- Back to Home »
- Ibu Lisfah dan Murid Istimewa »
- Si Buta Sang Penulis
Posted by : Lisfatul Fatinah
26 December 2012
Bismillahirrahmanirrahim
Tak ada perasaan apapun saat saya melihat film itu, kecuali kagum dan haru. Sempat terselip
keinginan untuk bertemu dengannya, suatu saat nanti. Ya, meski saya tak tahu
kapan itu terjadi.
Selang
beberapa bulan kemudian, tepatnya pada pertengahan Oktober 2011, saya
diamanahkan untuk menjadi panitia penerimaan anggota baru organisasi
kepenulisan yang saya ikuti, Forum Lingkar Pena Ciputat. Di detik-detik
terakhir pendaftaran penerimaan anggota baru sekaligus bedah buku, seseorang
yang pernah saya lihat menghampiri saya yang sedang duduk di meja presensi. Dia
datang menggunakan sebuah tongkat alumunium sambil dibimbing oleh salah seorang
teman saya. Dia adalah remaja penyandang disabilitas pengelihatan yang pernah
saya lihat melalui film dokumenter beberapa bulan silam.
Saat itu
saya baru saja menggeluti dunia disabbilitas. Mungkin karena semangat saya
masih hangat, dengan refleks saya bengkit dari tempat duduk dan mengulurkan
lengan saya untuk di pegang Sang Penulis. Kami pun memasuki ruangan yang sudah ramai. Inilah
awal perkenalan saya dengan Sang Penulis yang tidak pernah saya duga.
Usianya
17 tahun. Kini ia baru memasuki kelas XII SMA. Sang Penulis lahir secara normal dan dengan
pengelihatan yang sama seperti anak awas pada umumnya. Di sini, saya tidak akan
menceritakan secara spesifik tentang disabilitas yang dialami Sang Penulis.
Tapi, saya ingin sedikit bercerita tentang perjalanan Sang Penulis dan
perjuangan kedua orang tuanya.
Sang
Penulis lahir dari keluarga sederhana–jika kesederhanaannya tidak ingin
dikatakan kekurangan. Di usianya yang ke 1.5 tahun, Sang Penulis jatuh sakit.
Campak, begitulah banyak orang, bukan dokter, mendiagnosa penyakitnya. Panas
tinggi menyebabkan Sang Penulis kecil hanya bisa berbaring dan memejamkan mata
selama setengah tahun. Obat? Jangan ditanya. Ayahnya yang hanya pekerja
serabutan dan ibunya yang tak bekerja hanya memberinya obat warung dan
mengompresnya.
Di buan
keenam, panas tubuh Sang Penulis turun. Tapi, siapa sangka jika panas tubuhnya
adalah kesembuhan baginya? Ternyata bukan. Panas tubuhnya yang menurun adalah
awal dari segala kehidupan barunya. Hidupnya yang gulita.
Sesaat
setelah demamnya reda, sebuah cairan mengalir dari mata kiri Sang Penulis
kecil. Ibu sang penulis membasuh cairan itu dengan tangannya Lalu, setetes
darah mengalir. Hanya setetes. Diiringi sebutir benda yang tak tahu itu apa.
Beberapa
hari setelah kesembuhannya, Sang Penulis hanya terpejam. Tak ada cahaya yang
bisa ditangkapnya. Dokter di kota berkata, mata kirinya sudah tidak ada. Ternyata,
butiran kecil yang pernah keluar dari mata kiri Sang Penulis adalah matanya
yang sudah mengerut. Sedang mata kanannya kehilangan fungsinya karena terlalu
lama terpejam. Syaraf pengelihatannya putus, begitulah dokter menjelaskan.
Sang
Penulis tumbuh seperti anak pada umumnya. Bermain, berlari meski harus
terbentur tiang atau masuk ke selokan, dan tertawa bersama anak sebayanya.
Hanya saja, Sang Penulis tak bersekolah. Ibunya hanya mengajarkan dengan
kemampuan apa adanya, maklum, ibu Sang Penulis bukan Ibu yang berpendidikan
pula. Di usia empat tahun, Sang Penulis merengek penuh harap agar Ibunya mau
melepasnya ke masjid dan belajar mengaji bersama anak lainnya. Tapi sayang,
sebagaimana tradisi Sunda, Sang Penulis dilarang ke langgar atau masjid sebelum
disunat. Jadilah, Sang Penulis disunat di usia empat tahun agar dapat belajar
mengaji dengan anak lain di masjid desa.
Usia
Sang Penulis sudah tujuh tahun. Kini ia tinggal di kota. Kendati ia tinggal di
kota, nasibnya tetap desa. Sang Penulis hidup apa adanya bersama Ibunya. Sang
Penulis tak sekolah. Hingga pada suatu hari datang seorang wanita berjilbab
kuning–begitulah kata Ibunya saat bertutur–datang dan menyemangati Ibunya untuk
menyekolahkan diri Sang Penulis, kendati uang SPP SLB sangatlah mahal.
Bermodalkan
semangat, Sang Penulis sekolah di TK saat teman sebayanya sudah kelas II SD.
Tapi, apa dikata, nasib belum berpihak padanya. Sang Penulis putus sekolah
karena tersendat biaya.
Usianya
kini sudah masuk angka sembilan. Sang Penulis belum melanjutkan sekolah karena
biaya. Lalu, seperti bantuan dari surga, seseorang datang dan meminta Sang
Penulis sekolah. Masalah biaya, orang itu yang mengurusnya. Lanjutlah, Sang
Penulis bahagia. Dia dapat kembali sekolah.
Tak
mudah. Meski sudah sekolah, semua tak berjalan mudah. Ibu Sang Penulis bingung
akan uang jajan dan ongkos anaknya. Ibunya memutar akal. Alhasil, jadilah Sang
Ibu seorang pedagang gorengan dan sayur di sekolah. Ia juga berkeliling komplek
sekolah saat Sang Penulis ada di dalam kelas.
Begitulah
perjuangan Ibu Sang Penulis untuk menyekolahkannya. Hingga sekarang, ibunya
masih bekerja, meski sekadar menjadi kuli cuci. Ayahnya sekarang sudah
berdagang.
Keterbatasan
pengelihatan, bukan hambatan bagi Sang Penulis. Belakangan, dia mengakui bahwa
sejatinya dia tak merasa buta, justru dia merasa sama dengan yang lainnya,
seperti kita yang melihat. Apa alasannya? “Karena saya bisa melakukan apa-apa
yang bisa kakak lakukan,” ujarnya kepada saya sambil menyengir kuda.
“Eh,
kadang aku yang merasa berketerbatasan,” saya menanggapinya.
“Kenapa
gitu, Kak Lis?” katanya penasaran.
“Karena
aku tidak sehebat kamu,” kata saya beriring tawa.
Sang
Penulis ikut tertawa.
Ya, Sang Penulis hebat. Saya berkata demikian,
karena banyak hal yang bisa diraihnya tapi tak mampu saya raih. Sang Penulis
sudah banyak menuai prestasi di bidang kegemarannya. Seperti namanya, dia ingin
menjadi seorang penulis. Sudah banyak prestasi yang didapatnya dari pemerintah.
Um, jika teman-teman melihat acara Kick Andy, teman-teman akan mengetahui
sosoknya. Sang Penulis sering muncul di layar teve sejak ia di kelas X SMA.
Di
beberapa kesempatan, saya sering pergi ke FLP Ciputat bersama Sang Penulis.
Kami biasanya naik angkot. Nah, di dalam akngkot ini banyak cerita-cerita
mengganjil bagi saya, tapi tidak bagi Sang Penulis. Salah satunya adalah setiap
kali saya hendak membayar ongkos, pak supir kebanyakan berkata, “Bawa aja,
Neng. Ikhlas kok.”
Dengan
wajah bodoh, biasanya saya bengong terlebih dahulu sambil tetap menjulurkan
uang. Tapi pak supir terus berkata, “Saya ikhlas.” Dan, saya berterima kasih
lalu pergi dengan wajah heran.
Di
tengah perjalanan, saya bertanya, “Mereka kok gak mau dibayar ya?”
“Halah,
sudah biasa itu mah, Kak Lis. Kasihan sama orang buta. Padahal Eijke mah gak
pernah minta dikasihani. Hahaha.” Tawa Sang Penulis meledak. Ya, begitulah Sang
Penulis berbicara. Humoris, supel, dan sastrais. Kadang, Sang Penulis berbicara
layaknya orang dari zaman dahulu, puitis dan terstruktur seperti membaca sebuah
sastra lama.
Saya?
Saya hanya senyum-senyum mendengarnya sambil merenungkan kalimat-kalimatnya
yang kerap kali bijak.
Di satu
kesempatan, saya berbincang-bincang dengan Ibu Sang Penulis. Perbincangan kami
layaknya seorang sahabat. Atau, seperti Ibu dan anak yang terlanjur dekat.
Pernah, di satu kesempatan, saat saya sedang berkunjung ke rumahnya, ada
seorang anak muda mengamen di depan rumahnya. Ketika pengamen itu pergi, Ibu
Sang Penulis berdumel hebat.
“Saya
paling gak suka lihat pengamen, Neng!” katanya sambil sedikit memonyongkan
bibir.
“Hehe,
berisik ya, Bu?”
“Bukan
masalah berisiknya. Liat aja tadi, mereka masih sehat-sehat. Ngeliat bisa,
jalan bisa. Kurang apa? Liat anak saya, biar buta tapi gak ada niatan ngamen.
Dia tetap semangat sekolah, belajar ke mana-mana. Jadi kesel rasanya,” Ibu Sang
Penulis menunjuk-nunjuk keluar rumah. Kesal.
Saya
hanya mengangguk-angguk, senyum-senyum
dan berujar, “Iya ya, Bu.”
Begituah sekilas tentang Sang Penulis dan Ibunya yang, bagi saya, so super^^!
Meski finansial tidak mendukung kehidupan mereka, tapi nasib berkata lain.
Bantuan seseorang yang membuat Sang Penulis terus sekolah hingga sekarang
membangkitkan kembali semangat yang pernah redup. Sang Penulis bisa sekolah
seperti biasa. Bahkan sekarang, Sang Penulis sekolah di sekolah biasa, bukan di
SLB.
Adalah
kepercayaan diri yang besar yang saya temukan pada diri Sang Penulis. Saya
pribadi adalah sosok yang kurang percaya diri dan malu-malu. Melihat Sang
Penulis dengan kobaran semangat dan percaya dirinya, saya seakan ditampar
takdir berkali-kali. Kurang apa saya? Sehat. Fisik lengkap. Uang ada. Dengan
kata lain, saya tinggal melaksanakan apa yang saya mau. Tapi nyatanya, nyali
saya terlalu ciut untuk mau mengembangkan segala potensi saya.
Ya,
beginilah memang manusia. Begini juga hidup.
Tak ada kesadaran jika tak ada
kebodohan. Lama saya mengurung diri dalam kebodohan diri sendiri, mal-malu
hingga ditinggal pergi kesempatan. Kini, Sang Penulis datang menyadarkan saya,
meski saya tahu Sang Penulis tak merasa melakukannya.
Sosok
Sang Penulis yang ekstrovert dan humoris, benar-benar bertolak belakang dengan.
Karena kami semakin lama kami semakin dekat dan aktivitas kami sama, di FLP
Ciputat dan Kartunet.com, alhasil, jadilah saya semakin ciut di depannya.
Kadang–tapi sepertinya sering–saya
terlalu melankolis di hadapannya. Sampai-sampai saya berkali-kali menangis
karena kagum pada dirinya. Kalau sudah begini, Sang Penulis hanya tertawa lalu
diam, jika dia tahu saya tidak berhenti menangis. -,-“
Oh iya,
ada satu lagi. Kasihan. Itulah kata yang sangat sensitif di telinga Sang
Penulis. Ingat apa yang saya tuliskan di muka? Sang Penulis pernah berkata
“Saya tidak minta dikasihani karena saya bisa seperti kalian.” Atau omelan Ibu
Sang Penulis yang nyata-nyata tak ingin anaknya mengamen atau mengemis.
Sebuah
kata kasihan memang kerap muncul di mulut teman-teman yang baru menyentuh dunia
disabilitas. Tapi tahukah kalian, teman-teman, bahwa kasihan tidaklah ada di
kamus mereka. Karena mereka, sebagaimana yang dikatakan Sang Penulis, tidak
membutuhkan belas kasihan.
Pada
satu kesempatan saya berpikir, kenyataannya bukan merekalah yang membutuhkan
belas kasih dari kita yang merasa “normal”. Justru kita yang “normal” yang
perlu dikasihani karena kadang kita tak menyadari bahwa ketidaknormalan sebenarnya
sudah merajai hati, yakni hilangnya kepekaan hati kita.
Dari
Sang Penulis, secara khusus saya belajar menghargai kemampuan diri saya
sendiri. Bahwa kemampuan bukan pada kata ‘bisa’ atau ‘tidak bisa’, kemampuan
kita ada pada kata ‘mau’ atau ‘tidak mau’. Meskipun kita bisa tapi tak mau, apa
gunanya? Ya, begitulah saya mencoba mencontoh kepercayaan diri Sang Penulis
tanpa menghilangkan sikap yang sudah ada pada diri saya.
Akhiran,
dari Sang Penulis, dari kehidupan teman-teman disabilitas lainnya, saya pribadi
belajar mengasihani diri sendiri untuk tidak berlarut-larut dalam keadaan alpa.
Untuk kesekian kalinya, tak lupa pula bersyukur, karena kelengkapan fisik yang
seharusnya kita mampu mengaktualisasikan diri. Wallahu a’alam.