- Back to Home »
- Catatan Seminar , Parenting »
- Ada Apa dengan Anak Laki-Laki dan Anak Perempuan?
Posted by : Lisfatul Fatinah
02 January 2018
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirabbil ‘alamiin. Hari ini, dalam menghitung
hari berakhirnya libur akhir dan awal tahun, akhirnya saya bisa mendatangi
sebuah kajian fathering di salah satu masjid di Jakarta. Setelah sebelumnya
saya pernah mencoba beberapa kali datang ke kajian serupa dengan pembicara yang
sama namun ternyata harus menetap di rumah demi tugas rumah tangga :D
Tadi pagi, setelah bergelut dengan segala kehebohan rumah,
berbenah, merapikan sana-sini yang tak kunjung rapi, dan dengan penuh kekuatan
menenangkan keponakan yang tantrum, dan drama keliling-keliling tersesat
bersama Pak Gojeg, alhamdulillah kajian
yang dinantikan bisa dihadiri tujuh menit sebelum acara dibuka. Syukurnya,
ternyata masih banyak peserta kajian yang datang lebih lambat dari saya,
sehingga saya masih mendapatkan tempat duduk yang cukup nyaman.
Ya, begitulah hiruk pikuk yang terjadi pada diri sendiir
sebelum bahan tulisan kali ini dibuat. Persis seperti judul tulisan saya kali
ini, tajuk kajian kali ini berkisaran tentang peranan orang tua terhadap
pendidikan anak laki-laki dan perempuan yang dibawakan oleh Ayah Irwan Rinaldi.
Oh iya, sebelumnya saya sudah menuliskan, lebih tepatnya mencantumkan tulisan
–sebab tulisan itu bukan karya saya, dalam tulisan Fitrah Seksualitas Anak yang
pembahasannya masih beririsan dengan tulisan kali ini.
Pada tulisan Fitrah Seksualitas Anak, tertulis peran ayah
ibu dalam mendidik anak, yang mana setiap anak laki-laki ataupun perempuan
membutuhkan figure ayah dan ibu dalam setiap tahapan perkembangannya. Dalam
tulisan tersebut dipaparkan secara singkat dan padat bagaimana setiap anak
sejak usia nol sampai dewasa membutuhkan figure ayah ibu secara bergantian
ataupun bersamaan. Hal ini demi memenuhi fitrahnya sebagai manusia, sebagai
laki-laki ataupun perempuan. Untuk lebih lengkapnya atau untuk recall memory,
silakan baca ulang tulisannya di sini :)
Lalu, apa bedanya tulisan sebelumnya dengan tulisan kali
ini? Cukup banyak bedanya. Yakni di tulisan kali ini saya akan memaparkan –apa
yang sudah dipaparkan Ayah Irwan, tentang apa saja yang menjadi tanggung jawab
orang tua kepada anak laki-laki dan perempuannya juga tentang hak anak
laki-laki dan perempuan yang diperoleh dari kedua orang tuanya.
Oh iya, satu hal lagi sebelum memulai pembahasan, saya
sedikit perkenalkan siapa sosok Ayah Irwan yang menjadi pembicara dalam kajian
parenting ini. Beliau adalah salah satu ayah pejuang parenting di Indonesia.
Beliau bersama timnya, salah satunya Ustaz Bachtiar Natsir, beberapa tahun
belakangan ini aktif menggaungkan Fathering, sebuah kampanye parenting yang
mengajak sosok-sosk ayah untuk ikut terlibat dan memahami ilmu pengasuhan anak.
Keren ya, ayah yang satu ini. Masya Allah, semoga semakin banyak ayah-ayah yang
menjadi ayah seutuhnya untuk anak-anaknya :)
Okay, saatnya masuk kepada materi kajian :)
Sebelum kajian dimulai, Ayah Irwan menceritakan bahwa dalam
konferensi pendidikan dan ketahanan keluarga yang beliau hadiri di Turki
diceritakan bahwa di Turki hampir tidak ada orang tua yang membelikan mainan
untuk anak-anaknya. Bukan berarti tidak ada abang-abang mainan di Turki atau
keluarga di sana tidak cukup mampu
mambelikan mainan. Sama sekali tidak. Jawaban salah satu peserta konferensi
kurang lebih seperti ini, “Dari ujung rambut sampai ujung kaki saya ini adalah
mainan untuk anak-anak saya.”
Jadi kedekatan dan cengkrama bersama orang tua adalah aktivitas bermain anak :) Oh iya. Pernyataan di atas selaras dengan salah satu ilmu parenting
aliran Bunda Elly Risman. Saya sebutkan “aliran” karena alhamdulillah sudah
banyak pejuang parenting dengan berbagai pola masing-masing.
Satu lagi kisah pembuka dari Ayah Irwan yang membuat saya merasa masih banyak PR sebelum menjadi ibu (mejadi istri dulu sih sebenarnya -,-) yaitu ronda al-Qur’an di dalam rumah yang dilakukan keluarga muslim di Turki. Apa itu ronda al-Qur’an? Jadi, tidak boleh terputus bacaan al-Qur’an di dalam rumah. Hal ini bisa dilakukan oleh ayah dan ibu secara bergantian selama di dalam rumah bersama anak-anak. Atau dibunyikan mp3 lantunan ayat suci al-Qur’an jika memang tidak memungkinkan untuk membacanya. Masya Allah. Rahmat al-Qur’an benar-benar dikejar oleh keluarga. Allahummarhamna bil Qur’an.
Okay, langsung kepada pembahasan ya. Ada apa sih memangnya
dengan anak laki-laki dan perempuan? Mengapa belakangan ini semakin marak
pembahasan fitrah anak sesuai dengan gendernya?
Jawabannya juga berhubungan dengan pembahasan lain yang
sedang hangat belakangan ini, tepatnya sejak September 2015 lalu, ketika USA
resmi melegalkan pernikahan sesama jenis. Kemudian beberapa negara menyusul melegalkan pernikahan sesama sejenis ini. Yup. Semua ini berhubungan dengan
penyimpangan seksualitas atau lebih umumnya LGBT. FYI, the worst news-nya adalah
dalam sebuah manual book yang biasa dipakai oleh psikolog, psikiater, dan guru
pendidikan khusus, DSM 5 (Diagnostic And Statistical Manual of Mental Disorder)
yang dirilis 2013 lalu, LGBT tidak masuk dalam kategori Mental Disorder
manapun. Maksudnya? Maksudnya adalah LGBT secara keilmuan jiwa tidak bisa
disebut sebagai gangguan jiwa atau penyakit. Well, hiks :(
Kembali kepada pembahasan kita. Belakangan ini LGBT semakin
menunjukkan eksistensinya. Mereka tidak hanya secara terang-terangan muncul di
media tetapi juga mendapat dukungan dari sejumlah orang –yang semoga Tuhan Limpahkan hidayah-Nya kepada
mereka, amiin. Pertanyaan kita pasti adalah mengapa bisa ada LGBT?
Nah, alasan adanya LGBT, jika dijabarkan secara detail tiap
faktornya akan panjang sekali pembahasannya. Namun dari semua faktor yang
ada, hampir seluruh pakar parenting di Indonesia -setahu saya, sepakat bahwa adanya ruang kosong antara ayah ibu
dan anak-anaknya yang menyebabkan LGBT itu ada dan terbentuk tanpa disadari.
Dengan kata lain, adanya hak-hak anak yang tidak dipenuhi orang tua yang
menyebabkan anak menyimpang orientasi seksualitas dan kepribadiannya.
Na’uzubillahi mindzalik.
Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa bisa ada orang tua
yang luput memberikan hak-hak anak-anaknya? Jawabannya karena hilangnya tujuan besar keluarga, yakni berkumpul
kembali di surga.
“(yaitu) surga-surga
‘And, mereka masuk ke dalamnya bersama dengan orang-orang yang saleh dari nenek
moyangnya, pasangan-pasangannya dan anak cucuknya, sedang malaikat masuk ke
tempat-tempat mereka dari semua pintu.” (QS. Ar-Ra’ad: 23)
Untuk mencapai tujuan surga, hal ini tidaklah mudah karena
orang tua memiliki setumpuk tanggung jawabnya yang tidak kalah berat. Pada
kesempatan ini Ayah Irwan memberikan tiga daftar tanggung jawab orang tua
kepada anak.
Pertama, anak merupakan takdir Allah SWT. yang mana anak merupakan
bagian dari ciptaan-Nya dan tidak ada satu pun manusia yang mampu memilih untuk
dihidupkan atau dimatikan. Pun itu tidak ada orang tua yang mampu memilih anak
laki-laki atau perempuan yang akan dilahirkan. Oleh sebab itu, kata Ayah Irwan,
perlu dipahami bahwa anak adalah makhluk Allah SWT. yang mempunyai hak untuk
dikenalkan lagi kepada-Nya.
“Dan Tuhanmu
Menciptakan dan Memilih apa yang Dia Kehendaki. Bagi mereka (manusia) tidak ada
pilihan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS.
Al-Qashas: 68)
“Milik Allah-lah
kerajaan langit dan bumi; Dia Menciptakan apa yang Dia Kehendaki, memberikan
anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki
kepada siapa yang Dia Kehendaki,” (QS. Asy-Syura: 49)
Kedua, anak adalah amanah. Anak bukanlah semata tanggung
jawab orang tua untuk membesarkannya. Jauh lebih daripada itu, anak merupakan amanah
atau janji orang tua kepada anak. Karena seperti yang disebutkan sebelumnya
perlu adanya pemahaman bahwa anak adalah makhluk Allah SWT., maka orang tua
memiliki amanah langsung dari Allah SWT. atas apa-apa yang telah diberikan
kepada anak.
Ketiga, yakni puncak dari berbagai hal di atas adalah orang
tua akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. di hari pembalasan
nantinya. Ada banyak kalam Allah SWT. yang memperingati tentang
pertanggungjawaban orang tua ini. Salah satu yang Ayah Irwan sampaikan adalah
salah satu janji berikut ini dan sebuah ucapan Rasulullah SAW. yang menunjukkan
bahwa pada diri orang tualah terletak tanggung jawab seorang anak dilahirkan
dalam keadaan fitrahnya sebagai muslim atau tidak.
“Dan janganlah kamu
mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat)
sampai dia dewasa, dan penuhilah janji, karena janji itu pasti akan dimintai
pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’:34)
“Setiap anak
dilahirkan di atas fitrah. Maka orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi atau
nasrani atau majusi…,” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Terkait hal di atas, Ayah Irwan menambahkan bahwa dalam
memberikan pengasuhan, orang tua perlu melalui proses menerima anak, menghargai
hak-hak anak sesuai fitrahnya, dan menumbuhkan anak sesuai dengan fitrah
kelahirannya pula. Dalam hal ini, dari pemaparan Ayah Irwan, anak
laki-laki dan peremuan mempunyai keunikan dan fitrah masing-masing yang
tentunya perlu diketahui dan dipelajari orang tua. Termasuk pada hak-hak pengasuhan anak laki-laki dan anak perempuan yang berbeda di setiap tahap perkembangannya.
Tumbuh Kembang Anak Menurut Ayah Irwan
Dalam tumbuh kembang anak perempuan ataupun laki-laki, orang
tua memiliki peranannya masing-masing. Akan tetapi perana ini bukan berarti
saling mengenyampingkan atau menghilangkan salah satunya. Peranan masing-masing orang tua di
sini adalah untuk saling bersinergi, saling mengingatkan dalam tahapan tumbuh
kembang anak.
Pada anak usia 0-7
tahun, anak membutuhkan dominan peranan ibu dibandingkan ayah. Oleh sebab
itu ayah pada fase ini menjadi pendamping ibu dalam menumbuhkembangkan anak.
Tujuan kedekatan ibu pada anaknya adalah untuk merangsang perkembangan mata,
telinga, dan hati anak agar anak bisa mulai belajar empati. Pada fase ini anak
juga belajar tentang cinta dan rasa aman dan nyaman.
Di fase awal ini, terutama saat fase dua tahun menyusui,
Ayah Irwan menyarankan agar ibu tidak melakukan hal lain saat menyusui.
Misalnya tidak menyusui sambil mengobrol hal yang tidak penting, tidak sambil
memainkan gadget, tidak sambil menonton. Justru sangat disarankan untuk para
ibu yang menyusui untuk menyusui anak sambil mengajak anak berbicara hal-hal
kebaikan, diiringi zikir atau bacaan al-Quran, dan jauh lebih baik lagi jika tetap
menjaga wudhu saat sedang menyusui.
Mengapa hal di atas sangat disarankan? Sebab telinga, mata, dan hati ibu dan bayi saling berdekatan, atau berada pada jarak yang sangat dekat. Apabila ibu mengobrol atau menonton saat menyusui, maka apa yang didengar dan dibicarakan ibu akan ikut terekam oleh telinga, mata, dan hati anak. Sebab itu berhenti melakukan hal-hal yang tidak penting sambil menyusui adalah awal dari memberikan pendidikan terbaik anak.
Mengapa hal di atas sangat disarankan? Sebab telinga, mata, dan hati ibu dan bayi saling berdekatan, atau berada pada jarak yang sangat dekat. Apabila ibu mengobrol atau menonton saat menyusui, maka apa yang didengar dan dibicarakan ibu akan ikut terekam oleh telinga, mata, dan hati anak. Sebab itu berhenti melakukan hal-hal yang tidak penting sambil menyusui adalah awal dari memberikan pendidikan terbaik anak.
Sedangkan pada anak usia
7-12 atau 14 tahun, anak membutuhkan peranan ayah. Oleh sebab itu ibu pada
fase ini yang menjadi pendamping ayah dalam tumbuh kembang anak. Pada fase ini anak belajar mengembangkan
kompetensi, keterampilan, dan akhlak. Untuk anak perempuan, kendati mengalami
fase kedekatan dengan ayah bukan berarti menjadikan anak perempuan cenderung
tomboy. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa peran ibu tetap ada, tetapi
ayah lebih dominan agar anak bisa belajar mengambil keputusan dan ketegasan
dari sikap ayah.
Terakhir, pada anak
perempuan usia lebih dari 14 tahun hingga dewasa, kedua orang tua sangat
dibutuhkan sebagai mentor. Di sini posisi orang tua bukanlah untuk
mencontohkan, menasihati, atau memberikan perintah kepada anak sebagaimana fase
sebelumnya. Pada fase ini anak perempuan membutuhkan orang tua sebagai
fasilitator atau orang yang bisa diajak berdiskusi dan dimintai pendapatnya.
Mendidik Anak
Perempuan
“Barang siapa yang
mencukupi kebutuhan dan mendidik dua anak perempuan hingga mereka dewasa, maka
dia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan aku dan dia seperti ini,”
dan beliau SAW. menggumpulkan jari jemarinya. (HR. Muslim)
“Barang siapa yang
diberi cobaan dengan anak perempuan kemudian ia berbuat baik pada mereka, maka
mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.” (HR. Muttafaq
‘alaih)
Ayah Irwan dalam kajian ini memaparkan empat misi besar dalam mendidik anak perempuan. Yakni, menjadikan
anak perempuannya anak terbaik, istri terbaik, ibu terbaik, dan da’iah terbaik.
Sebagai keluarga muslim, orang tua bisa menjadikan beberapa
sosok muslimah sebagai teladan bagi misi-misi di atas. Contohnya adalah
menjadikan Fathimah az-Zahra sebagai role model utama untuk menjadi anak
terbiak Khadijah binti Khuwalid sebagai
role model utama untuk menjadi istri terbaik, Maryam binti Imran sebagai role
model utama untuk menjadi ibu terbaik, dan terkahir ada Asiyah binti Muzahim
sebagai role model utama untuk menjadi da’iah terbaik.
Sebagai anak perempuan terbaik, Fathimah az-Zahra mengajarkan
akan ketaatannya pada sang ayah, Rasulullah SAW. dan kecintaan keduanya pada
Allah SWT. Pada bagian inilah Rasulullah SAW. sebagai figure ayah melatih
kepekaan anak-anaknya dengan mengajarkan dan memberikan teladan dalam
keterampilan-keterampilan kerumahtanggaan.
Misalnya bagaimana Rasulullah SAW. meneladani melalui aktivitas menjahit
pakaian sendiri, memberi makan binatang, menyayangi tumbuhan, dan sebagainya di
usia Fathimah az-Zahra remaja.
Dari sosok Khadijah binti Khuwalid, anak-anak perempuan belajar
bagaimana menjadi perempuan yang tetap taat dan mendukung suaminya sepenuh hati
meskipun status sosial dan ekonomi Khadijah jauh di atas Rasulullah SAW. Di
sinilah letak kemuliaan perempuan diajarkan oleh orang tua bahwa secara fitrah,
perempuan adalah yang dipimpin dan dibimbing, setinggi apapun pencapaiannya di
dunia.
Selanjutnya melalui sosok Maryam binti Imran, sosok perempuan suci yang Allah SWT. tiupkan ruh Nabi Isa AS. dalam rahimnya. Sebagai sosok
single parent, Maryam binti Imran mendidikan Nabi Isa AS. sebagaimana Nabi Isa
AS. sebagai amanah dari Allah SWT. Hal ini tertuang dalam kisah keduanya di
mana Maryam binti Imran menyerahkan segalanya kepada Allah SWT. tentang
kebingungan orang-orang tentang anak yang dilahirkannya meskipun dirinya belum
pernah menikah. Saat itulah Allah SWT. menjawab kebingungannya dengan mukjizat
yang diturunkan kepada Nabi Isa AS. yang masih bayi dan merah.
Terakhir adalah mengajarkan anak perempuan untuk dekat
dengan sosok Asiyah binti Muzahim, istri dari musuh ketauhidan, Fir’aun yang
kejam. Kendati bersuamikan musuh Allah SWT., saat itu Asiyah binti Muzahim
memiliki setidaknya dua binaan dakwah, Nabi Musa AS. dan khadimahnya, Siti
Masyithah. Melalui ketiga sosok inilah agama tauhid pun disuarakan dan
ketiganya tetap mendakwahkan ketauhidan meski ujian datang dari dalam keluarga
sendiri, suami, ayah angkat, dan tuannya sendiri.
Mendidik Anak
Laki-Laki
Apabila orang tua memiliki empat misi penting dalam mendidik
anak perempuan agar tercapai visi berkumpul di surga-Nya, maka dalam mendidik
anak laki-laki, orang tua hanya memiliki satu misi pentingnya. Misi penting dalam mendidik anak laki-laki
adalah menjadikan setiap anak laki-laki sebagai qowwamuna ‘alannisa, pemimpin bagi perempuan.
Sebuah kisah menarik dituturkan Ayah Irwan dalam diskusi
kami, yaitu di sekolah-sekolah Turki, dalam penuturan beliau diceritakan murid laki-laki masuk dua sampai tiga hari lebih awal
dari pada murid perempuan. Selama dua sampai tiga hari pertama ini murid laki-laki
dibiarkan bereksplorasi dan memahami lingkungannya. Setelah hari ketiga atau
keempat, murid perempuan masuk seperti biasanya.
Saat murid-murid
perempuan masuk inilah murid laki-laki bertanggung jawab mengajarkan
anak perempuan tentang lingkungannya. Murid laki-laki pula yang bertanggung
jawab mengenalkan lingkungan baru sekolah kepada murid perempuan. Di sinilah
perempuan diajarkan menjadi yang dipimpin dan dibimbing oleh laki-laki dan
sebaliknya sejak dini murid laki-laki diajarkan memimpin dan membimbing murid
perempuan.
Dalam hal mendidik anak laki-laki, Allah SWT. memberikan
contoh langsung pendidikan Nabi Ibrahim AS. kepada Nabi Ismail AS. yang
tertuang pada dialog keduanya dalam al-Qur’an.
Maka ketika anak itu
sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya (Ibrahim) berkata, “Wahai
anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa
yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku
termasuk orang yang sabar.” (QS. as-Shaffat: 102)
Pada dialog ini Ayah Irwan menjabarkan bahwa kedua ayah anak
yang saling mencintai karena Allah SWT. ini saling memanggil dengan kata-kata
saling menghormati dan menyayangi. Nabi Ibrahim AS. memanggil Nabi Ismail AS.
dengan sebutan yaa bunayya (wahai anakku), yang
dalam bahasa Arab biasa digunakan untuk memanggil anak dengan rasa sayang.
Demikian pula Nabi Ismail AS. memanggil Nabi Ibrahim AS. dengan sebutan yaa abatii (wahai ayahku), yang dalam bahasa Arab biasa
digunakan untuk memanggil orang tua sebagai rasa homat. Oleh sebab itulah,
setiap anak dan orang tua dianjurkan untuk saling memanggil dengan panggilan
sayang dan hormat agar semakin kuat dan terjejak hubungan keduanya.
Pada dialog ini pula, saat Nabi Ismail AS. menginjak remaja,
Nabi Ibrahim AS. tidak serta merta meneruskan perintah Allh SWT. kepada
anaknya. Beliau mampu mengomunikasikan perintah Allah SWT. kepada anaknya
hingga keduanya saling berdiskusi dan mendengarkan dengan cara Nabi Ibrahim AS.
meminta pendapat Nabi Ismail AS. terhadap perintah yang telah Allah SWT.
sampaikan melalui mimpinya. Di sinilah Nabi Ibrahim AS. mengajarkan bahwa ada
masa, yakni masa remaja, di mana anak tidak hanya diberikan perintah dan
nasihat. Seperti yang telah dituliskan di atas, pada fase ini anak laki-laki
cenderung untuk diajak berdiskusi dan dilibatkan dalam berpikir untuk
menentukan pilihan.
Melalui dialog ayah anak ini al-Qur’an mengajarkan bahwa
kepemimpian laki-laki tidak dibentuk dengan memerintah, melainkan berpikir
dengan matang. Sehingga ketika dewasa, anak laki-laki diharapkan dapat memimpin
dan membimbing perempuan dengan kelembutan dan ketegasan secara bersamaan.
Selain menjalankan misi menjadikan anak laki-laki sebagai
pemimpian, ada beberapa hal khusus untuk anak laki-laki yang perlu diketahui
orang tua. Hal-hal khusus ini adalah beberapa amunisis yang bisa disiapkan
orang tua untuk membantu mencapai misi pendidikan anak laki-laki.
Mengajarkan anak
berkomunikasi. Dalam memimpin, ilmu komunikasi sangat diperlukan agar
pemimpin mampu menyampaikan kebijakan-kebijakannya dan dipahami dengan baik.
Dalam konteks kehidupan, laki-laki sebagai pemimpin perempuan sangat
membutuhkan ilmu komunikasi agar perempuan dapat mendengarkan laki-laki. Di
samping itu ilmu komunikasi yang dimiliki anak laki-laki nantinya akan
menjadikan anak laki-laki sebagai laki-laki yang mampu mendengarkan perempuan.
Bantu akhlak anak
untuk berkembang. Proses berkembangnya akhlak anak adalah dengan tahu, yakin,
dan amal. Orang tua wajib membantu anak mengetahui akhlak-akhlak yang baik
sejak anak berusia nol tahun. Pengenalan akhlak ini sangat baik bila dimulai
melalui story telling atau menceritakan kisah-kisah orang teladan, misalnya kisah
Nabi, Rasul, dan Sahabat Rasul. Proses pengenalan akhlak melalui cerita ini
bisa dilakukan orang tua sejak anak usia 0-6 tahun. Selanjutnya di usia anak
7-14 tahun anak memerlukan role play atau suri tauladan langsung terhadap
akhlak yang telah diketahuinya, pada saat inilah mengembangkan akhlak sedang
berproses untuk meyakinkan anak. Kemudian saat anak sudah di atas usia 14 tahun, anak sudah diberikan tuntutan untuk mengamalkan akhlak-akhlak yang telah diketahui dan diyakininya sejak kecil. Tetapi tetap pengamalan akhlak ini di bawah pengawasan kedua orang tua.
Pilihkan sekolah yang tepat untuk anak laki-laki. Untuk para
orang tua, sebaiknya memasukkan anak laki-lakinya ke sekolah lebih cepat
dibandingkan dengan anak perempuan. Hal ini agar fitrah peranan laki-laki
sebagai pemimpin dapat terbentuk sejak dini. Lalu perhatikan sosok kepala
sekolah, guru olahraga, guru kesenian, dan guru agama di sekolah. Karena pada
umumnya sosok-sosok ini diisi oleh laki-laki, maka orang tua harus memastikan
bahwa keempat sosok ini bisa mewakili figure ayah selama anak di sekolah.
Ayah Irwan bercerita lagi bahwa di salah satu sekolah Turki
yang beliau kunjungi terdapat kepala sekolah yang setiap upacara, kepala
sekolah ini akan menghadap ke barisan murid laki-laki selama beberapa saat
–barisan laki-laki dan perempuan dipisah. Kemudian kepala sekolah ini akan
mengangkat tangannya sambil berseru kencang, “Wahai anak-anakku, para salahudin
ayyubi! Apa kabar kalian hari ini?” saat itu juga murid-murid lelaki akan
menjawab dengan iringan Allahu akbar!
Masya Allah! :’)
Oh iya, mengingat anak-anak tetap butuh figure ayah di
tempat belajarnya, semoga suatu hari nanti semakin banyak guru laki-laki untuk
PAUD dan TK di Indonesia. Agar anak-anak usia dini di Indonesia bisa mengenal
Rasulullah, Salahudin al Ayyubi, dan para taudalan muslim lainnya langsung dari
figure seorang laki-laki, bukan dari ibu-ibu guru yang seorang perempuan.
Allahumma amiin :)
Last but not least. Ini artinya tulisan ini sudah mau
selesai. Hihihihi. Ada beberapa hal yang semestinya menjadi catatan penting
para orang tua ataupun calon orang tua terkait pengasuhan.
Dalam pengasuhan
anak, suami istri harus saling bekerjasama menutupi. Hunna libaasul lakum wa lakum libaasul lahunn. Saling menutupi atau
menjadi pakaian untuk pasangan juga berlaku dalam pengasuhan. Jika hal ini
sudah diterapkan, maka insya Allah tidak akan ada saling menyalahkan dan
melempar tuduhan dalam proses pengasuhan anak. Sehingga setiap prosesnya, ups
and downs, selalu dilakukan bersama-sama dengan evaluasi bersama dan saling
mengingatkan.
Periksalah diri
sendiri apakah diri kita sudah memiliki pola asuh? Lalu seperti apakah pola
asuh yang kita miliki? Apakah pasangan kita memiliki pola asuh yang berbeda
dengan kita? Pertanyaan-pertanyaan sebaiknya dijawab sejak diri oleh orang tua dan
calon orang tua. Tujuan dari pertanyaan ini adalah jika terjadi perbedan pola
asuh dengan pasangan, maka kita bisa mengomunikasikannya sejak awal dan membuat
kesepakatan untuk langkah selanjutnya.
Pelajari ilmu
pengasuhan anak sedini mungkin. Alangkah lebih baik bila ilmu pengasuhan
anak dipelajari sebelum memiliki anak, meskipun tidak terlambat untuk
mempelajarinya walau sudah memiliki anak :)
Demikian sudah tulisan ini sebagai resume dari kajian
parenting yang saya hadiri tadi pagi.
Ilmu parenting dan memperlajarinya memang penting. Tetapi
bukan berarti kita harus terlalu “mentok” terhadap ilmu parenting yang kita
pelajari. Tidak pula parenting yang telah diterapkan sebuah keluarga bisa sama sukses
jika diterapkan di suatu keluarga. Semuanya dilakukan fleksibel sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan keluarga masing-masing, selama masih dalam dasar dan
koridor yang sama. Terlepas dari segala teori pengasuhan, orang tua juga harus membantu
diri dengan doa, tahajjud, puasa, dan sedekah, meminta kepada Allah SWT. agar
Dia mudahkan diri ini untuk mengasuh anak-anak yang diamahkan-Nya. So, just
do the best and let’s Allah finishes it :)
@fatinahmunir | Jakarta, 2 Januari 2018
Mantaaap lis..smga sllu brmanfaat yaa 😘
ReplyDeleteAllahumma amiin. Doa yang sama buat Kak Muthi. Makasih, Kak 😉😘
DeleteTerima kasih resumenya Fah.. bermanfaat banget. Aku share yaa 😊
ReplyDeleteMonggo, Gwan shalehah 😘
Delete