste Life Journey
Kemana Perginya Sampah Kita?

Saat rumah sudah bersih, kinclong, wangi, tanpa sampah, pernahkah terpikirkan kemana sampah-sampah kita pergi? Sampah-sampah yang sudah enyah dari mata kita dan seolah-olah hilang semua masalah tentang sampah, tapi ternyata di sanalah permasalahannya bermula.

Di rumah saya, semua sampah dijadikan ke dalam satu kantung yang sama. Sampah di dapur, semuanya dimasukkan dalam satu kantung. Di setiap kamar, semua sampah dimasukkan kantung. Di teras ataupun di kamar mandi, sampah juga masuk dalam satu kantung. Kantung-kantung sampah tersebut akan disetorkan ke petugas sampah dua kali seminggu dalam kantung-kantung yang diikat kencang. Begitu saja. Sangat mudah. Kami tinggal membayar uang iuran sampah tiap bulan dan sampah-sampah itu sudah hilang dari pandangan mata.

Sampah dari rumah-rumah yang ada di perkampungan saya biasanya akan diangkut juru sampah setiap dua pekan sekali. Kemudian para juru sampah akan menunggu sebuah truk sampah yang akan mengangkut sampah-sampah ini ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di Bantar Gebang, Bekasi.

Jika sampah-sampah ini tidak langsung dibawa ke TPA, sampah-sampah ini akan singgah di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) yang lokasinya sekitar 15-20 menit berjalan kaki dari rumah saya. Lokasinya tepat di sisi bantaran kali Banjir Kanal Barat, di belakang Stasiun Tanah Abang. Lokasi TPS ini berdekatan dengan pasar tradisional yang cukup besar di perkampungan saya dan tepat bersebelahan dengan area main anak. Bahkan ada area main anak lainnya yang tidak berjarak jauh dari TPS ini.

Terbayangkah bagaimana jadinya pasar yang sudah kotor berdekatan dengan TPS? Apakah makanan yang dijual di pasar itu cukup sehat untuk dikonsumsi? Yang paling memprihatinkan adalah tempat main anak yang bersebelahan dengan tumpukan sampah. Terbayangkah bagaimana anak-anak bermain jungkat-jungkit, berkumpul dengan anak-anak sebayanya sambil makan disuapi orang tuanya, dan semua itu dilakukan berdekatan dengan tumpukan sampah yang pasti berbau tidak sedap? Apakah tumbuh kembang anak akan maksimal jika lingkungannya seperti ini?

Untuk beberapa warga di perkampungan saya tinggal yang enggan membayar iuran sampah kepada para juru sampah, biasanya mereka akan memilih membuang sampah di kali Banjir Kanal Barat. Meskipun telah ada petugas yang beroperasi membersihkan maupun berjaga di waktu-waktu tertentu, para warga ini tetap membuang sampah secara diam-diam di waktu-waktu sepi seperti tengah malam atau di pagi buta. Efeknya, kali yang sudah dibersihkan oleh pemerintah dan diperindah dengan mural-mural, tetap terlihat kotor dan banyak sampah yang menggenang terbawa arus.

Kali Banjir Kanal Barat yang dijadikan tempat membuang sampah untuk beberapa warga
Dokumentasi pribadi

Tempat Pembuangan Sampah Sementara di tepi kali Banjir Kanal Barat
Dokumentasi pribadi

Lokasi Tempat Pembuangan Sampah yang bersebelahan dengan teman bermain anak
Dokumentasi pribadi
Lihatlah, ternyata sampah-sampah ini tidak hilang begitu saja. Masih panjang petualangan sampah-sampah ini. Ada yang melanjutkan perjalanan melalui tangan pemulung hingga ke pengepul untuk dijual kembali. Ada yang berakhir di Bank Sampah untuk dikelola menjadi barang yang lebih berharga. Dan yang paling banyak adalah yang berakhir di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di Bantar Gebang, Bekasi, menjadi gunungan plastik.

Kalau dari hasil membaca sana-sini, 70% sampah yang ada ternyata sampah rumah tangga, sampah organik yang sebenarnya bisa membusuk dan bermanfaat jika dikelola dengan baik. Hanya 30% sampah yang tidak bisa diurai. Jadi idealnya yang 30% ini saja sampah yang masuk ke TPA dan sisanya adalah sampah-sampah yang bisa dikelola lagi, dimanfaatkan lagi. Ini mah idelanya ya. Tapi tidak ada yang seideal ini di Indonesia, untuk saat ini.

Lalu bagaimana nasib sampah-sampah yang kita buang dari rumah. Kalau di rumah saya, biasanya sampah-sampah ini akan langsung diangkut oleh truk sampah setelah dijemput dari rumah ke rumah oleh juru sampah. Jika belum dijemput oleh truk sampah, sampah-sampah ini ditempatkan di pembuangan sementara. Tempat pembuangan sementara ini di sekitar Stasiun Tanah Abang, dekat pasar, tepatnya di pinggiran Kali Banjir Kanal Barat. Di situ ada truk-truk sampah yang akan mengangkut sampah-sampah ini ke TPA. Lalu diapakan sampah-sampah di TPA?

Sejujurnya saya belum tahu persis akan diapakan sampah-sampah kita di TPA ini. Pernah sekali saya ke Bantar Gebang mengunjungi anak-anak perkampungan sana, ternyata jumlah sampahnya sudah seperti gunungan. Benar-benar seperti bukit-bukit Teletubies yang saya tonton saat kecil. Bedanya, bukit ini tidak hijau. Bukit-bukit ini hitam dan bau, lebih-lebih baunya jika sudah masuk musim hujan.

Itu baru sampah-sampah di rumah yang dibuang melalui bantuan juru sampah, belum lagi sampah-sampah yang dibuang sembarangan di pinggir jalan, di kali dan sungai, atau di tempat-tempat wisata alam. Beberapa video dari YouTube Channel aktivis lingkungan di Indonesia ataupun luar negeri bahkan menunjukkan bahwa semakin banyak sampah di lautan. Diprediksikan 2050 nanti jumlah sampah di lautan akan lebih banyak dibandingkan jumlah ikan-ikannya? Lah terus anak cucu saya makan apa dong nanti? Huaaaa T_T

Ini bukan sekadar prediksi sebenarnya, tapi data dan hasil penelitian. Bahkan sekarang sudah banyak foto-foto dari penyelam di perairan Indonesia yang menunjukkan hewan-hewan yang terkena dampak dari sampah-sampah di lautan ini. Mulai dari kuda laut yang berenang dengan cotton but, anjing laut yang mati karena terikat tali plastic, atau kura-kura yang hidungnya tersumbat sampah.

See! Efek buruk dari sampah bukan hanya banjir di musim hujan, tetapi hampir ke pada seluruh makhluk hidup yang ada di atas bumi. Mulai dari tanah dan tumbuhan hingga hewan-hewan di lautan. Hanya tinggal menunggu hitungan waktu hingga manusia juga mengalami dampak terburuk dari sampah yang kita abaikan selama ini. Dan yang paling dekat dengan dampak buruk sampah ini, mungkin bukan lagi kita yang hidup di masa kini melainkan anak cucu keturunan kita nanti.

Anjing laut yang mati karena terlilit sampah tali.
Sumber: Google image

Kura-kura yang hidungnya tersumbat sampah

Kura-kura yang pertumbuhan cangkangnya terganggu karena terlilit plastik sampah
Sumber: Google image
Sebagai contohnya, salah satu video berjudul Ocean of TheFuture yang saya tonton menggambarkan nasib anak-anak di masa depan saat melihat tampilan lautan dunia melalui tempat wisata edukasi. Di sini anak-anak tidak lagi melihat beraneka ragam species makhluk hidup di lautan, tetapi anak-anak hanya bisa melihat beragam jenis sampah di lautan.

Masalah plastic bukan hanya masalah negara-negara berkembang seperti Indonesia. Bahkan negara maju seperti Indonesia pun memiliki masalah sampah yang membuat lautannya menjadi lautan sampah, seperti yang disebutkan di dalamnya adalah lautan Karibia yang sudah terisi oleh pulau-pulau sampah.

So, sampah ini bukan masalah yang bisa kita anggap remeh. Mungkin bukan sekarang dampak besarnya, tetapi puluhan tahun ke depan di masa anak-anak dan cucu-cucu kita menjadi generasi yang produktif, di saat itulah sampah menjadi masalah besar yang sudah sangat terlambat untuk diatasi.

@fatinahmunir | 14 Agustus 2018

Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -