Archive for 2017
Karena Saya Introvert dan Kamu Bukan :)
Bismillahirrahmanirrahim
"Introvert conversations are like jazz. Each player gets to solo for a nice strecth before the other player comes in and does his solo"
(Laurie Helgoe)
“Iiih, kenapa sih kamu diam aja?”
“Cerita dong, kamu ngapain aja seharian ini?”
“Dia kenapa sih, jarang banget ngobrol atau komen?”
“Kenapa sih dia kok gak pernah cerita-cerita atau berkabar? Sering
banget diem atau gak ada kabar?”
“Kok dia nyebelin banget deh, sering diem begitu? Kan gue
bingung! Jadi kesel!”
***
Beberapa orang, umumnya yang dominan introvert pasti pernah
mendapatkan komentar seperti kalimat-kalimat di atas. Secara pribadi, saya cukup
sering mendapatkan komentar seperti ini baik secara langsung atau diperantarai
oleh orang lain. Pada umumnya kalimat-kalimat di atas disampaikan oleh teman-teman
dominan ekstrovert yang lebih suka bercerita atau berbicara, selalu mengabarkan
apa yang sedang disuka dan tidak disukainya. Tak jarang juga komentar-komentar
ini biasanya muncul dengan intonasi dan kondisi yang kurang baik bahkan
diiringi prasangka sepihak tanpa ada tanya.
Tidak ada yang salah dengan komentar-komentar di atas, sebab
adalah hak setiap orang untuk berkomentar meskipun perlu diingat bahwa tidak
setiap hal berhak kita nilai. Terlebih lagi sering saya temui teman-teman yang
berkomentar seperti di atas hanya berbicara dari sudut pandangnya sendiri, dari
sisi seorang ekstrovert bukan dari sisi seorang introvert. Tapi di sisi lain,
bisa jadi yang mengomentari memang ingin dekat dengan yang dikomentari.
***
Sudah sejatinya memang manusia memiliki kecenderungan untuk
saling memiliki, dalam bentuk hubungan apapun itu. Tetapi ada satu hal yang
mungkin luput dari perhatian, bahwa setiap manusia memiliki karakternya
masing-masing yang mempengaruhi berbeda-bedanya tingkah laku yang muncul. Yang
paling penting adalah karakter ini tidak dapat dipaksakan untuk diubah mengikuti
kehendak lawan biacaranya :)
Dalam beberapa tes pskologi –dan saya pun menyadarinya
dengan sangat, bahwa saya adalah seorang yang dominan introvert. Sudah biasa
bagi saya ketika ada orang yang mengatakan bahwa saya pendiam, pemalu, menarik
diri, pemikir, dan kurang suka bersosialisasi. Itu pendapat orang-orang yang
berinteraksi dengan saya dan itu sah-sah saja. Sekali lagi, karena setiap orang
berhak berpendapat. Akan tetapi jauh di dalam diri, saya dan mungkin kebanyakan
orang yang introvert lainnya setuju bahwa setiap yang dominan introvert
tidak sepenuhnya pendiam, pemalu, menarik diri dari lingkungan sosial, dan
pemikir.
Seperti yang dituliskan di muka, saya cukup sering menerima
prasangka-prasangka ini tanpa ada satu dua tanya yang saya dapat. Lebih sering
lagi kalimat-kalimat ini tiba di telinga saya lebih dulu sebab disambung lidah
orang lain. Lagi-lagi juga dengan prasangka tanpa tanya. Bahkan terkadang yang
saya terima adalah bagaimana teman-teman ingin sekali saya bisa sering
bercerita, berkomentar, dan mengobrol apapun seperti layaknya mereka :)
Akan tetapi bukankah setiap pribadi dilahirkan dengan
kekhususannya masing-masing? Bukankah adalah fitrah setiap manusia berbeda
dengan yang lainnya? Setiap komentar orang yang kita kenal pastilah berupa
respon atas rasa ingin memiliki kenyamanan hubungan dalam bentuk apapun hubungan itu. Tetapi
dengan alasan ketidaknyamanan dengan sikap orang lain, bukan berarti kita bisa meminta
orang lain untuk menjadi seperti yang kita mau kan?
Saya seorang introvert dan tidak bisa dipaksakan untuk
menjadi ekstrovert sama seperti teman-teman saya. Demikian pula saya tidak bisa
memaksakan kehendak agar teman-teman saya yang ekstrovert bisa menjadi
introvert seperti saya. Ya, meskipun
kadang akan ada momen saling menyebalkan ketika si introvert ingin berdiam diri
dan berpikir tetapi si ekstrovert terus berbicara dan berkata, “Jangan terlalu
berpikir!” :)
Bagi seorang introvert seperti saya, berbicara memang
menjadi hal yang sangat dijaga. Maksudnya, para introvert seperti saya akan
berpikir berkali-kali sebelum berbicara dan mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran. Akan
ada banyak pertimbangan sebelum berbicara, menimbang penting atau tidaknya yang
dibicarakan, untung ruginya sebuah percakapan, dan sangat tidak menyukai
basa-basi apalagi untuk tujuan mengangkat kedudukan sosial. Oleh sebab itu
mungkin teman-teman saya akan lebih sering melihat saya diam dan kaku dalam
bercanda.
Kendati sangat memilih dalam berbicara, saya –dan saya yakin
juga kebanyakan introvert lainnya, senang mendengarkan. Ya, kami senang
mendengarkan dan menyimak pembicaraanatau orang yang bercerita, dan mengamati
setiap gerak-gerik lawan bicara. Dan jangan salah, di sisi lain para introvert akan jadi sangat
suka berbicara ketika berhadapan dengan topik yang disukai dan hal-hal yang menjadi
passionnya.
Bagaimana dengan sikap pemalu, penyendiri, dan cenderung
menarik diri dari lingkungan? Beberapa referensi yang saya baca mengatakan rasa
malu tidak berhubungan dengan introvert. Sedangkan pilihan untuk menyendiri
atau cenderung menarik diri dari lingkungan adalah cara saya dan introvert lainnya
untuk menikmati sekitarnya. Jadi, jika teman-teman ekstrovert yang senang dan
mendapatkan energi tambahan dengan berkumpul dengan banyak orang, maka saya dan
teman-teman introvert lainnya akan senang dan mendapatkan energy tambahan
dengan cara menyendiri, lebih banyak merenung, dan menikmati kesunyian, tanpa
rasa kesepian pastinya.
Di luar kegemaran menyendiri, bagi saya dan introvert
lainnya, sebuah interkasi sosial bukanlah sekadar untuk kebutuhan asal banyak
kenalan. Sebuah hubungan yang otentik adalah tujuan dari interaksi sosial para
introvert seperti saya. Satu atau dua teman yang setia, jujur, saling mendukung
dan menghargai jauh menjadi target dan sangat disukai dibandingkan dengan
mengenal banyak orang tetapi hanya sekadar sedikit tahu. Oleh sebab itu, saya
khususnya sangat menghargai sebuah bantuan dan hubungan dengan kelompok kecil
yang dibangun dengan ikatan yang konsisten dan penuh ketulusan. Tak perlu ngoyo, yang penting esensinya tetap dimiliki
:)
Begitulah saya, seorang introvert dengan karakter yang
berbeda dengan kalian yang ekstrovert. Beginilah saya yang akan selalu ada masa
ingin sendiri, ingin tidak berhubungan dengan dunia luar, tidak ingin membuka
sosial media, tidak ingin keluar rumah, atau bahkan memutuskan bepergian
seorang diri termasuk ke bioskop sendiri. Bukan, bukan karena saya stress atau
depresi, tapi itu kebutuhan saya untuk mendapatkan energi dan kesenangan
sendiri seperti halnya introvert yang lainnya.
Begitu pula kalian yang ekstrovert yang senang sekali
bertemu dan berkumpul sekadar hang out, suka bercerita apa saja dari hal yang
penting atau hal yang dipenting-pentingkan meskipun tidak pernah tampak
penting :D Bukan, bukan karena kalian tidak bisa menjaga sikap, tetapi itu adalah
kebutuhan diri kalian untuk bisa stabil di lingkungan seperti halnya ekstrovert
yang lainnya.
Yang terpenting adalah kita berbeda, saya introvert dan
kalian bukan. Kita berbeda dan membandingkan seorang introvert dengan
ekstrovert adalah hal yang paling kejam menurut saya. Apalagi jika saling
memaksa, yang introvert ingin temannya yang ekstrovert bisa tenang seperti
dirinya dan yang ekstrovert ingin temannya yang introvert bisa vocal seperti
dirinya. Tidak bisa.
Di luar semua perbedaan antara introvert dan ekstrovert, ada
banyak hal yang bisa menjadikan keduanya selaras. Ketika si ekstrovert terus
berbicara maka si introvert akan mendengarkan dengan seksama. Ketika si
ekstrovert terus mengeskpresikan yang dipikirannya maka si introvert akan
berpikir untuk menanggapi si ekstrovert.
Berbeda. Tapi saling mengisi. Berbeda. Tanpa saling
memaksakan kehendak dan prasangka. Berbeda. Tanpa saling mencoba mengubah diri
demi menuruti setiap yang dikehendaki yang lainnya. Menjadi diri sendiri dan
terus berefleksi diri adalah yang terbaik untuk diri dan sekitar kita.
"While extroverts are verbal processors, who speak as they think, introverts need to think before we speak. This leads to a slower, more thoughtful communication style that involves fewer words, and longer pauses."
(Michaela Chung)
@fatinahmunir |
Jakarta, 29 Desember 2017
Untuk Apa Kita Mengucapkan Happy International Disabilities Day, Miss?
Bismillahirrahmanirrahim
“Never assume person who has
difficulty communicating
has nothing to say”
has nothing to say”
(Stacy Sekinger)
Kalimat di atas benar adanya saya alami selama saya
membersamai murid-murid istimewa saya yang mengalami autisme, di mana salah
satu masalah mereka adalah komunikasi. Terlebih lagi selama saya bersama
murid-murid besar saya yang banyak di antara mereka kritis dan suka
menyampaikan pendapat mereka dengan bahasa dan gaya komunikasi mereka. Salah
satunya terjadi Senin lalu (4/12) saat saya bersama murid-murid besar saya
membuat kartu ucapan “Happy International Day of Persons with Disabilities”.
Sebelum aktivitas membuat kartu ucapan dimulai, sempat
terjadi sedikit diskusi yang agak menegangkan dan menyenangkan dengan
murid-murid besar ini. Diskusi pertama adalah ketika saya menuliskan “Happy
International Day of Persons with Disabilities” salah satu murid besar saya
berpendapat apa yang saya tuliskan di papan tulis adalah salah.
“Salah itu, Miss! Itu bukan persons. Itu people,” katanya
sambil hendak maju dan sudah hendak mengambil penghapus papan tulis.
“Tidak, itu tidak salah. Kan ada penambahan ‘s' di sana,
jadinya persons dan itu plural. Kalau person, tanpa ‘s’ itu jadi singular,”
saya menjawab sambil melingkari huruf ‘s’ pada kata ‘persons’.
“Itu salah! Kenapa pakai persons? Seharusnya people itu!
Bukan! Bukan persons!” murid besar saya mulai meninggikan suaranya, sedangkan
yang lainnya mulai mendiskusikan apa yang diperdebatkan temannya dengan saya.
Saya memintanya untuk duduk.
Brak!
Murid besar saya memukul meja.
Suaranya meninggi. Saya menolak menjawab dan menanggapi selama dirinya masih emosi dan meninggikan suara. Hingga dia menenangkan diri dan akhirnya kami membuat kesepakatan untuk sama-sama membuka artikel di internet perihal penggunaan "persons" atau "people".
Syukurnya, ada salah satu murid besar lain yang menemukan artikel dari PBB dan menceritakan bahwa nama resminya adalah International Day of Person with Disabilities dan dapat disingkat menjadi International Disabilities Day. Di sinilah perdebatan kami berakhir dengan damai dan ilmu yang bertambah. Alhamdulillah :)
Tetapi ternyata diskusi kelas pagi itu tidak cukup sampai di situ. Dari bagian pojok yang lain, seorang murid besar mengkritisi hal lain yang membuat saya menuliskan cerita ini.
“Hm, ironi!" katanya dengan intonasi suara yang sangat khas, "Untuk apa kita mengucapkan Happy International Day
of Persons Disabilities, padahal negara kita sendiri belum ramah disabilitas!”
Murid besar yang berkomentar kali ini memang seorang yang
cerdas dan berwawasan luas seputar sejarah dan isu-isu terkini yang terjadi di
Indonesia atau mancanegara. Saat mengungkapkan kritiknya di atas, wajahnya
tertekuk sambil memoyongkan bibir seperti kebiasaannya setiap kali memberikan
argumen.
“Oh ya? Seperti apa contoh ketidakramahan pada disabilitas?”
tanya saya.
Dia mengangkat bahu sambil sedikit terkekeh, “Hah! You know
it.”
“Yeach, but I just want to listen your opinion or perhaps
you have a good idea to help them. Siapa tahu, kan.” kata saya.
“Hmmm,” murid besar ini mengangkat alisnya sambil kembali
memonyongkan bibirya. “Transjakarta dan commuter line belum maksimal sih untuk disabilitas.
Jalanan di Jakarta juga!”
“So true!” saya membenarkan murid besar saya yang sangat
menyukai kereta dan bus ini.
Lalu dirinya menambahkan banyak hal yang menurutnya salah dan menjadi arti bahwa disabilitas belum diterima masyarakat. Seperti bagaimana dirinya membandingkan jalanan di luar negeri yang ramah disabilitas dan traspostasi yang mudah diakses oleh semua orang. Termasuk tentang bullying dan juga tenaga kerja disabilitas yang sangat dihargai.
Singkat cerita, murid besar yang satu ini mulai bergabung bersama yang lainnya
untuk membuat kartu ucapan. Tapi tidak lama kemudian, dia menghampiri saya yang
sedang berdiskusi dengan murid besar lainnya.
“Miss, bagaimana kalau saya membuat ilustrasi tentang trotoar di Jakarta?”
dia meminta pendapat saya.
“Nice idea! Apa yang kamu pikirkan tentang trotoar dan
disabilitas?” tanya saya untuk memastikan apa yang sedang diimajinasikannnya.
“Yaaa, bagaimana kursi roda bisa lewat jika trotoarnya
banyak yang rusak dan banyak yang jualan di atasnya? Di luar negeri, setiap
disabilitas diberi pelayanan dengan sangat baik.” jawabnya dengan intonasi
suara yang sangat khas.
“You got it! Just make it.”
“Yeach. I’ll make it!” lagi-lagi dia memonyongkan bibirnya sambil mengangkat alis.
Tidak lama kemudian, dia menghampiri saya dengan sebuah
sketsa yang sudah dibuatnya. Kemudian dia kembali menanyakan saran saya apa
yang sekirakan harus dimuat dalam kartu ucapan yang dibuatnya.
Saya memberikan sedikit masukan tentang fasilitas-fasilitas
yang mungkin akan dibutuhkan oleh teman-teman berkebutuhan khusus. Kemudian
lagi-lagi dia pergi sebentar dan kembali sambil menunjukkan hasil kerjanya.
Pada bagian dalam kartu ucapan yang dibuatnya, terdapat satu
bagian yang saya kurang pahami. Yaitu gambar di bagian pojok kanan atas kartu
dengan tulisan “krik, krik, krik”.
“Apa ini?” saya bertanya sambil menunjuk ke gambar yang saya
maksud.
“Ini sedikit ide saya, mungkin kita perlu memberi signal
pada mereka yang tidak bisa melihat kalau di situ ada escalator. Suara itu
signalnya yang menunjukkan di situ ada escalator,” dia mencoba memaparkan
maksudnya kepada saya.
Setelah merasa cukup berdiskusi tentang kartu ucapan dan
disabilitas, saya meminta beberapa murid besar saya untuk memberikan kartu
tersebut kepada orang yang mereka ingin memberikannya. Tapi mereka memutuskan
memberikan kepada saya, termasuk murid besar saya yang banyak berdiskusi dengan
saya.
Saat membuka kartunya, saya terharu. Apa yang dibuatnya di
luar espektasi saya. Lalu berbagai hal berputar di kepala saya.
Bagian depan kartu ucapan yang dibuat salah satu murid besar saya |
Beginilah bagian dalam kartu ucapan "Happy International Disabilities Day" yang kami diskusikan :) |
***
Mereka, murid-murid besar saya yang sangat istimewa, mungkin kurang atau tidak memahami kondisi mereka dan mengapa mereka bisa bersama saya di dalam kelas khusus ini. Atau mungkin kita melihat ada keironian saat mereka membuat kartu ucapan “Happy International Day of Persons with Disabilities” dengan penuh semangat sedangkan mereka adalah bagian dari yang istimewa itu. Tetapi jauh di dalam aktivitas dan diskusi yang saya alami, saya kembali menemukan bahwa mereka sama dengan kita yang mengaku “normal”.
Saat mereka saling mendiskusikan hal-hal apa saja yang dapat
disampaikan melalui kalimat ataupun gambar terhadap disabilitas, saya melihat
semangat dan ketulusan hati yang mereka pancarkan. Sekali lagi, kendati mungkin
mereka tidak memahami bahwa mereka adalah bagian dari yang istimewa, tetapi
mereka mau bersibuk-sibuk membaca artikel di internet tentang fasilitas untuk
disabilitas. Lebih dari itu, dalam diskusi pagi itu mereka juga ikut
mengkritisi kondisi di sekeliling mereka saat ini terhadap teman-teman
disabilitas.
Apa lagi yang saya dapat di ruang perkulihan dengan
murid-murid besar saya ini? Yakni mereka sungguh makhluk-makhluk Tuhan yang
murni, yang selalu lurus dengan pendapat-pendapat mereka yang tulus. Di sinilah mereka mengajarkan bahwa tidak
sulit untuk membedakan adanya hal yang salah, kesenjangan antara yang “normal”
dan “tidak normal”, ketiadaan akses, dan hal-hal lain yang mencerminkan adanya
ketidakberterimaan di lingkungan kita. Tidak butuh IQ superior untuk memahami
apakah lingkungan kita sudah cukup adil atau tidak. Karena cukup dengan hati
lalu sedikit berpikir, maka kita bisa dapati betapa banyak hal yang tidak
seharusnya terjadi.
Well, jauh di dalam diri murid-murid besar ini ada banyak
hal yang bisa membuat saya minder atau bahkan saya mereka bahwa sayalah yang
berbeda. Mereka melihat dunia dari sisi yang lurus, tanpa keegoisan, tanpa
keserakahan, tanpa keakuan, sehingga mudah bagi mereka melihat hal salah atau
semestinya tidak terjadi. Berbeda dengan kita yang merada “normal” yang kemungkinan
besar hati dan pikiran kita sudah “kurang normal” bahkan layak dikatakan cacat,
sehingga hati, mata, dan pikiran ini sulit melihat sebuah kesalahan sebagai
kesalahan dan kebenaran sebagai kebenaran.
Saya berpikir, mungkin cacat hati dan pikiran ini yang
membuat kita juga sulit sekali membuka ruang untuk teman-teman berkebutuhan
khusus, sehingga kita selalu merasa bahwa menerima, menyesuaikan, menyediakan
dan memberikan kesempatan yang sama kepada teman-teman disabilitas adalah hal
yang sangat berat bahkan sebelum kita melakukannya. Akan berbeda ketika kita
mencoba berpikir dengan lurus, melihat apa adanya bahwa setiap hal kecil bisa
dilakukan untuk menyediakan ruang keberterimaan pada teman-teman disabilitas.
Ini seperti halnya beberapa murid besar saya, yang sejatinya mereka selalu
menjadi guru besar dalam kehidupan saya, yang mengajukan usulannya untuk
membantu teman-teman berkebutuhan khusus.
Terima kasih kepada murid-murid besar saya yang telah
menjadi salah guru besar dalam kehidupan saya, yang selalu mengajarkan arti
kebaikan dan ketulusan kepada saya. Benarlah ternyata, selayaknya tidak perlu
menjadi yang kaya untuk bersedekah, kalian mengajarkan saya bahwa tidak perlu
menjadi yang sempurna untuk membantu yang tidak sempurna, karena setiap ciptaan
Tuhan adalah kaya dan sempurna. Seperti kalian yang selalu sempurna bagi saya,
yang sempurna mengajarkan saya banyak hal dan selalu membuat saya bersyukur
akan banyak hal yang saya miliki, terutama saat saya memiliki kalian.
Happy international day of persons with disabilities, all!
Special thanks for Ben and Red Bear who coloured our morning activity with your argument,
idea, and nice discussion. I’m proud of you, my awesome students! J
“There
is no greater disability in society
than an in ability to see a person more.”
than an in ability to see a person more.”
(Robert M. Hensel)
@fatinahmunir | 8
Desember 2017
Fitrah Seksualitas Anak
Bismillahirrahmanirrahim.
Hai, Happy Readers! Membahas tentang seksualitas, banyak yang beranggapan bahwa ini seperti mengenalkan anak pada arti hubungan seksualitas antara perempuan dan laki-laki. Padahal seksualitas dalam ini berarti kondisi seksualitas seseorang. Misalnya seorang perempuan, seksualitasnya merupakan seorang yang lembut, penyayang, berpakaian feminim, menjadi seorang istri dan ibu setelah menikah dan memiliki anak, dan sebagainya yang berhubungan dengan perempuan.
Terkait dalam hal ini, ternyata seorang psikolog terkemuka yang konsen kepada pendidikan anak, Bunda Elly Risman, mengajarkan bahwa setiap anak memiliki firtrah seksualitasnya. Yakni di mana seorang anak menerima figur dan membentuk seksualitasnya berdasarkan fitrah kebutuhannya untuk dididik oleh kedua orang tua, ayah dan ibunya. Tulisan yang saya posting kali ini merupakan rangkuman yang disampaikan oleh Bunda Elly Risman mengenai Fitrah Seksualitas Anak yang saya terima melalui broadcast message whatsapp.
***
Punya suami yang kasar? Kaku? Garing dan susah memahami perasaan istrinya? Tidak mesra dgn anak? Coba tanyakan, beliau pasti tak dekat dengan ibunya ketika masa anak sebelum aqilbaligh.
Punya suami yang "sangat tergantung" pada istrinya? Bingung membuat visi misi keluarga bahkan galau menjadi ayah? Coba tanyakan, beliau pasti tak dekat dengan ayahnya ketika masa anak.
Kok sebegitunya?
Ya! karena figur ayah dan ibu harus ada sepanjang masa mendidik anak anak sejak lahir sampai aqilbaligh, tentu agar fitrah seksualitas anak tumbuh indah paripurna.
Pendidikan fitrah seksualitas berbeda dengan pendidikan seks. Pendidikan fitrah seksualitas dimulai sejak bayi lahir.
Fitrah seksualitas adalah tentang bagaimana seseorang berfikir, merasa dan bersikap sesuai fitrahnya sebagai lelaki sejati atau sebagai perempuan sejati.
Menumbuhkan Fitrah ini banyak tergantung pada kehadiran dan kedekatan pada Ayah dan Ibu.
Riset banyak membuktikan bahwa anak anak yang tercerabut dari orangtuanya pada usia dini baik karena perang, bencana alam, perceraian, dll akan banyak mengalami gangguan kejiwaan, sejak perasaan terasing (anxiety), perasaan kehilangan kelekatan atau attachment, sampai kepada depresi. Kelak ketika dewasa memiliki masalah sosial dan seksualitas seperti homoseksual, membenci perempuan, curiga pada hubungan dekat dsbnya.
Jadi dalam mendidik fitrah seksualitas, figur ayah ibu senantiasa harus hadir sejak lahir sampai AqilBaligh. Sedangkan dalam proses pendidikan berbasis fitrah, mendidik fitrah seksualitas ini memerlukan kedekatan yang berbeda beda untuk tiap tahap.
Usia 0-2 tahun, anak lelaki dan perempuan didekatkan pada ibunya karena ada menyusui, di usia 3 - 6 tahun anak lelaki dan anak perempuan harus dekat dengan ayah ibunya agar memiliki keseimbangan emosional dan rasional apalagi anak sudah harus memastikan identitas seksualitasnya sejak usia 3 tahun.
Kedekatan paralel ini membuat anak secara imaji mampu membedakan sosok lelaki dan perempuan, sehingga mereka secara alamiah paham menempatkan dirinya sesuai seksualitasnya, baik cara bicara, cara berpakaian maupun cara merasa, berfikir dan bertindak sebagai lelaki atau sebagai perempuan dengan jelas. Ego sentris mereka harus bertemu dengan identitas fitrah seksualitasnya, sehingga anak di usia 3 tahun dengan jelas mengatakan "saya perempuan" atau "saya lelaki"
Bila anak masih belum atau tidak jelas menyatakan identitas gender di usia ini (umumnya karena ketiadaan peran ayah ibu dalam mendidik) maka potensi awal homo seksual dan penyimpangan seksualitas lainnya sudah dimulai.
Ketika usia 7 - 10 tahun, anak lelaki lebih didekatkan kepada ayah, karena di usia ini ego sentrisnya mereda bergeser ke sosio sentris, mereka sudah punya tanggungjawab moral, kemudian di saat yang sama ada perintah Sholat.
Maka bagi para ayah, tuntun anak untuk memahami peran sosialnya, diantaranya adalah sholat berjamaah, berkomunikasi secara terbuka, bermain dan bercengkrama akrab dengan ayah sebagai aspek pembelajaran untuk bersikap dan bersosial kelak, serta menghayati peran kelelakian dan peran keayahan di pentas sosial lainnya.
Wahai para Ayah, jadikanlah lisan anda sakti dalam narasi kepemimpinan dan cinta, jadikanlah tangan anda sakti dalam urusan kelelakian dan keayahan. Ayah harus jadi lelaki pertama yang dikenang anak anak lelakinya dalam peran seksualitas kelelakiannya. Ayah pula yang menjelaskan pada anak lelakinya tatacara mandi wajib dan konsekuensi memiliki sperma bagi seorang lelaki.
Begitupula anak perempuan didekatkan ke ibunya agar peran keperempuanan dan peran keibuannya bangkit. Maka wahai para ibu jadikanlah tangan anda sakti dalam merawat dan melayani, lalu jadikanlah kaki anda sakti dalam urusan keperempuanan dan keibuan.
Ibu harus jadi wanita pertama hebat yang dikenang anak anak perempuannya dalam peran seksualitas keperempuanannya. Ibu pula orang pertama yang harus menjelaskan makna konsekuensi adanya rahim dan telur yang siap dibuahi bagi anak perempuan.
Jika sosok ayah ibu tidak hadir pada tahap ini, maka inilah pertanda potensi homoseksual dan kerentanan penyimpangan seksual semakin menguat.
Lalu bagaimana dengan tahap selanjutnya, usia 10 - 14? Nah inilah tahap kritikal, usia dimana puncak fitrah seksualitas dimulai serius menuju peran untuk kedewasaan dan pernikahan.
Di tahap ini secara biologis, peran reproduksi dimunculkan oleh Allah SWT secara alamiah, anak lelaki mengalami mimpi basah dan anak perempuan mengalami menstruasi pada tahap ini. Secara syahwati, mereka sudah tertarik dengan lawan jenis.
Maka agama yang lurus menganjurkan pemisahan kamar lelaki dan perempuan, serta memberikan warning keras apabila masih tidak mengenal Tuhan secara mendalam pada usia 10 tahun seperti meninggalkan sholat. Ini semua karena inilah masa terberat dalam kehidupan anak, yaitu masa transisi anak menuju kedewasaan termasuk menuju peran lelaki dewasa dan keayahan bagi anak lelaki, dan peran perempuan dewasa dan keibuan bagi anak perempuan.
Maka dalam pendidikan fitrah seksualitas, di tahap usia 10-14 tahun, anak lelaki didekatkan ke ibu, dan anak perempuan didekatkan ke ayah. Apa maknanya?
Anak lelaki didekatkan ke ibu agar seorang lelaki yang di masa balighnya sudah mengenal ketertarikan pada lawan jenis, maka di saat yang sama harus memahami secara empati langsung dari sosok wanita terdekatnya, yaitu ibunya, bagaimana lawan jenisnya harus diperhatikan, dipahami dan diperlakukan dari kacamata perempuan bukan kacamata lelaki. Bagi anak lelaki, ibunya harus menjadi sosok wanita ideal pertama baginya sekaligus tempat curhat baginya.
Anak lelaki yang tidak dekat dengan ibunya di tahap ini, tidak akan pernah memahami bagaimana memahami perasaan, fikiran dan pensikapan perempuan dan kelak juga istrinya. Tanpa ini, anak lelaki akan menjadi lelaki yg tdk dewasa, atau suami yang kasar, egois dsbnya.
Pada tahap ini, anak perempuan didekatkan ke ayah agar seorang perempuan yang di masa balighnya sudah mengenal ketertarikan pada lawan jenis, maka disaat yang sama harus memahami secara empati langsung dari sosok lelaki terdekatnya, yaitu ayahnya, bagaimana lelaki harus diperhatikan, dipahami dan diperlakukan dari kacamata lelaki bukan kacamata perempuan. Bagi anak perempuan, ayahnya harus menjadi sosok lelaki ideal pertama baginya sekaligus tempat curhat baginya.
Anak perempuan yang tidak dekat ayahnya di tahap ini, kelak berpeluang besar menyerahkan tubuh dan kehormatannya pada lelaki yang dianggap dapat menggantikan sosok ayahnya yang hilang dimasa sebelumnya.
Semoga kita dapat merenungi mendalam dan menerapkannya dalam pendidikan fitrah seksualitas anak anak kita, agar anak anak lelaki kita tumbuh menjadi lelaki dan ayah sejati, dan agar anak anak perempuan kita tumbuh menjadi perempuan dan ibu sejati.
Agar para propagandis homo seksualitas tidak lebih pandai menyimpangkan fitrah seksualitas anak anak kita daripada kepandaian kita menumbuhkan fitrah seksualitas anak anak kita. Agar ahli kebathilan gigit jari berputus asa, karena kita lebih ahli dan berdaya mendidik fitrah anak anak kita.
Salam Pendidikan Peradaban
@fatinahmunir | Jakarta, 1 Desember 2017
Teacher's Diary: Kenapa Orang “Normal” Tidak Bisa Tertib?
Gamabar ini menunjukkan cara penggunaan eskalator yang benar. Sisi kiri untuk pengguna yang ingin tetap berdiri dan sisi kanan dibiarkan kosong untuk pengguna yang ingin menggunakan eskalator sambil berjalan. (Photo credit: Japan Times) |
Siang tadi, di sela-sela jam istirahat mengajar, ada percakapan kecil dari salah satu mahasiswa berkebutuhan khusus di tempat saya mengajar. Mahasiswa ini merupakan salah satu mahasiswa dengan autisme high function. Atau dengan bahasa lain, mahasiswa ini sudah memiliki kemandirian yang sangat baik.
“Yaaa,
saya lagi kesal aja, Bu. Soalnya orang-orangnya gak tertib. Saya yang
ABK (Anak Berkebutuhuan Khusus) aja ngeliatnya malu.” begitu salah
satu kalimat ungkapan perasaannya yang saya dengar dan masih terngiang di telinga saya.
Hal ini
terjadi sebab saat di perjalanan menuju kampus, Muri, inisialnya,
mengalami hal yang membuatnya kurang nyaman di stasiun Tanah Abang. Di stasiun ini, Muri harus transit
kereta sebelum sampai di kampus. Menurut ceritanya, kondisi kereta
memang penuh dan perilaku orang-orang yang tidak tertib membuat
traffic penumpang kereta menjadi semakin kacau.
Belum lagi
saat dirinya harus melewati eskalator di jembatan penyeberangan
stasiun. Dalam ceritanya, Muri juga menyatakan kekesalannya kepada
orang-orang “normal” yang tidak mau berjalan dengan tertib di
eskalator, yang mana semestinya sisi kiri eskalator digunakan untuk
pengguna yang ingin tetap berdiri dan sisi kanan untuk pengguna yang
ingin berjalan. Dampaknya, kekacauan traffic penumpang di stasiun
ini membuat Muri terlambat masuk kelas. Padahal pagi itu Muri harus menghadiri perkuliahan di kelas reguler,
bergabung dengan mahasiswa reguler di kampus utama di semester ketiganya.
“Saya
ngeliatnya mereka gak tertib banget. Kenapa harus desak-desakan,
padahal kalau orang-orang yang 'normal' itu tertib kondisinya jadi
tidak akan sekacau tadi. Yaa, saya yang ABK aja ngeliatinnya malu, Bu.”
***
Tersentil.
Itu yang saya rasakan saat mendengar cerita Muri siang tadi.
Betapa
tenyata orang-orang “normal” terkadang dapat terlihat tidak cukup mampu
untuk tertib dan mengkondusifkan kondisi. Dan bagi mereka, semua itu
sama sekali tidak normal dan tidak seharusnya terjadi.
Mungkin
ada benarnya yang disampaikan Muri, jika saja orang-orang “normal”
itu mau sedikit tertib dan sedikit mematuhi peraturan –salah
satunya dengan menggunakan eskalator sesuai prosedurnya,
sebanyak apapun penumpang kereta, niscaya kekacauan traffic penumpang
di stasiun bisa lebih mudah dihindari. Bahkan besar kemungkinan
ketika orang-orang “normal” ini bersikap “normal”, tertib,
dan mematuhi peraturan yang sederhana, mungkin hal besar bisa ikut
diperbaiki.
Ini hanya
sedikit refleksi yang biasa saya terima dari murid-murid saya. Yang
menurut saya, nilai refleksi yang mereka berikan kepada saya melalui
kejujuran dan ketulusan mereka, jauh lebih berharga daripada apa yang
sudah saya lakukan kepada mereka.
Memang, rigiditas atau kekakuan rutinitas dan pikiran, yang salah satunya adalah strict dan patuh terhadap peraturan adalah salah satu ciri keautistikan. Tetapi jika kita, para orang-orang “normal”, mau menengok sedikit kepada diri kita masing-masing, memang terkadang kita sediri yang sering menyusahkan diri dengan membentrokkan diri pada kenormalan itu sendiri. Sebagai contohnya adalah pengalaman yang didapatkan Muri pagi tadi, ketika dirinya malu melihat orang-orang “normal” yang tidak tertib.
Meskipun begitu, ada banyak juga individu dengan autisme yang tidak mampu memahami dan mengikuti peraturan, sehingga membutuhkan tindakan khusus seperti terapi perilaku untuk bisa memahami aturan sederhana. So, jika orang-orang "normal" merasa nyaman untuk tidak tertib dan menaati peraturan, mungkinkah orang-orang "normal" tersebut memerlukan tindakan khusus berupa terapi perilaku? :D
***
“Terus
bagaimana kira-kira solusinya, Muri?” tanya salah satu staff yang
sejak tadi menyimak cerita yang disampaikan Muri.
“Kayaknya
saya akan naik kereta yang jadwalnya lebih pagi untuk menghindari traffic
penumpang, Bu. Atau mungkin bisa lewat tangga manual yang lebih lebar daripada
eskalator. Yaaa, karena masih lebih wajar melihat orang-orang berdesakan di
tangga manual daripada di eskalator,” Muri menjawab dengan gayanya yang kritis.
@fatinahmunir
| Jakarta, 28 September 2017
My Hijab Story: What Do You Think When You Look at Me?
What do you think when you look at me?
Apa yang Anda pikirkan ketika Anda melihat saya? Apa yang orang-orang pikirkan ketika melihat saya? Pertanyaan ini terlintas begitu saja di pikiran saya selama beberapa pekan ini, setelah saya melewati sebuah pengalaman yang tidak pernah saya duga sebelumnya terkait penampilan saya, especially the way I wear my hijab.
Beberapa
pekan lalu, saat saya tiba di tempat saya mengajar, saya langsung
menuju pantry untuk membuat secangkir kopi sebagai mood booster pagi
hari sebelum mengajar. Di sana saya bertemu dengan seorang staff dari
divisi lain, yang baru beberapa hari pindah ke ruangan di gedung dan
lantai yang sama dengan saya.
Sebelumnya saat bertemu atau
berpapasan, kami hanya saling senyum sapa dan hampir tidak pernah
mengobrol. Pagi itulah, saat belum banyak staff, pengajar, dan
students yang datang, kami mengobrol singkat karena sebuah pertanyaan
yang beliau sampai kepada saya.
“Mbak,
sorry, memangnya di sini boleh pakai hijab syar’i?” tanya mbak
tersebut dengan intonasi suara yang menunjukkan kehati-hatian.
Senyum
adalah respon pertama saya saat itu. “Sepertinya boleh, Mbak. Tapi
saya belum tahu pastinya ya, karena sejauh ini saya belum pernah
membaca peraturan tentang hijab,” jawab saya dan berlanjut pada
perbincangan tentang hijab selama beberapa menit sambil menikmati
minuman kami masing-masing.
Sebagai
informasi, tempat saya bekerja saat ini merupakan sebuah kampus
komunikasi bertaraf internasional dengan staff, pengajar, dan
students yang dituntut bekerja dan penampilan berstandart
international juga. Oleh karena itu, sudah pasti kebanyakan di antara
kami, terutama pengajar dan tim management selalu berpenampilan
elegan dengan fashion berkelas.
Belum lagi lingkungan yang tercipta
sudah sangat plural, kental akan pengaruh western culture, dan
didominasi oleh nonmuslim. Maka tidak heran di beberapa minggu
pertama saya mengajar, ada beragam respon yang saya terima terkait
penampilan saya. Mulai dari tatapan students reguler yang membuat
saya canggung, hingga respon staff dan pengajar lain yang mengira saya
adalah tamu, bukan pengajar. Semua ini terjadi karena satu hal; hijab
lebar yang saya kenakan.
Memang di
tempat saya bekerja terdapat pengajar, staff, dan team management
muslimah yang mengenakan hijab. Tetapi hijab yang digunakan biasanya
hijab dengan berbagai model yang menunjang fashion mereka. Maka saya
dan hijab lebar saya menjadi hal yang paling menonjol di antara
lingkungan kampus modern ini. Bahkan bisa dibilang, saya
adalah satu-satunya muslimah dengan hijab lebar di antara pengajar
yang ada.
“Saya
sebenarnya pengin banget pakai hijab syar'i saat kerja, Mbak. Tapi
saya takut dan lebih mencari aman. Terus waktu tahu mbak pakai hijab
syar'i dan tetap kerja di sini, saya jadi sedikit lebih lega meskipun
belum berani pakai di sini.” Ucap beliau di sela perbincangan pagi
kami.
Mbak ini
sempat sedikit bercerita bahwa kesehariannya memang menggunakan hijab
syar'i, meskipun baru dimulai dan masih belajar. Tetapi beliau tidak
berani mengenakan hijab syar'i di tempat kami bekerja, mengingat
lingkungan dan budaya kampus yang sangat kebaratan, juga beliau takut ditegur
atau dilarang oleh team management.
Memang
benar, menggunakan hijab syar'i menjadi hal sangat baru di tengah
lingkungan saya mengajar. Tapi
sejujurnya, saat diterima sebagai pengajar, saya sama sekali tidak
tahu bahwa lingkungan yang akan saya masuki akan seperti ini. Bagian
positifnya, saat pertama kali ke tempat kerja untuk wawancara, saya
dengan santainya berpenampilan seperti biasa dengan rok dan hijab
lebar. Saya sangat bersyukur atas ketidaktahun ini. :)
Saat
briefing sebelum akivitas belajar mengajar semester baru dimulai,
salah satu staff akademik pernah berpesan kepada para pengajar baru
yang perempuan, termasuk saya, untuk tidak mengenakan rok selama
mengajar. Imbauan untuk tidak mengenakan rok ini memang sangat bisa
diterima alasannya, karena demi keselamatan kerja pengajar selama menangani
students –mengingat saya mengajar di bagian Autism Centre yang mana
mengajar students dengan autism. Tapi saat itu saya mencoba meminta
izin kepada kepala akademik untuk tetap mengenakan rok selama
mengajar dan alhamdulillah beliau mengizinkan.
Di balik
mempertahankan penampilan saya apa adanya, sebenarnya ini adalah
salah satu bentuk kepercayaan saya pada tempat saya mengajar. Saya
percaya bahwa kampus bertaraf internasional pasti akan menilai
pengajarnya dari performance dan profesionalitas kerja, bukan dari
penampilan atau hijab yang dikenakan. Apalagi ini berkaitan dengan
hak saya dalam menjalankan perintah agama.
Selain
kecanggungan pada respon beberapa students reguler, pengajar, dan
staff di beberapa minggu pertama mengajar, ada juga beberapa moment
melegakan yang sangat saya syukuri berkat hijab lebar yang saya
gunakan di lingkungan kerja yang minoritas muslim ini. Salah satunya
adalah ketika beberapa staff nonmuslim bertanya, mengapa saya
mengenakan hijab yang panjang dan lebar sedangkan yang lainnya tidak.
Biasanya saya hanya akan menjawab bahwa inilah cara berhijab yang
membuat saya senang, nyaman, dan aman. Tetapi setiap kali saya
menanggapi demikian, pasti ada jawaban tambahan dari staff muslimah
lainnya.
“Hijab
yang dipakai Miss Lisfah itu cara pakai hijab yang benar, Miss. Yang
saya pakai sekarang ini, yang pendek-pendek ini nih yang belum
benar,” jawab salah satu staff muslimah yang juga berhijab.
Jawaban seperti ini adalah salah satu kesyukuran
lain yang saya terima dari hijab lebar yang saya gunakan.
Alhamdulillah, sejak saat itu hampir tidak ada staff nonmuslim yang
menanyakan hijab lebar yang saya gunakan. Tetapi justru mereka balik
bertanya kepada staff muslimah lainnya, kapan akan berhijab dengan
cara yang benar sesuai ajaran Islam. :D
Di
tempat lainnya, di sebuah klub bahasa Inggris yang baru saya geluti
beberapa bulan ini pun saya menerima respon yang kurang lebih sama
seperti minggu-minggu pertama saya di tempat mengajar. Di klub yang
terdiri dari mahasiswa dan pekerja dengan beragam latar belakang ini,
sebelumnya memang tidak ada yang berhijab lebar, sehingga kedatangan
saya menjadi hal baru dan menarik perhatian.
Ada satu
komentar tentang diri saya dari salah seorang teman di klub yang tidak
pernah saya duga. Komentar ini membuat saya merenung dan menjadi
alasan saya untuk membuat tulisan ini. Ini terjadi beberapa pekan
lalu, saat saya mengajak salah seorang teman saya datang ke pertemuan
rutin klub selepas bekerja. Saat itu, saya mengenalkan teman saya
kepada salah satu anggota klub yang cukup sering berbincang dengan
saya.
“She
is an expert at Japanese. Dia jago banget bahasa Jepang-nya loh!,” kata saya
sambil mengacungkan dua jempol, sebelum saya asik dengan komik online
dan membiarkan mereka berbincang di dekat saya.
Hanya
butuh beberapa menit ternyata kedua teman saya sudah berbicara banyak
sekali, terdengar mereka saling berbincang tentang diri
masing-masing. Kemudian saya mendengar mereka menyebut nama saya dan
saya mencoba mendengarkan meskipun tidak terlibat dalam obrolan
mereka.
“Yeach,
she often askes me to join in her community or a community she
involved like this English club,” kata teman saya.
“I
wonder about her. I was amazed when I saw her at the first time in
this class. Can you imagine a hijaber, woman in a big hijab speaks in
English fluently? Even she spoke to the point, and her once speech
about happiness was very good. She's clever!,” kata teman klub
bahasa Inggris saya kepada teman yang baru saya ajak bergabung ke
klub. Yang sejujurnya, pujiannya agak berlebihan. I'm not really that
good at English :(
“Yeach,
she is,” jawab teman saya singkat dan padat. Kemudian mereka
semakin asik membicarakan saya, yang mendengarkan langsung pembicaraan
mereka dengan sangat jelas dari jarak tidak lebih dari duapuluh
sentimeter. Bahkan mereka baru berhenti membicarakan saya ketika
conductor (pemateri kelas) datang. Fiuh! -_-”
Saya bersama students saat sedang melakukan field trip ke Museum Nasional |
***
Dari pengalaman di atas, saya menemukan beberapa hal yang bisa menjadi pelajaran bagi diri saya pribadi dan mungkin bisa diambil hikmahnya oleh muslimah lain yang membaca tulisan ini. Juga sejak dua hal di atas terjadi, sedikit banyak saya bisa mengetahui tentang pandangan orang lain terhadap saya, khususnya sebagai muslimah berhijab lebar.
Beberapa
tahun belakangan, sejak peristiwa 9/11 (nine-eleven), islamphobia
merebak ke negara-negara minoritas muslim atau kadang muncul dalam
tingkat ringan di sekitar kita yang mayoritas muslim. Hal ini tampak ketika perpektif
kebanyakan orang, nonmuslim dan kadang muslim itu sendiri, yang merasa takut dan curiga pada keberadaan
muslim yang berpenampilan berbeda. Atau contoh khususnya merasa takut dan curiga pada keberadaan muslimah berhijab lebar seperti saya.
Akan tetapi, dari sudut pandang lain saya melihat islamphobia justru
berputar arah. Islamphobia bukannya dimiliki oleh nonmuslim,
melainkan dimiliki oleh muslim itu sendiri.
Maksudnya
adalah jika isalamphobia pada umumnya berupa rasa takut dan
kekhawatiran nonmuslim atas keberadaan muslim, maka kini telah tampak
rasa takut dan khawatir itu malah dimiliki seorang muslim
dengan jenggot yang terawat atau seorang muslimah dengan hijab
lebarnya di tengah lingkungan nonmuslim. Contoh riilnya adalah ketika
seorang muslimah takut dipecat dari tempat kerja atau takut dijauhi
teman-temannya karena hijab lebar yang digunakan.
Rasa takut
pada pengucilan atau penolakan karena hijab lebar yang digunakan ini niscaya akan tetap ada ketika kita, muslimah, masih memiliki keraguan
dalam hati meskipun hanya setitik. Akan tetapi, ketika keyakinan
dalam hati sudah begitu dalam dan teguh, niscaya ketakutan pada
pengucilan dan penolakan akan luluh dengan sendirinya. Justru bisa menjadi pemantik semangat untuk terus berkarya dengan hijab lebar yang digunakan, tanpa peduli anggapan orang lain tentang hijab yang digunakan.
Cara
setiap muslimah bersikap juga perlu menjadi perhatian. Sebab sikap muslimah kepada lingkungan yang dikhawatirkan tidak
menerimanya akan mempengaruhi penilaian orang-orang di
lingkungan tersebut. Sebagaimana Islam mengajarkan untuk berbuat baik
kepada siapa saja, termasuk kepada yang berbuat buruk kepada diri
kita sekalipun, maka menjalin hubungan baik kepada siapa saja dan di mana
saja bukan sekadar untuk mendapatkan penerimaan diri. Lebih jauh
lagi, semoga bisa mengubah penilaian lingkungan kita kepada Islam itu
sendiri.
“No matter what happens in life, be nice to people. Being nice to people is a peacful way to live, and a beautiful legacy to leave behind.”(Marc and Angel)
Tiga tahun lalu saat saya diminta berbicara tentang pendidikan anak di Indonesia Morning Show, Net.TV |
Di sisi lain, komentar yang disampaikan teman klub bahasa Inggris
saya hingga saat ini terus berputar di kepala. Saya memikirkan
kalimat yang dikatakannya selama beberapa minggu belakangan ini, sebagai
perenungan atas diri saya, khususnya sebagai seorang muslimah yang
berhijab lebar.
Can you
imagine a hijaber, woman in a big hijab speaks in English fluently?
Even she spoke to the point, and her once speech about happiness was
very good. She's clever!
Kebayang gak sih seorang hijaber, cewek
pakai hijab gede ngomong bahasa Inggrisnya lancar gitu? Malahan dia
kalau ngomong to the point dan pidatonya tentang kebahagiaan itu
bagus banget. Cerdas deh!
Kebayang
gak sih...? Entah, bagi saya ekspresi yang disampaikan dalam
komentar ini tidak semata-mata pujian. Jauh di dalam kalimatnya
tersimpan makna yang patut direnungkan, yang mungkin bisa
menjadi pelajaran untuk banyak muslimah, lagi-lagi khususnya saya.
Komentar ini, bagi saya, seperti menunjukkan bahwa muslimah berhijab lebar yang mampu berbahasa asing dengan baik adalah hal yang tidak lazim atau jarang terjadi. Bisa jadi dikarenakan perspektif orang kebanyakan adalah setiap yang berpenampilann sesuai tuntunan agamanya adalah orang yang hanya akan tertarik pada hal-hal keakhiratan dan agama. Mungkin kebanyakan orang berpikir bahwa muslimah yang berjilbab lebar adalah orang-orang yang hanya peduli dengan ilmu agama, hanya ingin bergaul dalam lingkup keislaman dan mengesampingkan keilmuan dunia.
Komentar ini, bagi saya, seperti menunjukkan bahwa muslimah berhijab lebar yang mampu berbahasa asing dengan baik adalah hal yang tidak lazim atau jarang terjadi. Bisa jadi dikarenakan perspektif orang kebanyakan adalah setiap yang berpenampilann sesuai tuntunan agamanya adalah orang yang hanya akan tertarik pada hal-hal keakhiratan dan agama. Mungkin kebanyakan orang berpikir bahwa muslimah yang berjilbab lebar adalah orang-orang yang hanya peduli dengan ilmu agama, hanya ingin bergaul dalam lingkup keislaman dan mengesampingkan keilmuan dunia.
Kebayang
gak sih...? Mungkin ini adalah komentar jujur dari yang
mengungkapkannya. Karena mungkin selama ini muslimah berhijab lebar yang
senang belajar dan bergabung dalam klub keilmuan selain ilmu agama
adalah spesies yang langka. Dampaknya, ketika ada satu saja muslimah
yang berusaha aktif di majelis ilmu yang tidak berhubungan dengan
ilmu agama, hal ini menjadi sesuatu yang wah dan tidak lazim. Padahal
jika saja kita, para muslimah, mau sedikit bersabar menelisik jejak
para sahabat wanita Rasulullah saw., maka akan kita dapati begitu
banyak sahabat wanita yang tidak hanya kaya akan ilmu agama tetapi
juga memiliki banyak ilmu dunia bahkan menjadi ahli di bidangnya.
Sebut saja
Khadijah binti Khuwailid, wanita pengusaha kaya raya yang dikenal
karena bijaksana, cerdas, dan pandai menjaga kesuciannya. Istri
pertama Rasulullah saw. menjadi wanita yang dimuliakan di sukunya, karena ilmunya dalam berdagang dan membelanjakan hartanya di jalan
Allah swt. Belum lagi Aisyah binti as-Shidiq yang dikenal sebagai
wanita berperingai kecil, lincah, dan memiliki ketegasan di balik
kelembutan dan kemanjaan sikapnya. Beliaulah wanita yang dimuliakan
karena kekuatan hapalannnya, dan kecerdasannya dalam berbagai ilmu.
Selain itu, beliau juga dikenal sebagai wanita yang sangat pandai
berbahasa atau dalam hal linguistik.
Di sisi
lain, ada as-Syifa' binti Abdullah, seorang dokter muslimah sekaligus
terapis yang dimuliakan di zaman Rasulullah. Bahkan sebagai rasa
hormat, Rasulullah saw. memberikannya sebuah rumah untuk dijadikan
tempat orang-orang berobat dan menuntut ilmu kepadanya. Lain lagi
dengan Ummu Hakim binti Harits, muslimah yang masuk Islam di akhir
dakwah Rasulullah saw. dan turut serta dalam peperangan Islam melawan
Romawi. Beliaulah muslimah yang dengan kegigihannya memperjuangkan
Islam dan berhasil membunuh tujuh orang kafir di medan perang
meskipun di saat bersamaan suaminya menjemput kesyahidan.
Mbak Dewi, muslimah intelektual, bersama suami dan anaknya. Mereka adalah keluarga kecil yang sangat menginspirasi saya. |
Secara
pribadi, saya juga mempunyai dua sosok muslimah masa kini yang saya
kagumi. Pertama adalah Mbak Dewi Nur Aisyah, seorang muslimah,
berhijab lebar, ibu satu anak, sekaligus calon doktor di University
College London. Beliau adalah seorang blogger yang tulisan-tulisannya
ikut memberi suntikan motivasi bagi saya, untuk menuntut ilmu setinggi
mungkin. Kendati harus mendidik anak pertamanya di London, Mbak Dewi
dan suaminya yang juga seorang calon doktor mampu mengukir prestasi
hingga tingkat internasional. Keduanya bergantian memperoleh
penghargaan di berbagai negara atas penelitian dan jurnal yang
dibuat, terlebih lagi Mbak Dewi selalu menjadi satu-satunya muslimah
berhijab lebar yang berdiri di antara cendikiawan lainnya.
Sosok
lainnya adalah Mbak Ferihana, seorang muslimah, bercadar, dan juga seorang
istri yang berprofesi sebagai dokter kecantikan di Jogjakarta. Mbak
Ferihana juga memiliki klinik yang membebas biayakan
pasien miskin tanpa memandang agama dan ras. Klinik
beliau tersebar di beberapa daerah di pulau Jawa, termasuk salah
satunya di Depok, Jawa Barat.
Sosok dr. Ferihana saat sedang memeriksa seorang pasien dhuafa. |
Nama-nama
di atas hanya sebagian dari muslimah mulia yang Allah swt. Muliakan
karena ilmunya, yang bisa menjadi teladan bagi setiap muslimah.
Keberadan mereka setidaknya bisa menjadi pengingat bagi muslimah
lainnya, terutama saya, bahwa Allah swt. dan Rasulullah tidak pernah
membatasi wanita untuk hanya belajar dan mengajarkan ilmu agama atau
alquran. Akan tetapi, muslimah juga diperbolehkan untuk ikut menekuni
ilmu keduniaan, bahkan beberapa pendapat ulama yang saya baca
dikatakan bahwa menjadi baik jika muslimah bisa menjadi ahli dalam
bidang yang ditekuninya dan bisa membawa kemaslahatan bagi umat.
Menuntut
ilmu, memperkaya ilmu dunia sebagaimana muslimah-muslimah mulia di
atas merupakan salah satu hal yang sangat dianjurkan oleh Allah swt.
dan Rasulullah saw. Terlebih lagi mencintai ilmu pengetahuan adalah
sifat yang dimuliakan dalam Islam, termasuk juga mengembangkan ilmu sebagaimana
ulama-ulama terdahulu seperti al-Kindi, Ibnu Sina, dan banyak lainnya
juga menjadi ahli dalam ilmu agama dan pengetahuan dunia di masa
Kegelapan Eropa, ketika Islam menguasai lebih dari dua pertiga dunia.
Namun
demikian, kemulian muslimah atas ilmunya bukanlah untuk menjadi
pesaing para lelaki di luar sana. Kemulian ilmu yang dimiliki
muslimah adalah bekal yang akan diturunkan kepada anak-anaknya.
Kemuliaan ilmu yang dimiliki muslimah, seperti halnya yang dimiliki
Khadijah binti Khawailid untuk membela suaminya, ilmu Aisyah binti
as-Shidiq untuk memurnikan ajaran suaminya, dan ilmu serta keberanian
Ummu Hakim binti Harits untuk menebus kesyahidan suaminya.
Dari
banyak muslimah yang dimuliakan karena ilmunya di atas, apabila
setiap kita, para muslimah, mampu meneladani salah satu saja dari
mereka, niscaya keberadaan muslimah yang berhijab lebar, berilmu, dan
aktif dalam perkumpulan ilmu tidak akan menjadi hal yang langka lagi.
Niscaya nama-nama cendikiawan dunia pun akan diisi oleh
muslimah-muslimah, yang mencintai ilmu karena kecintaannya kepada
Allah swt. Semoga kita, para muslimah terutama yang membaca tulisan
ini, termasuk dalam golongan muslimah yang terkenal di langit karena
ilmunya yang bermanfaat dan membawa kemaslahatan, dan mampu memuliakan
orang tua, suami, dan anak keturunan kita kelak. Amin.
“Barang siapa menempuh jalan mencari ilmu, Allah akan memberikan baginya jalan ke surga. Sesungguhnya para malaikat menaungkan sayap-sayapnya karena senang kepada yang menuntut ilmu”(HR. Tirmizi)
@fatinahmunir | 5 September 2017
Notes:
Judul tulisan ini diambil dari video Dalia Mogahed dalam the best
talk and performance of TED Conference 2016 di sini.