- Back to Home »
- Sepotong Inspirasi »
- Get Lost, Get The New Me
Posted by : Lisfatul Fatinah
09 December 2016
Bismillaahirrahmaanirrahiim
It is good to have an end to journey toward, but it is the journey that matters, in the end.
Memiliki tujuan di akhir perjalanan adalah sesuatu yang bagus, tapi pada akhirnya yang terpenting adalah perjalanan itu sendiri.
(Ernest Hemingway)
Melakukan
perjalanan buta. Mungkin ini adalah jawaban yang cocok untuk saya gunakan
setiap kali ada teman yang bertanya-tanya tentang “Hilangnya Fatinah” selama
lebih dari satu setengah tahun belakangan, sejak saya lulus kuliah S1.
Awal
April 2015 lalu, tepat dua pekan setelah wisuda S1, saya meninggalkan Jakarta menuju
tempat yang tidak pernah saya kunjungi dan tidak sekalipun ada dalam pikiran saya. Berbeda dari kebiasaan obervasi kecil-kecilan melalui internet tentang
tempat baru yang akan saya kunjungi, kali ini saya pergi tanpa satupun
informasi yang saya tahu sebelumnya. Saya melakukan perjalanan ini sendirian ke
Selatan Jawa Timur seperti seorang yang tersesat. Tapi pada akhirnya saya mendapati
bahwa selama ketersesatan saya sendirian inilah saya telah mendapatkan banyak
ilmu baru, teman dan keluarga baru dari berbagai daerah bahkan negara, kehidupan baru,
juga diri yang baru.
Salah
Membawa Berkah
Dua
bulan sebelum wisuda, saya mengalami masa abu-abu sebagaimana yang dialami
banyak calon sarjana lainnya. Masa bekerja saya di Home Schooling Kak Seto baru akan dimulai Juli 2015 dan aktivitas saya saat itu hanya membantu menyiapkan
pemilihan mahasiswa berprestasi UNJ bersama teman-teman Forum Mahasiswa
Berprestasi UNJ dan membimbing salah satu adik tingkat yang akan maju pemilihan
mahasiswa berprestasi.
Sayangnya, usaha saya membimbing adik kelas saya kurang berhasil karena dia gagal di
beberapa tahap pertama. Saya pun mendapatkan teguran keras dari dosen pembimbing
mawapres sekaligus pembimbing skripsi saya. Hingga akhirnya beliau meminta saya
untuk kembali belajar dengan alasan, sukseskan dulu diri saya sebelum saya
menyukseskan adik kelas saya. Alasan ini menjadi tamparan besar bagi saya dan
membuat saya menuruti saran beliau untuk langsung melanjutkan kuliah di
Universitas Kebangsaan Malaysia dan melepas pekerjaan di Home Schooling Kak Seto setelah saya meminta restu Emak Bapak. Maka sejak itu saya mulai mempersiapkan
beasiswa dan lagi-lagi mengikuti arahan beliau untuk belajar Bahasa Inggris
guna mengatrol nilai IELTS saya.
Blind
Travel; Visiting The Unknown Place
There are two kinds of people who
are in Pare; those are running away from problems, those are trying to find
problems.
Hanya ada dua kategori orang yang
ada di Pare, Kampung Inggris; orang yang lari dari masalah atau orang yang mencoba
menemukan masalah.
(The Big B)
Ini
seperti perjalanan buta, perjalanan sendirian yang saya lakukan ala-ala
naik gunung dengan sepatu hiking, carier besar, dan tanpa satupun buku di dalam
tas untuk belajar. Saat itu yang terbersit di pikiran saya justru bukanlah apa yang
akan saya pelajari di sana, melainkan nama-nama gunung yang akan saya daki
selama rencana tiga bulan menetap di Jawa Timur.
Pertama
kali saya mengetahui nama tempat ini hanya dari sebuah poster liburan plus
belajar bahasa Inggris berbiaya jutaan rupiah untuk perjalanan 2 pekan yang
tertempel di mading kampus. Kedua kalinya saya mengetahui nama tempat ini dari
dosen pembimbing skripsi saya.
Pare
adalah tempat yang menjadi tujuan saya, sebuah kota kecil yang mungkin hanya
seluas setengah Kotamadya Jakarta Barat. Kota ini dikenal dengan sebutan
Kampung Inggris karena terdapat ratusan tempat kursus bahasa Inggris di sana.
Tapi lebih tepatnya, ratusan kursusan bahasa Inggris ini terletak di Desa Tulung
Rejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Pertama
kali tiba di stasiun Kediri, yang saya lakukan adalah diam sesaat di mushalah
sambil meyakinkan diri bahwa saya benar-benar telah melangkah jauh sendirian di
tempat asing yang tidak pernah saya kunjungi. Lalu saya keluar stasiun disambut berbagai macam tawaran menuju Pare. Saya memilih menggunakan becak
menuju pangkalan angkot Kediri Kota ke Pare yang terletak di depan Kantor
Polsek Kediri yang hanya ditempuh 7-10 menit, kemudian melanjutkan
perjalanan menuju Pare menggunakan angkot selama kurang lebih 90-120 menit. (Silakan baca review kendaraan menuju Pare disini)
Speak
English, Please!
Tidak
seperti saya yang tidak memiliki sedikitpun espektasi tentang Pare, ternyata
banyak yang menganggap Pare adalah tempat di mana semua orang tidak berbicara
bahasa Inggris. Mulai dari supir angkot, penjual pentol (sejenis bakso tusuk),
sampai penjual pecel, berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Tapi realitanya
berbeda. Semua orang di Pare berbicara dengan bahasanya masing-masing. Penduduk
asli berbicara dengan bahasa Jawa ketimuran, pelajar Sumatera akan berbicara
dengan bahasa Minang-nya, teman-teman dari Sulawesi akan berbahasa Makassar dan
Bugis-nya (FYI: banyak sekali pendatang dari Sulawesi di Pare), pendatang dari
Jakarta seperti saya akan menggunakan bahasa Indonesia informal, teman-teman
dari negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Timur Tengah, Portugal,
dan sebagainya pun akan berbicara dengan bahasa mereka masing-masing. Atau
setidaknya kami mencampur bahasa kami masing-masing dengan bahasa Inggris.
Yang
pernah saya dengar dari penduduk asli setempat, dulu di masa-masa awal
berdirinya Kampung Inggris, semua penduduk lokal dan pelajar pendatang melek
akan bahasa Inggris. Tapi sekarang hanya pelajar, guru, beberapa penjual donat
atau pentol, serta beberapa kafe yang
menggunakan bahasa Inggris secara aktif. Bahkan di beberapa kafe (dengan
definisi kafe ala kota besar sebenarnya, bukan kafe ala kota kecil) mewajibkan
penunjungnya menggunakan bahasa Inggris jika ingin mendapatkan pelayanan.
My
little advice,
jangan pernah berespektasi terlalu besar akan betapa Inggris-nya Kampung
Inggris ini. Karena sebagian besar yang datang ke Kampung Inggris adalah orang
yang baru mengenal Bahasa Inggris, maka tidak setiap yang berbahasa Inggris
menggunakan bahasa Inggris yang benar. Sebagian dari orang-orang di Pare
menggunakan bahasa Inggris ala Indonesia (accent, intonasi, dan grammar atau
susunan kalimat yang masih meng-Indonesia), sebagian lagi adalah orang-orang
yang berbahasa Inggris cukup mirip dengan native speaker. Do not worry, though! Yang perlu diperhatikan
di sini adalah tidak akan ada orang yang akan menertawakan teman-teman jika
teman-teman berbicara bahasa Inggris dengan grammar atau pronunciation
(pelafazan) yang kurang tepat, karena Pare adalah tempat belajar dan semua
orang di Pare akan memaklumi kesalahan-kesalahan berbahasa Inggris selama itu
dalam proses belajar. So just feel free speaking English there, Mates!
:)
Carrying
on my story….
Then
Let The Water Flows
Lebih
dari separuh perjalanan saya tertidur di dalam angkot. Ketika saya terbangun, angkot
yang saya tumpangi baru saja menurunkan penumpangnya dan menyisakan saya,
satu-satunya penumpang yang belum tahu hendak kemana. Karena bingung, saya
memutuskan untuk turun di tempat itu juga.
Elfast
English Course
adalah tempat di mana saya berhenti untuk pertama kalinya. Saya masuk ke dalam
gerbang kursusan yang cukup besar dengan kekuatan pasrah. Dari bangunan yang
tampak, Elfast merupakan lembaga kursus yang cukup bagus dengan halaman untuk
parkir sepeda yang sangat luas dan registration office yang nyaman.
Saat
saya mendapatkan giliran untuk menemui officer, kalimat yang saya
keluarkan persis seperti ini, “Pak, Dosen saya saranin saya lanjut S2, tapi
persyaratannya saya harus lulus tes IELTS. Kira-kira apa ya, Pak, kelas yang
cocok untuk saya?”
Pertanyaan
“polos” itu pun menjadi bagian dari kepasrahan saya yang lainnya dalam perjalanan ini. Well, selama
sebulan saya belajar di Elfast dan tinggal di asrama Elfast selama tiga bulan plus
satu tahun lebih selanjutnya.
Keep
Studying dan Smiling Whole Day!
Selama
tingga di Pare, saya memiliki jadwal baru. Bangun pukul 03.00, memulai kelas
pukul 5.00, istirahat pukul 14.30, masuk kelas lagi pukul 16.00 hingga 17.30
dan melanjutkan kelas kembali pukul 19.00 hingga kelas terakhir pukul 20.00,
bahkan beberapa kali setelah itu saya mengambil kelas bahasa Jepang hingga
pukul 22.00. Lalu setibanya di kamar, saya harus membuat tulisan pendek
berbahasa Inggris untuk disetorkan kepada tutor kelas pukul 5.00 pada esok
paginya. Kendati jadwal kelas yang sangat padat, Alhamdulillah, saya melakukan
semua itu dengan senang,
Semua
penat yang sudah terbayang saat pertama kali melihat jadwal kelas sungguh tidak
saya temukan dalam keseharian, karena suasana belajar yang teramat nyaman dan
teman-teman yang sangat mensupport untuk mengimprove kemampuan dan mencapai
impian bersama-sama dari Pare.
Selain
itu, suasana perkampungan yang asri dan jauh dari kebisingan juga menjadi salah
satu faktor utamanya. Selama di Pare, kamar saya di asrama selalu berada di
paling ujung, dekat teras atas dengan suhu kamar paling dingin saat malam hari
dan pemandangan jendela yang langsung menghadap ke sawah. Ditambah lagi
keseharian kami beraktivitas selalu berlalu-lalang melewati pepohonan, sawah,
dan pemandangan hijau lainnya yang sungguh menjadi sarana releksasi tersendiri
bagi murid-murid di sana.
Hal
mendukung belajar lainnya di Pare adalah makanannya yang murah. Makanan murah di Pare bagi saya adalah
hadiah atas stress yang telah di terima di kelas. (Baca info makanan dan tempat makan di Pare di postingan ini ^^ )
Selama di Pare teman-teman akan kehilangan angkot, kopaja, ojeg,
apalagi kendaraan online. Semuanya digantikan dengan pematang sawah, kebiasaan
berjalan kaki, dan bersepeda setiap pagi sore. Sejujurnya
sebelum tinggal di Pare, saya sama sekali tidak bisa mengendarai kendaraan,
sekalipun itu sepeda. Lebih tepatnya, Emak dan Bapak melarang saya mengendarai
kendaraan meksipun itu hanya sepeda. Ketidakbiasaan saya mengendarai sepeda ini
menjadi permasalahan bagi saya selama beberapa minggu pertama tinggal di Pare dan
konsekuensinya saya harus berjalan kaki ke manapun saya pergi.
Hal ini
menjadi agak rumit saat saya berencana masuk ke beberapa lembaga kursus lain
yang jaraknya cukup jauh dari asrama. Pernah saya mencoba berjalan kaki menuju
kursusan tersebut dan waktu yang saya butuhkan sekitar duapuluh hingga
tigapuluh menit berjalan kaki dari asrama. Satu-satunya alasan saya ingin belajar
di tempat kursus tersebut adalah karena lembaga kursus tersebut terkenal
lembaga paling bagus untuk mempelajari speaking. Karena hasrat untuk belajar di tempat tersebut
begitu tinggi, saya mencoba berbicara dengan Emak dan Bapak. Dengan alasan untuk
belajar inilah saya meminta izin Emak Bapak agar saya diperbolehkan belajar
mengendarai sepeda. Syukurnya, Emak dan Bapak memahami kondisi saya dan membolehkan
saya mengendarai sepeda. Yeach! ^^
Finally,
selama dua setengah hari saya belajar keras mengendarai sepeda dengan teman
sekamar hingga tangan saya penuh lecet dan badan saya biru lebam karena
berkali-kali jatuh. Tapi akhirnya alhamdulillah saya bisa mengendarai sepeda.
Kini, kemana pun beraktivitas di Pare akan semakin menyenangkan menggunakan
sepeda. Terlebih lagi cuaca Pare yang sejuk dan nyaman untuk bersepeda keliling
kota kecil ini. Sayangnya, di Jakarta saya betul-betul merasa kehilangan
aktivitas ini dan saya sungguh merindukan bersepeda selama kembali menetap ke
Jakarta :(
Keep Cycling Keep Smiling ^^ |
We
are enroute to the core of my story…
Kota
Mimpi dan Semangat
Bagaimana
rasanya tinggal di Pare? Lalu apa yang paling berkesan selama tinggal di Pare? Mungkin
itu adalah pertanyaan selanjutnya dari siapapun yang sudah mengetahui kemana
saya menghilang selama ini.
Seluruh
pengalaman tinggal di Pare adalah hal yang paling berkesan bagi saya. Karena
meskipun Pare adalah kota pelarian bagi setiap penghuninya –as I said in the
introduction of this written, Pare nyatanya adalah tempat singgah
bagi orang-orang besar dan calon orang-orang besar.
Seperti yang saya cerita di atas, keberangkatan saya ke Pare beriringan dengan persiapan diri untuk melanjutkan pendidikan saya
di Pendidikan Khusus di Universitas Kebangsaan Malaysia, Malaysia. Tapi setelah
beberapa pekan di Pare, berkenalan dengan banyak orang, dan saling berbagi cerita
tentang siapa kami di tempat asal kami masing-masing, dan mimpi-mimpi apa yang
akan kami lakukan selepas meninggalkan Pare, saya justru semakin gamang dengan
apa yang akan saya lakukan satu hingga lima tahun ke depan. Setiap kali
berkenalan dengan teman baru di kelas, hampir semuanya memiliki tujuan yang
sama; melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi yang membuat
saya terpukau adalah kemana mereka berencana pergi.
Jerman,
Belanda, Inggris, Amerika, Australia, adalah negara-negara yang akan
menjadi tujuan kebanyakan dari teman-teman
saya di Pare. Di sini saya melihat ribuan semangat ada dalam diri orang-orang
yang singgah di Pare. Entah itu semangat untuk mengubah desa masing-masing
menjadi desa yang produktif seperti Pare, semangat belajar ke luar negeri demi
kembali ke Tanah Air, semangat mengenalkan Indonesia ke seluruh dunia, dan
banyak semangat positif lainnya yang saya malu mendengarnya, karena saya hanya
seorang lulusan guru yang mempunyai mimpi yang terlalu sempit. Sejak saat itu,
saya mencoca terus mengintrospeksi diri, menyeimbangkan frekuensi semangat yang
saya miliki dengan semangat mereka.
Selama
satu bulan, saya melakukan observasi kecil-kecilan melalui Google
tentang kualitas pendidikan khusus di beberapa negara di Eropa. Negara yang
paling sering saya baca ulasannya adalah Jerman dan Inggris. Hati
saya pun jatuh kepada sebuah universitas yang terletak di kota metropolitan di West
Midlands, Inggris.
University of Birmingham, Birmingham, adalah tempat yang saya pilih untuk melanjutkan S2, insya Allah. Selain karena Magister Pendidikan Khusus di Indonesia hanya ada di UPI, Bandung, keinginan saya untuk belajar di University of Birmingham adalah karena di sanalah satu-satunya kampus di dunia yang menyedikan course Pendidikan Khusus spesifikasi Anak dengan Autismdan membuat saya juga
berniat melanjutkan doctoral ke University of Hongkong yang menjadi
satu-satunya kampus di dunia yang menyediakan course Doktoral Pendidikan Khusus
spesifikasi Anak dengan Autism.
University of Birmingham, Birmingham, adalah tempat yang saya pilih untuk melanjutkan S2, insya Allah. Selain karena Magister Pendidikan Khusus di Indonesia hanya ada di UPI, Bandung, keinginan saya untuk belajar di University of Birmingham adalah karena di sanalah satu-satunya kampus di dunia yang menyedikan course Pendidikan Khusus spesifikasi Anak dengan Autism
Belajar
Menjadi Duta Islam dan Indonesia
Dari
teman-teman selama di Pare, saya belajar mencoba memperbaiki diri dan perencanaan
hidup saya. Semua perencanaan hidup tidak bisa lagi hanya sekadar karena “saya
mau” tapi lebih karena “saya punya misi di dalamnya”.
Jika
dulu saya sangat berharap bisa jalan-jalan keliling Indonesia dan keliling
dunia, sekarang justru saya merasa sangat malu jika tujuan saya hanya sekadar
jalan-jalan. Hal ini karena saya tidak memiliki bekal yang layak untuk
melakukan kebaikan lain di luar zona aman saya. Di samping itu, saya pun masih miskin
ilmu; ilmu agama ataupun tentang tanah air saya. Saya belum banyak mengenal
Islam dan Indonesia dengan baik. Saya kurang tahu banyak sejarah Islam dan negeri
ini, hingga saya tak punya ide apa yang akan saya katakan pada orang-orang
asing jika mereka bertanya tetang kemuslimahan dan keindonesiann saya. Qodarullah, semangat memperbaiki diri ini
semakin muncul saat saya bertemu dengan teman-teman Muslim dari berbagai
negara, terutama dari negara-negara minoritas Muslim seperti Thailand, Vietnam,
Jepang, dan Eropa.
Di Pare saya juga menemukan keanekaragaman yang semakin beragam.
Sebab tak hanya mahasiswa atau pekerja dari Sabang sampai Marauke, di Pare juga
banyak mahasiswa dari berbagai negara seperti Malaysia, Thailand, Timur Tengah,
Jepang, dan sebagainya. Dari mereka, terutama dari Muslim yang tinggal di
negara minoritas Muslim, biasanya saya selalu minta diceritakan tentang Islam
di negara mereka. Salah satu contohnya adalah dari Aini dan Shafara, dua
muslimah cantik dari Thailand yang memiliki semangat dakwah tinggi. Aini dengan
semangat menyebarkan Thibbun Nabawy (Pengobatan Nabi) dan Shafarah yang ingin
membuka sekolah islam di Thailand. Saat kejadian bom di Bangkok tahun lalu,
keduanya berkata kepada saya bahwa hampir setiap hari ada bom di Thailan
Selatan (tempat kebanyakan muslim Thailand tinggal), tapi tidak ada satupun
media yang meliput. Air wajah mereka sedih saat menceritakan betapa muslim
Thailand didiskriminasikan di sana.
Tak
jarang saya merasakan diri saya jauh dari syukur sebagai muslimah Indonesia,
karena mereka begitu bersemangat menjalankan ajaran Islam di tengah
larangan-larangan dan beberapa tekanan lingkungan yang menganggap buruk Islam.
Bahkan lebih jauh lagi saya perhatikan, kekhidmatan mereka dalam beribadah jauh
lebih dalam daripada kami kebanyakan orang Indonesia yang lahir dan besar di
lingkungan mayoritas muslim.
Kadang
saya juga iseng belajar bahasa lain seperti bahasa Rusia, Jepang, Arab, dan
Thailand langsung dari teman-teman penutur asli bahasa tersebut. Hingga minimal
saya bisa membaca tulisan mereka meskipun saya hanya tahu beberapa kata dan
kalimat-kalimat yang umum di gunakan. Dan saya bersyukur pernah bertemu mereka
yang berasal dari berbagai negara, setidaknya saya tahu although book is
window to see the world, yet language is a door to get its paths. Meskipun buku adalah jendela dunia tapi
bahasa adalah pintu untuk menelusuri dunia.
Then, pada
akhirnya dari perjalanan jauh dan lama ini saya menemukan siapa dan harus seperti apa saya
sebenarnya. Bahwa saya atau kita di manapun berada adalah duta bagi tempat asal
dan agama kita. Saat ini saya adalah seorang muslimah dari Indonesia, maka saya
adalah duta bagi setiap muslimah sekaligus bagi Indonesia.
Selama
di Pare, saya mencoba meyakinkan kerabat di kelas dan asrama bahwa saya orang
Jakarta, tapi saya kurang suka dengan hal-hal kasar dan hirup pikuk keramaian
–meskipun mereka menganggap kebanyakan orang Jakarta adalah orang yang kasar
dan semena-mena. Selama di Pare, saya mencoba meyakinkan berbagai rekan dari
daerah ataupun negara lain yang tidak seagama dengan saya bahwa saya seorang
muslimah yang tidak hanya mengejar kehidmatan ibadah kepada-Nya, tapi juga
merepresentasikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dengan menjadi murid yang berusaha
terlibat aktif di kelas, menjadi guru yang professional, bertanggung jawab
dengan kemampuan seluruh murid, dan saya mencintai kelemahlembutan seperti
sifat Rasulullah dan sabahat-sahabat beliau.
Kini,
selepas tinggal di Pare, saya merasa betapa banyak hal yang perlu saya
persiapkan sebelum kaki ini melangkah terlalu jauh meninggalkan Indonesia. Saya
harus menjadi sebaik-baiknya duta bagi negara saya dan agama saya di luar sana.
Jika selama ini banyak memandang sebelah mata Indonesia dan Islam, maka ini
adalah tugas saya menjadikan diri saya sebagai cerminan dari keindahan
Indonesia dan Islam, memegang kenasionalismean dan ketauhidan dalam satu hati
yang diselubungi kecintaan saya pada keduanya.
Lalu bagaimana nasib beasiswa saya?
Banyak dari kita, terlebih saya, pasti pernah memiliki rencana yang begitu sempurna untuk beberapa waktu ke depan. Ikhtiar dan doa pun dilakukan guna mencapai rencana tersebut. Tapi kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya akan terjadi nanti di balik usaha dan doa yang telah lakukan dengan beragam kesungguhan. Kita sungguh tidak punya daya atas apa yang akan terjadi pada diri kita sendiri, bahkan pada satu detik ke depan.
Ketika kehendak Allah berbeda dengan mau kita, hanya ada dua hal yang mungkin terjadi; berserah diri dan percayakan semua kepada keputusan-Nya, atau bersedih dan merasa bahwa Allah tidak berada di jalan kita.
Sejujurnya, saya sempat merasakan yang kedua. Menjelang kembali ke Jakarta, saya merasa Allah SWT tidak cukup Menyertai jalan saya. Saya juga merasa bahwa apa yang telah saya lakukan sejauh ini tidak bernilai apa-apa di hadapannya, entah itu ikhtiar dan doa-doa yang saya munajatkan sepanjang malam. Tapi sebenarnya tidak. Sama sekai tidak. Allah SWT tidak hilang dari jalan saya. Allah SWT tidak sedikitpun mengabaikan saya. Hanya saja, saya kurang sedikit bersabar dalam apa yang sedang saya usahakan. Saya hanya kurang sedikit berserah diri atas apa yang saya usahakan. Saya, mungkin juga kebanyakan dari kita, sering lupa bahwa setelah menanamkan hajat, berusaha, dan berdoa, masih ada tawakkal atau keberserahdirian kepada Allah SWT yang Maha Mengendalikan segala hal.
Menjelang akhir 2015, saya menyatakan kepada Emak dan Bapak bahwa saya mengubah tujuan tempat belajar saya ke Eropa. Sayangnya, respon keduanya kurang baik. Emak terlalu mengkhawatirnya anak bungsunya yang akan tinggal jauh. Meskipun sebenarnya Emak merestui apapun yang menjadi pilihan saya selama itu untuk proses menuntut ilmu, tapi Bapak selalu menjadi tolak ukur keputusan di rumah. Beliau menolak saya keluar Indonesia tanpa mahram. Bahkan beliau berkata, “Selama harus tinggal sendirian, Bapak hanya ridho jika kamu tinggal di Indonesia. Kamu boleh tinggal atau belajar di mana saja, selama itu tidak keluar dari Indonesia.”
Well, selama beberapa bulan membujuk keduanya, hasilnya tetap sama. Eropa belum direstui dan Malaysia pun tidak masuk dalam list keridhoan Bapak. Saya pun berkali-kali menangis kepada Emak dan merasa bahwa apa yang saya lewati selama hampir satu setengah tahun di Pare untuk memperoleh sertifikat bahasa Inggris sesuai syarat kampus adalah sia-sia. Tapi Emak selalu menenangkan hati saya dengan berkata bahwa tidak ada ilmu yang sia-sia. Qodarullah, alhamdulillah ucapan Emak benar. Semua ilmu di perkuliahan, di Pare, dan keinginan besar saya untuk menangani remaja dan dewasa dengan autism tercapai dengan cukup mudah ketika saya kembali menetap di Jakarta. Kini saya bisa mengamalkan ilmu-ilmu yang saya anggap sia-sia tersebut. Lebih bersyukurnya saya adalah saya merasakan apa yang kini menjadi pekerjaan saya adalah senyatanya tempat belajar baru bagi saya untuk kembali belajar tentang autism dan kembali belajar beradaptasi (karena saya termasuk orang yang tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan baru) dengan lingkungan minoritas muslim dan beberapa rekan kerja dari Eropa.
Apa yang telah saya jalanin di Pare mungkin adalah bagian dari pembelajaran saya sebelum meraih apa yang Allah ridhoi dan sebelum membuka keridhoan Emak dan Bapak. Terlepas dari semua itu dan belum adanya restu Emak Bapak bagi saya untuk melanjutkan kuliah ke Eropa, saya tetap merasakan ribuan lapisan syukur yang begitu nikmat. Saya berterima kasih sekali kepada Allah SWT yang “Menyesatkan” saya ke Pare. Saya menganggap masa-masa saya di Pare hingga sekarang adalah masa saya dikarantina langsung oleh Allah SWT hingga saya bisa benar-benar menjadi duta Islam dan Indonesia, juga sebelum Allah SWT percayakan hal yang saya minta benar-benar menjadi milik saya; melanjutkan kuliah di Birmingham dan Hongkong, insya Allah.
Ada lagi hal lain yang mungkin perlu saya perbaiki
sebelum saya mencoba mengetuk pintu keridhoan Emak, Bapak, dan Allah, selain
kemampuan menulis jurnal dan grammatical bahasa Inggris saya, yaitu meluruskan
niat menuntut ilmu karena-Nya. Mungkin hal ini yang perlu saya persiapkan dengan sebenar-benarnya sebagaimana kita juga harus persiapkan dalam setiap hajat yang kita punya.
Jakarta,
8 Desember 2016, 23:10 WIB
dalam
rindu Pare
dan
kembali membincangkan Eropa bersama Emak Bapak
"meluruskan niat karena-Nya", terima kasih ms. lisfah cerita yang diceritakan tempo hari di pare sedikit banyak sudah merubah cara pandang saya hihi
ReplyDeletesemoga terus menebarkan kebaikan di setiap tempat yang disinggahi :)
Sama-sama Zahra ☺
DeleteAmiin. Semangat menebarkan kebaikan di mana pun 😄😄😄
Pare adalah laboratorium pelatihan mentalku Lis. Rumah kedua yang selalu ngangenin. Semoga Emak dan Bapak ridho Lisfah kuliah di Eropa. Amiin :)
ReplyDelete