Posted by : Lisfatul Fatinah 26 December 2012


Bismillahirrahmanirrahim

 Saya mengenal sosoknya sejak 7 Maret 2011 lalu, melalui sebuah film documenter yang diputar pada malam Inagurasi FLP Ciputat. Film ini dibuat oleh seorang teman di Kelas Menulis Skenario. Di dalamnya terdapat seorang remaja SMA penyandang disabilitas pengelihatan. Dalam film berdurasi sekitar dua puluh menit itu saya menyaksikan  remaja tersebut beraktivitas seperti remaja awas lainnya dengan menggunakan sebuah tongkat alumunium. Singkat cerita, tibalah di ending film documenter tersebut  remaja disabilitas ini memperkenalkan dirinya.

Tak ada perasaan apapun saat saya melihat film itu, kecuali kagum dan haru. Sempat terselip keinginan untuk bertemu dengannya, suatu saat nanti. Ya, meski saya tak tahu kapan itu terjadi.  

Selang beberapa bulan kemudian, tepatnya pada pertengahan Oktober 2011, saya diamanahkan untuk menjadi panitia penerimaan anggota baru organisasi kepenulisan yang saya ikuti, Forum Lingkar Pena Ciputat. Di detik-detik terakhir pendaftaran penerimaan anggota baru sekaligus bedah buku, seseorang yang pernah saya lihat menghampiri saya yang sedang duduk di meja presensi. Dia datang menggunakan sebuah tongkat alumunium sambil dibimbing oleh salah seorang teman saya. Dia adalah remaja penyandang disabilitas pengelihatan yang pernah saya lihat melalui film dokumenter beberapa bulan silam.

Saat itu saya baru saja menggeluti dunia disabbilitas. Mungkin karena semangat saya masih hangat, dengan refleks saya bengkit dari tempat duduk dan mengulurkan lengan saya untuk di pegang Sang Penulis.  Kami pun memasuki ruangan yang sudah ramai. Inilah awal perkenalan saya dengan Sang Penulis yang tidak pernah saya duga.

Usianya 17 tahun. Kini ia baru memasuki kelas XII SMA.  Sang Penulis lahir secara normal dan dengan pengelihatan yang sama seperti anak awas pada umumnya. Di sini, saya tidak akan menceritakan secara spesifik tentang disabilitas yang dialami Sang Penulis. Tapi, saya ingin sedikit bercerita tentang perjalanan Sang Penulis dan perjuangan kedua orang tuanya.

Sang Penulis lahir dari keluarga sederhana–jika kesederhanaannya tidak ingin dikatakan kekurangan. Di usianya yang ke 1.5 tahun, Sang Penulis jatuh sakit. Campak, begitulah banyak orang, bukan dokter, mendiagnosa penyakitnya. Panas tinggi menyebabkan Sang Penulis kecil hanya bisa berbaring dan memejamkan mata selama setengah tahun. Obat? Jangan ditanya. Ayahnya yang hanya pekerja serabutan dan ibunya yang tak bekerja hanya memberinya obat warung dan mengompresnya.

Di buan keenam, panas tubuh Sang Penulis turun. Tapi, siapa sangka jika panas tubuhnya adalah kesembuhan baginya? Ternyata bukan. Panas tubuhnya yang menurun adalah awal dari segala kehidupan barunya. Hidupnya yang gulita.

Sesaat setelah demamnya reda, sebuah cairan mengalir dari mata kiri Sang Penulis kecil. Ibu sang penulis membasuh cairan itu dengan tangannya Lalu, setetes darah mengalir. Hanya setetes. Diiringi sebutir benda yang tak tahu itu apa.

Beberapa hari setelah kesembuhannya, Sang Penulis hanya terpejam. Tak ada cahaya yang bisa ditangkapnya. Dokter di kota berkata, mata kirinya sudah tidak ada. Ternyata, butiran kecil yang pernah keluar dari mata kiri Sang Penulis adalah matanya yang sudah mengerut. Sedang mata kanannya kehilangan fungsinya karena terlalu lama terpejam. Syaraf pengelihatannya putus, begitulah dokter menjelaskan.

Sang Penulis tumbuh seperti anak pada umumnya. Bermain, berlari meski harus terbentur tiang atau masuk ke selokan, dan tertawa bersama anak sebayanya. Hanya saja, Sang Penulis tak bersekolah. Ibunya hanya mengajarkan dengan kemampuan apa adanya, maklum, ibu Sang Penulis bukan Ibu yang berpendidikan pula. Di usia empat tahun, Sang Penulis merengek penuh harap agar Ibunya mau melepasnya ke masjid dan belajar mengaji bersama anak lainnya. Tapi sayang, sebagaimana tradisi Sunda, Sang Penulis dilarang ke langgar atau masjid sebelum disunat. Jadilah, Sang Penulis disunat di usia empat tahun agar dapat belajar mengaji dengan anak lain di masjid desa.

Usia Sang Penulis sudah tujuh tahun. Kini ia tinggal di kota. Kendati ia tinggal di kota, nasibnya tetap desa. Sang Penulis hidup apa adanya bersama Ibunya. Sang Penulis tak sekolah. Hingga pada suatu hari datang seorang wanita berjilbab kuning–begitulah kata Ibunya saat bertutur–datang dan menyemangati Ibunya untuk menyekolahkan diri Sang Penulis, kendati uang SPP SLB sangatlah mahal.

Bermodalkan semangat, Sang Penulis sekolah di TK saat teman sebayanya sudah kelas II SD. Tapi, apa dikata, nasib belum berpihak padanya. Sang Penulis putus sekolah karena tersendat biaya.

Usianya kini sudah masuk angka sembilan. Sang Penulis belum melanjutkan sekolah karena biaya. Lalu, seperti bantuan dari surga, seseorang datang dan meminta Sang Penulis sekolah. Masalah biaya, orang itu yang mengurusnya. Lanjutlah, Sang Penulis bahagia. Dia dapat kembali sekolah.

Tak mudah. Meski sudah sekolah, semua tak berjalan mudah. Ibu Sang Penulis bingung akan uang jajan dan ongkos anaknya. Ibunya memutar akal. Alhasil, jadilah Sang Ibu seorang pedagang gorengan dan sayur di sekolah. Ia juga berkeliling komplek sekolah saat Sang Penulis ada di dalam kelas.

Begitulah perjuangan Ibu Sang Penulis untuk menyekolahkannya. Hingga sekarang, ibunya masih bekerja, meski sekadar menjadi kuli cuci. Ayahnya sekarang sudah berdagang.

Keterbatasan pengelihatan, bukan hambatan bagi Sang Penulis. Belakangan, dia mengakui bahwa sejatinya dia tak merasa buta, justru dia merasa sama dengan yang lainnya, seperti kita yang melihat. Apa alasannya? “Karena saya bisa melakukan apa-apa yang bisa kakak lakukan,” ujarnya kepada saya sambil menyengir kuda.

“Eh, kadang aku yang merasa berketerbatasan,” saya menanggapinya.

“Kenapa gitu, Kak Lis?” katanya penasaran.

“Karena aku tidak sehebat kamu,” kata saya beriring tawa.

Sang Penulis ikut tertawa.

Ya, Sang Penulis hebat. Saya berkata demikian, karena banyak hal yang bisa diraihnya tapi tak mampu saya raih. Sang Penulis sudah banyak menuai prestasi di bidang kegemarannya. Seperti namanya, dia ingin menjadi seorang penulis. Sudah banyak prestasi yang didapatnya dari pemerintah. Um, jika teman-teman melihat acara Kick Andy, teman-teman akan mengetahui sosoknya. Sang Penulis sering muncul di layar teve sejak ia di kelas X SMA.

Di beberapa kesempatan, saya sering pergi ke FLP Ciputat bersama Sang Penulis. Kami biasanya naik angkot. Nah, di dalam akngkot ini banyak cerita-cerita mengganjil bagi saya, tapi tidak bagi Sang Penulis. Salah satunya adalah setiap kali saya hendak membayar ongkos, pak supir kebanyakan berkata, “Bawa aja, Neng. Ikhlas kok.”

Dengan wajah bodoh, biasanya saya bengong terlebih dahulu sambil tetap menjulurkan uang. Tapi pak supir terus berkata, “Saya ikhlas.” Dan, saya berterima kasih lalu pergi dengan wajah heran.

Di tengah perjalanan, saya bertanya, “Mereka kok gak mau dibayar ya?”

“Halah, sudah biasa itu mah, Kak Lis. Kasihan sama orang buta. Padahal Eijke mah gak pernah minta dikasihani. Hahaha.” Tawa Sang Penulis meledak. Ya, begitulah Sang Penulis berbicara. Humoris, supel, dan sastrais. Kadang, Sang Penulis berbicara layaknya orang dari zaman dahulu, puitis dan terstruktur seperti membaca sebuah sastra lama.

Saya? Saya hanya senyum-senyum mendengarnya sambil merenungkan kalimat-kalimatnya yang kerap kali bijak.

Di satu kesempatan, saya berbincang-bincang dengan Ibu Sang Penulis. Perbincangan kami layaknya seorang sahabat. Atau, seperti Ibu dan anak yang terlanjur dekat. Pernah, di satu kesempatan, saat saya sedang berkunjung ke rumahnya, ada seorang anak muda mengamen di depan rumahnya. Ketika pengamen itu pergi, Ibu Sang Penulis berdumel hebat.

“Saya paling gak suka lihat pengamen, Neng!” katanya sambil sedikit memonyongkan bibir.

“Hehe, berisik ya, Bu?”

“Bukan masalah berisiknya. Liat aja tadi, mereka masih sehat-sehat. Ngeliat bisa, jalan bisa. Kurang apa? Liat anak saya, biar buta tapi gak ada niatan ngamen. Dia tetap semangat sekolah, belajar ke mana-mana. Jadi kesel rasanya,” Ibu Sang Penulis menunjuk-nunjuk keluar rumah. Kesal.

Saya hanya mengangguk-angguk, senyum-senyum  dan berujar, “Iya ya, Bu.”

Begituah sekilas tentang Sang Penulis dan Ibunya yang, bagi saya, so super^^! Meski finansial tidak mendukung kehidupan mereka, tapi nasib berkata lain. Bantuan seseorang yang membuat Sang Penulis terus sekolah hingga sekarang membangkitkan kembali semangat yang pernah redup. Sang Penulis bisa sekolah seperti biasa. Bahkan sekarang, Sang Penulis sekolah di sekolah biasa, bukan di SLB.

Adalah kepercayaan diri yang besar yang saya temukan pada diri Sang Penulis. Saya pribadi adalah sosok yang kurang percaya diri dan malu-malu. Melihat Sang Penulis dengan kobaran semangat dan percaya dirinya, saya seakan ditampar takdir berkali-kali. Kurang apa saya? Sehat. Fisik lengkap. Uang ada. Dengan kata lain, saya tinggal melaksanakan apa yang saya mau. Tapi nyatanya, nyali saya terlalu ciut untuk mau mengembangkan segala potensi saya.

Ya, beginilah memang manusia. Begini juga hidup.  Tak ada kesadaran jika  tak ada kebodohan. Lama saya mengurung diri dalam kebodohan diri sendiri, mal-malu hingga ditinggal pergi kesempatan. Kini, Sang Penulis datang menyadarkan saya, meski saya tahu Sang Penulis tak merasa melakukannya.

Sosok Sang Penulis yang ekstrovert dan humoris, benar-benar bertolak belakang dengan. Karena kami semakin lama kami semakin dekat dan aktivitas kami sama, di FLP Ciputat dan Kartunet.com, alhasil, jadilah saya semakin ciut di depannya. Kadang–tapi  sepertinya sering–saya terlalu melankolis di hadapannya. Sampai-sampai saya berkali-kali menangis karena kagum pada dirinya. Kalau sudah begini, Sang Penulis hanya tertawa lalu diam, jika dia tahu saya tidak berhenti menangis. -,-“

Oh iya, ada satu lagi. Kasihan. Itulah kata yang sangat sensitif di telinga Sang Penulis. Ingat apa yang saya tuliskan di muka? Sang Penulis pernah berkata “Saya tidak minta dikasihani karena saya bisa seperti kalian.” Atau omelan Ibu Sang Penulis yang nyata-nyata tak ingin anaknya mengamen atau mengemis.

Sebuah kata kasihan memang kerap muncul di mulut teman-teman yang baru menyentuh dunia disabilitas. Tapi tahukah kalian, teman-teman, bahwa kasihan tidaklah ada di kamus mereka. Karena mereka, sebagaimana yang dikatakan Sang Penulis, tidak membutuhkan belas kasihan.

Pada satu kesempatan saya berpikir, kenyataannya bukan merekalah yang membutuhkan belas kasih dari kita yang merasa “normal”. Justru kita yang “normal” yang perlu dikasihani karena kadang kita tak menyadari bahwa ketidaknormalan sebenarnya sudah merajai hati, yakni hilangnya kepekaan hati kita.

Dari Sang Penulis, secara khusus saya belajar menghargai kemampuan diri saya sendiri. Bahwa kemampuan bukan pada kata ‘bisa’ atau ‘tidak bisa’, kemampuan kita ada pada kata ‘mau’ atau ‘tidak mau’. Meskipun kita bisa tapi tak mau, apa gunanya? Ya, begitulah saya mencoba mencontoh kepercayaan diri Sang Penulis tanpa menghilangkan sikap yang sudah ada pada diri saya.

Akhiran, dari Sang Penulis, dari kehidupan teman-teman disabilitas lainnya, saya pribadi belajar mengasihani diri sendiri untuk tidak berlarut-larut dalam keadaan alpa. Untuk kesekian kalinya, tak lupa pula bersyukur, karena kelengkapan fisik yang seharusnya kita mampu mengaktualisasikan diri. Wallahu a’alam.



Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -