Posted by : Lisfatul Fatinah 01 January 2018




Bismillahirrahmanirrahim

Selalu ada resolusi baru di setiap awal hari di tahun masehi. Setiap sosial media tampilannya dipenuhi harapan-harapan dan kisah-kisah yang tertinggal dengan serpihan hikmah yang layak di kenang. Tulisan saya kali ini bukan tentang resolusi-resolusi yang akan dibumbung tinggi selama 365 hari ke depan. Bukan pula tentang kisah-kisah impian yang telah dicapai di tahun sebelumnya. Bukan. Kali ini, saya ingin menuturkan tentang sebuah dialog kecil yang menjadi kenangan besar bagi saya, yang terjadi pada tanggal yang sama di tahun sebelumnya. 

Pada hari pertama di tahun masehi ini, yang saya rasakan adalah sebuah kenangan yang tidak pernah saya duga bahwa kenangan itu akan menjadi kali terakhir saya mendapatkannya. Hari itu, pada hari pertama di tahun masehi sebelumnya, dihabiskan dengan menahan air mata di dalam kamar sambil berbicara dengan bapak.

Malam sebelumnya, bersama seorang sahabat, saya bermalam di salah satu masjid di Jakarta untuk mendengarkan tausiyah, tahajjud, dan muhasabah bersama hingga waktu dhuha. Di pertengahan agenda inilah, saat mata masih terbuka meski hari sudah lewat dari tengah malam, saya meminta bantuan teman saya untuk memilih salah satu kopiah yang dijual di taman masjid.  

Sambil menerka-nerka ukuran kopiah yang cocok untuk bapak dan dibantu oleh penjual kopiah, alhamdulillah terpilihlah sebuah kopiah coklat sederhana. Selain berharap ukuran kopiah ini akan cocok untuk bapak, saya sangat berharap bapak mau menerima hadiah kecil saya ini.

Keesokan harinya, selepas shalat zuhur, di dalam kamar bapak yang beliau pun baru selesai shalat zuhur, saya memberikan kopiah yang sudah saya siapkan. Ada ragu dan malu saat memberikannya kepada beliau. Saya hanya berucap, “Tadi malam Lis liat ini di bazar, siapa tau cocok buat bapak.”

Saya khawatir bapak akan menjawab, “Ngapain beli-beli itu? Kan bapak masih punya kopiah.” Atau “Kopiah bapak masih ada, ini bapak simpen aja ya. Kalau ada Paman Kyai ke sini, kasih ke Paman Kyai aja ya!” dan banyak lagi kalimat yang menggambarkan ketidaksukaan bapak jika diberikan hadiah.

Ya, begitulah biasanya bapak menanggapi setiap barang yang saya berikan. Kendati dengan alasan masih ada barang yang sama yang masih layak dipakai, tapi biasanya barang itu sudah memudar warnanya atau sudah rusak di beberapa bagiannya. Begitupula dengan kopiah yang biasanya bapak gunakan, kopiah rajut dengan lubang di salah satu sisinya dan kopiah hitam yang sudah memudar hitamnya. Hanya satu kopiah terbaik bapak, yang hanya digunakan beliau untuk shalat Jumat dan shalat Hari Raya.

Jikapun bapak menerima pemberian saya, biasanya bapak akan menyimpannya dan akan meminta izin kepada saya untuk memberikan barang tersebut kepada yang lebih membutuhkan atau sebagai hadiah untuk orang yang beliau hormati. Misalnya saja beberapa set baju koko dan celana pemberian saya yang beliau berikan kepada Abah Kyai atau Paman Kyai yang sedang berkunjung ke rumah.

Tapi kali ini reaksi bapak berbeda dari biasanya. Untuk pertama kalinya bapak tersenyum dan tidak ada raut ketidaksukaan di wajah beliau.

“Bismillah. Alhamdulillah. Bagus ini,” kata bapak sambil memakai kopiah pemberian saya di depan cermin dan memantaskannya di atas kepala bapak, “Muat nih. Ini cocok sama baju kokoh bapak yang coklat. Makasih ya, Nak. Semoga berkah!”

Terkejut. Senang. Terharu. Ingin menangis sambil memeluk bapak, tapi semuanya tertahan.

“Dipake loh, Pak. Awas aja tau-tau dikasih ke orang!” kata saya sambil mengalihkan air mata yang hampir saja tumpah.

“Iya dipake setiap shalat. Alhamdulillah. Berkah!” sahut bapak sambil meletakkan kopiah pemberian saya di atas meja, bersebelahan dengan al-Quran beliau.



***

Bagi teman-teman yang membaca pengalaman ini, pengalaman di hari pertama pada tahun masehi lalu ini, mungkin terlihat ini hanya pengalaman sederhana yang tidak tampak istimewa. Pengalaman ini mungkin tampak kecil dan tidak memiliki banyak makna. Itu pula yang saya rasakan saat bapak masih bisa saya tatap matanya dan saya peluk tubuhnya.

Tapi mengalaman ini menjadi sangat istimewa bagi saya setelah saya menyadari ini adalah kali pertama dan terakhir bapak mau menerima hadiah kecil saya. Setelah diri ini tidak lagi mampu melihat wajahnya dan memeluk tubuhnya, pengalaman ini menjadi bergitu berharga. Lalu saya berharap tahun lalu saya tidak menahan air mata saya. Saya berharap tahun lalu saya tidak menahan diri saya untuk memeluk bapak setelah bapak berucap, “Terima kasih, Nak!” pada hadiah kecil yang saya berikan, yang tidak akan pernah sebanding dengan pengorbanan bapak selama ini kepada saya.

Rindu. Ada rindu yang berkecamuk dalam dada saat setiap orang saling menghantarkan ucap selamat di pergantian tahun baru masehi semalam. Rindu. Ada rindu yang berkelindan dalam tiap-tiap kenangan yang terlintas dalam pikiran semalam. Rindu. Ada rindu yang bergumpal dan mengajak diri ini hanya ingin sendirian, memeluk erat diri sendiri rapat-rapat dengan harap bapak di sana bisa merasakan rindu saya yang teramat berat.

Rindu. Terpaut rindu pada kesederhanaan bapak di kesehariannya. Bapak yang tidak pernah membicarakan pakaian baru dan perilah keduniaan lainnya di setiap beralihnya waktu. Yang bapak pikirkan adalah keberkahan dan keselamatan dunia akhirat yang semoga senantiasa meliputi diri kami. Terpaut rindu pada kelembutan bapak dalam bertutur dan bersikap. Yang tak pernah sekalipun bapak meninggikan suara atau meluncurkan tangannya dengan kasar kepada kami yang ada di rumah. Terpaut rindu pada diamnya bapak yang memiliki lapisan makna. Yang tidak ada sedikit pun keluh kesah yang tersampaikan melalui mulutnya, hanya untaian doa dan harapan agar kesabaran dan kekuatan selalu Allah limpahkan setiap kali uji-Nya datang.

Pada bapak, apa kabar di sana? Saya merindukan bapak di sini. Semoga Allah senantiasa melapangkan kuburmu selapang taman-taman surga, menerangi dan menghangatkan kuburmu seterang dan sehangat waktu dhuha, dan menyejukkan tempatmu dengan tiupan angin surge-Nya. Pakaian terbaik dan tempat tinggal terbaik semoga menjadi milikmu di sana, Pak, sebagai pengganti kesederhanaan yang bapak pilih selama di sini. Allahumma amiin.

@fatinahmunir | Jakarta, 1 Januari 2018

Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -