Posted by : Lisfatul Fatinah 21 December 2012


Bismillahirrahmanirrahim

Bismillah… Menjalani hidup sebagai anak korban broken home, tentunya kita tahu seperti apa rasanya. Tapi bukan ini yang akan aku paparkan dalam tulisan sederhanaku.Kusadari, bukan hal mudah menjalani peran sebagai anak korban broken home.Hingga kemudian, saat kaki ini mulai terasa lelah menapak alur skenario hidup, dalam pemberhentianku di antara terik untuk sejenak mengusap peluh, aku belajar menatap titah hidupku dari perspektif lain, pada sudut pandang yang nampak terang, tanpa bayang kabut yang menghijabi kebeningan hati.

Meskipun, broken home menjadikan aku pincang tanpa seorang ayah, buta dan tuli tanpa kesempurnaan cinta seorang ibu.Tapi…, broken home mengajariku, tentang bagaimana aku harus memanage konsep ikhlas dalam penerimaan terhadap titah-Nya.

Menerima kehilangan sebagai bentuk proses penempaanku untuk belajar mandiri menghadapi dinamika hidup, tidak terlalu bergantung pada sosok seorang ayah. Broken home menuntunku untuk semakin mendekat dengan ruang kesabaran dan membuka kesadaranku bahwa keluh tidaklah mampu meringankan beban yang menindih pundak. Hanya dengan mendekat, bercakap dan memohon pada-Nya kedamaian hati itu aku dapat.

Tiga paragraf di atas saya terima kemarin pagi, dari sebuah cacatan seorang adik yang jauh dari pandangan mata. “Catatan Hati Anak Korban Broken Home - dari Dakwatuna.com”, begitulah judul yang tertera di catatannya. Membaca judulnya saja, bibir saya sudah menyunggingkan senyum tipis, mata berkaca karena tak kuasa membayangkan wajahnya saat membaca dan memosting tulisan ini.

“Tulisan diatas memang boleh sekadar copas. Ini bukan sekadar inspirasi, tapi juga improvisasi hati. Terwakili oleh tulisan ini :)” begitulah kalimat penutup tulisan di cacatan yang saya baca pagi ini yang sempurna membuat airmata saya menyeruak dari kantungnya. Saat itu juga saya benar-benar ingin memeluknya dan memeluk adik yang lainnya.

Jika dirunut, saya tak percaya bahwa saya bisa menangis karena adik yang satu ini, padahal mulanya kami hanya dua orang yang saling sapa dan berbagi informasi di dunia maya. Dulu, kami hanya saling kenal melalui tulisan kami di blog dan facebook.

***

Adalah salam yang membuat setiap insan saling mengenal. Adalah pertemuan yang membuat setiap kenal menjadi ikatan. Adalah Islam yang membuat setiap ikatan lebih dari sekadar persaudaraan.
Allah Menciptakan banyak rahasia dalam setiap perkenalan. Dia Yang Berkuasa penuh atas setiap ruh ukhuwah yang ditiupkan dalam relung-relung pertemanan. Entah itu peduli, sayang, dan kasih.

Ini adalah serangkaian cerita yang Allah reka untuk saya. Ini adalah penggalan kisah yang saya punya, dan saya bahagia karena-Nya. Ini adalah tentang sepasang matahari di hati saya yang Allah kirimkan melalui perkenalan tak terduga. Merekalah dua cahaya yang telah menghangatkan sisi hati saya yang pernah membeku.

Matahari Pertama; Bunga Matahari

Saya memanggil matahari yang pertama dengan nama Dinda Herlian. Dinda berarti dia adalah adik kesayangan saya, Herlian berarti bunga matahari –bunga kesukaannya. Herlian seorang gadis pendiam, punya dunia imajinasinya sendiri, gemar mempelajari budaya Uzbekistan dan Kazakhstan, suka menulis dan menggambar anime.

Saya mengenalnya 2009 lalu di dunia maya. Usia kami terpaut di angka dua. Saat itu saya masih duduk di bangku kelas XII, Herlian di kelas X. Dalam satu sisi, kami sama-sama tertarik mempelajari bahasa Rusia. Jadi, kami menjadi semakin dekat karena sepanjang pertemuan di dunia maya atau pun dunia nyata, yang kami bahas tak jauh seputar budaya dan bahasa Rusia.

Banyak yang mengatakan wajah kami serupa. Mungkn karena kami sama-sama bermata sayu dan berkaca mata. Hanya saja, Herlian lebih tinggi dari saya, sehingga kalau teman-temannya melihat kami berdua yang terdengar adalah pernyataan, “Itu adik kamu, Herlian?”

Herlian banyak bertanya tentang keluarga saya, kesukaan saya, segala hal tentang aktivitas keseharian saya, bahkan juga tentang pelajaran saya di sekolah. Ya, meskipun dia bukan siswa IPA, dia selalu banyak tanya tentang pelajaran IPA. Sebaliknya, saya tidak punya ketertarikan sedikitpun untuk menanyakan pelajara IPS-nya. Begitulah, kami bisa berjam-jam mengobrol melaluilayar laptop masing-masing. Hingga Allah memberikan kami kesempatan untuk bertemu, setelah lebih dari satu tahun berkenalan sebatas kata dan tulisan. Begitulah skenario Allah. Dia Mengatur sebuah salam di dunia maya, mempersatukan kami, dan waktu membantu mempererat hubungan kami.

Kini, kami bukan sebatas teman di dunia maya. Saya dan Herlian sering bertemu di acara-acara yang berhubungan dengan Rohis sekolah dan budaya Rusia. Kami semakin dekat, semakin akrab.

“Aku jadi adiknya Kak Lis, Kak Lis jadi kakakku. Adil kan?” kata Herlian suatu hari. Dia meresmikan hubungan persaudaraan kami. Saya anak bungsu dan Herlian anak sulung. Saya menginginkan seorang adik dan Herlian menginginkan seorang kakak. Maka, jadilah kami sepasang adik-kakak yang berjumpa dari rahim berbeda.

Hari demi hari berkelindan menjadi hitungan tahun. Kami semakin akrab, semakin dekat. Semua cerita yang Herlian punya juga punya saya.

Banyak kisah yang semakin sering saya dengar tentang dirinya. Kisah-kisah itu bisa diiringinya dengan tawa ataupun air mata. Tapi, Herlian lebih sering bercerita dengan air mata, meski saya tahu air mata itu terlalu sering dikurungnya. Enggan ditumpahkan, meski saya sudah siap menampungnya.

Herlian kerap menceritakan adik satu-satunya yang tidak pernah akur dengannya, dan tentang kedua orang tuanya yang tak pernah akur satu sama lain. Ibu dan Bapaknya sangat sering bertengkar. Ibunya memutuskan keluar dari rumahnya dan tinggal sendirian, meninggalkan Herlian dan Bapaknya.

Kondisi ini membuat Herlian kerap kali merasakan ketidaknyamanannya di rumah. Kegaduhan dan keributan yang terjadi di antara Ibu dan Bapaknya membuat Herlian tidak betah di rumah. Kalau sudah begini, saya harus sering-sering meneleponnya. Membujuk Bunga Matahari ini agar tidak “minggat” dari rumah.

"Durhakakah jika aku membeci Bapak yang menelantarkan kami? Yang meski serumah, tidak pernah menafkahi kami?” tanya Herlian satu waktu, membuat saya menarik napas panjang.

“Bolehkah aku pergi dari rumah, Kak? Meninggalkan Bapak. Pergi dari Ibu. Aku ingin tenang, seperti adik yang sudah ‘mengungsi’ di kampung halaman,” Herlian bertanya lagi di lain kesempatan.

Tak banyak yang bisa saya jawab. Kadang hanya sepotong kalimat, “Seburuk apapun, mereka tetap kedua orangtuamu dan kamu masih memiliki kewajiban untuk berbakti pada mereka.”

Bukan hanya lewat pertanyaan-pertanyaannya, Herlian juga sering membuat saya terkejut dengan sms atau telepon permohonannya. Apalagi bentuk permohonan Herlian jika bukan meminta saya datang menghampirinya dan mendengarkan semua yang ingin diungkapkannya. Jika sudah begini, saya harus bergegas melakukan perjalanan Tanah Abang-Depok dengan KRL, bahkan beberapa kali saya mengorbankan jadwal kuliah karena kekhawatiran saya pada dirinya.

Setiap Herlian meminta saya datang ke Depok, ada senang sekaligus sedih yang beremulsi dalam hati. Senang, karena saya akhirnya bisa berjumpa lagi dengannya. Sedih, karena harus mendengarkan kesedihannya. Beginilah, pertemuan saya dan Herlian kerap diisi dengan curahan hatinya akan sikap kedua orang tuanya. Sering, airmata yang dia tunjukkan kepada saya.

Jika saya tidak bertemu dengannya, komunikasi kami berlanjut melalui telepon. Pada waktu-waktu tertentu kami membuat pertemuan suara, berjanjian untuk saling mendengarkan dan berbagi bercerita melalui telepon. Tapi, sayangnya seiring dengan kesibukannya belajar dan saya juga harus kuliah juga mengajar di malam hari, waktu kami untuk bercerita melalui telepon semakin berkurang. Herlian sering mengeluhkan kesibukan saya yang membuat saya jarang menghubunginya.

Karena keluhannya, saya mencari cara agar kami bisa tetap berkomunikasi dan berbagi cerita. Alhasil, awal tahun lalu saya membeli dua buah buku diary. Satu saya berikan kepadanya, satu untuk saya pegang sendiri. Saya meminta dia untuk menuliskan semua curhatannya di buku diary yang saya berikan, demikian juga saya. Kami punya kesepakatan, setiap kami bertemu, kami saling bertukar buku diary, membaca curhatan satu sama lain, dan sibuk mengomentari setiap curhatan di kolom yang sudah kami siapkan.

Cara yang saya terapkan kepada Herlian memang aneh. Tapi, saya pikir cara inilah yang terbaik untuk saat ini, ketika saya dan dirinya mulai sibuk dan mengkhawatirkan akan saling mengganggu jika terlalu sering berhubungan lewat telepon.

Sebenarnya, dengan cara saya ingin Herlian belajar untuk tidak terus mengeluh dan mengadukan keluh kesahnya kepada saya. Saya ingin mengajarkan kepadanya untuk mengadukan keluh kesah ini kepada Allah saja. Maybe, dengan menulis dia bisa berimajinasi bahwa tulisan-tulisan itu akan dikirimnya kepada Allah dan Dia akan membaca segala pengaduannya. Ya, meskipun saya yakin Herlian tahu bahwa Allah Maha Mendengar, meski yang tersembunyi dalam hati.

Selain itu, melalui tulisannya sendiri saya ingin mentransfer kesedihan dan energi negatif yang dimiliki Herlian menjadi energi positif, bahwa kesedihannya bisa dituangkannya ke dalam bentuk cerita yang sekaligus bisa mengasah kemampuan belajarnya. Ternyata berhasil. Herlian yang gemar membuat gambar manga dan cerita kini mulai memadukan tulisan curhatannya dengan imajinasinya. Setiap curhatannya diberikan ilustrasi. Bahkan, Herlian membuat karakter saya dalam versi manga.

Saya tidak tahu apakah Herlian masih menuliskan curhatannya. Mengingat kesibukannya di tahun pertama kuliah, saya berharap Herlian bisa menemukan kesibukan positif yang menyibukkan pikirannya dan membuatnya lupa akan kesedihannya di rumah :’)

Matahari Kedua; Abang Ganteng yang Semakin Cantik

Dia datang dengan cara istimewa dalam perjumpaan istimewa, karena dia istimewa. Abang Cahya, begitulah cara saya memanggilnya.

Pertama kali saya melihatnya adalah di pelatihan calon anggota FLP Ciputat. Saat itu hujan lebat. Saya harus berteduh lebih lama dan datang terlambat. Saya duduk di barisan paling belakang, saat pelatihan menulis sudah dimulai. Saat itulah saya melihat sosok Abang.

Abang duduk di depan saya, mengenakan jaket birunya yang lusuh. Di antara seluruh mahasiswa UIN yang berhijab dan berpakaian rapi, Abang tampak berbeda. Dia hanya berkaus oblong, bercelana jeans, rambut bondol, dan cuek –hampir sama cueknya seperti saya.

Abang tidak memerhatikan pembicara di depan, dia sibuk menggambar di atas buku-bukunya yang tebal. Saat pertama kali memerhatikannya menggambar, di saat itu pula saya merasakan bahwa Abang berbeda. Abang Cahya istimewa.

Hampir setiap  pekan kami  bertemu di Kesekretariatan FLP Ciputat dan di kelas menulis novel. Lambat laun, kami semakin dekat, semakin akrab. Abang juga sering menceritakan teman-teman nongkrongnya yang biasa mengajaknya bermain di salah satu taman kota hingga pagi buta. Abang Cahya mengaku nyaman dengan teman-temannya yang bisa dibilang “begajulan”. Alasannya? Abang lebih nyaman di luar rumah dibandingkan di dalam rumahnya.

Sama seperti Herlian, Abang berasal dari keluarga yang patah. Keadaan rumah yang kurang harmonis membuatnya sangat enggan untuk berlama-lama di rumah. Tak banyak yang saya tahu tentang detail ketidakharmonisan orang tua Abang. Toh, kalau pun saya tahu, semua itu bukanlah hal yang indah untuk dituliskan di sini.

Yang selama ini saya tahu, kepenatan  Abang dilampiaskan dengan nongkrong hingga malam di Taman Suropati dan rokok. Beberapa kali Abang pernah merokok di depan saya dan selalu mata melotot yang saya tunjukkan padanya. Atau, saya akan menjauh darinya sebagai tanda protes saya padanya.

Ada satu cara baru yang temukan untuk melawan kebiasaan buruk Abang. Ketika Abang sudah mengeluarkan rokok saya langsung mengajaknya “hang out” –dengan pengertian hang out yang berbeda.  Saya mengajaknya ke masjid, memintanya menemani saya mengaji dan berharap dia mengikuti saya salat atau tadarus. Atau, saya mangajaknya makan di rumah makan terdekat, setelah itu kami makan Magum –ice cream kesukaannya, dan bercerita panjang lebar tentang apa saja.

Tak banyak yang saya tahu tentang Abang. Hanya satu hal yang satu tahu persis, bahwa setiap orang yang mengenal saya dan dirinya akan menyebutkan satu kata yang sama untuk kami berdua, “misterius”.

Pernah suatu hari, saat saya bertemu dengannya, Abang melarang saya pulang. Hingga cukup malam, saya dan dia hanya duduk di dalam masjid. Saya tidak tahu apa yang Abang inginkan malam itu. Kami hanya duduk bersisian. Tanpa berbicara satu sama lain. Sedikitpun.

Kurang lebih satu jam kami sama-sama menatap ke depan. Nanar. Tanpa sepotong kata. Kemudian Abang mengeluarkan suaranya, lebih tepat pertanyaannya.

“Bagaimana sih sebenarnya anak indigo itu? Apa setiap anak sepertiku aneh?” Saya melihat pipinya mulai basah saat mengatakan itu.

Ya, Abang seorang anak istimewa. Sejak pertemuan pertama dengannya, saya sudah merasakan keistimewaan itu. Abang Cahya, cahaya hati saya yang berbeda adalah seorang anak indigo. Banyak hal yang baru saya ketahui tentangnya saat itu. Tentang kisah di balik keindigoan dan keluarganya yang patah.

Karena keindigoannya, Abang sering dipandang aneh oleh teman-teman sekolahnya. Bahkan, tak sedikit yang menjauhinya hanya kerena keindigoannya. Yang paling menyakitkan adalah banyak orang-orang tak bertanggung jawab yang memanfaatkan keindigoan Abang.

Abang kerap menjadi kambing hitam karena Abang memanfaatkan keindigoannya untuk orang lain. Hal ini karena tanpa sepengetahuan Abang, orang yang dibantu dengan keindigoannya itu adalah orang yang tidak baik dan memanfaatkan keindigoan Abang untuk hal yang tidak baik.

Ejekan, tatapan mencibir, dan sayup-sayup pembicaraan yang seketika hening ketika Abang datang adalah beberapa tanda bahwa Abang tidak disukai banyak orang di lingkungannya. Masalah di rumahnya saja sudah membuatnya tidak ingin pulang, lantas apakah Abang akan tidak ingin sekolah karena sikap teman-temannya?

Saat itu saya menjelaskan panjang lebar tentang ketidaknyamanan serupa yang dirasakan orang lain selain dirinya. Saya hanya berkata, “Tatapan aneh itu bukan milikimu saja, Abang. Tatapan aneh itu juga milik orang lain yang bernasib sama denganmu.”

Kini Abang sudah mengurangi intensitasnya nongkrong dan merokok. Abang sudah beranjak dewasa. Pakaian serba kebesaran dan ajket lusuhnya sudah mulai ditinggalkan. Kini Abang perlahan menggunakan kemeja perempuan, berdandan, menggunakan bandana, dan tutur katanya berubah. Abang sudah mengerti arti kehidupan, meski dalam arti yang tidak sama dengan saya dan kalian. Kini Abang bertekad menghidupi dirinya sendiri dengan bekerja.

***

Sebenarnya apa yang ingin saya sampaikan kepada kalian melalui tulisan panjang ini? Simpel, saya ingin menunjukkan kepada kalian tentang sisi kehidupan yang baru. Satu dinding kehidupan yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh kalian, tapi ada di sekitar kita. Dinding kehidupan itu milik anak-anak seperti Herlian dan Abang Cahya.

Ada arti kehidupan yang baru yang saya ambil dari kehidupan mereka. Arti kehidupan dan kebahagiaan yang berbeda, dari sudut kehidupan yang berbeda.

Sebuah rumah mungkin menjadi tempat “persembunyian” paling indah bagi sebagian dari kita, tapi menjadi temapat paling menyakitkan bagi sebagain lainnya. Misalnya saja bagi Herlian dan Abang Cahya.

Rumah bagi keduanya bukanlah tempat yang baik untuk kembali. Justru, seperti yang sudah saya ceritakan di atas, keduanya memilih untuk tidak di rumah atau tidak kembali ke rumah. Mengapa semua itu terjadi? Hanya satu jawabannya; karena surga telah hilang dari dalam rumah mereka.

Dua matahari hati saya memiliki dua cara berbeda untuk melampiaskan protesnya pada Titah Allah. Herlian lebih memilih meninggalkan rumah dan menginap di rumah temannya, yang justru membuatnya semakin iri dengan keharmonisan rumah temannya. Abang Cahya, memiliki melampiaskan kesendiriannya dnegan fotografi dan menikmati hidupnya dengan menongkrong dan merokok.

Jika saya boleh menyebut hidup kedua matahari kecil ini adalah hidup yang tidak bahagia, maka usaha mereka untuk keluar dari rumah dan mencari kehidupan baru di luar sana adalah sebuah usaha untuk mencari kebahagiaan yang berbeda dengan cara menikmati yang berbeda. Ya, meski kita semua tahu bahwa sejatinya kebahagiaan yang sebenarnya indah adalah kebahagian bisa berkumpul dengan keluarga, dalam keadaan utuh.

Bagi sebagian orang, bahagia mungkin adalah kecukupan harta dengan fasilitas hidup yang mewah dan makanan serba nikmat di lidah. Tapi bagi dua matahari kecil ini, bahagia adalah keutuhan keluarga, rumah yang nyaman sebagai tempat pulang sekolah, dan orang tua yang selalu menampakkan suara lembut dan keakraban di depannya.

Dua matahari kecil ini mengajarkan saya sebuah usaha lebih dalam hidup, bahwa kebahagian hidup tidak bisa dilakukan hanya dengan berpangku tangan atau dengan menangisi nasib yang tidak sepihak dengan hati. Kebahagian hidup bisa kita usahakan dengan bergerak di luar sana.

Dari dua matahari kecil ini saya belajar arti hidup yang baru. Bahwa hidup bukan sekadar untuk menggapai mimpi, tapi untuk menikmati hidup itu sendiri. Bahwa hidup bukan sekadar untuk bersenang-senang, tapi berusaha menggapai kesenangan.

Usaha kesenangan itulah yang membedakan kita dengan miliyaran manusia yang ada di muka bumi ini. Perbedaan usaha kita menggapai kebahagiaan dan makna hidup yang sesungguhnya membuat kita merasakan kebahagiaan dan makna hidup yang berbeda.

Apapun makna kebahagian hidup itu, semoga anak-anak broken home seperti dua matahari kecil ini bisa menemukan kebahagian yang masih di koridor Islam dan dalam tuntunan Allah swt. Semoga perjalanan mencari kebahagian ini  berakhir pada keberserahan diri akan takdir Allah, yang pasti di dalamnya ada janji-janji kebahagiaan yang tak teringkari.

Semoga proses mencari kebahagiaan yang mereka lakukan menjadikan mereka pribadi yang kuat. Semoga kehidupan yang berbeda ini memberikan pelajaran pada kita bahwa setiap dari kita harus memberikan kebahagiaan kepada anak-anak kita kelak seperti kebahagian yang kita cari saat ini.

"Broken home memproteksi hatiku, mematikan rasa agar senantiasa terjaga kesuciannya, tak tersentuh oleh sosok yang tak semestinya dan menanggalkan pengharapan dalam penantian yang keliru. Karena hanya Allah, Allah sang pemilik hati. Dia yang akan menentukan pada siapa esok hati ini akan tertaut membentuk ikatan suci. Menjadi anak korban broken home karena Allah mencintaiku lebih dari yang lain, Allah menginginkan aku tumbuh menjadi individu tangguh yang senantiasa dekat denganNya.Menjadi anak korban broken home? Kenapa harus menangis (lagi)??![Paragraf Penutup Catatan Herlian]

Jazakumullah, dua matahari kecil yang telah memberikan kenikmatan perkenalan kepada diri yang dhoif ini. Adalah kesyukuran tiada tara akan karunia Allah yang telah memberikan saya orang tua yang masih tinggal serumah. Adalah nikmat tiada bertepi ketika saya bisa mengenal kalian dengan cara berbeda dengan kisah yang beda.

Dua matahari kecil saya, Herlian dan Abang Cahya, adalah dua gadis kuat pilihan Allah yang diistimewakan-Nya dengan cara berbeda. Semoga Allah Mengangkat derajat kalian melalui kisah dan ketabahan kalian menjalankan alur kisah yang dititahkan-Nya. Amin.

{ 1 komentar... read them below or add one }

Terima kasih atas komentarnya :)

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -