Posted by : Fatinah Munir 15 July 2018



Di tulisan sebelumnya saya sedikit bercerita kalau saya ingin kembali membaca novel fiksi ataupun nonfiksi setelah lama menghindari genre ini. Nah, tepat setelah saya menuntaskan novel nonfiksi tentang Helen Keller, saya memilih membaca catatan pengalaman seorang mahasiswa yang magang mengajar di Jepang.

Ada beberapa alasan mengapa saya memilih buku ini. Pertama, karena buku ini punya kemiripan dengan buku Helen Keller yang sebelumnya. Yaitu buku ini sama-sama berisi catatan pengalaman penulis yang ditulis sendiri. Kedua karena buku ini tentang pendidikan, erat kaitannya dengan bidangnya. Tapi saat pertama kali membaca buku yang satu ini beberapa tahun lalu, saya sangat terkesan dengan kisah di dalamnya. Ini berkaitan dengan alasan ketiga yang saya punya, yaitu karena apa yang diceritakan di sini tentang Jepang, lebih tepatnya tentang pendidikan anak usia dini di Jepang. Yup, saya pecinta budaya Jepang. Jadi ketika membaca buku ini, saya benar-benar masuk secara jiwa dan pikiran ke dalam penuturan penulis.

Kali ini saya insya Allah tidak hanya akan meriview buku ini melainkan juga berbagi berbagai informasi terkait budaya dan pendidikan yang saya highlight. Selamat membaca ulasan ala saya tentang buku Asonde Kurete, Arigatou! sambil belajar tentang sistem pendidikan anak usia dini di Jepang ^^3

Asonde Kurete, Arigatou! dalam bahasa Indonesia berarti Terima Kasih Sudah Bermain Bersama Kami! Buku ini merupakan karya Ghyna Amanda yang saat itu sedang menjalankan program internship di salah satu TK di Jepang. Tensou Nagayoshi (Tensou Pre-School and Kindergarten-en) di Nagahara, Osaka adalah TK tempat Ghyna mengajar bersama seorang temannya sesama mahasiswa.
Dalam buku terbitan DIVA Press 2014 lalu ini, penulis menceritakan segala hal yang berkaitan dengan pendidikan TK di Jepang dengan menarik dan cukup detail. Bukan seperti sebuah buku harian, melainkan buku ini dikemas seperti sebuah catatan perjalanan ringan yang memadukan kisah inspiratif sekaligus informatif terkait pendidikan anak-anak usia dini di Jepang. Hal inilah yang menjadi nilai tambah buku sederhana ini.

Catatan perjalanan Ghyna dalam buku ini dituturkan dalam bahasa yang ringan. Saya pribadi berpikir seperti membaca tulisan di media sosial kebanyakan. Mengalir dan mudah dipahami. Berbagai informasi pendidikan dan budaya yang ada di dalamnya melebur dalam kisah Ghyna, jadi selain menikmati kisahnya, pembaca bisa langsung merekam info tersebut di dalam kepala. Saya pribadi biasanya langsung bergumam ooh begitu toh kalau di sana atau bahkan menandai beberapa bagian yang menurut saya penting. Jadi, ketika menuntaskan buku ini, pembaca secara tidak sadar telah membaca catatan perjalanan sekaligus mempelajari sistem pembagian kelas di sekolah anak usia dini, pengaturan ruang kelas, jadwal pelajaran dan aktivitas anak, permainan anak-anak, hingga budaya Jepang yang sangat kuat.

Yang membuat buku ini semakin menarik adalah foto-foto yang melengkapi kisah di dalamnya. Tidak banyak memang fotonya, tetapi sangat cukup membantu memvisualisasikan kisah atau penjelasan yang disampaikan. Misalnya foto ruangan kelas, foto aktivitas sekolah, dan foto anak-anak yang sedang bermain permainan tradisional.
Well, dalam tulisan kali ini saya tidak hanya ingin berbagi ulasan buku ini. Saya ingin berbagi lebih banyak kepada penulis. Selanjutnya di bawah ini saya mau membocorkan banyak informasi menarik tentang pendidikan anak usia dini dan budaya Jepang dari buku ini.

Hal pertama yang menarik perhatian saya adalah sistem pendidikan usia dini di Jepang yang sekaligus tempat penitipan anak. Oleh sebab itu, TK di Jepang buka mulai jam 7 pagi dan tutup pada jam 8 malam. Jadi, di dalam sekolah biasanya akan ada 6 kelas sesuai usia anak. Yakni kelas 0 tahun, 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun, dan 5 tahun.

Jam belajar untuk anak-anak usia 3-5 tahun sendiri mulai jam 9 pagi sampai jam 4 sore, berbeda dengan di Indonesia yang hanya 3-4 jam saja sehari. Meskipun jam sekolah sangat lama, tapi mereka hany apunya 2 pelajar per hari dan sisa waktunya adalah untuk bermain bersama di dalam ataupun di luar ruangan bersama guru.

Ada 5 pelajaran untuk anak-anak TK di Jepang, khususnya di TK Tensou tempat penulis magang, dan seluruh pelajaran ini tetap disebut sebagai permainan. Yaitu permainan ekspresi (hyougen asobi), permainan music (ongaku asobi), permainan olahraga (taikai asobi), permainan structure of intellect (SI asobi), dan permainan bahasa Inggris. Permainan ekspresi ini adalah aktivitas yang dilakukan di tempat yang luas seperti aula. Pada permainan ini anak belajar langsung pada hal-hal nyata. Nah, kalau permainan musik, anak-anak akan belajar memainkan pianika. Di ceritakan di buku ini kalau di kelas musik ini anak-anak membaca not balok dengan metode yang sangat mudah dimengerti. Silakan baca bukunya untuk tahu bagaimana cara mengajarkan anak TK membaca not balok ya ^^

Selanjutnya adalah permainan olahraga. Di sini diceritakan aktivitas olahraganya hampir mirip dengan kebanyakan sekolah di Indonesia. Ada senam, berlari, dan melakukan berbagai permainan. Lalu ada juga lompat papan yang seperti di komik atau anime Jepang. Hehehe.
Untuk permainan structure of intellect, ternyata adalah aktivitas menggunting dan menempel. Pelaksanaan aktivitas ini ternyata diawasi langsung oleh dinas pendidikan. Jadi biasanya akan ada seorang petugas dinas yang datang di jadwal SI. Petugas dinas ini akan mengawasi proses aktivitas anak-anak menggunting dan menempel, mengawasi setiap instruksi guru selama aktivitas, termasuk memeriksa media SI yang digunakan. Ternyata aktivitas sederhana ini dianggap sangat penting oleh dinas pendidikan untuk perkembangan anak, karena itu seluruh hal yang berkaitan dengan aktivitas menggunting dan menempel akan diawasi dan dibuatkan laporannya ke dinas.

Terkahir permainan bahasa Inggris. Meskipun Jepang dikelas sebagai negara yang tertutup dari pengaruh budaya luar termasuk bahasa asing, saat ini sistem pendidikan Jepang sudah menganggap bahasa Inggris adalah penting. Karena itu saat ini sudah banyak sekolah TK yang mengenalkan bahasa Inggris dasar seperti mengenal angka, huruf, dan kosa kata benda sekitar.

Setiap permainan atau pelajaran di atas tidak diajarkan oleh guru kelas loh! Setiap pelajaran memiliki guru khususnya masing-masing. Untuk permainan SI, gurunya didatangkan langsung oleh dinas pendidikan dan guru pada permainan bahasa Inggris adalah penutur asli bahasa Inggris. Tugas guru kelas ternyata adalah memberikan pendidikan etika melalui aktivitas bermain di luar lima pelajaran tersebut.  
Untuk menjadi guru TK sendiri, Jepang memiliki kualifikasi khusus yakni guru TK harus bisa memainkan piano. Alasannya adalah karena hampir setiap aktivitas dilakukan sambil bernyanyi bersama. Seperti bernyanyi dilakukan sebelum kelas di mulai, sebelum pulang, dan pada beberapa aktivitas khusus lainnya.

Anak-anak TK dalam buku ini juga punya aktivitas mengucapkan peraturan kelas bersama-sama saat upacara sekolah yang dilakukan sekali dalam sepekan. Uniknya, setiap kalimat peraturan yang diucapkan bukan berupa kalimat perintah melainkan kalimat ajakan. Salah satu contohnya adalah peraturan dengan kalimat mari berteman dengan siapa saja!

Selanjutnya, jika di Indonesia anak-anak dikenalkan dengan sistem piket saat sudah masuk bangku SD, di Jepang anak-anak TK sudah memiliki tugas piket. Penentuan petugas piket harian ini dilakukan tanpa ditunjuk. Guru akan meminta seluruh anak menunduk sambil memejamkan mata. Ketika guru mengucapkan nama hari, anak-anak yang mau menjadi petugas piket di hari itu akan mengangkat tangan tanpa mengangkat kepala ataupun membuka matanya. Jika dalam satu hari ada jumlah petugas piket yang terlalu banyak, guru akan mengaturnya dengan meminta izin lebih dulu kepada anak.

Ada tiga hal yang guru tanamkan sekaligus dalam proses pembagian tugas piket ini. Pertama tentang nilai tanggung jawab di mana anak usia dini diajarkan bertanggung jawab untuk lingkup kelasnya. Kedua adalah membangun self-esteem anak ketika anak-anak harus memejamkan mata selama proses penentuan petugas kelas. Dengan cara seperti ini anak secara tidak langsung belajar untuk menentukan berdasarkan inisiasinya sendiri dan tanpa pengaruh orang lain. Yang ketiga adalah belajar menghargai orang lain, di mana guru selalu meminta izin kepada anak untuk memindahkan namanya agar jumlah petugas piket setiap harinya seimbang. Menakjubkan sekali buat saya. Sebuah aktivitas kecil dengan value yang sangat mendalam. Patut dicontoh! \(^_^ )/ Oh iya FYI, makanan untuk makan siang dan snacking time di seluruh fullday school di Jepang sudah disediakan oleh sekolah. Makanan dan snack tersebut akan dibagikan oleh wali kelas dan petugas piket.

Tugas piket anak di sekolah TK ngapain aja? Sederhana saja kok tapi anak-anak betul-betul diminta bertanggung jawab di atasnya dengan pengawasan guru, bukan dibantu guru. Hehehe. Contohnya petugas piket akan memimpin anak-anak lainnya berbaris sebelum masuk kelas, memimpin salam perjumpaan dan perpisahan kelas, membantu guru membagikan makan siang, mengingatkan teman sekelasnya yang membuat kelas terlalu gaduh atau bertengkar saat bermain. Bahkan saat jam bermain menggunakan mainan-mainan di kelas, petugas piketlah yang menentukan apakah teman sekelasnya boleh menggunakan mainan tersebut. Dari buku ini diceritakan kalau sebelum petugas piket akan mengeluarkan berbagai macam mainan dari rak. Lalu akan menunggu seluruh anak berdiri dengan rapi di sisi terlebih dahulu sebelum mengizinkan mereka menggunakan mainan yang sudah tergeletak di lantai. Hahaha. Lucu yaa! ^^3

Masih ada banyak lagi bocoran sistem pendidikan anak usia dini di Jepang yang bisa kita pelajari melalui buku perjalanan mahasiswa sastra Jepang ini. Misalnya tentang sistem pengaturan ruang kelas, sistem pembagian kelas, dan berbagai permainan tradisional anak-anak Jepang masih sering dimainkan di sekolah.  
Selain sistem pendidikan, informasi budaya yang disisipkan dalam buku ini juga cukup banyak. Khususnya budaya yang ada di lingkungan sekolah. Budaya yang paling menonjol dalam buku ini adalah tentang kemandirian anak-anak Jepang yang sangat tinggi. Penulis buku ini bercerita bahwa  dirinya tidak diperkenankan untuk sekadar membantu seorang anak merapikan mainannya. Diceritakan bahkan menulis sempat ditegur oleh seorang anak untuk tidak membantu anak lain yang kesulitan menggunakan sepatu.

Pribadi yang mandiri pada anak-anak Jepang ini berasal dari sebuah nilai budaya jibun no koto jibun de yaru, kepentingan sendiri dikerjakan sendiri. Nilai inilah yang menjadikan orang Jepang selalu berusaha mandiri. Dampaknya sikap memikirkan orang lain atas sikap dan tindakan yang dilakukan juga sangat kuat tertanam dalam pribadi orang Jepang, seperti tidak ingin merepotkan orang dan memikirkan dampak dari ucapan dan tindakan kepada orang lain. Tetapi sisi negative dari nilai ini adalah kebiasaan menyimpan masalah sendirian dan berdampak pada masih tingginya angka bunuh diri di Jepang.

Budaya Jepang lainnya yang menarik perhatian saya dalam buku ini adalah budaya saling berterima kasih dan menyemangati. Entah yang satu ini disebut budaya apa, meskipun tampaknya masuk ke dalam budaya komunikasi. Jadi dari cerita dalam buku ini ada kebiasaan anak-anak mengucapkan terima kasih kepada guru dan petugas piket atas sudah membantu anak-anak lain di kelas. Kebiasaan ini diucapkan sebelum anak-anak mengucapkan salam perpisahan sebelum pulang. Untuk guru –kalau merujuk ke scene di film atau anime Jepang, sepertinya ini juga dilakukan setiap orang di lingkungan kerja, mereka punya kebiasaan menyemangati sebelum sama-sama bekerja dan mengucapkan terima kasih setelah sama-sama selesai bekerja atau sebelum pulang. Kyou mo, ganbatte kudasai ne! Hari ini pun semangat ya! Otsukaresama desu! Terima kasih atas usaha dan kerja kerasnya!

Oh iya. Untuk anak-anak di sekolah, sebelum makan mereka tidak hanya mengucapkan itadakimasu, selamat makan. Anak-anak ini sebelumnya akan mengucapkan terima kasih dulu kepada kedua orang tua. Mungkin maksudnya terima kasih karena berkat kedua orang tua mereka bisa sekolah dan makan dengan layak. Okaasan,otousan, arigatou gozaimasu. Sensei, minasan, itadakimasu! Ibu, bapak, terima kasih. Ibu guru, semuanya, selamat makan! Kemudian anak-anak juga akan mengucapkan terima kasih bersama-sama setelah makan. Gochisousama deshita! Terima kasih atas hidangannya!

Menarik sekali ya budayanya. Banyak value positif yang patut ditiru oleh kita untuk ikut memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia.^^

Haaaaaaaa! Sebenarnya masih banyak sekali budaya pendidikan Jepang yang menarik di dalam buku ini yang mau saya tuliskan. Tapi saya harus membatasinya supaya teman-teman membaca langsung dari bukunya. Hehehe. Buku ini bisa teman-teman dapatkan di jajaran buku pendidikan atau nonfiksi. Jika memang di toko buku tidak tersedia lagi, teman-teman bisa memesan buku ini langsung ke penerbit DIVA Press di www.divapress-online.com. Untuk teman-teman yang tinggal di Jakarta, yang mau membaca buku ini tapi belum bisa membelinya, bisa membaca buku ini di Perpustakaan Japan Foundation. Kalau sudah mempunyai kartu anggotanya, teman-teman bisa meminjamnya. Kalau tidak salah buku ini ada di rak kategori sosial, tepat di depan petugas regulasi buku perpustakaan.

@fatinahmunir | 15 Juli 2018


Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -