- Back to Home »
- Ekspedisi Dieng , Travel and Adventure »
- Ekspedisi Negeri di Atas Awan (Bag. 1)
Posted by : Lisfatul Fatinah
26 December 2012
Bismillahirrahmanirrahim
Ratna mutu manikam, bagai mutiara yang
bertebaran. Itulah kalimat yang layak untuk Tanah Air tercinta. Indonesia, Bumi
Pertiwi tercinta ini adalah secuil
tepian surga yang dengan sengaja Allah turunkan ke bumi.
Sebuah Pengantar
Ada banyak cara untuk
mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepada kita, anak-anak Pertiwi. Pun itu
dengan banyak cara untuk mengenal dan mencitai Indonesia. Saya punya dua cara
indah yang dapat membuat saya lebih mengenal dan mencintai Indonesia. Dua cara
itu, saya sebut sebagai “dua tanjakan cinta”, yang semakin saya menanjaki
keduanya, semakin saya memahami arti dari setiap langkah yang saya tempa.
Sastra dan petualangan, inilah dua cara indah yang saya lakukan untuk belajar
mencintai Tanah Air ini.
Sastra, untaian
kata-kata indah dan bermakna sedalam samudera selalu mampu menghipnotis saya.
Ia dapat membawa saya pada ranah imajinasi senyata mungkin, membayangkan
hamparan tanah dan lautan yang Allah ciptakan sebagai tempat saya berpijak,
mahacantiknya Indonesia.
Petualangan,
serangkaian perjalanan luar biasa dari langkah-langkah kecil dengan kemauan
besar. Berkunjung ke museum, ke hutan-hutan di kaki gunung, hiking ke bukit,
pendakian ke gunung-gunung gagah dengan ribuan mdpl (meter di atas permukaan
laut), dan membelah lautan adalah jejak-jejak “nekad” yang selalu memberikan
kejutan tak terduga di setiap persimpangan jalan.
Petualangan, bagi
saya, ke mana pun itu selalu memberikan kenangan luar biasa berkuadrat tak terhingga.
Karena setiap perjalanan selalu memberikan saya sebuah pelajaran baru tentang
arti sebuah persaudaraan, kehidupan, mimpi, dan perjuangan.
Sehubungan dengan cara
kedua, satu punya satu cerita yang ingin saya bagi kepada teman-teman semua
tentang sebuah perjalanan luar biasa yang saya lakukan satu bulan lalu.
Ekspedisi Negeri di
Atas Awan, begitulah saya menyebut petualangan ini. Ekspedisi ini saya lakukan
bersama dengan tujuh manusia yang tak kalah anehnya dengan saya. Mereka
adalah empat teman super unik dari
Kompas Khatulistiwa dan tiga sahabat saya yang super ajaib.
Kak Firdha. She is the unic AB. Teman facebook yang
bertemu di KOPAJA (Komunitas Peduli Anak Jalanan) ini bergolongan darah AB.
Wanita bergaya pakaian amat sangat feminin ini ternyata juga penikmat
travelling.
Ajeng. Mahasiswi Komunikasi UI yang seumuran dengan
saya, selain feminin dan paling lembut di antara wanita aneh yang ada di antara
kami, Ajeng juga selalu yang paling lebar senyumnya setiap bernarsis ria di
depan kamera.
Sari. Mahasiswi Komunikasi UI, teman sekelasnya
Ajeng. Meski jarang ngobrol dengan Sari, saya suka logatnya yang sangat
Sumatera. Sangat senang juga saat keturunan Aceh ini bercertita tentang kampung
halamannya.
Rizki. He is The Master. Bukan The Master Magician, tapi masternya travelling
di antara kami. Semua itu tidak luput dari latar belakang Rizki yang seorang
mahasiswa Arkeologi UI dan punya antusiasme tinggi untuk memperkenalkan
kekayaan alam Indonesia kepada pemuda-pemuda Indonesia.
Mbah Lina. Siapa lagi kalau bukan salah satu sahabat saya
yang ngomporin saya untuk ikut ke ekspedisi ini. Padahal saat itu keuangan
saya sedang kritis. Tapi kalau sudah sama dia, tenang saja, tidak usah takut
kekurangan ongkos. Kan Si Mbah bos Kami. Hehe.
Erny. Ini kembaran saya, kata orang-orang. Satu
spesies dengan saya, hijabers dan bergamis tapi interest dengan kegiatan
yang memicu adrenalin. Hijabers yang suka ngetrek ini sahabat saya,
sahabatnya Mbah Lina juga.
Terakhir, Kakek
Tiro. Kakek-kakek yang selalu mengaku masih muda ini adalah kakek saya,
Mbah Lina, dan Erny. Kakeklah yang akan melindungi kami selaku cucu-cucunya
selama ekspedisi ini. Kakek juga yang bertugas mengobati penyakit narsis kami
dengan kameranya. Selama ekspedisi, kakek adalah fotografer terbaik sedunia.
Secara, hanya kakek yang mau memotret rombongan kami.
Jumat 15 November
2012, Terminal Lebak Bulus
Schedule yang saya terima sebelum malam keberangkatan
memberitahukan bahwa pukul 14.00 kami akan berangkat ke Wonosobo dari Terminal
Lebak Bulus. Jadi, saya mem-planning harus tiba di Lebak Bulus maksimal
pukul 13.30. Ternyata, kondisi lalu lintas Jakarta-Ciputat hari itu sangat
mendukung saya. Pukul 12.05 saya berangkat dari Tanah Abang menuju Lebak Bulus
dengan bantuan Metro Mini 102 dan tiba di Lebak Bulus pukul 13.15.
Hujan. Lagi-lagi,
setiap ingin bepergian jauh, hujan selalu mengantarkan saya. Seakan hujan
hendak berkata, “Semoga berkah perjalananmu, wahai makhluk yang disayangi Allah.”
Pukul 13.15 saya
berdiri sendirian di depan warung-warung yang berjejer sepanjang terminal.
Kakek dan sua sahabat saya ternyata masih membeli sejumlah bekal di mini market
daerah Ciputat. Jadi, sambil menikmati denting air yang jatuh dan beradu dengan
keramaian terminal, saya menunggu mereka di pinggir jalan.
Pukul 13.45. Tiga
orang super rempong itu belum juga datang. Mereka terjebak macet di
lampu merah Point Square. Ternyata mereka naik taksi dari Ciputat. Padahal
kalau naik angkot dan turun di pasar Jumat, lalu jalan kaki tiga menit ke Lebak
Buluk itu jauh lebih cepat. Eh, namanya juga super rempong, pasti yang
dipilih yang rempong-rempong. #eh
Pukul 13.50 saya
menelepon Kak Firdha yang berdasarkan kabar dari Kakek sudah tiba di bus.
Alhasil, saya memutuskan masuk terminal dan meninggalkan tiga orang yang sedang
terjebak macet itu. Pukul 14.00 setelah dijemput oleh Rizki, saya tiba di bus.
Di bus sudah ada Ajeng, Sari, dan Kak Firdha. Kami berbincang sedikit, hingga
tiga orang rempong dari Ciputat datang lima belas menit kemudian.
Eng ing eng. Sudah jam
14.15 tapi bus belum juga berangkat. Tiba-tiba Rizki yang sempat menghilang
datang dan bilang, “Kami jalan jam 5 ya.”
“Kok jam 5? Lama
amat?” satu per satu dari kami kaget dan langsung protes.
“Kata sopirnya juga
jalan jam 5. Kan busnya belum isi,” kata Rizki sambil membetulkan rambut
gondrongnya. Mendengar kabar itu semuanya kompak memasang wajah bete sambil
berpikir apa yang akan Kami lakukan selama hampir dua jam menunggu? Baca novel?
Ngeliatin orang? Melongo ke jendela? Atau tidur?
It’s Time to Go!
Dieng, We are Coming!
Pukul 17.00 datang
juga. Roda bus Jakarta-Wonosobo yang kami tumpangi akhirnya berputar membawa
kami, delapan anak kota yang tak sabar ingin melihat sunrise dari balik Dataran
Tinggi Dieng.
Sepanjang perjalanan,
kami berbincang satu sama lain. Berhubung saya, Erny, dan Kak Firdha duduk
dalam satu bangku, jadi selama perjalanan kami asik membicarakan masa depan
KOPAJA hingga mata kami sama-sama terpejam. SeKamir pukul 20.00 bus yang kami
naiki tiba di rumah makan, tempat singgah untuk shalat, buang air, dan membeli
makan malam.
Bus melaju lagi. Perut
sudah kenyang, muka sudah segar karena air wudhu, tapi mata tetap minta untuk
dipejamkan. Alhasil, saya tidur. Sementara di samping saya, Erny, masih asik
baca novel dengan penerangan seadanya dari senter yang dibawa.
Sabtu, 16 November 2012
Selamat Pagi, Wonosobo! Selamat Pagi, Sunrise Dieng!
Sebelum matahari
Wonosono terbit, mata kami perlahan terjaga. Meski kami tidak janjian untuk
bangun di jam yang sama, uniknya kami bangun di jam yang hampir sama –sepertinya
setiap perjalanan memang selalu mengikat hubungan antarpelaku perjalanan. Pukul
4.15 waktu Wonosobo kami turun di Plasa, sebuah pertigaan jalan yang dihiasi
sebuah tugu besar yang ada di tengah taman.
Di Plasa, Wonosobo
Setelah bernarsis ria
beberapa jepretan, kami melanjutkan perjalanan dengan sebuah mini bus ke arah
Dieng. Di mini bus ini, penampilan penduduk setempat terlihat sangat berbeda
dari kami. Mereka menggunakan jaket, penutup kepala, dan syal yang terlilit di
leher mereka.
“Di atas nanti dingin.
Pipi penduduk aslinya malah sampai pada merah-merah karena kedinginan,” Rizki
yang menjadi orang serba tahu memberikan informasi. Kami yang tidak tahu
apa-apa kompak berkoor O-.
Mini bus subuh itu
penuh dengan pemuda-pemudi dengan tas-tas besar. Kami dan seluruh penumpang
mini bus ini satu tujuan. Kami sama-sama back packer yang hendak melancong
ke Dieng, menikmati mahakarya Allah di Negeri di Atas Awan.
Oh iya, di dalam mini
bus ini, amat sangat rugi kalau tidur. Kenapa? Karena dari balik kaca mini bus
terhampar pemandangan luar biasa langka yang tidak akan bisa ditemukan di
Jakarta. Tebing-tebing batu coklat muda
dan kuning gading berdiri tegap bersisian dengan rumah-rumah warga dan disinari
sercahan cahaya matahari yang baru terbangun. Subhanallah, mahaindah ^_^
Muka kucel saat di mini bus menuju Dieng
Kurang lebih pukul
5.20 kami tiba di Dieng. Kami mencari masjid terdekat untuk salat Subuh. Di
Masjid Baiturrahmah ini kami beristirahat untuk pertama kalinya. Di sini kami
juga bertemu dengan back packer lainnya yang semuanya pria. Nah, di
sinilah uniknya, kami sesama back packer selalu bertegur sapa, yang lelaki
saling berjabat tangan, berkenalan, dan menanyakan asal masing-masing. Setiap
travelling, pasti momen seperti ini selalu terjadi. Kami, sesama treveller
atau back packer serasa seperti keluarga yang disatukan oleh alam :)
Bbrrrr. Berwudu di masjid
Baiturrahmah serasa tidak menggunakan air, tapi es. Airnya sangat dingin,
bahkan lebih dingin dari air di Ciater saat Subuh. Tapi, rasa dingin ini serasa
hilang ketika mata ini mengintip ke balik pagar dan memutar pandangan,
menikmati hamparan ladang sayur mayur yang bersebelahan dengan masjid.
Selesai salat, kami
sarapan seadanya dengan bekal yang masih ada di ransel. Eits, seperti biasa, di
setiap persinggahan adalah wajib mengabadikan momennya. So, sebelum
keluar dari masjid inilah kali pertama kami mengabadikan ekspedisi ini.
Indahnya masjid Baiturrahmah di tengah bukit-bukit Dieng
Selepas dari masjid,
kami tidak langsung ke penginapan, tapi langsung ke tempat penuh kejutan yang
pertama, Telaga Warna. Perjalanan menuju Telaga Warna kurang lebih 3 Km. Dengan
ransel yang masih menggantung di pundak, kami berjalan beriringan sambil
menikmati hamparan pemandangan yang mahadahsyat.
(bersambung…,)
wahahaha... Keren Lis... Ini bakal sampe episode berapa? Baru di Masjid... Lengkap banget dah ah... Ditunggu lanjutannya...
ReplyDeleteMembacanya membuat saya ikut berpacu, menantang episode berikutnya yang pasti jauh lebih seru..
ReplyDeleteSemangat lisfaa... :)
Lengkap dong. Aku kan B, perfeksionis dan terinci :D
ReplyDeleteSampe episode 4 atau 5, Er. Punya kamu udah selesai? Aku belum baca lagi.
Numaaaaaaa. How are you, Sis? Ayo berpetualan bareng :)
seruuuuuuu
ReplyDeleteKak Euis, kapan-kapan teman-teman Nurani ngebolang kayak gini yuk. Ini wisata hati loh, bukan sekadar jalan-jalan :)
ReplyDelete