- Back to Home »
- Belajar Menjadi Ibu Profesional »
- NHW #1: Adab Menuntut Ilmu
Posted by : Lisfatul Fatinah
27 January 2018
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, setelah kami menjalankan kelas dan diskusi
materi pertama mengenai adab menuntut ilmu, kini saatnya fasilitator kami, Mbak
Trisa memberikan tugas yang dirancang oleh Tim Matrikulasi Institute Ibu
Profesional. Oh iya, untuk resume kelas dan diskusi materinya ada di sini.
Tugas ini kita namakan NICE HOMEWORK dan disingkat
menjadi NHW. Berhubung ini adalah tugas perdana, maka saya memberikan
judul NHW #1. Ada beberapa pertanyaan yang harus kami jawab dalam bentuk
tulisan, gambar, atau mind map. Karena saya suka menulis, maka saya memutuskan
untuk mengerkajan NHW #1 dalam bentuk tulisan dan diposting di blog ini dengan
harapan apa yang saya tuliskan bisa lebih bermanfaat untuk yang membacanya.
Nah, berikut ini adalah pertanyaan dari NHW #1 di kelas matrikulasi kami :
Tentukan satu jurusan ilmu yang akan Anda tekuni di universitas kehidupan ini?
Alasan terkuat apa yang anda miliki sehingga ingin menekuni ilmu tersebut
Bagaimana strategi menuntut ilmu yang akan Anda rencanakan di bidang tersebut?
Berkaitan dengan adab menuntut ilmu, perubahan sikap apa saja yang Anda perbaiki dalam proses mencari ilmu tersebut?
Tentukan satu jurusan ilmu yang akan Anda tekuni di universitas kehidupan ini?
Alasan terkuat apa yang anda miliki sehingga ingin menekuni ilmu tersebut
Bagaimana strategi menuntut ilmu yang akan Anda rencanakan di bidang tersebut?
Berkaitan dengan adab menuntut ilmu, perubahan sikap apa saja yang Anda perbaiki dalam proses mencari ilmu tersebut?
Mudah sekaligus sulit untuk saya menjawab pertanyaan di atas. Lebih
tepatnya untuk menjawab pertanyaan nomor 3 dan 4, sebab butuh waktu khusus
untuk merefleksikan diri dan menyelaraskan pikiran dan hati. Hehehe. Dan mohon
maaf kepada Mbak Trisa, fasil keren yang akan membaca tulisan saya ini, sebab akan menjadi
jawaban yang agak panjang. Semoga tidak bosan membacanya ya, Mbak! Bismillah! ^^
Jurusan Ilmu yang
Akan Ditekuni di Universitas Kehidupan Ini
Sejujurnya ada banyak hal yang ingin saya pelajari selagi
saya masih bisa belajar kepada siapapun itu, di mana pun, dan kapan pun saya memiliki
kesempatan belajar. Tetapi jika diminta untuk memilih satu ilmu yang akan
ditekuni di universitas kehidupan ini, insya Allah saya ingin menekuni
pendidikan khusus untuk anak-anak dan dewasa dengan autisme.
Hampir empat tahun ini saya berkecimpung langsung dalam
dunia pendidikan khusus untuk individu dengan autisme, baik itu anak-anak
ataupun dewasa autisme. Tapi sebenarnya, saya sudah membersamai anak dengan
autisme selama hampir enambelas tahun ini. Keponakan saya yang pertama dan
satu-satunya didiagnosis mengalami keautistikkan sejak usia dua tahun,
delapanbelas tahun sudah berarti usianya tahun ini.
Jika dikatakan keponakan saya adalah alasan saya ingin
menekuni keilmuan ini, iya, itulah salah satunya. Tetapi bisa dibilang juga
saya terlambat menekuni ilmu ini karena keponakan saya sudah bukan anak-anak
lagi ketika saya baru mempelajari autisme tujuh tahun lalu di Pendidikan Luar
Biasa UNJ. Kira-kira saat itu keponakan saya menginjak usia sebelas.
Di masa itu saya merasa agak kurang membantu keponakan
saya, karena yang saya pelajari di bangku kuliah adalah penanganan anak dengan
autisme, sedangkan keponakan saya sudah hampir memasuki remaja awal. Itu
artinya akan ada masalah dan penanganan yang berbeda di usia tersebut. Ilmu yang
saya dapat terasa nanggung, kurang
terimplementasi pada kehidupan saya sendiri. Itulah yang pernah saya rasakan.
Saya mencoba kembali berpikir bahwa setiap ilmu pasti
mempunyai manfaat dan tidak ada kata terlambat untuk mengamalkannya. Dari
sinilah saya mulai mencoba melapangkan hati dan mengendurkan idealisme atas
ilmu yang saya pelajar. Semaksimal mungkin membantu keponakan saya dengan
sedikit ilmu yang saya punya.
Lalu terpikirkan
lagi oleh saya untuk mendalami pendidikan khusus untuk autisme dewasa.
Keputusan ini saya ambil dengan harapan ilmu tersebut bisa saya terapkan untuk
menangani keponakan saya kelak di usia dewasanya. Di samping itu, setelah
saya sedikit mempelajari autisme dewasa melalui berbagai referensi, ternyata memang
bidang keilmuan ini tidak banyak diminati pendidik baik itu di dalam ataupun di
luar negeri, ditambah lagi tidak banyak tempat belajar untuk autisme dewasa.
Bukan hanya karena jarangnya fasilitas dan tenaga
profesional yang mumpuni di bidang ini di Indonesia, melainkan juga karena
banyak rentetan masalah dalam ranah ini yang kurang mendapatkan tempat di
Indonesia. Misalnya saja sedikitnya kesadaran orang tua untuk menemukan dan
mengembangkan kemampuan setiap individu dengan autisme, sehingga banyak individu
dengan autisme yang dirumahkan setelah lulus sekolah. Belum lagi hak-hak lain
autisme dewasa yang sangat berbeda, seperti hak-hak vokasi, hak bekerja atau
mengembangkan diri dengan membuka lapangan pekerjaan sendiri, termasuk juga hak
mendapatkan pendidikan seksual untuk autisme dewasa yang masih sering dianggap
tabu di Indonesia yang beradat ketimuran. Jelas ilmu dalam ranah ini akan agak
berbeda dengan apa yang saya pelajari sebelumnya di ranah pendidikan anak-anak.
Kini sudah dua tahun saya berkutat mengajar mahasiswa
dengan autisme, alhamdulillah. Cara pandang saya semakin terbuka, termasuk
semakin luas tujuan saya untuk menekuni ilmu ini. Di tempat mengajar sekarang,
saya belajar banyak hal tentang pendidikan autisme dewasa. Kasus demi kasus
yang ada bersama dengan murid-murid besar saya cukup banyak menjadi
pembelajaran sendiri buat saya untuk nantinya menangani keponakan saya di
rumah.
Ada lagi satu hal yang saya dapatkan di tempat saya
mengajar sekarang. Satu hal ini yang tidak hanya membuka pikiran dan pandangan
saya lebih lebar, tetapi juga membuka hati saya. Sebuah fakta bahwa tidak
sedikit autisme dewasa di sekitar saya dan membuat saya membuka diri bahwa ilmu
yang ingin saya tekuni ini tidak boleh dinikmati dengan egois, hanya untuk
keponakan saya sendiri. Maka saya
bertekad insya Allah saya ingin terus belajar tentang pendidikan autisme untuk
membantu banyak anak dan dewasa dengan autisme di sekitar saya. Bukankah
keberkahan ilmu akan semakin luas jika dimanfaatkan lebih banyak lagi?
Hal lainnya yang membuat saya ingin terus menekuni ilmu
pendidikan khusus ini, khususnya di pendidikan autisme adalah karena sedikitnya
minat keprofesian dan minimnya informasi masayarakat terhadap keilmuan ini. Padahal
ilmu ini akan sangat dibutuhkan setidaknya lima hingga sepuluh tahun ke depan
karena semakin meningkatkan jumlah anak dengan autisme.
FYI, di sini disebutkan bahwa duabelas tahun lalu
terdapat 1 per 500 anak didiagnosis autism. Kiini diperkirakan 1 per 250 anak
dengan autisme. Itu artinya jumlah anak dengan autisme semakin meningkat dari
tahun ke tahun.
Insya Allah saya akan belajar menebarkan manfaat keilmuan
ini lebih luas lagi agar Indonesia,
khususnya lingkungan saya, agar masyarakat bisa lebih menerima keberadaan
mereka yang mengalami keautistikan. Lebih jauh lagi berharap masyarakat bisa
ikut membantu individu dengan autisme untuk bisa hidup sebagaimana kita pada
umumnya.
Strategi Menuntut
Ilmu Pendidikan Khusus untuk Autisme ala Lisfah
Sejujurya, untuk bisa menekuni pendidikan khusus untuk autism
di Indonesia saat ini tidak mudah. Sedikit referensi ilmiah, sedikit lembaga keilmuannya,
dan sedikit pula yang tahu tentang hal ini. Karena ini saya mempunyai strategi
yang terdiri dari beberapa cara yang bisa saya lakukan secara terikat ataupun
tidak. Maksudnya adalah saya mencoba membuat strategi agar proses menekuni ilmu
ini bisa dimaksimalkan, baik itu secara formal ataupun nonformal.
Pertama saya menargetkan
diri untuk membaca tentang pendidikan khusus dan keautistikkan minimal dua kali
seminggu, baik itu artikel, jurnal ilmiah, atau berita. Target ini insya
Allah saya capai melalui beberapa website yang saya percayai penulisan dan
pembahasannya cukup ilmiah, yakni www.autisme.com,
www.autismspeak.org, www.templegrandin.com, www.nationalautismassociation.org,
www.disabilityscoop.com, www.autismnj.org, www.autism-society.org, dan lain-lain.
Kedua adalah saya belajar mengerucutkan lingkup media
sosial saya pada pendidikan khusus untuk individu dengan autisme. Jadi setiap media sosial yang saya gunakan bukan untuk
mengetahui aktivitas teman-teman saya, melainkan untuk mengais ilmu dari akun
sesama pengajar anak dengan autisme di dalam dan luar negeri, akun lembaga
pendidikan dan penanganan autisme, dan akun orang tua dengan anak berkebutuhan
khusus.
Strategi saya yang lainnya adalah memaksimalkan pengamatan terhadap murid-murid besar saya selama
mengajar. Tujuan sebenarnya adalah menemukan setiap kasus yang bisa saya
teluri penyelesaiannya, baik itu secara ilmiah ataupun trail and error.
Kemudian, masih berhubungan dengan strategi sebelumnya,
besar harapan saya bahwa kasus-kasus yang saya amati ini nantinya bisa saya
jadikan tulisan, entah itu tulisan ringan ataupun ilmiah. Masih berkorelasi
dengan strastegi kedua juga, media sosial
yang saya gunakan seperti blogspot, Instagram, Facebook, insya Allah saya
maksimalkan untuk memposting tulisan-tulisan ringan mengenai murid-murid besar
saya. Tujuannya bukan agar orang-orang tahu aktivitas saya selama di tempat
mengajar, melainkan agar orang yang awam pada anak dengan autisme bisa mendapat
gambaran tentang siapa dan bagaimana kehidupan anak dengan autisme.
Alhamdulillah, berkat tulisan-tulisan saya, ada cukup
banyak email atau pesan masuk melalui akun media sosial saya yang menanyakan
tentang penanganan autisme. Yang selalu membuat saya terharu adalah ada saja pesan-pesan
yang masuk dari murid-murid SMA yang berkeinginan menjadi pengajar pendidikan
khusus seperti saya. Alhamdulillah :)
Strategi selanjutnya adalah mendatangi seminar atau diskusi ilmiah berkaitan dengan pendidikan
khusus, terlebih terkait pendidikan anak dan dewasa dengan autisme.
Sayangnya strategi ini belum cukup efektif dilakukan karena minimnya lembaga
yang mengadakan seminar dan diskusi ilmiah yang mengangkat keilmuan ini dari
sisi pendidikan, kalau pun ada umumnya dilaksanakan di luar negeri.
Dikarenakan hal di atas, munculah strategi baru yang saya
persiapkan bersama beberapa teman seprofesi dan sefrekuensi dalam komunitas
yang kami namai kitainklusi. Di komunitas ini insya Allah salah satu agendanya
adalah mengadakan diskusi mengenai autisme dengan sudut pandang utama
pendidikan. Walaupun baru berlangsung
secara online, saya berharap kami bisa konsisten di kitainklusi. Amiin.
Selanjutnya adalah strategi yang sebenarnya agak berat
buat saya dan masih meraba-raba proses pelaksanaannya, yakni melakukan penelitian mandiri terkait dengan
kasus-kasus yang saya temui di lapangan. Kendalanya sebenarnya satu, diri
saya sendiri yang kurang percaya diri untuk memulai.
Terakhir adalah sebuah strategi besar yang proses
pencapaiannya terus saya lakukan, yakni melanjutkan
kuliah pendidikan khusus atau pendidikan autisme di luar negeri, insya Allah.
Mengapa pilihannya luar negeri? Sebab jurusan kuliah yang spesifik pada
pendidikan anak dan dewasa dengan autisme hanya ada di luar negeri. University
of Birmingham insya Allah menjadi target saya, sebab di sanalah satu-satunya
universitas yang mengadakan autism studies di berbagai cabang keilmuan
pendidikan autisme. Target lainnya adalah mengambil program belajar di Jepang.
Di Chiba University untuk magister atau training dan penelitian di Akita
University atau Osaka Kyoiku University.
Tahun ini saya targetkan untuk mempersiapkan semua hal
yang diperlukan untuk bisa belajar di salah satu universitas di atas. Oleh
sebab itu tahun ini semua berkas yang biasanya dijadikan persyaratan mengambil
pendidikan di luar negeri saya lakukan. Termasuk juga strategi untuk menyiapkan
ujian bahasa Inggris dengan meluangkan
waktu minimal dua jam untuk belajar Bahasa Inggris, mulai dari reading,
listening, dan writing.
Perubahan Sikap yang
Harus Lisfah Perbaiki dalam Proses Mencari Ilmu
Selain menyiapkan strategi sebagai amunisi untuk mencapai
target keilmuan yang ingin saya tekuni, tentunya hal yang paling urgen buat
saya pribadi adalah bagaimana merancang amunisi agar diri saya bisa sejalan
dengan strategi yang sudah saya susun. Hal ini perlu saya lakukan agar
keinginan dan sikap saya satu frekuensi, demi terlaksananya startegi dan
tercapaian tujuan keilmuan yang saya idamkan.
Menurunkan ego.
Menurut saya tingginya ego adalah musuh untuk penuntut ilmu, sebab karenanyalah
akan muncul rasa selalu merasa paling benar, merasa paling tahu, dan tidak mau
menerima perbedaan. Ego ini yang kadang luput dari kontrol saya, sehingga
merusak proses menuntut ilmu. Apalagi ilmu yang saya tekuni ini beririsan
dengan berbagai ilmu lainnya seperti psikologi, terapi, dan kedokteran. Jika
saya masih kalah dengan ego saya sendiri, sepertinya saya akan sulit
berkembang, karena di lapangan pun saya harus bertemu dan bekerjasama dengan
berbagai keilmuan tadi. Dengan mengontrol dan terus menekan ego, saya berharap
akan semakin terbuka pikiran saya untuk menerima perbedaan sudut pandang. Juga supaya
saya semakin mudah menerima ilmu dari orang lain, sehingga ilmu yang saya
terima menjadi sebenar-benarnya cahaya.
Menunda untuk
menunda. Ini sikap paling berbahaya yang ada dalam diri saya yang harus
saya lawan selama ini. Saya kebiasaan menunda pekerjaan. Bukan karena malas,
tapi karena saya lebih sering berpikir random. Apa yang seharusnya dikerjakan
malah saya tinggalkan untuk mengerjakan hal yang lain. Oleh karena ini saya
berusaha menunda untuk menunda dengan sekuat tenaga saya, sekecil apapun
pekerjaan itu. Bismillah! XD
Mengatur waktu dan
disiplin. Mengatur waktu adalah salah satu kelemahan saya sekaligus dampak
dari kebiasaan menunda. Hasilnya kadang saya justru tidak disiplin terhadap
aturan yang saya buat untuk diri saya sendiri. Oleh karena itulah mengatur
waktu dan disiplin menjadi bagian dari sikap yang harus saya perbaiki demi
tercapainya ilmu yang ingin saya tekuni.
Untuk belajar mengatur waktu, saya memaksakan diri untuk
melakukan aktivitas sesuai dengan agenda yang saya buat dalam buku agenda. Termasuk
juga di dalamnya belajar membuat daftar prioritas aktivitas. Sekecil apapun
rencana yang saya buat di setiap harinya, saya usahakan untuk mencatatnya.
Mulai dari daftar bacaan hingga daftar pengaturan keuangan. Hehehe.
Hal terakhir untuk belajar
mengatur waktu dan disiplin ini saya juga mulai dengan memperbaiki shalat saya,
berusaha shalat sesegera mungkin, kecuali memang harus berada di tempat yang
saya sulit shalat di awal waktu. Ditambah lagi, saya memancing kedisiplinan
waktu saya dengan tetap menjalankan tahajjud sengantuk apapun saya di sepertiga malam. Harapan saya dengan
memperbaiki ibadah saya juga bisa memperbaiki managamen waktu dan kedisiplinan
saya.
Kira-kira begitulah jawaban saya atas pertanyaan-pertanyaan
NHW #1 kelas matrikulasi yang berkaitan dengan adab menuntu ilmu. Meskipun sebenarnya
saya merasa tugas ini seperti jebakan untuk jujur dan merefleksikan diri sendiri.
Hehehe. Semoga dari tulisan ini ada nilai manfaat dan inspirasi kebaikan yang
bisa diambil :)
“Menuntut ilmu adalah salah satu cara
meningkatkan kemuliaan hidup kita, maka carilah dengan cara-cara yang mulia.”
(Institut Ibu Profesional)
@fatinahmunir | 27 Januari 2018