- Back to Home »
- Ibu Lisfah dan Murid Istimewa »
- Jalan-Jalan Pakai Kursi Roda
Posted by : Lisfatul Fatinah
14 November 2012
Bismillahirrahmanirrahim
Jalan-jalan mungkin menjadi suatu
kesenangan bagi sebagian kalangan di antara kita. Tapi, bagaimana jadinya jika
kita memiliki keterbatasan tubuh yang nantinya menghambat kesukaan itu?
Misalnya, salah satu kaki kita mendadak lumpuh atau kita harus menggunakan
kursi roda.
Pada catatan kali ini, saya ingin
sedikit bercerita kepada teman-teman tentang salah satu pengalaman saya saat
jalan-jalan. Jalan-jalan yang saya lakukan kali ini bukanlah jalan-jalan ke
toko buku atau museum seperti biasanya, tapi jalan-jalan sederhana dari Jakarta ke Depok menggunakan commuter. Yang
membuat perjalanan ini berbeda adalah karena saya harus menggunakan kursi roda.
Pagi itu, saya melakukan
perjalanan dengan rute Jakarta-Depok menggunakan commuter. Tujuan utama saya adalah perpustakaan utama
Universitas Indonesia. Saya dan beberapa orang teman memulai perjalanan ini
dari stasiun Cikini, Jakarta Pusat.
Untuk memasuki stasiun Cikini,
saya harus menaiki kurang lebih tiga puluh tiga anak tangga. Apa yang saya
bayangkan saat ada di sana? Saya hanya bisa melongo seperti orang dungu. Bagaimana
saya bisa naik? Ngesot? Haduh! Menyedihkan. Mau tidak mau, saya membutuhkan
bantuan.
Normalnya, untuk jalan di jalanan
yang naik-turun, saya membutuhkan satu orang teman untuk membantu saya men-jump
kursi roda. Tapi, kali ini saya membutuhkan dua
sampai tiga orang yang rela membantu saya untuk menaiki puluhan
anak tangga tersebut. Dua orang teman
saya yang sama-sama perempuan menyanggupi untuk menganggat saya yang hanya bisa duduk di kursi roda. Satu orang
lainnya adalah seorang bapak paruh baya dengan tubuh yang besar yang juga ingin
menuju loket karcis.
Belum tuntas perjalanan saya di
sebelas anak tangga pertama, wajah kedua teman saya sudah pucat pasi dengan
keringat yang mengucur di seluruh tubuhnya. Saya benar-benar tidak tega melihat
wajah mereka dan hanya bisa meminta maaf. Really, I’m sorry for this
situation, Guys!
Di tengah usaha kami untuk dapat
menaiki tangga, mulailah muncul berpasang-pasang mata dengan tatapan yang
entah. Mungkin bingung. Mungkin kasihan. Mungkin juga yang lainnya. Ya
entahlah, mungkin gadis dengan kursi roda yang harus diangkat untuk menaiki
anak tangga adalah potret yang tidak biasa di mata mereka.
Syukurnya, setelah sebelas tangga
pertama kami lewati, dua orang petugas stasiun datang dan membantu saya. Lega
rasanya ketika pertolongan petugas-petugas itu datang pada waktunya. Hehe, meskipun
saya berharap petugas-petugas itu dapat datang lebih awal.
Tigapuluh tiga anak tangga
terlewati. Ini adalah perjalanan yang tak pernah saya pikirkan.
Dalam keadaan “normal” saya dan
kalian mungkin bisa melewati puluhan anak tangga itu dalam waktu kurang dari
tiga menit dengan berjalan santai. Tapi sekarang, untuk berpindah tempat yang
datar saja kadang saya merasa kebingungan. Dan, melewati tigapuluh tiga anak
tangga dengan roda-roda yang kini
menjadi bagian dari tubuh saya adalah suatu anugerah tak ternilai harganya. Di
sinilah indahnya Kuasa Allah, bahwa sedikit nikmat dunia yang kini hilang
menjadi sangat berharga ketika digantikan oleh tangan-tangan dermawan yang mau
membantu saya :’)
Selanjutnya, saya sudah berada di
peron stasiun dan siap menunggu commuter yang kurang lebih sepuluh menit lagi
akan datang. Biasanya, dengan nyaman saya memilih tempat duduk di stasiun untuk
menunggu commuter. Ketika commuter datang dan gerbong khusus wanita ada di mana
saja, saya bisa sedikit berlari sebelum pintu gerbong commuter tertutup. Tapi,
sekarang saya tidak dapat melakukan itu semua. Saya dan dua orang teman saya
harus siap di tepi peron yang diperkirakan sebagai tempat terbukanya gerbong
khusus wanita.
Bilik ketiga. Begitulah salah
seorang petugas memberitahukan kami tempat gerbong khusus wanita berhenti.
Yuhu! Tenang. Sekarang kita tinggal menunggu. Begitulah kira-kira saya dan
kedua teman saya membatin.Tapi, informasi yang kami terima salah. Setelah
commuter yang kami tunggu datang, ternyata gerbong khusus wanita ada di biliki
kedua.
Masya Allah! Ampun deh! Dengan
terburu-buru salah seorang teman saya mendorong kursi roda saya, sedangkan teman
saya yang lainnya jalan lebih awal membuka jalan untuk saya. Kondisi saat itu
cukup ramai meski tidak berdesakan.
Tapi, tetap saja kursi roda saya ditabrak sana-sini oleh orang yang juga ingin
naik commuter. Kalian tahu apa yang saya rasakan. Ini sangat menyebalkan. Ya, karena andai
kalian tahu, bahwa kursi roda itu kini telah menjadi bagian dari tubuh saya.
Jadi, jika kalian bersikap kasar pada kursi roda saya, berarti kalian telah
bersikap kasar pada fisik saya.
Dalam gerbong commuter,
berpasang-pasang mata kembali menatap saya dengan tatapan yang tidak dapat saya
tafsirkan. Lagi-lagi seorang gadis berkursi roda yang naik commuter menjadi
potret yang tak biasa di mata masyarakat kita. Ck!
Kurang dari setengah jam dalam
perjalanan, saya sudah tiba di stasiun Uninvesitas Indonesia. Ketika pintu
gerbong terbuka, masya Allah, jarak gerbong dan peron sangat jauh. Untuk
kesekian kalinya, saya memerlukan bantuan orang lain. Untungnya bapak petugas
yang baik hati mau mengangkat saya yang hanya bisa duduk di kursi roda.
Perjalanan tidak selesai sampai
di sini. Seperti yang saya ceritakan di muka, tujuan akhir kami adalah
perpustakaan utama Universitas Indonesia. Dan, sekarang saatnya perjalanan
tahap ke dua. Saya dan kedua teman saya keluar area stasiun dengan (lagi-lagi)
berbagai kendala. Peron yang kami lewati tidak mulus, sehingga membuat
roda-roda saya kesulitan berputar. Tangga-tangga turun yang cukup banyak, serta
jalanan di depan stasiun yang berlubang yang memungkinkan dua roda kecil dari
kursi roda saya dapat tersangkut ke dalamnya. Lagi dan lagi, berpasang-pasang
mata mahasiswa-mahasiswi menghampiri saya dengan tatapan yang sama dengan yang
lainnya. Ya, potret seorang gadis berkursi roda adalah hal yang aneh dan tidak
biasa.
Perjalanan kami lanjutkan dengan
menggunakan bis kuning. Seorang mahasiswa bertubuh tinggi dengan rambut gimbal
mengantre di depan saya dan dua teman saya, di belakang kami ada seorang
mahasiswa berwajah oriental dengan tubuh kekar.
Karena untuk memasuki bus saya tetap
harus diangkat, maka saya meminta tolong mahasiswa yang ada di depan dan
belakang saya untuk mengangkat kursi roda yang saya gunakan. Huhf! Ini sebuah
pengalaman masuk ke dalam bus yang paling menyusahkan dan menyedihkan. Pintu
masuk bus tidak cukup besar dan ngepas untuk kursi roda saya. Desain
ruang bus ini semakin mendekati tempat duduk supir semakin mengecil dengan
penyangga besi yang tidak dapat dilewati kursi roda. Alhasil, saya yang tetap
duduk kaku di kursi roda sempat tersendat di bagian ini.
Dengan mengerutkan dahi seperti
orang kebingungan saya bertanya kepada mahasiswa yang mengangkat bagian depan
kursi roda saya, “Ada mahasiswa lain gak di dalam? Boleh minta tolong satu atau
dua orang lagi untuk bantu dari dalam?” Mahasiswa itu tidak menjawab.
Untungnya, bapak supir yang bertubuh gempal segera datang. Dengan tenaga tiga
orang lelaki, kursi roda yang saya duduki diangkat tinggi sekali.
Sampai-sampai, jika saya mengangkat tangan, saya bisa menyentuh langit-langit
bis.
Saya agak terkejut ketika sudah
ada di dalam bis. Ternyata, kurang lebih sepertiga penumpang bis adalah lelaki.
Entahlah. Selintas saya berpikir, mengapa sedari tadi tidak ada yang bergerak
untuk membantu saya. Um, sebenarnya bukan menuntut bantuan. Ya, paling tidak
satu dua orang dari penumpang bis peka dengan sedikit kegaduhan yang ada di
pintu masuk bis ini. Sepintas saya menyimpulkan; intelektualitas yang tinggi
bukanlah tolak ukur dan jaminan atas kepekaan dan kecerdasan hati seseorang.
Yup. Lanjut ke cerita saya. Hanya
beberapa menit saya ada di dalam bis kuning. Seperti biasa, untuk turun bis
saya juga membutuhkan bantuan yang sama persis saat saya masuk bis. Akan
tetapi, proses turun ini lebih mudah dibandingkan proses masuk tadi, mungkin
karena kami sudah belajar dari kesulitan di awal.
Saatnya menuju perpustakaan
utama. Kursi roda saya seharusnya bisa berjalan di trotoar seperti pejalan kaki
lainnya. Tapi, lagi-lagi ada saja hambatannya. Banyaknya lubang dan pembatas
trotoar yang terpisah-pisah membuat saya harus berjalan di jalan raya. Itu pun
saya masih harus didampingi oleh seorang teman karena kondisi jalan yang kurang
mulus. Um, benar-benar perjalanan pendek yang cukup melelahkan.
Kurang lebih begitulah pengalaman
saya berjalan-jalan dengan kursi roda. Hingga saya dan kedua teman saya masuk
ke dalam perpustakaan utama, ada saja hambatan aksesibilitas ruang
(keterjangkauan ruang) yang saya temui. Sehingga, semua itu seakan menjadikan
saya makhluk yang “tidak normal”, hidup
penuh dengan bantuan dan tatapan-tatapan iba.
Padahal, seharusnya pemerintah
dan swasta tahu bahwa fasilitas negara ini tidak hanya digunakan oleh mereka
yang hidup dengan kondisi fisik lengkap dan sehat, tetapi masih ada saya dan
banyak pengguna kursi roda lainnya yang juga ingin menikmati fasilitas itu.
Pembangunan berbasis hak, saya pikir itulah yang harus ditegakkan di negara
ini. Dengan demikian, aksesibilitas seluruh pengguna yang pada umumnya maupun
yang berkursi roda dapat terpenuhi.
Mungkin beberapa dari kalian
menilai pengalaman saya sangat menakjubkan. Tidak! Pengalaman saya di atas
tidaklah lebih bernilai dibandingkan dengan pengalam teman-teman yang sudah
menggunakan kursi roda dalam hitungan tahun. Kalian tahu apa yang saya rasakan?
Saya ingin berjalan. Saya bosan di atas kursi roda!
Meskipun saya tidak merasakan
keletihan di kedua kaki ini, tapi semua yang saya lakukan serba terbatas.
Itulah yang terjadi pada saya dan para pengguna kursi roda lainnya.
Bersyukurlah kalian yang masih
diberikan nikmat atas otot-otot tubuh yang masih sehat. Bersyukurlah kalian
atas sendi-sendi yang masih dapat digerakkan dengan nyaman, tanpa sakit
sedikitpun. Karena sedikit saja kenikmatan salah satunya tercabut, semua akan
berubah seperti yang saya alami. Bersyukurlah sekarang juga kepada Dzat yang
Memberi tanpa dipinta. Jangan tunggu nikmat itu hilang, atau kalian akan
menjadi hamba yang mengalami kerugian.
Semoga bermanfaat dan
mengispirasi pada kebaikan ^_^
Kisah ini nyata saya alami.
Saya menggunakan kursi roda bukan karena sakit, melainkan karena sedang
melakukan simulasi disabilitas pada
acara Barier Free Tourism. Yaitu, suatu acara yang diikuti para penyandang
disabilitas dan nondisabilitas untuk menelusuri dan mengobservasi
keaksesibelitasan sarana dan prasarana pemerintah maupun swasta yang ada di
Jabodetabek. Kendati ini hanya simulasi, tapi semoga kisah perjalanan ini dapat
menjadi bahan perenugan bagi saya yang menjalankannya dan bagi teman-teman yang
membacanya.
Maaf, bukan bermaksud
membohongi pembaca loh. Sebab, sekali lagi, ini kisah nyata ^_*
Awalnya saya sempet mengerutkan dahi,ternyata hanya simulasi heheh..tp ya itu kan ada maksud & tujuannya,so ga masalah. Yg bermasalah justru jiwa sosial intelektual2 kita yg semakin berkurang dan jauh dari peka thd masalah orang lain. Bukan berati saya jg sok berjiwa sosial tinggi siy,hanya saja mgkn sdikit lebih peka..sukses buat mbak fatin,ditunggu next simulation nya :)
ReplyDeleteIya, hanya simulasi :)
DeleteNah, itu dia yang perlu ditingkatkan, kepekaan pada apapun itu :)
Terima kasih sudah baca. Sukses juga buat kamu :)