- Back to Home »
- Fiksi »
- Luna, Rembulan yang Selalu Purnama
Posted by : Lisfatul Fatinah
23 November 2012
Bismillahirrahmanirrahim
Banyak buku yang saya baca, tapi hanya sedikit
buku roman yang pernah saya baca, dan lebih sedikit lagi kisah roman yang saya
suka. Dari sekian banyak kisah roman, saya hanya suka dua kisah, yaitu kisah
cinta Rasulullah saw. dengan Khadijah, dan Siti Aisyah, serta kisah cinta
diam-diam yang ada di antara Ali ibn Abi Thalib dan Siti Fatimah.
Untuk dua kisah di atas, saya yakin pasti
banyak di antara teman-teman yang sudah mengetahuinya. Di catatan kali ini,
saya ingin menceritakan kisah roman ketiga yang saya sukai. Kisah ini memang
tidak terekam secara eksklusif seperti kisah roman dua Lelaki Surga di atas.
Kisah ketiga ini hanya kisah biasa, tapi penuh hikmah yang membuat diri saya
cemburu pada wanita yang ada di dalam kisah ini. Ini tentang Luna, wanita yang
saya kenal setahun lalu di dunia maya.
Nama aslinya bukan Luna. Saya memanggilnya
Luna, karena saya menyukai ‘luna’ yang berarti ‘rembulan’. Setahun yang lalu
Luna meng-add akun facebook saya. Tapi permintaan pertemannya tidak
saya pedulikan, karena saya tidak suka meng-approve pertemanan
di facebook jika saya tidak kenal betul siapa orang itu.
Kurang lebih satu bulan saya mengacuhkan
permintaan pertemanan dari Luna, tiba-tiba akun kedua Luna (dengan nama yang
sama) meng-add facebook saya lagi. Penasaran. Saya mencoba mencari
tahu siapa wanita ini. Seorang kakak menyarankan saya untuk
meng-approve saja permintaan pertemanannya.Wal hasil, saya menuruti saran
kakak saya.
Percik Sapa Pertama dan Kehangatan Selamanya
Tak ada sapaan atau perbincangan apapun
setelah beberapa pekan saya meng-approve akunnya. Hingga pada suatu siang
saat saya membuka facebook, saya mengaktifkanchat saya yang biasanya
selalu saya nonaktifkan. Tiba-tiba sebuah sapaan mendenting dari sudut layar komputer.
Luna memberi salam.
Antara enggan dan tidak, saya menjawab
salamnya. Luna memanggil saya ‘Kakak’ dan menyebut dirinya ‘Dede’ meskipun usia
kami sebaya, bahkan dia lebih tua satu bulan daripada saya. Sapaan pertamanya
membuat saya ikut melebur pada dirinya yang ‘cerewet’.
Di perbincangan perdana ini, saya tak banyak
bertanya, justru Luna lebih banyak melontarkan pertanyaan tentang saya.
Saya terkejut ketika Luna tahu bahwa saya pernah kuliah di FKIK UIN
Ciputat (Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Ciputat). Saya pikir, mungkin di membaca profile saya di, jadi tidak masalah.
Setelah itu, pertanyaanya melenceng ke arah kesehatan, obat-obatan, sampai pada
sebuah penyakit yang cukup mengerikan bagi saya.
Kanker rahim, itulah perbincangan kami
selanjutnya. Luna banyak bertanya tentang penyakit itu. Saya berusaha menjawab
sesuai dengan ilmu yang pernah saya dapatkan, beserta informasi obat-obatan
mulai dari obat sintesis hingga obat herbal.
Saya memang tidak menaruh tanya pada Luna
mengapa dia banyak bertanya tentang penyakit itu. Tapi, di kesempatan lainnya
dia bercerita tanpa dipinta. Luna mengidap kanker rahim. Begitulah pengakuannya
di message facebook. Refleks saat itu juga saya menangis, tak tega.
Pengakuan Luna membuka pintu persaudaraan
kami. Baru satu bulan kami saling kenal, kami sudah cukup dekat. Ya, meskipun
dalam perkenalan ini Luna yang lebih banyak bercerita tentang dirinya daripada
saya. Saya sering berbagi informasi kepadanya tentang info-info kanker rahim
sampai dengan memberitahukan kepadanya tentang obat-obatan tradisional yang
bisa dibuat sendiri di rumah. Kedekatan ini membuat saya memberikan
nomor handphone saya kepadanya, agar jika saya mendapatkan informasi
terbaru tentang obat, bisa segera saya berikan kepadanya.
Jumpa Suara dan Airmata
Dua bulan sudah kami berkenalan. Sore itu Luna
mengirim sms kepada saya, “Kak, nanti malam sibuk gak? Dede mau telepon
kakakku, ada yang mau Dede ceritain.” Begitulah cara Luna berbincang dengan
saya, kekanak-kanakan dan manja.
Malam harinya, Luna menelepon. Suaranya renyah
dan memang kekanak-kanakan. Basa-basi mengawali perbincangan kami hingga Luna
mengeluarkan kalimat yang menyentak saya. “Dede mau nikah, Kak, tapi bukan
karena keinginan Dede. Ini supaya pengobatan Dede lancar.”
Saya paham maksudnya, salah satu prosedur
dalam pengobatan kanker rahim mengharuskan pasiennya untuk menghilangkan
keperawanannya. Dan, menikah adalah satu-satunya cara yang harus ditempuhnya.
“Tapi Dede kasihan dengan calon Dede, karena
Dede gak akan bisa ngasih anak buat dia,” Luna terisak, airmata saya ikut
tumpah.
“Jangan bilang begitu. Itu kan kata dokter,
bukan kata Allah,” saya berusaha menghiburnya.
“Iya. Dede udah pasrah, Kak. Dede cuma mau
sembuh.”
Sampai sekarang saya selalu menangis setiap
mengingat perbincangan ini. Ada cemburu dan belas kasihan saya pada Luna. Saya
cemburu pada ketegarannya. Di usia yang sama, dia menerima ujian dari Allah
lewat kesehatannya. Dia mengorbankan kuliahnya untuk konsentrasi berobat ke
sana ke mari. Saya cemburu kepadanya yang kuat dan merelakan dirinya menikah
dengan orang yang belum tentu dicintainya. Saya cemburu dengannya yang bisa
menikah muda, tapi ikut kasihan ketika mengingat alasannya menikah untuk
mengobati penyakitnya.
Luna, ia sempurna seperti rembulan; ia membuat
saya cemburu pada ketabahannya yang menyinari malam, sendirian di bentang
hitam.
Pembicaraan kami terus beriring isak tangis.
Tapi, lambat laun saya mengalihkan pembicaraan. Saya menggodanya dengan
menanyakan siapa calonnya. Luna bercerita bahwa calonnya adalah seorang anggota
FLP dan baru saja memenangkan lomba menulis di FLP Jakarta Raya. Saya hanya
tahu nama orang itu, tanpa tahu orangnya seperti apa.
“Dia teman Dede, seorang hafizul quran, Kak.”
Suara Luna mengisyaratkan bahwa dia sangat bahagia memiliki calon suami yang
penghapal al-Qur’an.
Perbincangan kami yang dipenuhi tangis, tawa,
dan bahagia akhirnya selesai. Saya dan Luna kembali berkomunikasi melalui sms
atau message facebook.
Saya kerap dikejutkan oleh smsnya. “Dede masuk
rumah sakit lagi :’(“ begitulah bunyi smsnya selalu membuat saya terkejut dan
khawatir. Lalu, beberapa hari setelah sms sejenis itu datang, tak pernah ada
kabar darinya. Begitulah saya sering mengkhawatirkan kondisinya. Tapi, dia
selalu mengabari setiap dia sudah keluar dari rumah sakit dan memohon maaf
banyak sms yang tidak dibalas karena dia tidak
memegang handphone selama diopname.
Hampir setiap bulan saya tiba-tiba menerima
sms mengejutkan seperti di atas. Tiba-tiba kehilangan kabar darinya dan
tiba-tiba menerima telepon darinya.
“Kak, Dede gak jadi nikah dengan dia,”
suaranya sedih saat dia menelepon saya.
“Kenapa, De?” saya terkejut.
“Dede gak suka cara dia menjalin hubungan
dengan Dede sebelum pernikahan,” suara Luna meninggi. “Masa dia beraninya sms
dan telepon pakai kata ‘sayang’ ke Dede, padahal Dede belum sah untuk
dipanggil ‘sayang’ sama dia. Dede gak peduli dia hafizul Qur'an. Dee gak suka
cara dia berinteraksi kayak gitu”
Saya diam, terus mendengarkan suaranya yang
menggeram. Semakin dia membeberkan kisah tentang calon suaminya, semakin saya
mengaguminya, semakin pula saya cemburu kepadanya.
Semua wanita pasti ingin memiliki suami yang
taat ibadahnya, bahkan juga kalau bisa hafizul Qur’an, yang menjaga al-Qur’an
di kehidupannya. Tapi tidak semua wanita mau melepas sang calon suami yang
hafizul Qur’an hanya karena kata ‘sayang’ yang dilontarkan sebelum akad
diucapkan.
Dari Luna saya belajar arti kesucian sebuah
hubungan. Kadang banyak orang terlena dengan hubungan yang nyaris mengarah pada
pernikahan. Tak dapat dipungkiri, setiap wanita pasti senang jika dipanggil
‘sayang’ oleh sang calon suami. Tapi, dari Luna saya belajar arti kata itu yang
sesungguhnya. Jika memang itu belum waktunya dikatakan yang jangan dikatakan,
karena bagaimana pun calon suami tetaplah calon yang belum memiliki hak untuk
melakukan apa yang bisa dilakukan suami, sekalipun itu sekadar ucapan merayu.
Dari Luna saya belajar arti keteguhan dalam
mencintai. Tak peduli siapa calon suami itu, seorang ustaz ataupun hafizul
Qur’an, ketika dia melakukan hal yang belum seharusnya dilakukan, segala
embel-embel keistimewaan yang disandingnya luruh sudah. Luna tak peduli calon
suaminya seorang hafizul Qur’an dan Luna rela melepas calon suami yang
diidamkan banyak wanita demi menjaga ketulusan rasa yang dimilikinya.
Sekali lagi saya belajar dari Luna. Cinta itu
tidak sesimpel mengolah tepung menjadi berbagai macam kue. Cinta itu
seperti menanam padi, ada tahap-tahap yang harus dilalui dengan berurutan, ada
tahap-tahap yang harus dikerjakan dengan penuh kesabaran. Untuk mendapatkan
beras, kita harus membajak sawah dulu, lalu menanam benih padinya. Dua tahap
ini tidak bisa ditukar apalagi di hilangkan salah satunya.
Begitulah menanam cinta, harus sabar, telaten,
dan perlahan-lahan. Ada hal-hal yang tetap tak bisa dilakukan sebelum akad
dilaksanakan, meski hanya sekadar kata ‘sayang’.
Lebih dari satu bulan sejak saya menerima
kabar tentang batalnya hubungan Luna dengan sang hafizul Qur’an, tiba-tiba Luna
mengirim sms dan meminta ditelepon. Malam harinya, ba’da Isya saya menelepon
Luna.
“Kak, dua bulan lagi Dede menikah. Mohon
doanya ya,” Luna mengabarkan suka.
“Subhanallah, barokallah. Sama siapa, De?”
“Sama seorang lelaki yang belum Dede kenal,
Kak. Dia lelaki biasa, bukan hafizul Qur'an kayak calon yang pertama, dia cuma
orang kantoran. Dia tiba-tiba datang ke rumah dan ngelamar Dede. Dede kaget
waktu dia bilang kenal Dede di FB. Padahal Dede udah jarang FB-an,
jarang update status.”
“Terus, kok dia bisa berani ngelamar kamu?”
“Iya, Kak, Dede juga gak tau. Tapi Dede kaget
waktu dia bilang kalau dia sering baca status Dede tentang penyakit
Dede. Dia gak pernah nge-like ataucomment, tapi dia merhatiin Dede. Dia
tahu kondisi Dede seperti apa,” Luna menangis. Saya sudah sedari tadi
menitikkan airmata, merinding mendengarkan ceritanya. Saya hanya bertanya dalam
hati, masih adakah lelaki setulus itu di zaman sekarang, yang diam-diam
mencintai seperti Ali ibn Thalib dan memilih langsung meminta daripada mencoba
mendekati dengan berbagai cara?
“Berarti dia benar-benar sayang sama kamu.”
“Dede gak tau dia sayang Dede atau nggak.
Sejak dia datang kemarin sore sama orangtuanya, Dede ingin tanya apa dia mau
nikahin Dede karena kasihan? Tapi Dede gak mau tanya itu dulu ke dia.”
Suara Luna mengalir di telinga saya, merasup
dalam hati, mengobrak-abrik makna cinta yang sudah saya punya. Airmata saya
semakin deras alirannya, sederas kekaguman dan iri pada Luna.
Setiap wanita pasti ingin menikah karena
cinta, tapi Luna harus mangguhkan cinta demi kesembuhannya. Tak peduli apakah
lelaki yang ingin menikahinya benar-benar mencintainya atau sekadar kasihan
padanya.
“Meskipun cuma orang biasa-biasa, semoga dia
benar-benar jodohmu, De.” cuma itu yang bisa saya ucapkan.
“Amin. Tapi, Dede belom bisa nerima dia. Dede
gak tau dia cinta atau tidak sama Dede. Dede juga belom bisa cinta sama dia,
Kak,” Luna terisak.
Saya bingung menanggapinya. Saya tidak pernah
ada di posisi sepelik ini, apalagi dalam urusan cinta. Saya menarik napas
panjang, “Sekarang memang belum, De. Tapi nanti, insya Allah cinta itu
tumbuh. Cinta kan bisa dibangun. Semoga yang dibangun itu berkah dari Allah,
De.”
“Amin. Doain Dede, Kak, semoga Dede gak
nyakitin dia. Semoga beneran jodoh,” Luna menangis lagi.
Semoga benar jodohmu, imammu di dunia hingga
surga. Selalu itu yang saya doakan setiap Luna mengabarkan perkembangan
proses pernikahannya.
“Kak, Dede cinta sama dia.” Sms Luna di suatu
hari. Saya tersenyum, terharu saat membaca sms itu. Saya hanya membalas dengan
mention senyuman. Barisan doa terus mengalir untuknya, semoga dia bahagia
bersama lelaki yang diam-diam mencintainya, yang diam-diam ingin menolongnya.
Lelaki itu, yang tiba-tiba datang melamar
Luna, tak pernah sekalipun menelepon Luna sebelum ijab kabul diucapkan. Lelaki
itu bahkan tidak pernah mengirim sms untuk sekadar ngobrol
basa-basi dengan Luna. Setiap sms yang dikirim lelaki
bermental Ali ini hanya membahas persiapan pernikahan. Setelah pembahasan persiapan
pernikahan selesai, selesai pula komunikasi mereka. Begitulah tak ada
hubungan yang berlebihan sebelum akad nikah, apalagi saling panggil
‘sayang’ atau ‘cinta’ yang dilontarkannya.
“Dede semakin cinta sama dia, karena dia
gak pernah sms yang mesra-mesra. Dia beda dengan yang lain, Kak. Kalau ke
rumah, dia gak pernah minta Dede nemuin dia. Dia perlu sama Ibu, ya dia
cuma ketemu ibu, gak maksa Dede untuk keluar nemuin dia,
Kak,” kata Luna dalam obrolan kami di telepon.
“Subhanallah. Bersyukurlah, De. Dia
menghargai Dede sebagai wanita. Dia jodoh Dede, insya Allah,” saya ikut
bahagia dengan kisahnya.
“Tapi Dede masih gak tega, Kak. Dede kan
menikah untuk prosedur pengobatan penyakit Dede. Dede juga gak bisa ngasih dia
keturunan.”
“Jangan pikirin itu, De. Yakin sama Allah.
Kamu bisa sembuh. Kamu bisa punya anak.” Lagi-lagi saya menangis.
Ya, begitulah cara lelaki itu bersikap pada
Luna. Saya pribadi menilai, lelaki itu sangat menghargai Luna sebagai muslimah
baik-baik. Tak ada obrolan yang dibuat-buat oleh lelaki itu. Dia
menghindari obrolan tak penting untuk menghargai Luna, begitu pikir saya.
Saya ikut bahagia, akhirnya Luna mendapatkan
lelaki yang tak hanya mengasihinya karena kanker rahim yang dideritanya, tapi
lelaki yang sangat mencintai, yang sangat menghargainya. Tak peduli apakah Luna
bisa memberikan keturunan padanya, tapi dia tetap menghargai Luna. Tak pernah
tak menitikkan airmata setiap saya mengingat suara Luna yang bercerita tentang
lelaki berhati cahaya ini.
Beberapa pekan sebelum pernikahan mereka
diadakan di Bima, tak ada kabar dari Luna. Saya hanya bisa mengucapkan
hamdalah, menyampaikan puji dan syukur atas perkenalan yang Allah Kehendaki
ini. Semoga kalian jodoh, semoga kamu lekas sembuh. Begitu terus saya
berdoa untuk Luna.
Di awal pernikahannya, Luna masih tetap
menjalankan pengobatan. Bahkan, pernah beberapa kali Luna masuk ruang ICU lagi.
Kekhawatiran lagi-lagi menyeliputi saya, semoga Luna diberi kekuatan atas
penyakitnya.
Selepas pernikahannya, saya sudah agak jarang
berkomunikasi dengannya. Luna hanya sesekali mengirim sms kepada saya. Luna
biasanya sms saya untuk menanyakan cara memasak sesuatu; opor, sayur lodeh,
capcay, sambal balado, dan lain-lain. Maklum, Luna sangat kekanak-kanakan,
fisiknya yang lemah membuatnya jarang beraktivitas, termasuk di memasak. Tapi,
sms-sms Luna yang kerap menanyakan cara memasak menjadi bukti bagi saya, bahwa
Luna berusaha menjadi istri yang baik bagi suaminya :’)
Beberapa pekan sebelum Ramadhan, saat sudah
sangat jarang memberi kabar kepada saya, Luna mengirim sms kepada saya. “Kakak,
Dede hamil. Benar kata Kakak, dokter bukan segalanya. Ini bukti Kuasa Allah,
Kak.”
Saya merinding membaca smsnya. Saya langsung
menangis, tak kuasa menahan bahagia dan haru yang membuncah. Allah Maha
Kuasa, Dia bisa dengan mudahnya mengubah api menjadi embun, Dia bisa dengan
mudahnya menjawab keraguan dengan kenyataan yang indah. Luna yang sudah divonis
tidak akan bisa hamil, kini sedang mengandung. Semalaman sejak menerima sms
dari Luna, saya terus menangis, mensyukuri kabar bahagia ini dan mengagumi
Kuasa Allah yang Mahadahsyat. Allah Karim punya janji yang tak terbantahkan.
Beberapa hari yang lalu Luna mengirim sms
kepada saya. Usia kandungannya sudah lima bulan dan dia sedang mengidam manisan
buah. Ah, sayangnya saya tidak tahu di mana manisan buah dijual. :(
Kisah cinta yang dimiliki Luna sangat
sederhana, tapi nilai-nilai pelajaran di dalam sangat berharga bagi saya.
Terima kasih Rembulan cantik yang telah mengajarkan Kakak arti perjuangan dan
keteguhan. Terima kasih atas kisah cinta sederhana yang mau kamu bagi kepada
Kakak. Terima kasih atas makna cinta yang baru, yang membuat Kakak semakin
meyakini janji Allah yang tak tergantikan.
Beginilah jadinya jika seorang wanita mau
menjaga dan menghargai dirinya, seperti Luna yang mau menjaga dirinya dari
kata-kata romantis ‘sayang’ yang datang dari orang yang belum menjadi
suaminya, maka Allah akan menjaganya dan menghargainya dengan cara yang lebih
romantis. Allah kirimkan lelaki berhati cahaya kepadanya, yang mau menjaga dan
menghargainya sebelum ijab kabul disahkan. Allah gantikan ketabahannya dengan
janji yang tak terbantahkan. Dokter memang mengatakan Luna tak bisa hamil, tapi
Allah Pemilik segala ilmu berkata lain, Luna yang mengidap kanker rahim bisa
mengandung dan memberikan keturunan kepada sang lelaki cahaya.
Semoga Allah senantiasa memberkahi dan
meridhoi rumah tanggamu, Rembulan. Semoga kamu terus purnama. Rembulan,
setiap mengingatmu, airmata ini selalu tumpah. Sekali lagi, saya cemburu
padamu.
Kalian tahu, sampai sekarang saya belum pernah
bertemu dengan Luna. Tapi dahsyatnya sebuah ukhuwah dari Allah, meski kami tak
pernah berjumpa, saya tetap menyayangi, mengaguminya, dan selalu cemburu
padanya :')