Posted by : Lisfatul Fatinah 14 November 2012


Beberapa pekan lalu, saya dan salah seorang teman saya berkunjung ke Yayasan Nur Abadi Jagakarsa untuk melakukan observasi terhadap anak tunagrahita (anak dengan tingkat intelejensi di bawah rata-rata). Sebelumnya, saya sudah pernah berkunjung ke yayasan ini dan mendapat pengalaman yang cukup menyenangkan. Ya, meskipun saya tahu bahwa pengalaman menyenangkan bukanlah pengalaman yang cukup.


Pada kunjungan kedua kalinya ini, sebenarnya saya hanya ingin meminta data-data yayasan dan guru, dan sama sekali tidak berniat masuk ke dalam kelas. Berhubung pengurus yayasan sudah mengantarkan saya dan teman saya ke kelas, akhirnya kami masuk kelas.

Dalam kelas yang kami masuki terdapat tiga orang murid dan satu orang guru yang bernama Bu Nafsiah. Tiga murid dalam kelas ini memiliki tingkat intelejensi yang sangat rendah dengan karakter yang berbeda-beda. Dimas, seorang anak yang menarik perhatian saya sejak awal karena keautisan yang menyertainya. Ada Fikri, seorang anak yang pendiam dan selalu membawa sarung tangan untuk mengelap liur yang selalu keluar dari mulutnya. Untuk murid yang satu ini saya belum berani mendampingi karena (maaf) saya benar-benar tidak kuat dengan bau liurnya. Terakhir, Hanif, seorang tunagrahita sekaligus low vision (kemampuan pengelihatan yang sangat rendah). Meskipun demikian, Hanif sangat aktif dan cukup sering mengganggu teman sekelas dan gurunya.

Pada kunjungan kali ini, saya dan teman saya sedikit-sedikit belajar membantu Bu Nafsiah. Saat itu Bu Nafsiah sedang membimbing Hanif dan saya memilih untuk menemani Dimas, karena teman saya belum terbiasa mendekati anak autis seperti Dimas yang memang sering tantrum (mengamuk tiba-tiba dengan memukul atau melempar apa saja yang ada di dekatnya). Sedangkan teman saya, dengan wajahnya yang sangat melas dan perasaan agak terpaksa menghampiri Fikri yang selalu mengeluarkan liur. Saya hanya bisa membalas tatapan melas teman saya dengan tatapan yang tak kalah melasnya saat dia meminta bergantian sebagai tanda saya benar-benar tidak sanggup mendekati Fikri.

Saat saya bersama Dimas, Bu Nafsiah yang sedari tadi menemani Hanif menghampiri Dimas dan mengajarkan Dimas mewarnai. Saat itu saya memerhatikan cara Bu Nafsiah membimbing Dimas mewarnai. Selesai mewarnai, saya kembali menemani Dimas dan teman saya masih anteng menemani Fikri sambil sesekali menunjukkan wajah melasnya (maaf ya, Ra T,T). Saat itu saya tidak terlalu memerhatikan kalau Hanif tidak ditemani siapapun, karena Bu Nafsiah keluar kelas.

Ketika saya sedang asik berbicara dengan Dimas, Hanif menghampiri saya dan tersenyum. Spontan saya langsung menyapa Hanif dengan seramah mungkin. Bukannya menjawab pertanyaan saya, Hanif malah hanya mengulang-ulang ucapan saya. Saat saya ingin merangkulnya, dia menolak dan malah mengelap tangannya ke rok dan jilbab saya dengan cepat seakan-akan sedang melumurinya dengan sesuatu. Saya baru sadar apa yang Hanif lapkan ke rok dan jilbab saya setelah dengan ekspresi hampir ingin menangis saya melihat cairan putih meresap ke dalam rok saya.

“Ileerr…” Dimas bersuara sambil bertepuk tangan dan tertawa.

Jujur. Saat itu juga saya ingin muntah dan mendadak pencium saya semakin tajam. Kelas yang saya tempati itu langsung mengeluarkan bau yang tidak sedap dan membuat saya ingin muntah. Setelah melihat tingkah Hanif, teman saya kembali menunjukkan ekpresinya wajahnya yang teraniaya sambil mundur dari Fikri, lalu duduk di bangku yang cukup dekat dengan saya. Wajah kami saat itu benar-benar seperti orang yang kekurangan oksigen, memerah menahan napas dari bau yang (entah sugesti atau tidak) tiba-tiba menyeruak di sekitar kelas. Saya dan teman saya mustahil meninggal kelas. Dan, akhirnya kami memutuskan untuk menunggu Bu Nafsiah kembali.

Sekembalinya Bu Nafsiah, ternyata jam sekolah hampir selesai. Saat itu saya dan teman saya saling lirik dan tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika anak-anak ini mencium tangan kami sebelum meninggalkan kelas. Pasrah. Ya sudahlah, nanti cuci tangan. Tapi tetap saja kami benar-benar ingin muntah.

Benar saja, Bu Nafsiah memerintahkan anak-anak untuk mencium tangan kami. Dan…, tak terbayang perasaan jijik yang memuncak. Setelah keluar kelas, teman saya muntah-muntah dan saya tidak ingin memegang apapun. Parahnya, sepulang dari yayasan saya mencuci semua benda yang saya bawa, termasuk beberapa buku yang saya bawa, dan seharian saya tidak enak makan.

Di hari-hari selanjutnya, saya masih membayangkan kondisi kelas itu dan proses belajar mengajar Bu Nafsiah dengan murid-murid yang lainnya. Saya pun masih bertanya-tanya apa tipsnya yang membuat Bu Nafsiah tahan bertahun-tahun mengajar anak-anak dengan kondisi seperti itu dan bau kelas yang sedemikian hebatnya mampu mengaduk-aduk perut.

***

Beberapa hari setelah kunjungan kami ke yayasan, seorang dosen menunjukkan sebuah video pembelajaran yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Dalam video tersebut, seorang wanita sedang membimbing seorang anak  untuk belajar minum susu menggunakan sendok. Anak itu berseragam SD dengan wajah yang tidak karuan dan tidak dapat dikenali. Kedua matanya besar dan hampir seluruh lubang matanya tertutup daging. Sehingga, anak ini hanya memiliki sedikit sekali sisa pengelihatan. Bentuk hidungnnya pun tak karuan. Tanpa tulang hidung. Lubang hidungnya pun tidak jelas di mana. Yang saya lihat ada satu lubang yang terbuka ke samping, bukan ke bawah. Lalu, rahang bawah anak ini besar. Bibir atasnya tidak ada dan bibir bawahnya tebal seperti hendak meleleh. Akibatnya, anak ini tidak bisa menutup mulutnya. Tidak hanya itu, telinga anak ini juga kecil. Sehingga, anak ini hanya memiliki sedikit sekali sisa pendengaran.

Tak terbayang kan bagaimana bentuk wajah anak ini? Jika anak ini tidak menggunakan rok, mungkin saya tidak dapat menebak bahwa anak ini perempuan.

Berdasarkan cerita dosen saya, anak ini ditemukan di tempat sampah empat belas tahun lalu oleh temannya yang seorang ortopedagog (guru Pendidikan Khusus). Anak ini menghabiskan waktu delapan tahun di atas kursi roda dan dua belas tahun untuk makan minum menggunakan selang pembantu.

Di usianya yang keempat belas, anak ini hanya mengenal beberapa orang yang selalu merawatnya, meraka adalah para ortopedagog yang memiliki empati dan komitmen untuk memanusiakan anak ini. Dosen saya beserta beberapa ortopedagog lainnya berusaha agar anak ini dapat merasakan kehidupan, paling tidak anak ini tahu siapa dirinya (sebagai manusia yang dimanusiakan) dan tahu siapa yang ada di dekatnya.

Berbeda dengan kasus di atas. Dosen saya kembali menunjukkan fotonya bersama seorang anak yang sedang dibimbingnya. Anak ini tidak memiliki kemampuan pengelihatan dan pendengaran (buta tuli) dan tidak dapat menggerakkan tubuhnya (lumpuh). Hampir seumur hidup anak ini, kurang lebih tujuh belas tahun, dihabiskan di atas kursi roda dengan air liur yang terus mengalir dari mulutnya. Satu hal yang dilakukan dosen saya selama ada di dekat anak ini, yakni memegang tangan anak ini. Hal ini dilakukan agar anak ini tahu bahwa dia tidak sendirian dan ada orang di dekatnya.

Di akhir ceritanya, beliau mengucapkan dua kata yang membuatnya kuat menjalankan pengabdiannya. Dua kata itu juga yang saya yakini juga dimiliki Bu Nafsiah selama menemani murid-muridnya. Dua kata itu adalah kasih sayang. Itulah tips dari beliau.

Menurut dosen saya, kasih sayang yang dibutuhkan oleh seorang ortopedagog harus melebihi kadar kasih sayang pendidik lainnya. Tanpa kadar kasih sayang yang besar, tidak akan ada yang ingin memungut apalagi merawat anak dengan bentuk wajah tidak karuan. Tanpa kadar kasih sayang yang besar pula, tak akan ada seorang pendidik yang cukup kuat menahan penciuman mereka dari bau air liur yang membuat muntah.

Entahlah. Mungkin kasih sayang itu luput dari diri saya. Sehingga, saat pertama kali diileri murid, saya langsung mengeluarkan reaksi dan pikiran-pikiran yang kurang layak bagi seorang ortopedagog.

Satu lagi, keikhlasan, begitulah kata seorang senior saya di FLP Ciputat. Ketika seseorang sudah ikhlas dengan pilihannya, maka loyalitas dalam bentuk apapun bisa terjadi. Seperti dosen-dosen saya dan juga Bu Nafsiah yang penciumannya seakan kebal dari bau liur murid mereka, inilah bentuk loyalitas mereka untuk mencurahkan segala kasih sayang yang mereka miliki kepada mendidik anak-anak spesial.

Sampai saat ini, saya masih meragukan eksistensi saya di dunia ortopedagog. Entahlah. Saya takut tidak ikhlas dan tidak memiliki loyalitas untuk mencurahkan segala kasih sayang yang saya miliki.

Saya akui, berat memang mengambil keputusan untuk berkecimpung dalam dunia spesial ini. Tapi satu hal yang meringankan langkah saya dalam dunia ini, yakni kesadaran. Ya, sebuah kesadaran bahwa Allah memiliki berbagai cara yang luar biasa dahsyatnya untuk menunjukkan Kasih Sayang-Nya kepada mereka yang diberi kekurangan. Kesadaran ini pulalah yang semakin mengerdilkan saya di hadapan-Nya, bahwa saya mungkin bukanlah hamba-Nya yang spesial dengan “kesempurnaan” yang saya miliki. Mungkin mereka, anak-anak spesial, yang memiliki tempat spesial di sisi-Nya. Wallahu a’alam.

Semoga pengalaman ini  bermanfaat bagi banyak orang. Amin.

{ 3 komentar... read them below or Comment }

  1. just share info aja , kami dari RATU MEDIKA adalah toko online yang menjual alat kesehatan, seperti kursi roda cerebral palsy (kursi roda CP), ranjang pasien, tabung oksigen dan alat kesehatan lainnya, untuk lebih jelasnya dapat membuka link ini: http://www.ratumedika.com/kursi-roda.html Thanks all….

    ReplyDelete
  2. Terimakasih, sangat menginspirasi kak :)

    ReplyDelete
  3. MasyaAllah.
    Terimakasih Kak atas kisah-kisah yang sudah dicurahkan.
    Alhamdulillah saya jadi semakin yakin untuk menjadi Ortopedagog.
    Tadinya saya masih ragu dengan pilihan masuk jurusan Pendidikan Luar Biasa ini, karena jurusan ini pilihan kedua saya di SBMPTN 2019. Walau selama ini saya selalu berdoa agar diterima di pilihan pertama tapi Allah memberi saya rezeki di pilihan kedua. Sekarany saya semakin yakin bahwa inilah pilihan Allah untuk saya. Yang insyaAllah kedepannya bisa menjadi ladah pahala.
    Terimkasih sekali lagi untuk kisah inspiratifnya Kak 😄

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya :)

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -