Archive for January 2018
NHW #1: Adab Menuntut Ilmu
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, setelah kami menjalankan kelas dan diskusi
materi pertama mengenai adab menuntut ilmu, kini saatnya fasilitator kami, Mbak
Trisa memberikan tugas yang dirancang oleh Tim Matrikulasi Institute Ibu
Profesional. Oh iya, untuk resume kelas dan diskusi materinya ada di sini.
Tugas ini kita namakan NICE HOMEWORK dan disingkat
menjadi NHW. Berhubung ini adalah tugas perdana, maka saya memberikan
judul NHW #1. Ada beberapa pertanyaan yang harus kami jawab dalam bentuk
tulisan, gambar, atau mind map. Karena saya suka menulis, maka saya memutuskan
untuk mengerkajan NHW #1 dalam bentuk tulisan dan diposting di blog ini dengan
harapan apa yang saya tuliskan bisa lebih bermanfaat untuk yang membacanya.
Nah, berikut ini adalah pertanyaan dari NHW #1 di kelas matrikulasi kami :
Tentukan satu jurusan ilmu yang akan Anda tekuni di universitas kehidupan ini?
Alasan terkuat apa yang anda miliki sehingga ingin menekuni ilmu tersebut
Bagaimana strategi menuntut ilmu yang akan Anda rencanakan di bidang tersebut?
Berkaitan dengan adab menuntut ilmu, perubahan sikap apa saja yang Anda perbaiki dalam proses mencari ilmu tersebut?
Tentukan satu jurusan ilmu yang akan Anda tekuni di universitas kehidupan ini?
Alasan terkuat apa yang anda miliki sehingga ingin menekuni ilmu tersebut
Bagaimana strategi menuntut ilmu yang akan Anda rencanakan di bidang tersebut?
Berkaitan dengan adab menuntut ilmu, perubahan sikap apa saja yang Anda perbaiki dalam proses mencari ilmu tersebut?
Mudah sekaligus sulit untuk saya menjawab pertanyaan di atas. Lebih
tepatnya untuk menjawab pertanyaan nomor 3 dan 4, sebab butuh waktu khusus
untuk merefleksikan diri dan menyelaraskan pikiran dan hati. Hehehe. Dan mohon
maaf kepada Mbak Trisa, fasil keren yang akan membaca tulisan saya ini, sebab akan menjadi
jawaban yang agak panjang. Semoga tidak bosan membacanya ya, Mbak! Bismillah! ^^
Jurusan Ilmu yang
Akan Ditekuni di Universitas Kehidupan Ini
Sejujurnya ada banyak hal yang ingin saya pelajari selagi
saya masih bisa belajar kepada siapapun itu, di mana pun, dan kapan pun saya memiliki
kesempatan belajar. Tetapi jika diminta untuk memilih satu ilmu yang akan
ditekuni di universitas kehidupan ini, insya Allah saya ingin menekuni
pendidikan khusus untuk anak-anak dan dewasa dengan autisme.
Hampir empat tahun ini saya berkecimpung langsung dalam
dunia pendidikan khusus untuk individu dengan autisme, baik itu anak-anak
ataupun dewasa autisme. Tapi sebenarnya, saya sudah membersamai anak dengan
autisme selama hampir enambelas tahun ini. Keponakan saya yang pertama dan
satu-satunya didiagnosis mengalami keautistikkan sejak usia dua tahun,
delapanbelas tahun sudah berarti usianya tahun ini.
Jika dikatakan keponakan saya adalah alasan saya ingin
menekuni keilmuan ini, iya, itulah salah satunya. Tetapi bisa dibilang juga
saya terlambat menekuni ilmu ini karena keponakan saya sudah bukan anak-anak
lagi ketika saya baru mempelajari autisme tujuh tahun lalu di Pendidikan Luar
Biasa UNJ. Kira-kira saat itu keponakan saya menginjak usia sebelas.
Di masa itu saya merasa agak kurang membantu keponakan
saya, karena yang saya pelajari di bangku kuliah adalah penanganan anak dengan
autisme, sedangkan keponakan saya sudah hampir memasuki remaja awal. Itu
artinya akan ada masalah dan penanganan yang berbeda di usia tersebut. Ilmu yang
saya dapat terasa nanggung, kurang
terimplementasi pada kehidupan saya sendiri. Itulah yang pernah saya rasakan.
Saya mencoba kembali berpikir bahwa setiap ilmu pasti
mempunyai manfaat dan tidak ada kata terlambat untuk mengamalkannya. Dari
sinilah saya mulai mencoba melapangkan hati dan mengendurkan idealisme atas
ilmu yang saya pelajar. Semaksimal mungkin membantu keponakan saya dengan
sedikit ilmu yang saya punya.
Lalu terpikirkan
lagi oleh saya untuk mendalami pendidikan khusus untuk autisme dewasa.
Keputusan ini saya ambil dengan harapan ilmu tersebut bisa saya terapkan untuk
menangani keponakan saya kelak di usia dewasanya. Di samping itu, setelah
saya sedikit mempelajari autisme dewasa melalui berbagai referensi, ternyata memang
bidang keilmuan ini tidak banyak diminati pendidik baik itu di dalam ataupun di
luar negeri, ditambah lagi tidak banyak tempat belajar untuk autisme dewasa.
Bukan hanya karena jarangnya fasilitas dan tenaga
profesional yang mumpuni di bidang ini di Indonesia, melainkan juga karena
banyak rentetan masalah dalam ranah ini yang kurang mendapatkan tempat di
Indonesia. Misalnya saja sedikitnya kesadaran orang tua untuk menemukan dan
mengembangkan kemampuan setiap individu dengan autisme, sehingga banyak individu
dengan autisme yang dirumahkan setelah lulus sekolah. Belum lagi hak-hak lain
autisme dewasa yang sangat berbeda, seperti hak-hak vokasi, hak bekerja atau
mengembangkan diri dengan membuka lapangan pekerjaan sendiri, termasuk juga hak
mendapatkan pendidikan seksual untuk autisme dewasa yang masih sering dianggap
tabu di Indonesia yang beradat ketimuran. Jelas ilmu dalam ranah ini akan agak
berbeda dengan apa yang saya pelajari sebelumnya di ranah pendidikan anak-anak.
Kini sudah dua tahun saya berkutat mengajar mahasiswa
dengan autisme, alhamdulillah. Cara pandang saya semakin terbuka, termasuk
semakin luas tujuan saya untuk menekuni ilmu ini. Di tempat mengajar sekarang,
saya belajar banyak hal tentang pendidikan autisme dewasa. Kasus demi kasus
yang ada bersama dengan murid-murid besar saya cukup banyak menjadi
pembelajaran sendiri buat saya untuk nantinya menangani keponakan saya di
rumah.
Ada lagi satu hal yang saya dapatkan di tempat saya
mengajar sekarang. Satu hal ini yang tidak hanya membuka pikiran dan pandangan
saya lebih lebar, tetapi juga membuka hati saya. Sebuah fakta bahwa tidak
sedikit autisme dewasa di sekitar saya dan membuat saya membuka diri bahwa ilmu
yang ingin saya tekuni ini tidak boleh dinikmati dengan egois, hanya untuk
keponakan saya sendiri. Maka saya
bertekad insya Allah saya ingin terus belajar tentang pendidikan autisme untuk
membantu banyak anak dan dewasa dengan autisme di sekitar saya. Bukankah
keberkahan ilmu akan semakin luas jika dimanfaatkan lebih banyak lagi?
Hal lainnya yang membuat saya ingin terus menekuni ilmu
pendidikan khusus ini, khususnya di pendidikan autisme adalah karena sedikitnya
minat keprofesian dan minimnya informasi masayarakat terhadap keilmuan ini. Padahal
ilmu ini akan sangat dibutuhkan setidaknya lima hingga sepuluh tahun ke depan
karena semakin meningkatkan jumlah anak dengan autisme.
FYI, di sini disebutkan bahwa duabelas tahun lalu
terdapat 1 per 500 anak didiagnosis autism. Kiini diperkirakan 1 per 250 anak
dengan autisme. Itu artinya jumlah anak dengan autisme semakin meningkat dari
tahun ke tahun.
Insya Allah saya akan belajar menebarkan manfaat keilmuan
ini lebih luas lagi agar Indonesia,
khususnya lingkungan saya, agar masyarakat bisa lebih menerima keberadaan
mereka yang mengalami keautistikan. Lebih jauh lagi berharap masyarakat bisa
ikut membantu individu dengan autisme untuk bisa hidup sebagaimana kita pada
umumnya.
Strategi Menuntut
Ilmu Pendidikan Khusus untuk Autisme ala Lisfah
Sejujurya, untuk bisa menekuni pendidikan khusus untuk autism
di Indonesia saat ini tidak mudah. Sedikit referensi ilmiah, sedikit lembaga keilmuannya,
dan sedikit pula yang tahu tentang hal ini. Karena ini saya mempunyai strategi
yang terdiri dari beberapa cara yang bisa saya lakukan secara terikat ataupun
tidak. Maksudnya adalah saya mencoba membuat strategi agar proses menekuni ilmu
ini bisa dimaksimalkan, baik itu secara formal ataupun nonformal.
Pertama saya menargetkan
diri untuk membaca tentang pendidikan khusus dan keautistikkan minimal dua kali
seminggu, baik itu artikel, jurnal ilmiah, atau berita. Target ini insya
Allah saya capai melalui beberapa website yang saya percayai penulisan dan
pembahasannya cukup ilmiah, yakni www.autisme.com,
www.autismspeak.org, www.templegrandin.com, www.nationalautismassociation.org,
www.disabilityscoop.com, www.autismnj.org, www.autism-society.org, dan lain-lain.
Kedua adalah saya belajar mengerucutkan lingkup media
sosial saya pada pendidikan khusus untuk individu dengan autisme. Jadi setiap media sosial yang saya gunakan bukan untuk
mengetahui aktivitas teman-teman saya, melainkan untuk mengais ilmu dari akun
sesama pengajar anak dengan autisme di dalam dan luar negeri, akun lembaga
pendidikan dan penanganan autisme, dan akun orang tua dengan anak berkebutuhan
khusus.
Strategi saya yang lainnya adalah memaksimalkan pengamatan terhadap murid-murid besar saya selama
mengajar. Tujuan sebenarnya adalah menemukan setiap kasus yang bisa saya
teluri penyelesaiannya, baik itu secara ilmiah ataupun trail and error.
Kemudian, masih berhubungan dengan strategi sebelumnya,
besar harapan saya bahwa kasus-kasus yang saya amati ini nantinya bisa saya
jadikan tulisan, entah itu tulisan ringan ataupun ilmiah. Masih berkorelasi
dengan strastegi kedua juga, media sosial
yang saya gunakan seperti blogspot, Instagram, Facebook, insya Allah saya
maksimalkan untuk memposting tulisan-tulisan ringan mengenai murid-murid besar
saya. Tujuannya bukan agar orang-orang tahu aktivitas saya selama di tempat
mengajar, melainkan agar orang yang awam pada anak dengan autisme bisa mendapat
gambaran tentang siapa dan bagaimana kehidupan anak dengan autisme.
Alhamdulillah, berkat tulisan-tulisan saya, ada cukup
banyak email atau pesan masuk melalui akun media sosial saya yang menanyakan
tentang penanganan autisme. Yang selalu membuat saya terharu adalah ada saja pesan-pesan
yang masuk dari murid-murid SMA yang berkeinginan menjadi pengajar pendidikan
khusus seperti saya. Alhamdulillah :)
Strategi selanjutnya adalah mendatangi seminar atau diskusi ilmiah berkaitan dengan pendidikan
khusus, terlebih terkait pendidikan anak dan dewasa dengan autisme.
Sayangnya strategi ini belum cukup efektif dilakukan karena minimnya lembaga
yang mengadakan seminar dan diskusi ilmiah yang mengangkat keilmuan ini dari
sisi pendidikan, kalau pun ada umumnya dilaksanakan di luar negeri.
Dikarenakan hal di atas, munculah strategi baru yang saya
persiapkan bersama beberapa teman seprofesi dan sefrekuensi dalam komunitas
yang kami namai kitainklusi. Di komunitas ini insya Allah salah satu agendanya
adalah mengadakan diskusi mengenai autisme dengan sudut pandang utama
pendidikan. Walaupun baru berlangsung
secara online, saya berharap kami bisa konsisten di kitainklusi. Amiin.
Selanjutnya adalah strategi yang sebenarnya agak berat
buat saya dan masih meraba-raba proses pelaksanaannya, yakni melakukan penelitian mandiri terkait dengan
kasus-kasus yang saya temui di lapangan. Kendalanya sebenarnya satu, diri
saya sendiri yang kurang percaya diri untuk memulai.
Terakhir adalah sebuah strategi besar yang proses
pencapaiannya terus saya lakukan, yakni melanjutkan
kuliah pendidikan khusus atau pendidikan autisme di luar negeri, insya Allah.
Mengapa pilihannya luar negeri? Sebab jurusan kuliah yang spesifik pada
pendidikan anak dan dewasa dengan autisme hanya ada di luar negeri. University
of Birmingham insya Allah menjadi target saya, sebab di sanalah satu-satunya
universitas yang mengadakan autism studies di berbagai cabang keilmuan
pendidikan autisme. Target lainnya adalah mengambil program belajar di Jepang.
Di Chiba University untuk magister atau training dan penelitian di Akita
University atau Osaka Kyoiku University.
Tahun ini saya targetkan untuk mempersiapkan semua hal
yang diperlukan untuk bisa belajar di salah satu universitas di atas. Oleh
sebab itu tahun ini semua berkas yang biasanya dijadikan persyaratan mengambil
pendidikan di luar negeri saya lakukan. Termasuk juga strategi untuk menyiapkan
ujian bahasa Inggris dengan meluangkan
waktu minimal dua jam untuk belajar Bahasa Inggris, mulai dari reading,
listening, dan writing.
Perubahan Sikap yang
Harus Lisfah Perbaiki dalam Proses Mencari Ilmu
Selain menyiapkan strategi sebagai amunisi untuk mencapai
target keilmuan yang ingin saya tekuni, tentunya hal yang paling urgen buat
saya pribadi adalah bagaimana merancang amunisi agar diri saya bisa sejalan
dengan strategi yang sudah saya susun. Hal ini perlu saya lakukan agar
keinginan dan sikap saya satu frekuensi, demi terlaksananya startegi dan
tercapaian tujuan keilmuan yang saya idamkan.
Menurunkan ego.
Menurut saya tingginya ego adalah musuh untuk penuntut ilmu, sebab karenanyalah
akan muncul rasa selalu merasa paling benar, merasa paling tahu, dan tidak mau
menerima perbedaan. Ego ini yang kadang luput dari kontrol saya, sehingga
merusak proses menuntut ilmu. Apalagi ilmu yang saya tekuni ini beririsan
dengan berbagai ilmu lainnya seperti psikologi, terapi, dan kedokteran. Jika
saya masih kalah dengan ego saya sendiri, sepertinya saya akan sulit
berkembang, karena di lapangan pun saya harus bertemu dan bekerjasama dengan
berbagai keilmuan tadi. Dengan mengontrol dan terus menekan ego, saya berharap
akan semakin terbuka pikiran saya untuk menerima perbedaan sudut pandang. Juga supaya
saya semakin mudah menerima ilmu dari orang lain, sehingga ilmu yang saya
terima menjadi sebenar-benarnya cahaya.
Menunda untuk
menunda. Ini sikap paling berbahaya yang ada dalam diri saya yang harus
saya lawan selama ini. Saya kebiasaan menunda pekerjaan. Bukan karena malas,
tapi karena saya lebih sering berpikir random. Apa yang seharusnya dikerjakan
malah saya tinggalkan untuk mengerjakan hal yang lain. Oleh karena ini saya
berusaha menunda untuk menunda dengan sekuat tenaga saya, sekecil apapun
pekerjaan itu. Bismillah! XD
Mengatur waktu dan
disiplin. Mengatur waktu adalah salah satu kelemahan saya sekaligus dampak
dari kebiasaan menunda. Hasilnya kadang saya justru tidak disiplin terhadap
aturan yang saya buat untuk diri saya sendiri. Oleh karena itulah mengatur
waktu dan disiplin menjadi bagian dari sikap yang harus saya perbaiki demi
tercapainya ilmu yang ingin saya tekuni.
Untuk belajar mengatur waktu, saya memaksakan diri untuk
melakukan aktivitas sesuai dengan agenda yang saya buat dalam buku agenda. Termasuk
juga di dalamnya belajar membuat daftar prioritas aktivitas. Sekecil apapun
rencana yang saya buat di setiap harinya, saya usahakan untuk mencatatnya.
Mulai dari daftar bacaan hingga daftar pengaturan keuangan. Hehehe.
Hal terakhir untuk belajar
mengatur waktu dan disiplin ini saya juga mulai dengan memperbaiki shalat saya,
berusaha shalat sesegera mungkin, kecuali memang harus berada di tempat yang
saya sulit shalat di awal waktu. Ditambah lagi, saya memancing kedisiplinan
waktu saya dengan tetap menjalankan tahajjud sengantuk apapun saya di sepertiga malam. Harapan saya dengan
memperbaiki ibadah saya juga bisa memperbaiki managamen waktu dan kedisiplinan
saya.
Kira-kira begitulah jawaban saya atas pertanyaan-pertanyaan
NHW #1 kelas matrikulasi yang berkaitan dengan adab menuntu ilmu. Meskipun sebenarnya
saya merasa tugas ini seperti jebakan untuk jujur dan merefleksikan diri sendiri.
Hehehe. Semoga dari tulisan ini ada nilai manfaat dan inspirasi kebaikan yang
bisa diambil :)
“Menuntut ilmu adalah salah satu cara
meningkatkan kemuliaan hidup kita, maka carilah dengan cara-cara yang mulia.”
(Institut Ibu Profesional)
@fatinahmunir | 27 Januari 2018
Adab Menuntut Ilmu
Bismillahirahmanirahim
Memasuki pekan pertama belajar bersama ibu dan calon ibu professional di kelas Matrikulasi IIP. Rasanya deg-degan dan excited pastinya. Alhamdulillah materi pertama adalah tentang adab menuntut ilmu. Ada alasan mengapa materi ini yang menjadi pembuka kelas kami, karena dalam beramal, melakukan berbagai hal, adab adalah hal yang harus dimiliki terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu dari hal yang ingin diamalkan atau dilakukan.
Well, tanpa prolog Panjang lebar, berikut ini adalah materi adab menuntut ilmu yang saya pelajari di kelas Matrikulas Batch 5 Jakarta yang disusun oleh Tim Matrikulasi Institut Ibu Profesional dan difasilitatori oleh Mbak Trisa :)
Well, tanpa prolog Panjang lebar, berikut ini adalah materi adab menuntut ilmu yang saya pelajari di kelas Matrikulas Batch 5 Jakarta yang disusun oleh Tim Matrikulasi Institut Ibu Profesional dan difasilitatori oleh Mbak Trisa :)
***
Menuntut ilmu adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk mengubah perilaku dan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Karena pada dasarnya ilmu menunjukkan kepada kebenaran dan meninggalkan segala kemaksiatan.
Banyak diantara kita terlalu buru-buru fokus pada suatu ilmu terlebih dahulu, sebelum paham mengenai adab-adab dalam menuntut ilmu. Padahal barang siapa orang yang menimba ilmu karena semata-mata hanya ingin mendapatkan ilmu tersebut, maka ilmu tersebut tidak akan bermanfaat baginya, namun barangsiapa yang menuntut ilmu karena ingin mengamalkan ilmu tersebut, niscaya ilmu yang sedikitpun akan sangat bermanfaat baginya.
Karena ILMU itu adalah prasyarat untuk sebuah AMAL, maka ADAB adalah hal yang paling didahulukan sebelum ILMU.
ADAB adalah Pembuka Pintu Ilmu Bagi yang Ingin Mencarinya.
Adab menuntut ilmu adalah tata krama (etika) yang dipegang oleh para penuntut ilmu, sehingga terjadi pola harmonis baik secara vertikal, antara dirinya sendiri dengan Sang Maha Pemilik Ilmu, maupun secara horisontal, antara dirinya sendiri dengan para guru yang menyampaikan ilmu, maupun dengan ilmu dan sumber ilmu itu sendiri.
Mengapa para Ibu Profesional di kelas matrikulasi ini perlu memahami adab menuntut ilmu terlebih dahulu sebelum masuk ke ilmu-ilmu yang lain? Karena ADAB tidak bisa diajarkan, ADAB hanya bisa ditularkan.
Para ibulah nanti yang harus mengamalkan adab menuntut ilmu ini dengan baik, sehingga anak-anak yang menjadi amanah para ibu bisa mencontoh adab baik dari Ibunya. Berikut ini adalah beberapa adab yang semestinya dimiliki setiap penuntut ilmu, termasuk ibu dan calon ibu yang berkaitan dengan beradab pada diri sendiri, kepada guru atau pemilik ilmu, dan kepada sumber ilmu.
Adab Pada Diri Sendiri
Hal pertama yang harus dilakukan penuntut ilmu adalah ikhlas dan mau membersihkan jiwa dari hal-hal yang buruk. Selama batin tidak bersih dari hal-hal buruk, maka ilmu akan terhalang masuk ke dalam hati.Karena ilmu itu bukan rentetan kalimat dan tulisan saja, melainkan ilmu itu adalah “cahaya” yang dimasukkan ke dalam hati.
Selanjutnya adala membiasakan diri selalu bergegas, mengutamakan waktu-waktu dalam menuntut ilmu. Hadir paling awal dan duduk paling depan di setiap majelis ilmu baik online maupun offline.
Jangan lupa pula, sebagai penuntut ilmu sudah semestinya menghindari sikap yang “merasa’ sudah lebih tahu dan lebih paham, ketika suatu ilmu sedang disampaikan. Selama menuntut ilmu sebaiknya mengosong gelas yang kita punya agar yang masuk dapat diterima dengan kelapangan hati dan kejernihan pikiran, bukan karena untuk membandingkan kemampuan penuntut ilmu dengan orang lain.
Setiap penuntut ilmu sudah seharusnya menuntaskan sebuah ilmu yang sedang dipelajarinya. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengulang-ulang, membuat catatan penting, menuliskannya kembali dan bersabar sampai semua runtutan ilmu tersebut selesai disampaikan sesuai tahapan yang disepakati bersama.
Terakhir dan yang paling penting adalah bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas yang diberikan setelah ilmu disampaikan. Karena sejatinya tugas itu adalah untuk mengikat sebuah ilmu agar mudah untuk diamalkan.
Adab Terhadap Guru (Penyampai Sebuah Ilmu)
Sebagai penuntut ilmu, yang membutuhkan ilmu, sudah semestinya penuntut ilmu harus berusaha mencari ridha gurunya dan dengan sepenuh hati. Penuntut ilmu harus menaruh rasa hormat kepadanya, disertai mendekatkan diri kepada Dia yang Maha Memiliki Ilmu dalam berkhidmat kepada guru.
Di samping itu hendaknya penuntut ilmu tidak mendahului guru untuk menjelaskan sesuatu atau menjawab pertanyaan, jangan pula membarengi guru dalam berkata, jangan memotong pembicaraan guru dan jangan berbicara dengan orang lain pada saat guru berbicara. Hendaknya penuntut ilmu penuh perhatian terhadap penjelasan guru mengenai suatu hal atau perintah yang diberikan guru. Sehingga guru tidak perlu mengulangi penjelasan untuk kedua kalinya.
Poin terakhir ini adalah hal kecil yang kadang disepelekan oleh para penuntut ilmu, yaitu penuntut ilmu meminta keridhaan guru, ketika ingin menyebarkan ilmu yang disampaikan baik secara tertulis maupun lisan ke orang lain, dengan cara meminta ijin. Apabila dari awal guru sudah menyampaikan bahwa ilmu tersebut boleh disebarluaskan, maka cantumkan/ sebut nama guru sebagai bentuk penghormatan kita.
Adab Terhadap Sumber Ilmu
Adab Terhadap Sumber Ilmu
Kendati sumber ilmu terkadang berupa benda mati, tetapi dalam beradab, penuntut ilmu juga perlu memiliki adab terbaik kepada sumber-sumber ilmu tersebut. Di antaranya adalah sebagai berikut.
Tidak meletakkan sembarangan atau memperlakukan sumber ilmu dalam bentuk buku ketika sedang kita pelajari. Tidak melakukan penggandaan, membeli dan mendistribusikan untuk kepentingan komersiil, sebuah sumber ilmu tanpa ijin dari penulisnya. Tidak mendukung perbuatan para plagiator, produsen barang bajakan, dengan cara tidak membeli barang mereka untuk keperluan menuntut ilmu diri kita dan keluarga. Dalam dunia online, tidak menyebarkan sumber ilmu yang diawali kalimat “copas dari grup sebelah” tanpa mencantumkan sumber ilmunya dari mana. Dalam dunia online, harus menerapkan sceptical thinking dalam menerima sebuah informasi. jangan mudah percaya sebelum kita paham sumber ilmunya, meski berita itu baik.
Adab menuntut ilmu ini akan erat berkaitan dengan keberkahan sebuah ilmu, sehingga dengan beradab dalam menuntut ilmu diharapkan ilmu yang sedang kita cari dapat mendatangkan manfaat bagi hidup kita dan umat.
Referensi :
Turnomo Raharjo, Literasi Media & Kearifan Lokal: Konsep dan Aplikasi, Jakarta, 2012.
Bukhari Umar, Hadis Tarbawi (pendidikan dalam perspekitf hadis), Jakarta: Amzah, 2014, hlm. 5
Muhammad bin Sholeh, Panduan lengkap Menuntut Ilmu, Jakarta, 2015
Adab menuntut ilmu ini akan erat berkaitan dengan keberkahan sebuah ilmu, sehingga dengan beradab dalam menuntut ilmu diharapkan ilmu yang sedang kita cari dapat mendatangkan manfaat bagi hidup kita dan umat.
Referensi :
Turnomo Raharjo, Literasi Media & Kearifan Lokal: Konsep dan Aplikasi, Jakarta, 2012.
Bukhari Umar, Hadis Tarbawi (pendidikan dalam perspekitf hadis), Jakarta: Amzah, 2014, hlm. 5
Muhammad bin Sholeh, Panduan lengkap Menuntut Ilmu, Jakarta, 2015
Teruntuk referensi video penjelasan adab menuntut ilmu, bisa ditonton di sini.
Selama proses belajar, kami memiliki sesi tanya jawab seputar materi adab menuntut ilmu ini. Berikut ini saya tambahkan resume dari pertanyaan yang disampaikan dalam sesi diskusi materi :)
Pertanyaan 1:
Bila kita perhatikan isi materi yang disampaikan Ibu Septi pada acara milad kemarin, maka disebut bahwa sistem pendidikan berkembang dari jaman dahulu hingga sekarang, yaitu:
1.0: I know, you don't know. I teach you.
2.0: I know, you know. Let's discuss.
3.0: I know, you know. Let me hear you.
Nah pertanyaan saya adalah, bagaimana dengan sistem belajar yang diterapkan dalam kelas MIIP sekarang ini? Harapan saya, jawabannya dapat memperjelas bagaimana etos belajar yang harus kita lakukan dalam kelas ini ke depannya.
Jawaban 1:
Sistem belajar di IIP memegang prinsip semua murid, semua guru, Mbak. :) Jadi, guru bukanlah seseorang yang tahu segalanya. Begitu sebaliknya dengan murid, murid juga bukan orang yang tidak tahu apa apa. Semua member IIP bisa menjadi guru, semua member IIP bisa juga menjadi murid. Setiap orang punya ilmu di bidangnya masing-masing. Jika ada perbedaan pendapat, dapat dicari titik tengahnya dengan cara yang baik. Bukan menyalahkan, menghujat dan lain sebagainya. :)
Pertanyaan 2:
Tidak meletakkan sembarangan atau memperlakukan sumber ilmu dalam bentuk buku ketika sedang kita pelajari. Ini maksudnya bagaimana?
Jawaban 2:
Saya kasih contoh aja ya, Mbak. :) Misalnya buku. Kadang kita secara tidak sadar, tidak menghargai buku. Misalnya meletakkan buku sembarangan sehingga rentan terinjak, tertendang, melempar buku, mencoret coret buku bacaan (buku yang bukan untuk dicoret), mengotori buku (kecuali anak anak yang memang belum paham) dan tindakan tidak baik lainnya yang dilakukan terhadap buku. wwalaupun buku adalah benda mati, namun kita tetap harus menghargainya sebagai salah satu sumber ilmu dan memperlakukannya dengan baik. :)
Pertanyaan 3:
Bagaimana sikap kita sebagai narasumber jika menyikapi orang yang merasa lebih mengerti dan paham tentang ilmu yang sedang disampaikan oleh narasumber, sebagai narasumber atau sebagai penuntut ilmu
Jawaban 3:
Sebagai narasumber yang menyampaikan ilmu, jika ada penuntut ilmu yang merasa lebih mengerti dengan apa yang kita sampaikan, hargai pendapat mereka terlebih dahulu. Bisa jadi pendapat yang disampaikan memang benar. Jika pendapat disampaikan dengan cara yang baik dan memang benar menurut kita, terima dengan ikhlas karena itu adalah ilmu bagi kita. Namun, jika cara menyampaikannya kurang baik dan benar, lebih baik bersabar dan menerima. Jika menurut narasumber pendapat orang yang menuntut ilmu tadi tidak benar, lakukan diskusi dua arah dengan cara yang baik. Bukan dengan ego, menyalahkan dan menghujat.
Sebaliknya sebagai penuntut ilmu, jika ada hal yang tidak sepakat dengan ilmu yang diberikan oleh narasumber, juga harus disampaikan dengan cara yang baik :)
Pertanyaan 4:
Bagaimana cara kita berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu zaman old, namun berada di zaman now (misal orangtua kita) yang terkadang penerapannya sudah tidak cocok.
Jawaban 4:
Hihi. Kalau soal ini saya coba share pengalaman pribadi ya, Mbak. :) Untuk komunikasi atau memberikan pendapat kepada orang tua ini ada trik trik tersendiri buat saya.
Saya perhatikan sifat orang yang lebih tua ada beragam. Ada yang mau menerima pendapat karena memang mengikuti perkembangan zaman. Nah, tipe seperti ini biasanya cukup disampaikan dan dijelaskan contoh keadaan yang sebenarnya. Ada yang merasa lebih tahu karena memang lebih berpengalaman, saya coba sampaikan pendapat sata terlebib dahulu. Jika masih belum bisa diterima, biasanya saya minta tolong kepada orang ketiga yang dipercaya oleh orang yang lebih tua tersebut. Atau bisa juga minta orang yang memang ahli dibidangnya untuk menjelaskan. Ada yang saklek (keras kepala), dan tidak mau menerima pendapat kita sama sekali. Nah, biasanya saya cukup menyampaikan saja, diterima alhamdulillah, tidak diterima tidak apa apa. Yang penting tugas kita adalah menyampaikan. :) Semuanya tetap disampaikan dengan cara yang baik ya, Mbak, tidak marah marah, membentak, menyalahkan dan lain sebagainya. :)
Saya perhatikan sifat orang yang lebih tua ada beragam. Ada yang mau menerima pendapat karena memang mengikuti perkembangan zaman. Nah, tipe seperti ini biasanya cukup disampaikan dan dijelaskan contoh keadaan yang sebenarnya. Ada yang merasa lebih tahu karena memang lebih berpengalaman, saya coba sampaikan pendapat sata terlebib dahulu. Jika masih belum bisa diterima, biasanya saya minta tolong kepada orang ketiga yang dipercaya oleh orang yang lebih tua tersebut. Atau bisa juga minta orang yang memang ahli dibidangnya untuk menjelaskan. Ada yang saklek (keras kepala), dan tidak mau menerima pendapat kita sama sekali. Nah, biasanya saya cukup menyampaikan saja, diterima alhamdulillah, tidak diterima tidak apa apa. Yang penting tugas kita adalah menyampaikan. :) Semuanya tetap disampaikan dengan cara yang baik ya, Mbak, tidak marah marah, membentak, menyalahkan dan lain sebagainya. :)
Pertanyaan 5:
Dalam era informasi yang sangat cepat ini, bagaimana caranya kita mengetahui bahwa informasi yang diberikan itu benar atau hoax, meskipun kadang di cantumkan nama penulisnya ternyata bukan dia yang menulis? Dan bagaimana cara kita melindungi karya tulisan kita sendiri. Terima kasih.
Jawaban 5:
Untuk mengetahui, biasanya langsung menghubungi penulisnya. Tanyakan langsung untuk memastikan apakah tulisan tersebut memang benar ditulis oleh beliau atau tidak. Di IIP istilahnya clear and clarify disingkat CnC.
Jika mendapatkan info dari yang lain dan ada sumbernya, gunakan daftar pusata yang baik. Misalnya sebuah artikel kita dapatkan dan tidak dari group Matrikulasi IIP jakarta (disampaikan oleh ani/nama samaran), dari group IIP Jakarta 02 disampaikan oleh Yuni, dst. Namun jika memang boleh disebar dengan mencantumkan sumber utama, kita bisa menyebutkan sumber utama tersebut saja. Jika kita ragu, apakah itu benar dari penulisnya langsung atau tidak, saya lebih memilih tidak share atau tidak mempercayai informasi tersebut.
Pertanyaan 6:
Tolong diberi arahan soal gadget time. Misal seorang ibu bukan hanya menjalankan satu kelas whatsapp (ada kelas lain selain IIP) & juga punya bisnis online. Bagaimana menjelaskan dan mengatur gadget time kepada anak.
Jawaban 6:
Kita bisa membuat jadwal gadgetnya bunda dan kemudian sampaikan, berikan pemahaman dan diskusikan kepada anak dan keluarga. Misalnya saya jualan online, gadget time saya pagi. Pukul 09.00 - 11.00 untuk packing barang pesanan kemaren. Pukul 13.30 - 15.30 untuk membalas chat pesanan. Pukul 20.00 - 21.30 untuk berkomunitas. Baik via WA, fb, IG dll.
Biasanya masalah online shop adalah harus cepat merespon chat pelanggan, solusinya kita bisa rekrut karyawan khusus. Jika tidak bisa, cukup infokan kepada pembeli kalau chat akan dibalas pada jam sekian sampai jam sekian.
Bagaimana jika anak anak atau keluarga masih meminta perhatian di jam jam tersebut, layani anak sebentar dan sepenuh hati, kemudian kembali lagi minta izin melanjutkan aktivitas online.
Pertanyaan 7:
Mbak, mau tanya. Tentang adab menuntut ilmu, apakah ini nanti bisa diterapkan bersikap kepada suami. Jadi walaupun secara ilmu kita lebih tinggi daripada suami tapi tetap memposisikan suami sebagai sumber ilmu?
Jawaban 7:
Bisa mba. Bisa diterapkan kepada semua anggota keluarha dan semua orang. Biasanya saya kalau ke suami sifatnya lebih ke sharing dan diskusi dua arah, bukan mengajarkan. Misalnya saya kemaren dapat ilmu, kemudian saya ceritakan kepada suami. Saya tanya pendapatnya. Dan kita diskusi.
@fatinahmunir | 26 Januari 2018
Perjalanan Menjadi Ibu Profesional
Bismillahirrahmanirrahim
Sudah hampir
dua minggu saya tidak menulis di blog ini. Insya Allah tulisan kali ini akan
menjadi sebuah tulisan awalan dari tulisan lainnya yang akan saya posting
setelah ini, sebab cikal bakal tulisan yang lainnya akan dimulai dari kisah di
bawah ini :)
Alhamdulillah
ála kulli haal. Bulan ini ada lagi satu nikmat yang Allah SWT berikan kepada
saya, sebuah nikmat menuntut ilmu dan teman-teman yang sama hausnya untuk
meneguk ilmu-ilmu baru di sebuah komunitas yang insya Allah sangat diidamkan
setiap wanita untuk bergabung di dalamnya. Institut Ibu Profesional (IIP), di
sinilah saya sekarang belajar, insya Allah sampai sepuluh minggu ke depan untuk mengikuti kelas Matrikulasi (kelas dasar di program IIP) bersama teman-teman yang saling menyemangati dan fasilitator yang sangat
menginspirasi. Jika proses belajar di kelas Matrikulasi lancar, insya Allah akan ada banyak sekali ilmu yang akan didapatkan di tingkatan kelas selanjutnya. Mohon doanya ya! :)
Jujur, buat
saya pribadi untuk bisa bergabung dengan IIP ini tidak cukup mudah. Saya harus
mencari infonya berkali-kali, khawatir lagi-lagi tertinggal info
pendaftarannya. Alhamdulillah, Agustus 2017 lalu ada satu kesempatan di mana
teman saya yang sudah mengikuti kelas Matrikulasi IIP Kediri mengirimkan undangan wisuda online di whatsapp group (WAG).
Saat itu
saya bahagia bukan main. Terasa sedang bermimpi bergabung, ada di satu WAG
dengan ibu-ibu pembelajar, professional, dan shalehah. Dari sanalah Allah SWT
Membuka jalan buat saya, alhamdulillah. Saya mendapatkan info pendaftaran untuk
masuk ke WAG calon peserta kelas matrikulasi batch selanjutnya atau yang
disebut WAG Foundation IIP.
Perjuangannya
tidak sampai di situ, sebab harus mengantre di daftar tunggu untuk bisa masuk
WAG Foundation IIP. Masya Allah! Oh iya, berdasarkan info yang saya terima
sebelumnya, anggota baru akan dimasukkan ke dalam WAG Foundation IIP setiap
bulannya, jadi saat itu setiap bulan saya lalui dengan harap-harap cemas,
khawatir tidak masuk ke grup dalam waktu dekat dan lagi-lagi harus menunggu.
Karena terlalu bingungnya menunggu, akhirnya setiap bulan, Agustus dan
September, saya menginput data ke link pendaftaran WAG. Hihihihi. Kalau ini
sungguh jangan ditiru! XD
Alhamdulillah
lagi dan lagi, awal Oktober sebuah notifikasi WA memberitahukan kalua saya
sudah dimasukkan ke WAG Foundation IIP :)
Okay,
setelah masuk ke WAG Foundation IIP, saya dan ibu-ibu dan calon ibu lainnya
tidak serta merta bisa langsung mengikuti kelas Matrikulasi IIP. Butuh waktu
untuk lagi-lagi menunggu jadwal belajar. Sebagai gantinya, kami pun mempunyai
jadwal berlajar dan sharing bebas selama di WAG Foundation IIP. Hingga pada
akhir Desember 2017 perdaftaran kelas Matrikulasi IIP Batch 5 dibuka dan proses
pendaftarannya benar-benar bendebarkan. Kalau tidak percaya, silakan gabung di
WAG Foundation IIP untuk nantinya mendaftar WAG Matrikulasi IIP Batch 6.
Hehehe.
Januari
2018. Alhamdulillah, hadiah manis di awal tahun di mana pada bulan inilah saya
dan teman-teman yang sudah mendaftar bisa masuk ke WAG Matrikulasi IIP Batch 5.
Tapi perjuangan belum berakhir ibu dan calon ibu, sebab selama kelas
Matrikulasi ini nasib kita ditentukan untuk bisa resmi menjadi anggota IIP atau
tidak.
Loh, masuk
Matrikulasi belum menjadi anggota IIP ya? Betul sekali. Tugas dan penilaian
dari tugas yang kita kerjakan di kelas Matrikulasi ini yang nantinya kita layak
lulus kelas, diwisuda, dan resmi menjadi anggota IIP atau tidak. Luar biasa ya
perjuangan ibu dan calon ibu penuntut ilmu!
Okay, lanjut
kepada inti postingan ini. Jadi saya ingin bercerita tentang pertama kalinya
saya menghadiri agenda IIP secara nyata alias offline. Agenda ini merupakan
Gathering sekaligus Milad IIP ke-6 yang diadakan 21 Januari 2018 lalu di Resto
Bebek Dower, Jakarta.
Ada yang
unik dan baru buat saya di acara ini, yakni konsep acara yang mengusahakan
hamper 0% sampah. Jadi untuk meminimalisir sampah, seluruh peserta diminta
membawa wadah makan dan minum sendiri. Lalu cemilan yang ada juga sistemnya
dari kita untuk kita, istilah sekarangnya adalah potluck party. Potluck itu
sendiri maksudnya adalah setiap orang yang hadir diwajibkan membawa cemilan
atau makanan dalam wadah besar untuk dimakan bersama atau sharing makanan. Seru
dan menarik buat saya, karena yang saya bayangkan adalah banyaknya makanan
dengan jenis dan jumlah sangat bervariasi.
Tapi saat
hari pelaksanaan acara, karena terlalu semangat membawa buah-buahan untuk
potluck, saya justru lupa membawa wadah makanan dan minuman sendiri. Jadilah
saya harus balik lagi ke rumah sebelum naik ke atas angkot dan rencana tiba di
lokasi tepat pukul 8.00 WIB menjadi pukul 8.30 WIB. Saat tiba di lokasi, masya
Allah, sudah ramai dengan ibu dan calon ibu, banyak juga yang membawa serta
anak dan suaminya. Meskipun membawa anak usia balita hingga remaja, para ibu di
sini masih bisa tetap fokus belajar bersama suami, karena ada ruang aktivitas
untuk balita, anak-anak, dan remaja. Keren ya! :D
Acara
gathering dan milad ini diawali dengan banyak sekali pengenalan tentang IIP.
Mulai dari sejarah berdirinya IIP hingga saat ini, komponen-komponen di
dalamnya, termasuk berbagai program IIP yang di antaranya adalah rumah belajar
(Rumbel). Dalam presentasi Rumber IIP, ada Mbak Agris dari Rumbel Menulis, Mbak
Evy dari Rumbel Gardening, Mbak Sari dari Rumber Sew and Craft, dan Mbak Aya
dari Rumbek Sejuta Cinta (Sedkah Jumat untuk Tanah Air Tercinta).
Masuk ke
acara inti, tema acaranya Change Maker Family. Berat sekali, piker saya saat
membacanya. Membayangkan mengurus anak dan suami lalu memastikan anak bertumbuh
dan berkembang menjadi anak yang shaleh dan shalehah saja sudah berat, apalagi
jika harus menjadi change maker family (keluarga pembuat perubahan). Tapi
ternyata ada, justru banyak ibu-ibu hebat yang menjadi bagian dari change maker
family. Di wajah ibu-ibu hebat itu ada banyak sekali hal yang membuat saya
merasa kerdil selama acara berlangsung. Banyak juga momen di mana saya
bersyukur karena kekhawatiran saya tidak hanya dirasakan oleh saya seorang. Di
sini saya berjumpa dengan banyak sekali ibu professional yang menginspirasi,
yang tidak hanya menjadi manfaat untuk diri dan keluarganya saja tetapi juga
untuk banyak orang di sekitarnya.
Ibu
professional pertama yang langsung membuat saya sesak terharu karena kisah
inpirasinya adalah Mbak Annisa Miranty Gumay. Beliau mendirikan projek Raqueefa
Bookhouse dan Komik Keluarga bersama empat orang anaknya. Sebagai single parent,
sebab suami beliau meninggal saat beliau hamil anak kempat, beliau bisa
membuktikan bahwa keterbatasan dalam figure suami untuk dirinya dan ayah untuk
anak-anaknya tidak menghambat beliau untuk terus bermanfaat. Ada satu kalimat
dari Mbak Annisa yang membuat saya sangat yakin bahwa beliau memang semestinya
menjadi change maker family. Saat suaminya meninggal dan anak-anaknya bertanya
tentang keberadaan ayah mereka, Mbak Annisa menjawab, “Ayah sedang lihat-lihat
rumah kita di surga, karena Ayah penasaran rumah kita di surga sudah jadi atau
belum. Nah, supaya rumah kita di surga besar dan cepat jadi, kita harus berbuat
banyak kebaikan. Nanti kan di sana kita juga bisa ketemu Ayah, bisa tinggal di
rumah di surga bersama lagi.”
Ibu
professional kedua ini merupakan ibu hebat yang mengingatkan saya akan
pentingnya mempersiapkan diri untuk “menjadi”, untuk bisa bermanfaat sedini
mungkin sebelum usia sudah terlanjur menua. Nama beliau adalah Mbak Siti
Munawaroh atau yang biasa dipanggil Mbak Mumun. Mbak Mumun ini usianya jauh di
atas saya. Beliau bercerita bahwa beliau terlambat menyadari betapa dirinya
harus bermanfaat semaksimal mungkin sebelum tutup usia. Pemikiran ini muncul di
usia Mbak Mumun yang sudah berkepala empat. Iya, di usia 40 tahun Mbak Mumun
memulai semuanya untuk membuat manfaat kepada sekelilingnya. Hingga akhirnya
beliau bersama suaminya mendirikan Sanggar Belajar Hasanah Center di Jakarta
yang melatih banyak ibu dan remaja berbagai keterampilan. Hasanah Center
bersama Mbak Mumun memantau perkembangan keterampilan orang-orang yang
dilatihnya dan mengembangkannya menjadi sebuah industri kecil.
Ibu
professional lainnya adalah Mbak Efi Femiliyah yang mendirikan Taman Baca Warga
67. Taman baca ini diinisiasi berdasarkan pengalaman anak-anak di sekiar
rumahnya yang sudah terpapar pornografi.
Maka Mbak Efi dibantu suami mendirikan taman baca yang aktif setiap selasa di
wilayah rumahnya. Tidak ada tempat permanen untuk Mbak Efi “mangung”,
mendongeng atau membacakan buku untuk anak-anak dan remaja. Mbak Efi dan suami
membawa buku-bukunya sendiri dari rumah menggunakan koper untuk disajikan
kepada anak dan remaja di sekitar rumahnya.
Terakhir
adalah sosok ibu yang setiapa ibu dan calon ini masa kini yang ingin meniti
karier wajib belajar dari beliau. Beliau adalah Mbak Erna Listia, ibu di balik
suksesnya Resto Bebek Dower. Beliau adalah mantan ibu pekerja di luar, tepatnya
di perusahaan Johnson and Johnson selama kurang lebih tujuh tahun. Kedudukan
dan penghasilan yang tidak sedikit sudah ada di tangan beliau. Saat itu tidak
ada yang perlu beliau khawatirkan tentang kesejahteraan di masa depan. Tetapi
saat beliau hamil tujuh bulan anak kedua, beliau memutuskan untuk melepas semua
jabatan beliau. Ya, beliau pindah menjadi ibu pekerja domestic, mengurus rumah,
anak, dan suami. Beliau memutuskan membuka Resto Bebek Dower dengan tekad bahwa
seorang ibu juga bisa sukses di luar dan di dalam rumah tanpa mengorbankan
waktu untuk anak-anak. Sekarang pun terbukti, resto beliau ada ratusan di
seluruh Indonesia dan kualitasnya tidak usah ditanya :)
Menginspirasi
ya! Itu baru sedikit inspirasi dari miniseminar para change maker family, loh. Masih ada Ibu Septi,
pendiri IIP dan suami, Pak Dodik, yang juga akan berbagi cerita dan ilmunya
kepada para peserta bagaimana cara mempersiapkan diri menjadi change maker
family. Beberapa hal yan disampaikan Ibu Septi dan Pak Dodik insya Allah akan
saya tuliskan di bawah ini.
dokumentasi pribadi |
Kenapa Harus Menjadi Change Maker Family?
Pernah
mendengar hadits Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa sebaik-baiknya manusia
adalah yang bermanfaat untuk yang lainnya? Yap! Hadits ini yang menjadi
landasannya. Kebermanfaatan perempuan pastinya tidak akan berhenti ketika
perempuan sudah menikah. Justru dengan adanya suami dan anak, kebermanfaatan
seluruh anggota keluarga bisa dimaksimalkan dengan kolaborasi dan saling
bersinergi mengerjakan kebaikan. Perlu diingat, berkarya dan mendidik anak
bukanlah dua hal yang terpisah. Keduanya adalah hal yang dapat saling
mendukung, sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengambil kesempatan menjadi
change maker family karena alasan ingin fokus mendidik anak :)
Selain itu,
apakah ada alasan lain yang membuat kita harus menjadi pembuat perubahan di
tengah zaman yang deras sekali arus perubahannya? Apakah ada alasan lain untuk tidak
menjadi pembuat perubahan sedangkan perubahan zaman tak tentu arahnya, kepada
kebaikan atau keburukan? Maka memulai kebaikan dari diri sendiri, lalu ke
keluarga, dan melakukan bersama-sama kebaikan keluar untuk memberi manfaat
seluas-luasnya adalah pilihan terbaiknya. Hal ini jugalah pilihan terbaik saat
ini untuk membentuk kebaikan dari rumah, tidak mengharapkan kebaikan masuk dari
luar rumah untuk mempengaruhi keluarga tetapi berusaha menjadi baik dari dalam
rumah dan memberikan kebaikan itu kepada banyak hal di luar rumah.
Analoginya
adalah seperti sebuah telur diberi tekanan dari luar yang hanya akan menjadi sebuah
telur dadar, roti, dan sebagainya dengan berbagai jenis tapi habis manfaatnya
jika sudah dimakan. Berbeda dengan telur yang diberi tekanan dari dalam, secara
alami akan menghasikan individu baru yang akan menghasilkan banyak lagi telur.
Bagaimana Menjadi Change Maker Family?
Bertolak
dari hal di atas, maka kita jika kita mau membuat perubahan untuk sekeliling
kita, maka yang harus kita ubah terlebih dahulu adalah diri kita sendiri. Dan
perubahan pada diri kita sendiri bisa dimaksimalkan bagi yang sudah berkeluarga
dengan mengubah keluarga kita.
Tapi ada
yang perlu diperhatikan nih, terkait mengubah keluarga. Fokus utama kita adalah
bagaimana mengubah diri sendiri, sedangkan anggota keluarga lainnya seperti
anak dan suami, insya Allah akan berubah ketika kita berubah. Jadi tidak perlu
mengeluarkan banyak energi untuk mengubah seseorang, sebab kita tidak akan
pernah bisa mengubah orang lain. Maka dimulai dari diri sendiri yang niscaya
akan menular ke keluarga adalah awalannya. Jangan lupa dilakukan dari sekarang
:)
Oh iya, kebanyakan
orang belum mau memulai kebaikan karena takut atau khawatir tidak sempurna,
sehingga banyak yang memutuskan untuk menjadi sempurna dulu untuk memulai. Tapi
menurut Ibu Septi, jangan pernah menunggu kesempurnaan untuk memulai suatu
kebaikan. Jika kita terus menunggu dan memikirkan kesempurnaan, niscaya kita
tidak akan memulai atau bergerak. Justru kita harus memulai kebaikan itu sedini
mungkin dan secepat mungkin kebaikan itu bisa dilakukan.
Langkah
pertama memang selalu dianggap sulit, pun itu untuk menjadi change maker
family. Tapi sebenarnya kita bisa membuat langkah pertama ini menjadi mudah caranya
adalah dengan memulai kebaikan dengan passion yang kita punya. Lakukan kebaikan
di ranah passion kita, usahakan yang terbaik, dan serahkan hasilnya kepada
Allah SWT. Tapi ingat saat kita ingin menerima lebih, maka kita harus berubah
menjadi yang layak untuk menerima itu semua.
Bagaimana Melakukan Projek Change Maker
Family?
Membuat
projek keluarga berarti membuat perubahan bersama-sama. Oleh sebab itu hal in
aja dengan team work. Untuk bisa membuat
perubahan bersama anggota keluarga lainnya, maka setiap anggota keluarga harus
sering main bareng, bercanda bareng, dan beraktivitas atau bekerja bareng. Jika
sudah terbiasa melakukan banyak hal bersama, maka ikatan antar anggota keluarga
akan semakin kuat dan setiap anggota keluarga akan saling memahami karakter
masing-masing lebih dalam lagi.
Kemudian
mulailah melakukan projek bersama yang dimulai dari projek sederhana yang bisa
dipahami anak usia dini dan tidak membosankan untuk orang tua. Pada bagian ini
setiap anggota keluarga berhak mengajukan sebuah projek, anggota keluarga yang
mengajukan projeknya bisa menjadi leader projek. Misalnya ibu memiliki projek,
maka ibu bisa menjadi team leader yag sebelumnya harus mempresentasikan
projeknya secara singkat kepada suami dan anak-anak. Suami dan anak-anak berhak
memberikan masukan atas projek ibu. Di samping itu ibu juga bisa bertanya
kepada anggota keluarga yang lain, anak dan suami, peran apa yang ingin mereka
ambil untuk menyukseskan projek tersebut.
Projek yang
dilakukan tidak perlu sebuah projek besar, bisa saja projek kecil yang hanya
memakan waktu dua hingga tujuh hari proses persiapan hingga pelaksanaan.
Misalnya adalah projek membagikan makanan gratis kepada penyapu jalanan di hari
Sabtu. Maka seluruh anggota keluarga yang kini menjadi tim kebaikan bisa
mengambil peran masing-masing, seperti siapa yang menentukan tempat pembagian
makanan, siapa bagian dokumentasi, siapa bagian belanja makan untuk dibagikan,
lalu siapa yang bertanggung jawab memasak jika makanan yang akan dibagikan
tersebut berupa makanan matang. Masya Allah, menarik bukan! Terbayang bagaimana
kebaikan tiap kebaikan diinsisasi dari dalam keluarga, anak-anak diajarkan
kebaikan langsung dengan projek dan praktiknya, hal ini mengingatkan saya pada
kajian parenting bersama Ayah Irwan yang saya buat resumenya di sini.
Ada hal lain
yang harus diperhatikan untuk membuat kebaikan dan perubahan bersama; kesiapan
dan kesempatan. Dua hal ini harus ada bersamaan. Terbayang kan bagaimana
mustahilnya sebuah kebaikan dilakukan ketika kita sudah siap tetapi tidak punya
kesempatan. Apalagi jika sebenarnya kita mempunyai kesempatan tapi sayangnya
kita belum ada kesiapan. Oleh sebab itu kitalah yang semestinya menciptakan
kesiapan dan kesempatan tesebut, menjadi diri yang layak dan siap untuk
mengambil kesempatan kebaikan bersama keluarga.
Bagaimana Jika Projek Kebaikan Change Maker
Family Ini Tidak Berhasil?
Apa sih
memangnya yang menjadi parameter sebuah kebaikan? Apakah jika semua orang mau
ikut dalam kebaikan yang kita lakukan? Apakah saat semua orang menerima
kebaikan yang kita lakukan? TIDAK!
Tidak ada
parameter keberhasilan dari Change Maker Family. Semua parameter itu sejatinya
adalah hal yang kebanyakan dibuat-buat. Seperti yang sebelumnya ditulisakan,
bahwa kita tidak bisa mengubah banyak orang dan tidak bisa membahagiakan semua
orang. Terlalu berusaha mengubah dan membahagiakan banyak orang akan menguras
banyak sekali energi yang kita punya. Hasilnya kemungkinan besar kita akan
kecewa jika respon orang tidak sesuai dengan harapan kita. Oleh karena itu,
mulai semuanya dengan mengubah diri sendiri dan setiap menjalankan projek yang
penting kita bahagia, tidak peduli berapa banyak orang yang menerima projek
kita. Selama projek itu sebuah kebaikan, niscaya lambat laun akan ada
orang-orang sefrekuensi yang dipertemukan dengan kita. So, tugas kita hanyalah
menebar benih-benih kebaikan sebanyak mungkin dan membiarkan benih kebaikan itu
tumbuh sesuai fitrahnya di tangan masing-masing orang yang menerima.
Adakah Tips Lain untuk Menjadi Change Maker
Family?
Ada 4E yang
bisa kita lakukan untuk menjadi change maker family dalam menjalankan projek perubahan
dan kebaikan bersama keluarga, yaitu Enjoy,
Easy, Excellent, dan Earn.
Pastikan
kita enjoy atau nyaman dan bahagia dalam melakukan projek kebaikan. Kenyamanan
dan kebahagiaan ini sangat menentukan apakah projek kebaikan ini bisa berjalan
atau tidak nantinya. Kebahagiaan yang dimaksud ini bisa ibu dan tim keluarga dapatkan
dari dalam rumah, dari diri sendiri. Jadi change maker family tidak pernah
mencari kebahagiaan dari luar timnya, meskipun itu sekadar mengharapkan apresiasi
orang lain dari projek yang dilakukan :)
Lalu tetap
lakukan setiap hal dalam projek dengan easy, santai. Melakukan projek kebaikan,
jika kita tidak bahagia pasti kita tidak akan santai menjalankannya. Akan ada
rasa kesal atau berharap banyak selama mengerjakan projek. Oleh sebab itu,
menjalan projek dengan santai agar yang dilakukan semuanya maksimal :)
Kemudian
lakukan setiap halnya dengan excellent. Menjadi yang terbaik selama projek kebaikan
keluarga berlangsung buka berarti harus menjadi yang sempurna dalam setiap
halnya. Kedua hal ini jelas sangat berbeda. Ketika kita melakukan yang terbaik,
berarti kita telah fokus pada hal-hal positif dan kelebihan diri yang bisa kita
maksimalkan. Berbeda ketika kita menjadi kesempuranaan sebagai target dari yang
kita lakukan, pasti akan banyak energi yang terkuras untuk mengejar
kesempurnaan itu. Maka akan jauh lebih baik jika energi kita disalurkan untuk tetap
melakukan yang terbaik. :)
Jangan lupa
untuk earn your work, menikmati setiap usaha. Untuk menikmati setiap usaha yang
kita lakukan dalam projek kebaikan bersama tim keluarga ini tentunya tidak perlu
menunggu hasil. Kita bisa menikmati hasil setiap projek di setiap tahapan projek
ini berlangsung. Misalnya menikmati setiap saat berbicara bareng tentang
projek, menikmati setiap candaan yang dilakukan di tengah-tengah proses
pembuatan projek, dan menikmati setiap usaha yang dilakukan orang-orang
tersayang dalam keluarga yang terlibat dalam projek ini.
Ibu Septi bersama Pak Dodik dan Enest, anaknya. Looking at them who always keep smiling during the talkshow really sparking joy :) (dokumentasi pribadi) |
Masya Allah!
Seru bukan! Saya yang belum menikah pun merasakan bagaimana serunya dan
menyenangkannya melakukan projek kebaikan bersama untuk menjadi change maker
family ini. Terbayang bagaimana keberkahan dan rahmat Allah SWT akan terus
mengalir dalam keluarga yang terus dan terus melakukan kebaikan untuk banyak
orang, bukan untuk diri sendiri. Terbayang bagaimana nikmatnya bisa
berkolaborasi kebaikan dengan orang-orang tersayang (suami dan anak-anak), sehingga
hubungan yang terkait bukan hanya tentang mendidik dan dididik melainkan bagaimana
saling terpaut dalam pahala-pahal kebaikan.
@fatinahmunir | Jakarta, 25 Januari 2018
Tentang 2017
“Life has a way of tasting a person will, either by
having nothing happen at all or by having everything happen at once.”
(Paulo Coelho)
Sudah hampir sepuluh hari 2018 terlewati, tetapi masih banyak
di 2017 dan tahun-tahun sebelumnya yang masih membekas dan melekat di relung
hati dan pikiran.
Sebenarnya pada 2017 saya tidak memiliki banyak resolusi
atau target tahunan. Adapun sebuah postingan di instagram yang pernah saya buat
tentang resolusi, itu hanya sebatas daftar hal-hal yang ingin saya lakukan.
Semuanya tercatat setelah terlintas sejenak dalam benak. Qodarullah semuanya terjadi
satu per satu meskipun beberapa hal yang terlewati tidak pernah terpikirkan
sedikitpun walau sejenak.
Meskipun banyak hal diraih, rasanya hal ini tidak boleh
dijadikan referensi, sebab apa yang saya rasakan setelah melewati semua
rencana-rencana yang tidak direncanakan itu tidak sepuas yang telah
direncanakan.Yang paling membedakan adalah kurangnya esensi dari yang dicapai.
Di sini saya mulai memahami arti failing
to plain is planning to fail.
Setiap halnya yang terlewati pada 2017 lalu penuh kejutan. Beberapa
hal membuat tertawa, kadang tersenyum dalam hati, lebih sering lagi tersenyum
untuk menutupi sedih, di lain waktu juga saya meronta. Tetapi berupa rasa
itulah yang kini, setelah sepekan merenungi, membuat saya cukup siap untuk
menjalani apa-apa yang sudah direncanakan di tahun ini. Ya, 2017 buat saya
adalah tahun yang penuh kejutan dan saya menyebutnya sebagai tahun penempaan.
Januari 2017
terlewati dengan harapan dan keridhaan yang selalu dinanti. Hari-hari di
bulan ini adalah waktu di mana setiap halnya dimulai dengan penuh kejutan yang
melegakan. Malam pergantian tahun saya lalui dengan berdiam diri di dalam
masjid bersama seorang sahabat dan seorang murid kelas bahasa Inggris saat saya
mengajar di Kediri. Hari pertama 2017, sepulang dari masjid adalah momen yang
berharga bagi saya di bulan ini, sebab di hari ini ada dialog istimewa -bagi
saya khususnya, antara saya dan bapak. Di sinilah untuk pertama kalinya bapak
mau menerima hadiah dari saya. Kisah tentang dialog dengan bapak ini saya
tuliskan beberapa waktu lalu di sini.
Di bulan ini pula, tepatnya di hari ketujuh, alhamdulillah
setelah menanti selama dua tahun, bapak akhirnya memberikan restu dan ridhanya
buat saya untuk meneruskan kuliah di luar negeri. Maka sejak restu dan ridha
ini dikantongi, saya kembali belajar dan mempersiapkan diri untuk kembali
mendaftar beasiswa :)
Februari 2017
dirasakan dengan segenap syukur dan pandangan yang semakin luas atas nikmat
Allah yang senantiasa terbentang. Di bulan kedua 2017 ini untuk pertama
kalinya saya berkunjung ke beberapa negara untuk tujuan lebih dari sekadar
berjalan-jalan. Selama perjalanan inilah saya menemukan teman-teman baru, guru
hebat yang sangat passionate, sosok-sosok muslim inspiratif di tengah keminoritasan,
dan teman-teman lintas negara yang Allah SWT perkenalkan dari tegur sapa di
tepi jalan.
Di waktu-waktu berharga ini saya selalu mengusahakan
berdiskusi, berbagi cerita, dan melihat langsung semangat pendidik di negara
maju dan segala perjuangan mereka untuk menjadi guru yang qualify menurut peraturan negara. Semuanya menjadi inspirasi bagi
saya untuk bisa menjadi guru yang layak mendidik, ditiru, dan digugu, meskipun
saya menyadari bahwa apa yang telah saya lakukan hanya seujung kuku dari
perjuangan mereka. Dan saya pun menyadari betapa masih banyak yang harus
dilakukan agar Indonesia bisa memiliki kualitas pendidikan seperti negara-negara
maju lainnya.
Di tempat-tempat baru yang saya lewati di bulan inilah yang
juga mengajarkan saya betapa luas khazanah ilmu yang belum tersentuh. Saya
melihat nilai-nilai Islam begitu disebarluaskan dalam lisan dan perilaku oleh
teman-teman seiman di tempat minoritas. Pada mereka saya menemukan Islam yang
menjadi rahmat, yang tidak hanya sebagai keyakinan tetapi juga pengetahuan bagi
siapapun. Insya Allah pengalaman ini akan saya tulis di lain waktu :)
Oh iya, selama perjalanan di bulan ini saya belajar bagaimana
sebuah negara besar bisa tumbuh dan terus berkembang pesat karena tiada
orang-orang di dalamnya yang berani melupakan sejarah. Tiada perjuangan dan
tindakan mereka yang terinspirasi dari sejarah kelam negara yang mereka hidup
di dalamnya. Termasuk saya pun belajar bagaimana berteman dengan beberapa teman
dari negara lain dan saling bertukar kisah tentang budaya dan adab di setiap
negara. Alhamdulillah ‘alaa kulli haal,
bulan ini Allah SWT berikan keberkahan.
Maret 2017 ketika
kenikmatan berkelindan dengan keberkahan yang terpaut oleh tali perkenalan.
Bulan ini pun terlalui dengan kejutan-kejutan kecil. Awal bulan, pertemuan
dengan beberapa teman berkebangsaan Jepang pun terjadi dengan cukup dadakan.
Dua hari dilalui dengan berkeliling Jakarta dan berbagi cerita tentang
kebiasaan, budaya, pengalaman, dan lelucon ala Indonesia-Jepang. Ini adalah
kali pertama saya mendampingi teman dari negara lain melancong di negeri
sendiri. Sejak menemani mereka, saya punya target semoga suatu hari nanti saya
bisa lagi dan lagi menemani teman-teman dari negara lain untuk berkeliling di negara
sendiri :)
Tak lama berselang, alhamdulillah saya akhirnya bisa
melakukan traveling dan mendaki sesuai target saya, yaitu pendakian 2017 harus
diawali dengan misi berbagi kebaikan. Maka jadilah saya bersama seorang sahabat
dan teman naik gunung membuat sebuah taman baca di sebuah desa di Garut.
Sebelum kami berkemah di kaki gunung Cikuray.
Pada misi kebaikan kali ini, saya sangat berterima kasih
kepada bapak yang sudah banyak membantu saya menyiapkan beberapa hal untuk
persiapan pembuatan taman baca. Bapak banyak membantu saya memilah buku-buku, mengemas
buku-buku ke dalam kardus, dan juga mengangkut buku-buk untuk dibawa ke Garut.
Jazakumullah khiar, Pak :)
Oh iya, hal istimewa lainnya di bulan ini adalah saya
bersyukur sekali bisa merasakan pertama kalinya berpergian jauh dan menginap
bersama murid-murid spesial saya. Semua kenangan ini terekam dalam agenda summer
camp 2017 di tempat saya mengajar. Selama summer camp berlangsung, segala
keletihan dan kegembiraan tetap terlewati dengan senyum dan tawa tiada henti :D
Seperti keberkahan yang tiada habis kebaikannya, di bulan
ini pula untuk pertama kalinya saya mendapat hadiah dari Paman Kyai yang
tinggal di Madura. Hadiah kecil berupa surban yang biasa Paman Kyai pakai dan
diberikan kepada saya seusai keluarga menunaikan tahajjud. Teriring pula doa
beliau saat memberikan surban, “Semoga semakin bijaksana, terjaga wibawamu, dan
selamat dunia akhiratmu.” Lalu dia bulan berikutnya saya berpikir doa ini
mungkin menjadi satu hadiah yang menjadi penguat bagi saya di hari-hari
selanjutnya.
April 2017 yang
datang membawa memori paling perih tapi tak mau saya lupakan. April selalu
menjadi bulan yang dinanti oleh saya, sebab bulan ini adalah bulan khusus para
penyandang autisme. Awal bulan dilalui dengan semangat, membuat berbagai
tulisan tentang autisme di instagram dan blog juga berusaha terlibat dalam
aktivitas bertajuk autism awareness di luar ataupun dalam tempat saya mengajar.
Di samping itu, bulan ini pula saya merasakan menjadi panitian volunteer untuk
agenda bertaraf internasional. Alhamdulillah, saya berkesempatan membantu
sekaligus mendengarkan langsung ceramah dari Ustadz Zakir Naik.
Tapi ada waktu di mana saya seolah tidak ingin mendahapi
bulan ini, sebab pada bulan ini pula kesedihan terbesar dalam hidup saya selama
ini terukir. Rasa sedihnya membuat saya merasa sakit hati pada apa yang telah
Allah SWT Tuliskan kepada saya. Sebuah sedih dan sakit yang meruntuhkan segala cita-cita
saya dan sempat membuat saya kehilangan arah. Di sinilah saya merasa hilang
sudah satu kaki saya untuk melangkah, sehingga jangankan berlari, berjalan pun
setelahnya saya teramat tertatih.
Bulan keempat 2017 ini, tepat di pekan keduanya bapak pergi
meninggalkan kami. Bapak berpulang ke tempat tinggalnya, ke sisi termulia Allah
SWT. Masih ingat di bulan Januari tentang restu bapak untuk saya melanjutkan
pendidikan? Mimpi itu memudar setelah pemberi restu itu pergi dan setiap hari
di bulan-bulan selanjutnya menjadi minim arti.
Mei 2017 saat
hari-hari berjalan bagai bayang-bayang. Di bulan ini, meski sudah sebulan
bapak pergi, bayang-bayang beliau masih ada, melekat di sekitar saya. Semuanya
berjalan dengan semangat yang mengambang, tidak ada antusiasme seperti dulu
lagi.
Di awal bulan, saya memantapkan diri untuk tidak naik gunung
lagi hingga saya benar-benar siap pergi bersama yang bertanggung jawab atas
saya. Dan bulan ini saya tetapkan sebagai terakhir kalinya saya mendaki, yakni
ke Gunung Sumbing bersama beberapa teman sehobi. Entah kapan Allah SWT
perkenankan saya kembali menggeluti alam.
Keputusan ini juga menjadi awal mula dari segala keputusan
saya untuk berdiam diri di rumah. Ya, saya memilih untuk lebih banyak berdiam
diri di rumah. Menjadikan keluarga yang sebelumnya first priority menjadi super
first priority. Meminimalisir aktivitas di luar dan mencoba sedikit demi sedikit
menerima kehilangan.
Tahun lalu, Ramadhan jatuh di akhir bulan ini. Setiap
harinya dilalui dengan aduan kepada Allah SWT. Setiap ada kesempatan sendirian,
meski di luar waktu ibadah, selalu menjadi waktu mencurhatkan segala
kepada-Nya, tentang semua rasa yang meskipun Dia Tahu, tapi saya butuh menyampaikan
kepada-Nya.
Tidak ada yang istimewa di hari-hari bulan ini atau pun
selanjutnya bagi saya, kecuali rasa ingin tahu yang melejit tinggi tentang
bagaimana kehidupan kita setelah kematian dan apa yang terjadi di dalam kubur
seseorang. Maka saya mulai membaca berbagai hal tentang kehidupan alam kubur
dan akhirat. Saya juga banyak bertanya kepada teman-teman yang ahli dalam
urusan agama. Apakah saya bisa mengenali bapak, bertemu bapak, dan berkumpul
lagi dengan bapak di akhirat nanti, di surga-Nya? Itulah pertanyaan-pertanyaan
besar yang berkumpul dalam dada saya.
Segala bentuk instrospeksi tentang apa-apa yang telah dan
akan di lewati juga menjadi pilihan saya di bulan ini. Saya memutuskan untuk
banyak berpikir. Lagi-lagi pun saya mencoba merenungkan dan mikirkan banyak hal
yang harus dilakukan, bertadabbur, melihat lagi ke belakang dan melihat jauh ke
depan. termasuk menyelaraskan kembali impian dan kenyataan yang telah Allah SWT
tetapkan. Meskipun tampaknya saat itu belum ada titik terang. Belum saya
temukan ketenangan. Saya gamang dan masih perlu banyak belajar menerima dengan
keikhlasan.
Juni 2017 berlalu
masih dalam sendu. Akhir Ramadhan dan Idul Fitri tahun lalu ada di bulan
ini. Setiap malamnya selalu terpanjat doa dan istighfar buat bapak. Tidak ada
yang menjadi teramat istimewa di bulan ini kecuali harapan bisa meraih Lailatul
Qadr dan Allah SWT mengabulkan setiap bagian dari hal-hal kecil saya dalam doa
saya.
Sama halnya tidak ada yang teramat istimewa di hari raya
saat itu kecuali pergi ke makam bapak sebagai ganti dari mencium tangan dan
memeluk bapak di tahun-tahun sebelumnya. Di hari raya ini, saya memutuskan
hanya untuk berdiam diri di rumah dan bersilaturahim ke keluarga pada hari-hari
berikutnya.
Juli 2017 yang
semakin hampa dan langkah yang tak lagi bernyawa. Sungguh hidup masih saya
jalani di bulan ini tetapi tidak ada nyawa dalam setiap hari saya melangkah.
Hari demi hari dilewati cukup dengan melakukan rutinitas mengajar dan
menghadiri majelis ilmu, tetapi semangat dan antusias yang biasanya ada seolah
sudah menguap begitu saja. Semangat saya seolah ikut pergi bersama dengan kesedihan
karena bapak berpergi. Tenaga dan semangat yang tersisa hanya untuk dihabiskan
di dalam rumah.
Di bulan ini, seorang teman yang lama sekali tak bertemu ataupun
berkirim kabar, tiba-tiba mengirimkan saya sebuah pesan Facebook dari Jepang.
Dia mengirimkan saya sebuah postingan video tentang rombongan orang-orang
dengan disabilitas di sebuah festival. Saat itu dia juga menawarkan saya untuk
belajar di Jepang, termasuk memberikan beberapa link beasiswa untuk guru,
sesuai profesi saya. Kembali lagi kenangan dan impian itu dibuka. Saat itu, saya
teringat kepada impian saya dan juga restu bapak yang telah dikantongi. Tapi
anehnya, semangat itu belum muncul lagi. Saya memutuskan untuk tidak mengikuti
seleksi beasiswa dan memilih diam sendirian seperti biasanya, bersama Allah
SWT. saja. Hanya untuk beberapa lama. Janji saya pada diri sendiri.
Agustus 2017 yang
menjadi masa mengurung diri dan pergi dari ke sedikit apapun bentuk kebisingan.
Pada bulan ini masih nyata
bekas-bekas sedih. Hari-hari yang saya jalani berlalu begitu saja. Meskipun
sedikit demi sedikit saya memutuskan untuk mencari kesibukan sambil tetap
menarik diri dari keramaian.
Ada dua aktivitas baru di bulan ini seingat saya, yakni saya
mulai bergabung dengan klub bahasa Inggris dan menjadi volunteer di sebuah
organisasi yang mengampanyekan antirokok di kalangan anak-anak. Dua aktivitas
ini saya pilih karena ketertarikan saya pada bahasa dan anak-anak. Di samping
itu, di sini saya tidak terlalu terikat dan setidaknya berharap di sini saya
bisa mengurangi kesedihan dan sedikit menanamkan lagi semangat.
Lalu di bulan yang sama saya juga memutuskan untuk
menonaktifkan sosial media. Tidak ada lagi akun sosial media, tidak pula
menulis untuk menyembuhkan diri. Hanya berdiam diri di rumah, menikmati apa pun
yang bisa saya lakukan, meski hanya ada di rumah untuk tidur atau asalkan tidak keluar seperti yang emak
minta dan asalkan tidak sering-sering bertemu
banyak orang seperti yang saya mau.
September 2017 tempat
di mana perenungan semakin menjadi. Saya semakin bertepekur dengan diri
saya sendiri bersama Allah SWT. Bertanya berkali-kali atas apa yang telah
dilewati dan berpikir berkali-kali atas apa yang hendak dilewati. Sama seperti
bulan-bulan sebelumnya, intensitas aktivitas apapun di luar rumah terus
berkurang. Hanya mengajar, kajian Islam, dan kelas bahasa yang saya jalani.
Saya juga menyadari bermula dari sini sedikit demi sedikit hubungan dengan teman-teman
terjeda sebab memilih berpikir lebih lama.
Mungkin ada satu yang membuat saya merasa cukup bahagia.
Yakni waktu di mana semester pertama di tahun ajaran pertama di mulai.
Pekan-pekan pertama bertemu murid-murid besar yang istimewa dengan berbagai
pendekatan dan observasi, cukup membuat saya teralih dari sedih dan kelesuhan
diri.
Oktober 2017 di mana
setitik demi setitik muncul jawaban dan mulai merangkak mengaisi semangat.
Memasuki akhir 2017 ini muncul beberapa pertanyaan dari teman-teman yang tidak
pernah saya duga –sebab nyatanya kami jarang bertemu pun itu bersapa di sosial
media. Mereka adalah orang-orang yang diam-diam memperhatikan saya di sosial
media, yang kemudian bertanya kemana saya selama ini dan mengapa sosial media
saya tidak ada lagi. Ada juga beberapa pesan yang masuk ke WhatsApp ataupun
yang disampaikan melalui orang lain tentang pribadi saya. Salah satunya adalah
kerinduan teman-teman pada tulisan atau postingan saya.
Di sinilah saya menemukan setitik semangat di balik sedih
dan luka, di mana ternyata apa yang dianggap biasa oleh saya –postingan sosial
media, bisa bernilai manfaat bagi orang di sekitar saya. Sejak bulan ini saya
–lagi-lagi berpikir, untuk sedikit demi sedikit membuka diri, kembali bergerak
meski terseok. Memulai mencari celah untuk kembali bermanfaat, kembali bersemangat
dari awal meski grafiknya tak secepat dulu.
November 2017 saat
tiap kepingan semangat ditata sedemikian rupa. Pada hari-hari di bulan ini
saya mulai membangun kembali diri saya yang sempat pecah.
Saya menyebut bulan ini sebagai bulan penyembuhan, di mana setiap harinya saya niatkan untuk
menjadi saya yang dulu. Meskipun sudah mulai merasa tertekan sebab rutinitas
yang berbeda, dari sangat sering beraktivitas menjadi sangat meminimkan
aktivitas. Tapi saya tetap mencobanya.
Apa yang dirasakan saat itu? Banyak hal yang saya rasakan.
Mulai dari distraksi yang lebih tinggi, mudah menangis, mudah menyendiri sampai
benar-benar hanya ingin sendiri di kamar, lalu semangat lagi untuk bertemu
teman-teman meskipun masih sangat pilih-pilih untuk bertemu teman-teman tertentu.
Bulan sebelum akhir tahun ini menjadi sangat berat bagi saya
sekaligus menjadi titik tolak saya membentak diri. Betul, membentak diri saya
sekuat-kuatnya demi membentuk diri lebih baik lagi. Apa jadinya jika saya terus
sedih? Bukankah kebahagian dan kesedihan itu menular? Kenapa saya tidak mencoba
untuk berbahagia? Kenapa saya tidak mencoba tersenyum meskipun di balik pintu
kamas saya menangis dan meraung-raung mengadukan segala rasa kepada Allah SWT?
Ya. Di bulan ini saya mencoba menemukan jawaban sendiri dari
segala pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada habisnya di pikiran saya.
Saya benar-benar berjuang untuk mengenakan kembali pakaian
saya, menjadi yang aktif, progresif, passionate, dan penuh dengan impian yang
terencana. Bedanya, saat ini saya belajar menanggalkan hal-hal yang menjebak
saya seperti karakter dominan, selalu ingin yang terdepan, dan ambisi untuk tak
ingin terkalahkan. Sedikit demi sedikit saya mencoba membuka diri. Sangat
sedikit demi sedikit. Memulai dari nol untuk kembali seperti dulu; kaya
semangat kebaikan seperti dulu, penuh passion, spontanitas menuangkan ide, dan
membuka pikiran meskipun harus berpikir berkali lipat dari sebelumnya ketika
ingin meraih suatu target.
Desember 2017 menjadi
tempat berpikir lebih dalam dan lebih cepat untuk bisa mempersiapkan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Tidak ada yang tahu apa yang
terjadi sedetik kemudian dalam hidup ini. Itu yang saya pikirkan saat itu.
Semuanya saya tata ulang dengan cepat dan dalam. Mulai dari kesedihan yang
datang bersama hikmah di dalamnya, berdiam untuk menemukan jawab dari segala
pertanyaan saya pada diri sendiri dan semesta, sampai dengan kembali dan
kembali menata impian yang sempat ingin dikurung selama. Lalu semua itu saya
coba selaraskan dengan kenyataan yang ada.
Di bulan ini saya mencoba menakar kembali kemampuan saya,
menemukan kunci-kunci semangat yang masih tersisa –meskipun bapak sebagai kunci
utamanya telah tiada, merefleksikan diri untuk mencari celah untuk saya cela
diri saya sendiri. Lalu melihat ke depan, membaca kemungkinan-kemungkinan
terburuk dan terbaik yang akan ditemui dan mendaftar segala hal yang harus saya
siapkan untuk menghadapinya.
Beginilah 2017 menjadi tahun penempaan buat saya. Di mana
saya harus menyadari bahwa tidak selamanya kemudahan dapat saya terima,
tidaklah kebahagiaan selamanya saya temui, sedemikian pula tidaklah kesulitan
dan kesedihan harus digenggam. Toh nyatanya kekecewaan pada Allah SWT yang
pernah saya rasakan adalah sebenarnya kekecewaan saya pada diri saya sendiri,
sebab melepaskan kesempatan selagi di hadapan.
Di sinilah bagian sulitnya. Yakni saat saya terpaksa atau
belajar mengikhlaskan untuk menahan keinginan diri sendiri demi
menyeimbangkannya dengan harapan emak dan kakak. Mengalahkan diri sendiri dari
kata “pokoknya harus” menjadi “kalau saya begini nanti yang lain bagaimana”.
Sulit memang, apalagi sebelumnya setiap hal saya lakukan dengan mudah dan
nyaris persis seperti apa yang saya inginkan.
Kini, di 2018 ini, saya berharap bisa menjadi awal yang baik
untuk memulai menjadi diri yang lebih menahan diri. Menahan diri dari
kebahagiaan yang berlebih, menahan diri dari kesedihan yang terlalu dalam,
menahan diri dari keegoisan berkeinginan, dan banyak lagi bentuk menahan diri
lainnya.
Di tahun ini saya tidak ingin mengulang kegagalan
merencanakan. Saya ingin tahun ini menjadi tahun di mana diri ini semakin baik
lagi dan lagi hati dan pikiran saya. Berharap tahun ini bisa semakin dekat dan
berpasrah kepada Allah SWT, agar bisa lebih melembutkan hati dan menerangkan
pikiran saya. Berharap tahun ini bisa berlebih dalam bersyukur dan bertafakur
hingga saya lupa bagaimana rasanya kufur. Berharap tahun ini juga bisa
mewujudkan apa yang emak impiakan sekaligus apa yang bapak harapkan.
***
Tapi setelah sejauh ini saya menulis dan flash back kembali apa-apa yang sudah saya lewati, rasanya sejauh ini saya masih kurang bersyukur, telalu mengukur diri dari kehilangan dan lupa pada apa-apa yang terjadi sebelum rasa sedih yang bertubi itu datang. Di balik segala kesedihan dan ketertatihan di tahun penempaan ini, masih ada tiga setengah bulang pertama yang saya nikmati dengan teramat indah dan sangat patut disyukuri. Dari dua belas bulan yang telah dilalui ke belakang, meskipun penuh naik turun semangat, tetapi masih ada seperempat perjalananya yang bisa saya lalu dengan dengan senyuman.
Saya bersyukur bisa melewati seperempat tahun belakangan dengan kesempatan-kesempatan yang Allah SWT berikan, entah itu kesempatan untuk tersenyum ataupun bersedih. Bersyukur juga tahun lalu saya benar-benar ditempa, sehingga saya bisa memperbaiki diri lagi dan lagi. Beberapa hal yang saya amati menjadi pencapaian saya di masa-masa sedih itu sebenarnya adalah pencapaian yang lebih kepada esensial perbaikan diri. Iya, benar-benar berhubungan dengan managemen diri dan hati.
Alhamdulillah tahun lalu sudah mulai belajar mengatur prioritas, keluarga tetap menjadi the most first priority jauh dan jauh di atas segala rencana-rencana, termasuk mengelola ego untuk tidak hanya memikirkan apa yang saya inginkan saja. Lalu, alhamdulillah bisa sedikit demi sedikit mengelola keuangan, mengatur alur masuk dan keluarnya uang dengan lebih hati-hati dan terdata. Sangat bersyukur pula di tahun ini bisa merampungkan beberapa buku berbahasa Inggris yang menjadi target saya, merapikan lemari menggunakan metode Konmari, berhenti (sejenak) membaca novel memperbanyak bacaan pengetahuan umum, belajar berenang, dan menemukan banyak lainnya yang mendekati akhir tahunnya sedikit demi sedikit semakin memberikan kelegaan. Alhamdulillah. Laa haulaa wa laa quwwata illa illah :)
***
Untuk teman-teman yang membaca tulisan ini, semoga doa-doa kebaikan dalam tulisan ini juga mengalir kepada kalian. Semoga semakin tercurah cinta Allah SWT kepada kita agar semakin kita cinta kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Allahumma amiin.
"No one is coming to make your 2017 unsuccessful. This life of yours is 100% your responsibility. Dear past, thank you for your lesson. Dear future, insya Allah I'm ready. Dear Allah, thank you for another chance."
@fatinahmunir | 10
Januari 2018