- Back to Home »
- Sepotong Inspirasi »
- Tentang 2017
Posted by : Lisfatul Fatinah
10 January 2018
“Life has a way of tasting a person will, either by
having nothing happen at all or by having everything happen at once.”
(Paulo Coelho)
Sudah hampir sepuluh hari 2018 terlewati, tetapi masih banyak
di 2017 dan tahun-tahun sebelumnya yang masih membekas dan melekat di relung
hati dan pikiran.
Sebenarnya pada 2017 saya tidak memiliki banyak resolusi
atau target tahunan. Adapun sebuah postingan di instagram yang pernah saya buat
tentang resolusi, itu hanya sebatas daftar hal-hal yang ingin saya lakukan.
Semuanya tercatat setelah terlintas sejenak dalam benak. Qodarullah semuanya terjadi
satu per satu meskipun beberapa hal yang terlewati tidak pernah terpikirkan
sedikitpun walau sejenak.
Meskipun banyak hal diraih, rasanya hal ini tidak boleh
dijadikan referensi, sebab apa yang saya rasakan setelah melewati semua
rencana-rencana yang tidak direncanakan itu tidak sepuas yang telah
direncanakan.Yang paling membedakan adalah kurangnya esensi dari yang dicapai.
Di sini saya mulai memahami arti failing
to plain is planning to fail.
Setiap halnya yang terlewati pada 2017 lalu penuh kejutan. Beberapa
hal membuat tertawa, kadang tersenyum dalam hati, lebih sering lagi tersenyum
untuk menutupi sedih, di lain waktu juga saya meronta. Tetapi berupa rasa
itulah yang kini, setelah sepekan merenungi, membuat saya cukup siap untuk
menjalani apa-apa yang sudah direncanakan di tahun ini. Ya, 2017 buat saya
adalah tahun yang penuh kejutan dan saya menyebutnya sebagai tahun penempaan.
Januari 2017
terlewati dengan harapan dan keridhaan yang selalu dinanti. Hari-hari di
bulan ini adalah waktu di mana setiap halnya dimulai dengan penuh kejutan yang
melegakan. Malam pergantian tahun saya lalui dengan berdiam diri di dalam
masjid bersama seorang sahabat dan seorang murid kelas bahasa Inggris saat saya
mengajar di Kediri. Hari pertama 2017, sepulang dari masjid adalah momen yang
berharga bagi saya di bulan ini, sebab di hari ini ada dialog istimewa -bagi
saya khususnya, antara saya dan bapak. Di sinilah untuk pertama kalinya bapak
mau menerima hadiah dari saya. Kisah tentang dialog dengan bapak ini saya
tuliskan beberapa waktu lalu di sini.
Di bulan ini pula, tepatnya di hari ketujuh, alhamdulillah
setelah menanti selama dua tahun, bapak akhirnya memberikan restu dan ridhanya
buat saya untuk meneruskan kuliah di luar negeri. Maka sejak restu dan ridha
ini dikantongi, saya kembali belajar dan mempersiapkan diri untuk kembali
mendaftar beasiswa :)
Februari 2017
dirasakan dengan segenap syukur dan pandangan yang semakin luas atas nikmat
Allah yang senantiasa terbentang. Di bulan kedua 2017 ini untuk pertama
kalinya saya berkunjung ke beberapa negara untuk tujuan lebih dari sekadar
berjalan-jalan. Selama perjalanan inilah saya menemukan teman-teman baru, guru
hebat yang sangat passionate, sosok-sosok muslim inspiratif di tengah keminoritasan,
dan teman-teman lintas negara yang Allah SWT perkenalkan dari tegur sapa di
tepi jalan.
Di waktu-waktu berharga ini saya selalu mengusahakan
berdiskusi, berbagi cerita, dan melihat langsung semangat pendidik di negara
maju dan segala perjuangan mereka untuk menjadi guru yang qualify menurut peraturan negara. Semuanya menjadi inspirasi bagi
saya untuk bisa menjadi guru yang layak mendidik, ditiru, dan digugu, meskipun
saya menyadari bahwa apa yang telah saya lakukan hanya seujung kuku dari
perjuangan mereka. Dan saya pun menyadari betapa masih banyak yang harus
dilakukan agar Indonesia bisa memiliki kualitas pendidikan seperti negara-negara
maju lainnya.
Di tempat-tempat baru yang saya lewati di bulan inilah yang
juga mengajarkan saya betapa luas khazanah ilmu yang belum tersentuh. Saya
melihat nilai-nilai Islam begitu disebarluaskan dalam lisan dan perilaku oleh
teman-teman seiman di tempat minoritas. Pada mereka saya menemukan Islam yang
menjadi rahmat, yang tidak hanya sebagai keyakinan tetapi juga pengetahuan bagi
siapapun. Insya Allah pengalaman ini akan saya tulis di lain waktu :)
Oh iya, selama perjalanan di bulan ini saya belajar bagaimana
sebuah negara besar bisa tumbuh dan terus berkembang pesat karena tiada
orang-orang di dalamnya yang berani melupakan sejarah. Tiada perjuangan dan
tindakan mereka yang terinspirasi dari sejarah kelam negara yang mereka hidup
di dalamnya. Termasuk saya pun belajar bagaimana berteman dengan beberapa teman
dari negara lain dan saling bertukar kisah tentang budaya dan adab di setiap
negara. Alhamdulillah ‘alaa kulli haal,
bulan ini Allah SWT berikan keberkahan.
Maret 2017 ketika
kenikmatan berkelindan dengan keberkahan yang terpaut oleh tali perkenalan.
Bulan ini pun terlalui dengan kejutan-kejutan kecil. Awal bulan, pertemuan
dengan beberapa teman berkebangsaan Jepang pun terjadi dengan cukup dadakan.
Dua hari dilalui dengan berkeliling Jakarta dan berbagi cerita tentang
kebiasaan, budaya, pengalaman, dan lelucon ala Indonesia-Jepang. Ini adalah
kali pertama saya mendampingi teman dari negara lain melancong di negeri
sendiri. Sejak menemani mereka, saya punya target semoga suatu hari nanti saya
bisa lagi dan lagi menemani teman-teman dari negara lain untuk berkeliling di negara
sendiri :)
Tak lama berselang, alhamdulillah saya akhirnya bisa
melakukan traveling dan mendaki sesuai target saya, yaitu pendakian 2017 harus
diawali dengan misi berbagi kebaikan. Maka jadilah saya bersama seorang sahabat
dan teman naik gunung membuat sebuah taman baca di sebuah desa di Garut.
Sebelum kami berkemah di kaki gunung Cikuray.
Pada misi kebaikan kali ini, saya sangat berterima kasih
kepada bapak yang sudah banyak membantu saya menyiapkan beberapa hal untuk
persiapan pembuatan taman baca. Bapak banyak membantu saya memilah buku-buku, mengemas
buku-buku ke dalam kardus, dan juga mengangkut buku-buk untuk dibawa ke Garut.
Jazakumullah khiar, Pak :)
Oh iya, hal istimewa lainnya di bulan ini adalah saya
bersyukur sekali bisa merasakan pertama kalinya berpergian jauh dan menginap
bersama murid-murid spesial saya. Semua kenangan ini terekam dalam agenda summer
camp 2017 di tempat saya mengajar. Selama summer camp berlangsung, segala
keletihan dan kegembiraan tetap terlewati dengan senyum dan tawa tiada henti :D
Seperti keberkahan yang tiada habis kebaikannya, di bulan
ini pula untuk pertama kalinya saya mendapat hadiah dari Paman Kyai yang
tinggal di Madura. Hadiah kecil berupa surban yang biasa Paman Kyai pakai dan
diberikan kepada saya seusai keluarga menunaikan tahajjud. Teriring pula doa
beliau saat memberikan surban, “Semoga semakin bijaksana, terjaga wibawamu, dan
selamat dunia akhiratmu.” Lalu dia bulan berikutnya saya berpikir doa ini
mungkin menjadi satu hadiah yang menjadi penguat bagi saya di hari-hari
selanjutnya.
April 2017 yang
datang membawa memori paling perih tapi tak mau saya lupakan. April selalu
menjadi bulan yang dinanti oleh saya, sebab bulan ini adalah bulan khusus para
penyandang autisme. Awal bulan dilalui dengan semangat, membuat berbagai
tulisan tentang autisme di instagram dan blog juga berusaha terlibat dalam
aktivitas bertajuk autism awareness di luar ataupun dalam tempat saya mengajar.
Di samping itu, bulan ini pula saya merasakan menjadi panitian volunteer untuk
agenda bertaraf internasional. Alhamdulillah, saya berkesempatan membantu
sekaligus mendengarkan langsung ceramah dari Ustadz Zakir Naik.
Tapi ada waktu di mana saya seolah tidak ingin mendahapi
bulan ini, sebab pada bulan ini pula kesedihan terbesar dalam hidup saya selama
ini terukir. Rasa sedihnya membuat saya merasa sakit hati pada apa yang telah
Allah SWT Tuliskan kepada saya. Sebuah sedih dan sakit yang meruntuhkan segala cita-cita
saya dan sempat membuat saya kehilangan arah. Di sinilah saya merasa hilang
sudah satu kaki saya untuk melangkah, sehingga jangankan berlari, berjalan pun
setelahnya saya teramat tertatih.
Bulan keempat 2017 ini, tepat di pekan keduanya bapak pergi
meninggalkan kami. Bapak berpulang ke tempat tinggalnya, ke sisi termulia Allah
SWT. Masih ingat di bulan Januari tentang restu bapak untuk saya melanjutkan
pendidikan? Mimpi itu memudar setelah pemberi restu itu pergi dan setiap hari
di bulan-bulan selanjutnya menjadi minim arti.
Mei 2017 saat
hari-hari berjalan bagai bayang-bayang. Di bulan ini, meski sudah sebulan
bapak pergi, bayang-bayang beliau masih ada, melekat di sekitar saya. Semuanya
berjalan dengan semangat yang mengambang, tidak ada antusiasme seperti dulu
lagi.
Di awal bulan, saya memantapkan diri untuk tidak naik gunung
lagi hingga saya benar-benar siap pergi bersama yang bertanggung jawab atas
saya. Dan bulan ini saya tetapkan sebagai terakhir kalinya saya mendaki, yakni
ke Gunung Sumbing bersama beberapa teman sehobi. Entah kapan Allah SWT
perkenankan saya kembali menggeluti alam.
Keputusan ini juga menjadi awal mula dari segala keputusan
saya untuk berdiam diri di rumah. Ya, saya memilih untuk lebih banyak berdiam
diri di rumah. Menjadikan keluarga yang sebelumnya first priority menjadi super
first priority. Meminimalisir aktivitas di luar dan mencoba sedikit demi sedikit
menerima kehilangan.
Tahun lalu, Ramadhan jatuh di akhir bulan ini. Setiap
harinya dilalui dengan aduan kepada Allah SWT. Setiap ada kesempatan sendirian,
meski di luar waktu ibadah, selalu menjadi waktu mencurhatkan segala
kepada-Nya, tentang semua rasa yang meskipun Dia Tahu, tapi saya butuh menyampaikan
kepada-Nya.
Tidak ada yang istimewa di hari-hari bulan ini atau pun
selanjutnya bagi saya, kecuali rasa ingin tahu yang melejit tinggi tentang
bagaimana kehidupan kita setelah kematian dan apa yang terjadi di dalam kubur
seseorang. Maka saya mulai membaca berbagai hal tentang kehidupan alam kubur
dan akhirat. Saya juga banyak bertanya kepada teman-teman yang ahli dalam
urusan agama. Apakah saya bisa mengenali bapak, bertemu bapak, dan berkumpul
lagi dengan bapak di akhirat nanti, di surga-Nya? Itulah pertanyaan-pertanyaan
besar yang berkumpul dalam dada saya.
Segala bentuk instrospeksi tentang apa-apa yang telah dan
akan di lewati juga menjadi pilihan saya di bulan ini. Saya memutuskan untuk
banyak berpikir. Lagi-lagi pun saya mencoba merenungkan dan mikirkan banyak hal
yang harus dilakukan, bertadabbur, melihat lagi ke belakang dan melihat jauh ke
depan. termasuk menyelaraskan kembali impian dan kenyataan yang telah Allah SWT
tetapkan. Meskipun tampaknya saat itu belum ada titik terang. Belum saya
temukan ketenangan. Saya gamang dan masih perlu banyak belajar menerima dengan
keikhlasan.
Juni 2017 berlalu
masih dalam sendu. Akhir Ramadhan dan Idul Fitri tahun lalu ada di bulan
ini. Setiap malamnya selalu terpanjat doa dan istighfar buat bapak. Tidak ada
yang menjadi teramat istimewa di bulan ini kecuali harapan bisa meraih Lailatul
Qadr dan Allah SWT mengabulkan setiap bagian dari hal-hal kecil saya dalam doa
saya.
Sama halnya tidak ada yang teramat istimewa di hari raya
saat itu kecuali pergi ke makam bapak sebagai ganti dari mencium tangan dan
memeluk bapak di tahun-tahun sebelumnya. Di hari raya ini, saya memutuskan
hanya untuk berdiam diri di rumah dan bersilaturahim ke keluarga pada hari-hari
berikutnya.
Juli 2017 yang
semakin hampa dan langkah yang tak lagi bernyawa. Sungguh hidup masih saya
jalani di bulan ini tetapi tidak ada nyawa dalam setiap hari saya melangkah.
Hari demi hari dilewati cukup dengan melakukan rutinitas mengajar dan
menghadiri majelis ilmu, tetapi semangat dan antusias yang biasanya ada seolah
sudah menguap begitu saja. Semangat saya seolah ikut pergi bersama dengan kesedihan
karena bapak berpergi. Tenaga dan semangat yang tersisa hanya untuk dihabiskan
di dalam rumah.
Di bulan ini, seorang teman yang lama sekali tak bertemu ataupun
berkirim kabar, tiba-tiba mengirimkan saya sebuah pesan Facebook dari Jepang.
Dia mengirimkan saya sebuah postingan video tentang rombongan orang-orang
dengan disabilitas di sebuah festival. Saat itu dia juga menawarkan saya untuk
belajar di Jepang, termasuk memberikan beberapa link beasiswa untuk guru,
sesuai profesi saya. Kembali lagi kenangan dan impian itu dibuka. Saat itu, saya
teringat kepada impian saya dan juga restu bapak yang telah dikantongi. Tapi
anehnya, semangat itu belum muncul lagi. Saya memutuskan untuk tidak mengikuti
seleksi beasiswa dan memilih diam sendirian seperti biasanya, bersama Allah
SWT. saja. Hanya untuk beberapa lama. Janji saya pada diri sendiri.
Agustus 2017 yang
menjadi masa mengurung diri dan pergi dari ke sedikit apapun bentuk kebisingan.
Pada bulan ini masih nyata
bekas-bekas sedih. Hari-hari yang saya jalani berlalu begitu saja. Meskipun
sedikit demi sedikit saya memutuskan untuk mencari kesibukan sambil tetap
menarik diri dari keramaian.
Ada dua aktivitas baru di bulan ini seingat saya, yakni saya
mulai bergabung dengan klub bahasa Inggris dan menjadi volunteer di sebuah
organisasi yang mengampanyekan antirokok di kalangan anak-anak. Dua aktivitas
ini saya pilih karena ketertarikan saya pada bahasa dan anak-anak. Di samping
itu, di sini saya tidak terlalu terikat dan setidaknya berharap di sini saya
bisa mengurangi kesedihan dan sedikit menanamkan lagi semangat.
Lalu di bulan yang sama saya juga memutuskan untuk
menonaktifkan sosial media. Tidak ada lagi akun sosial media, tidak pula
menulis untuk menyembuhkan diri. Hanya berdiam diri di rumah, menikmati apa pun
yang bisa saya lakukan, meski hanya ada di rumah untuk tidur atau asalkan tidak keluar seperti yang emak
minta dan asalkan tidak sering-sering bertemu
banyak orang seperti yang saya mau.
September 2017 tempat
di mana perenungan semakin menjadi. Saya semakin bertepekur dengan diri
saya sendiri bersama Allah SWT. Bertanya berkali-kali atas apa yang telah
dilewati dan berpikir berkali-kali atas apa yang hendak dilewati. Sama seperti
bulan-bulan sebelumnya, intensitas aktivitas apapun di luar rumah terus
berkurang. Hanya mengajar, kajian Islam, dan kelas bahasa yang saya jalani.
Saya juga menyadari bermula dari sini sedikit demi sedikit hubungan dengan teman-teman
terjeda sebab memilih berpikir lebih lama.
Mungkin ada satu yang membuat saya merasa cukup bahagia.
Yakni waktu di mana semester pertama di tahun ajaran pertama di mulai.
Pekan-pekan pertama bertemu murid-murid besar yang istimewa dengan berbagai
pendekatan dan observasi, cukup membuat saya teralih dari sedih dan kelesuhan
diri.
Oktober 2017 di mana
setitik demi setitik muncul jawaban dan mulai merangkak mengaisi semangat.
Memasuki akhir 2017 ini muncul beberapa pertanyaan dari teman-teman yang tidak
pernah saya duga –sebab nyatanya kami jarang bertemu pun itu bersapa di sosial
media. Mereka adalah orang-orang yang diam-diam memperhatikan saya di sosial
media, yang kemudian bertanya kemana saya selama ini dan mengapa sosial media
saya tidak ada lagi. Ada juga beberapa pesan yang masuk ke WhatsApp ataupun
yang disampaikan melalui orang lain tentang pribadi saya. Salah satunya adalah
kerinduan teman-teman pada tulisan atau postingan saya.
Di sinilah saya menemukan setitik semangat di balik sedih
dan luka, di mana ternyata apa yang dianggap biasa oleh saya –postingan sosial
media, bisa bernilai manfaat bagi orang di sekitar saya. Sejak bulan ini saya
–lagi-lagi berpikir, untuk sedikit demi sedikit membuka diri, kembali bergerak
meski terseok. Memulai mencari celah untuk kembali bermanfaat, kembali bersemangat
dari awal meski grafiknya tak secepat dulu.
November 2017 saat
tiap kepingan semangat ditata sedemikian rupa. Pada hari-hari di bulan ini
saya mulai membangun kembali diri saya yang sempat pecah.
Saya menyebut bulan ini sebagai bulan penyembuhan, di mana setiap harinya saya niatkan untuk
menjadi saya yang dulu. Meskipun sudah mulai merasa tertekan sebab rutinitas
yang berbeda, dari sangat sering beraktivitas menjadi sangat meminimkan
aktivitas. Tapi saya tetap mencobanya.
Apa yang dirasakan saat itu? Banyak hal yang saya rasakan.
Mulai dari distraksi yang lebih tinggi, mudah menangis, mudah menyendiri sampai
benar-benar hanya ingin sendiri di kamar, lalu semangat lagi untuk bertemu
teman-teman meskipun masih sangat pilih-pilih untuk bertemu teman-teman tertentu.
Bulan sebelum akhir tahun ini menjadi sangat berat bagi saya
sekaligus menjadi titik tolak saya membentak diri. Betul, membentak diri saya
sekuat-kuatnya demi membentuk diri lebih baik lagi. Apa jadinya jika saya terus
sedih? Bukankah kebahagian dan kesedihan itu menular? Kenapa saya tidak mencoba
untuk berbahagia? Kenapa saya tidak mencoba tersenyum meskipun di balik pintu
kamas saya menangis dan meraung-raung mengadukan segala rasa kepada Allah SWT?
Ya. Di bulan ini saya mencoba menemukan jawaban sendiri dari
segala pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada habisnya di pikiran saya.
Saya benar-benar berjuang untuk mengenakan kembali pakaian
saya, menjadi yang aktif, progresif, passionate, dan penuh dengan impian yang
terencana. Bedanya, saat ini saya belajar menanggalkan hal-hal yang menjebak
saya seperti karakter dominan, selalu ingin yang terdepan, dan ambisi untuk tak
ingin terkalahkan. Sedikit demi sedikit saya mencoba membuka diri. Sangat
sedikit demi sedikit. Memulai dari nol untuk kembali seperti dulu; kaya
semangat kebaikan seperti dulu, penuh passion, spontanitas menuangkan ide, dan
membuka pikiran meskipun harus berpikir berkali lipat dari sebelumnya ketika
ingin meraih suatu target.
Desember 2017 menjadi
tempat berpikir lebih dalam dan lebih cepat untuk bisa mempersiapkan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Tidak ada yang tahu apa yang
terjadi sedetik kemudian dalam hidup ini. Itu yang saya pikirkan saat itu.
Semuanya saya tata ulang dengan cepat dan dalam. Mulai dari kesedihan yang
datang bersama hikmah di dalamnya, berdiam untuk menemukan jawab dari segala
pertanyaan saya pada diri sendiri dan semesta, sampai dengan kembali dan
kembali menata impian yang sempat ingin dikurung selama. Lalu semua itu saya
coba selaraskan dengan kenyataan yang ada.
Di bulan ini saya mencoba menakar kembali kemampuan saya,
menemukan kunci-kunci semangat yang masih tersisa –meskipun bapak sebagai kunci
utamanya telah tiada, merefleksikan diri untuk mencari celah untuk saya cela
diri saya sendiri. Lalu melihat ke depan, membaca kemungkinan-kemungkinan
terburuk dan terbaik yang akan ditemui dan mendaftar segala hal yang harus saya
siapkan untuk menghadapinya.
Beginilah 2017 menjadi tahun penempaan buat saya. Di mana
saya harus menyadari bahwa tidak selamanya kemudahan dapat saya terima,
tidaklah kebahagiaan selamanya saya temui, sedemikian pula tidaklah kesulitan
dan kesedihan harus digenggam. Toh nyatanya kekecewaan pada Allah SWT yang
pernah saya rasakan adalah sebenarnya kekecewaan saya pada diri saya sendiri,
sebab melepaskan kesempatan selagi di hadapan.
Di sinilah bagian sulitnya. Yakni saat saya terpaksa atau
belajar mengikhlaskan untuk menahan keinginan diri sendiri demi
menyeimbangkannya dengan harapan emak dan kakak. Mengalahkan diri sendiri dari
kata “pokoknya harus” menjadi “kalau saya begini nanti yang lain bagaimana”.
Sulit memang, apalagi sebelumnya setiap hal saya lakukan dengan mudah dan
nyaris persis seperti apa yang saya inginkan.
Kini, di 2018 ini, saya berharap bisa menjadi awal yang baik
untuk memulai menjadi diri yang lebih menahan diri. Menahan diri dari
kebahagiaan yang berlebih, menahan diri dari kesedihan yang terlalu dalam,
menahan diri dari keegoisan berkeinginan, dan banyak lagi bentuk menahan diri
lainnya.
Di tahun ini saya tidak ingin mengulang kegagalan
merencanakan. Saya ingin tahun ini menjadi tahun di mana diri ini semakin baik
lagi dan lagi hati dan pikiran saya. Berharap tahun ini bisa semakin dekat dan
berpasrah kepada Allah SWT, agar bisa lebih melembutkan hati dan menerangkan
pikiran saya. Berharap tahun ini bisa berlebih dalam bersyukur dan bertafakur
hingga saya lupa bagaimana rasanya kufur. Berharap tahun ini juga bisa
mewujudkan apa yang emak impiakan sekaligus apa yang bapak harapkan.
***
Tapi setelah sejauh ini saya menulis dan flash back kembali apa-apa yang sudah saya lewati, rasanya sejauh ini saya masih kurang bersyukur, telalu mengukur diri dari kehilangan dan lupa pada apa-apa yang terjadi sebelum rasa sedih yang bertubi itu datang. Di balik segala kesedihan dan ketertatihan di tahun penempaan ini, masih ada tiga setengah bulang pertama yang saya nikmati dengan teramat indah dan sangat patut disyukuri. Dari dua belas bulan yang telah dilalui ke belakang, meskipun penuh naik turun semangat, tetapi masih ada seperempat perjalananya yang bisa saya lalu dengan dengan senyuman.
Saya bersyukur bisa melewati seperempat tahun belakangan dengan kesempatan-kesempatan yang Allah SWT berikan, entah itu kesempatan untuk tersenyum ataupun bersedih. Bersyukur juga tahun lalu saya benar-benar ditempa, sehingga saya bisa memperbaiki diri lagi dan lagi. Beberapa hal yang saya amati menjadi pencapaian saya di masa-masa sedih itu sebenarnya adalah pencapaian yang lebih kepada esensial perbaikan diri. Iya, benar-benar berhubungan dengan managemen diri dan hati.
Alhamdulillah tahun lalu sudah mulai belajar mengatur prioritas, keluarga tetap menjadi the most first priority jauh dan jauh di atas segala rencana-rencana, termasuk mengelola ego untuk tidak hanya memikirkan apa yang saya inginkan saja. Lalu, alhamdulillah bisa sedikit demi sedikit mengelola keuangan, mengatur alur masuk dan keluarnya uang dengan lebih hati-hati dan terdata. Sangat bersyukur pula di tahun ini bisa merampungkan beberapa buku berbahasa Inggris yang menjadi target saya, merapikan lemari menggunakan metode Konmari, berhenti (sejenak) membaca novel memperbanyak bacaan pengetahuan umum, belajar berenang, dan menemukan banyak lainnya yang mendekati akhir tahunnya sedikit demi sedikit semakin memberikan kelegaan. Alhamdulillah. Laa haulaa wa laa quwwata illa illah :)
***
Untuk teman-teman yang membaca tulisan ini, semoga doa-doa kebaikan dalam tulisan ini juga mengalir kepada kalian. Semoga semakin tercurah cinta Allah SWT kepada kita agar semakin kita cinta kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Allahumma amiin.
"No one is coming to make your 2017 unsuccessful. This life of yours is 100% your responsibility. Dear past, thank you for your lesson. Dear future, insya Allah I'm ready. Dear Allah, thank you for another chance."
@fatinahmunir | 10
Januari 2018