- Back to Home »
- Ibu Lisfah dan Murid Istimewa »
- Untuk Apa Kita Mengucapkan Happy International Disabilities Day, Miss?
Posted by : Lisfatul Fatinah
08 December 2017
Bismillahirrahmanirrahim
“Never assume person who has
difficulty communicating
has nothing to say”
has nothing to say”
(Stacy Sekinger)
Kalimat di atas benar adanya saya alami selama saya
membersamai murid-murid istimewa saya yang mengalami autisme, di mana salah
satu masalah mereka adalah komunikasi. Terlebih lagi selama saya bersama
murid-murid besar saya yang banyak di antara mereka kritis dan suka
menyampaikan pendapat mereka dengan bahasa dan gaya komunikasi mereka. Salah
satunya terjadi Senin lalu (4/12) saat saya bersama murid-murid besar saya
membuat kartu ucapan “Happy International Day of Persons with Disabilities”.
Sebelum aktivitas membuat kartu ucapan dimulai, sempat
terjadi sedikit diskusi yang agak menegangkan dan menyenangkan dengan
murid-murid besar ini. Diskusi pertama adalah ketika saya menuliskan “Happy
International Day of Persons with Disabilities” salah satu murid besar saya
berpendapat apa yang saya tuliskan di papan tulis adalah salah.
“Salah itu, Miss! Itu bukan persons. Itu people,” katanya
sambil hendak maju dan sudah hendak mengambil penghapus papan tulis.
“Tidak, itu tidak salah. Kan ada penambahan ‘s' di sana,
jadinya persons dan itu plural. Kalau person, tanpa ‘s’ itu jadi singular,”
saya menjawab sambil melingkari huruf ‘s’ pada kata ‘persons’.
“Itu salah! Kenapa pakai persons? Seharusnya people itu!
Bukan! Bukan persons!” murid besar saya mulai meninggikan suaranya, sedangkan
yang lainnya mulai mendiskusikan apa yang diperdebatkan temannya dengan saya.
Saya memintanya untuk duduk.
Brak!
Murid besar saya memukul meja.
Suaranya meninggi. Saya menolak menjawab dan menanggapi selama dirinya masih emosi dan meninggikan suara. Hingga dia menenangkan diri dan akhirnya kami membuat kesepakatan untuk sama-sama membuka artikel di internet perihal penggunaan "persons" atau "people".
Syukurnya, ada salah satu murid besar lain yang menemukan artikel dari PBB dan menceritakan bahwa nama resminya adalah International Day of Person with Disabilities dan dapat disingkat menjadi International Disabilities Day. Di sinilah perdebatan kami berakhir dengan damai dan ilmu yang bertambah. Alhamdulillah :)
Tetapi ternyata diskusi kelas pagi itu tidak cukup sampai di situ. Dari bagian pojok yang lain, seorang murid besar mengkritisi hal lain yang membuat saya menuliskan cerita ini.
“Hm, ironi!" katanya dengan intonasi suara yang sangat khas, "Untuk apa kita mengucapkan Happy International Day
of Persons Disabilities, padahal negara kita sendiri belum ramah disabilitas!”
Murid besar yang berkomentar kali ini memang seorang yang
cerdas dan berwawasan luas seputar sejarah dan isu-isu terkini yang terjadi di
Indonesia atau mancanegara. Saat mengungkapkan kritiknya di atas, wajahnya
tertekuk sambil memoyongkan bibir seperti kebiasaannya setiap kali memberikan
argumen.
“Oh ya? Seperti apa contoh ketidakramahan pada disabilitas?”
tanya saya.
Dia mengangkat bahu sambil sedikit terkekeh, “Hah! You know
it.”
“Yeach, but I just want to listen your opinion or perhaps
you have a good idea to help them. Siapa tahu, kan.” kata saya.
“Hmmm,” murid besar ini mengangkat alisnya sambil kembali
memonyongkan bibirya. “Transjakarta dan commuter line belum maksimal sih untuk disabilitas.
Jalanan di Jakarta juga!”
“So true!” saya membenarkan murid besar saya yang sangat
menyukai kereta dan bus ini.
Lalu dirinya menambahkan banyak hal yang menurutnya salah dan menjadi arti bahwa disabilitas belum diterima masyarakat. Seperti bagaimana dirinya membandingkan jalanan di luar negeri yang ramah disabilitas dan traspostasi yang mudah diakses oleh semua orang. Termasuk tentang bullying dan juga tenaga kerja disabilitas yang sangat dihargai.
Singkat cerita, murid besar yang satu ini mulai bergabung bersama yang lainnya
untuk membuat kartu ucapan. Tapi tidak lama kemudian, dia menghampiri saya yang
sedang berdiskusi dengan murid besar lainnya.
“Miss, bagaimana kalau saya membuat ilustrasi tentang trotoar di Jakarta?”
dia meminta pendapat saya.
“Nice idea! Apa yang kamu pikirkan tentang trotoar dan
disabilitas?” tanya saya untuk memastikan apa yang sedang diimajinasikannnya.
“Yaaa, bagaimana kursi roda bisa lewat jika trotoarnya
banyak yang rusak dan banyak yang jualan di atasnya? Di luar negeri, setiap
disabilitas diberi pelayanan dengan sangat baik.” jawabnya dengan intonasi
suara yang sangat khas.
“You got it! Just make it.”
“Yeach. I’ll make it!” lagi-lagi dia memonyongkan bibirnya sambil mengangkat alis.
Tidak lama kemudian, dia menghampiri saya dengan sebuah
sketsa yang sudah dibuatnya. Kemudian dia kembali menanyakan saran saya apa
yang sekirakan harus dimuat dalam kartu ucapan yang dibuatnya.
Saya memberikan sedikit masukan tentang fasilitas-fasilitas
yang mungkin akan dibutuhkan oleh teman-teman berkebutuhan khusus. Kemudian
lagi-lagi dia pergi sebentar dan kembali sambil menunjukkan hasil kerjanya.
Pada bagian dalam kartu ucapan yang dibuatnya, terdapat satu
bagian yang saya kurang pahami. Yaitu gambar di bagian pojok kanan atas kartu
dengan tulisan “krik, krik, krik”.
“Apa ini?” saya bertanya sambil menunjuk ke gambar yang saya
maksud.
“Ini sedikit ide saya, mungkin kita perlu memberi signal
pada mereka yang tidak bisa melihat kalau di situ ada escalator. Suara itu
signalnya yang menunjukkan di situ ada escalator,” dia mencoba memaparkan
maksudnya kepada saya.
Setelah merasa cukup berdiskusi tentang kartu ucapan dan
disabilitas, saya meminta beberapa murid besar saya untuk memberikan kartu
tersebut kepada orang yang mereka ingin memberikannya. Tapi mereka memutuskan
memberikan kepada saya, termasuk murid besar saya yang banyak berdiskusi dengan
saya.
Saat membuka kartunya, saya terharu. Apa yang dibuatnya di
luar espektasi saya. Lalu berbagai hal berputar di kepala saya.
Bagian depan kartu ucapan yang dibuat salah satu murid besar saya |
Beginilah bagian dalam kartu ucapan "Happy International Disabilities Day" yang kami diskusikan :) |
***
Mereka, murid-murid besar saya yang sangat istimewa, mungkin kurang atau tidak memahami kondisi mereka dan mengapa mereka bisa bersama saya di dalam kelas khusus ini. Atau mungkin kita melihat ada keironian saat mereka membuat kartu ucapan “Happy International Day of Persons with Disabilities” dengan penuh semangat sedangkan mereka adalah bagian dari yang istimewa itu. Tetapi jauh di dalam aktivitas dan diskusi yang saya alami, saya kembali menemukan bahwa mereka sama dengan kita yang mengaku “normal”.
Saat mereka saling mendiskusikan hal-hal apa saja yang dapat
disampaikan melalui kalimat ataupun gambar terhadap disabilitas, saya melihat
semangat dan ketulusan hati yang mereka pancarkan. Sekali lagi, kendati mungkin
mereka tidak memahami bahwa mereka adalah bagian dari yang istimewa, tetapi
mereka mau bersibuk-sibuk membaca artikel di internet tentang fasilitas untuk
disabilitas. Lebih dari itu, dalam diskusi pagi itu mereka juga ikut
mengkritisi kondisi di sekeliling mereka saat ini terhadap teman-teman
disabilitas.
Apa lagi yang saya dapat di ruang perkulihan dengan
murid-murid besar saya ini? Yakni mereka sungguh makhluk-makhluk Tuhan yang
murni, yang selalu lurus dengan pendapat-pendapat mereka yang tulus. Di sinilah mereka mengajarkan bahwa tidak
sulit untuk membedakan adanya hal yang salah, kesenjangan antara yang “normal”
dan “tidak normal”, ketiadaan akses, dan hal-hal lain yang mencerminkan adanya
ketidakberterimaan di lingkungan kita. Tidak butuh IQ superior untuk memahami
apakah lingkungan kita sudah cukup adil atau tidak. Karena cukup dengan hati
lalu sedikit berpikir, maka kita bisa dapati betapa banyak hal yang tidak
seharusnya terjadi.
Well, jauh di dalam diri murid-murid besar ini ada banyak
hal yang bisa membuat saya minder atau bahkan saya mereka bahwa sayalah yang
berbeda. Mereka melihat dunia dari sisi yang lurus, tanpa keegoisan, tanpa
keserakahan, tanpa keakuan, sehingga mudah bagi mereka melihat hal salah atau
semestinya tidak terjadi. Berbeda dengan kita yang merada “normal” yang kemungkinan
besar hati dan pikiran kita sudah “kurang normal” bahkan layak dikatakan cacat,
sehingga hati, mata, dan pikiran ini sulit melihat sebuah kesalahan sebagai
kesalahan dan kebenaran sebagai kebenaran.
Saya berpikir, mungkin cacat hati dan pikiran ini yang
membuat kita juga sulit sekali membuka ruang untuk teman-teman berkebutuhan
khusus, sehingga kita selalu merasa bahwa menerima, menyesuaikan, menyediakan
dan memberikan kesempatan yang sama kepada teman-teman disabilitas adalah hal
yang sangat berat bahkan sebelum kita melakukannya. Akan berbeda ketika kita
mencoba berpikir dengan lurus, melihat apa adanya bahwa setiap hal kecil bisa
dilakukan untuk menyediakan ruang keberterimaan pada teman-teman disabilitas.
Ini seperti halnya beberapa murid besar saya, yang sejatinya mereka selalu
menjadi guru besar dalam kehidupan saya, yang mengajukan usulannya untuk
membantu teman-teman berkebutuhan khusus.
Terima kasih kepada murid-murid besar saya yang telah
menjadi salah guru besar dalam kehidupan saya, yang selalu mengajarkan arti
kebaikan dan ketulusan kepada saya. Benarlah ternyata, selayaknya tidak perlu
menjadi yang kaya untuk bersedekah, kalian mengajarkan saya bahwa tidak perlu
menjadi yang sempurna untuk membantu yang tidak sempurna, karena setiap ciptaan
Tuhan adalah kaya dan sempurna. Seperti kalian yang selalu sempurna bagi saya,
yang sempurna mengajarkan saya banyak hal dan selalu membuat saya bersyukur
akan banyak hal yang saya miliki, terutama saat saya memiliki kalian.
Happy international day of persons with disabilities, all!
Special thanks for Ben and Red Bear who coloured our morning activity with your argument,
idea, and nice discussion. I’m proud of you, my awesome students! J
“There
is no greater disability in society
than an in ability to see a person more.”
than an in ability to see a person more.”
(Robert M. Hensel)
@fatinahmunir | 8
Desember 2017