- Back to Home »
- Ibu Lisfah dan Murid Istimewa , Trip Teach and Shared »
- Trip Teach and Shared: Selamat Datang Ibu Bapak!
Posted by : Fatinah Munir
19 March 2015
Pagi, Tanjung
Sari!
Matahari masih malu-malu saat mata kami terbuka untuk
memulai hari di tempat baru. Satu satu di antara kami memulai hari dengan ibadah,
beberapa mandi dan beberapa tidak. Yang tidak mandi itu salah satunya adalah
aku. Hihihi.
Sejak pukul
5.30 WIB istri Pak Apang, warga yang rumahnya berhadapan dengan TK, sudah
menyiapkan sebaskom nasi goreng lengkap dengan telur matasapi dan kecap di meja
depan rumahnya. Kami memang memesan sarapan kepada beliau, karena dengan barang
bawaan yang banyak dan jarak yang jauh,kami tidak mungkin hanya memakan roti
atau sereal.
Melihat
teman-teman masih sibuk mengantre di toilet, aku berpikir mungkin pukul 6.00
WIB kami baru bisa makan bersama. Sehingga setidaknya paling lambat pukul 7.00
WIB kami sudah bisa mulai naik. Tapi nyata tidak. Hiks. Setengah jam berlalu,
teman-teman masih ada yang mengantre di kamar mandi. Beberapa teman-teman
lelaki juga tampak masih tidur di dalam mushalah. Ah, telat telat telat!
Pikiranku tetap tertuju pada itinerary yang sudah kususun dan mungkin karena
tidak tenang memikirkan acara ini, aku tidak bernafsu makan.
Pukul 7.00
WIB, akhirnya seluruh teman sudah selesai makan. Kami semua masuk ke dalam
mushalah untuk membagi barang bawaan yang begitu banyak sekaligus repacking bawaan kami masing-masing. Di
luar dugaanku, ternyata untuk mengatur barang bawaan yang banyak ini
membutuhkan waktu yang tidak sebentar :( maka habis sudah satu jam di dalam
mushalah untuk repacking seluruh
barang bawaan tim.
Lewat dari
pukul 8.00 WIB, kami selesai repacking.
Kami saling bertukar tas, sesuai dengan kemampuan fisik kami. Saat itu aku
memilih membawa tas Kak Tiwi yang berisi banyak logistik dan tasku yang jauh
lebih kecil dibawa olehnya.
Kami keluar mushalah. Sambil menunggu yang
lainnya keluar, aku duduk di depan mushalah. Beberapa saat kemudian Mas Wadi
keluar dari mushalah dan duduk di sampingku, berjarak kurang lebih tiga puluh
senti.
“Lisfah.
Ngomong!” ucap Yudith yang berdiri di depanku sambil memberi kode dengan
matanya.
“Hah?” aku
melirik ke kanan dan melihat sosok Mas Wadi. “Takut, Dith. Gimana ya
ngomongnya. Gak enak ih. Um, nanti aja deh, jangan pas ada banyak orang.”
“Oh yaudah.”
Yudith mengiyakan. Duuuh, betapa tidak sopannya aku dan Yudith saat itu
membicarakan orang di depan orangnya langsung. Saat itu aku bertanya-tanya
apakah Mas Wadi memahami pembicaraan kami atau tidak. Semoga tidak ya. Hehehe.
***
Yudith
menginstruksikan semuanya untuk berkumpul di depan mushalah. Setelah berdoa,
kami berjalan ke Timur. Melangkahkan kaki setapak demi setapak untuk bertemu
anak-anak Cibuyutan! :)
Pembuka
perjalanan kami menuju Cibuyutan berupa jalanan bebatuan pipih yang menurun.
Lima ratus meter kurang lebih jaraknya. Kami masih bergerombol di awal
perjalanan ini.
Aku memegang
buku kecil dan membaca ulang itinerary
yang tertulis di dalamnya. Seharusnya sebelum berangkat tadi aku mem-briefing teman-teman terkait tugas
masing-masing saat tiba di Cibuyutan. Tapi karena waktu yang ada telah habis
untuk repacking, maka sambil berjalan
aku menghampiri satu per satu orang yang akan kumintai bantuan selama acara.
Saat aku berbincang dengan Minka tentang apa saja yang akan kami lakukan,
tetiba Yudith menghampiri.
“Lisfah,
udah ngomong?” tanya Yudith mengagetkanku yang sedang asik ngobrol.
“Eh iya!”
mataku mencari sosok yang sedang kami maksud. Ternyata Mas Wadi sedang berjalan
di depan bersama Babeh, tepatnya di bagian paling depan yang berjarak cukup
jauh dariku. “Yuk samperin! Tapi ngomongnya kalau dia lagi sendirian ya, Dith.”
Aku dan
Yudith berjalan lebih cepat, mengejar langkah yang lainnya untuk menyusul Mas
Wadi dan Babeh. Saat sudah nyaris berjalan di paling depan, kami memperlambat
langkah. Menunggu Babeh berjalan terpisah dengan Mas Wadi.
“Mas Wadi, ada yang mau ngomong,” kata Yudith to
the point.
“Hehg?” aku
terkejut mendengar betapa Yudith berbicara tanpa basa-basi. “Um, iya, Mas.
Tentang penyuluhan, mau minta maaf.”
“Hah? Ya?
Oh, itu. Kenapa? Gak bawa ya? Gak apa-apa kok. Santai aja,” jawaban Mas Wadi
lebih mengejutkanku. Kok Mas Wadi tahu? Jangan-jangan Mas Wadi paham saat tadi
aku dan Yudith ngobrol di depannya. Duh malu!
“Hehehe,
iya. Maafin ya, Mas. Gak enak banget sama Mas Wadi,” aku memasang wajah melas.
“Iya, iya,
gak apa-apa,” Mas Wadi menegaskan.
“Makasih ya,
Mas!” aku dan Yudith menyahut hampir berbarengan. Sebenarnya aku sedikit
bingung.
Tanpa kami
sadari, hampir 500 meter kami berjalan dan kami tiba di sebuah pertigaan yang
arah kirinya membawa kami ke Cibuyutan. Saat yang lain meneruskan perjalanan,
aku memilih duduk saja bersama Rahma, Minka, dan Kak Sari. Aku menunggu yang
lainnya, terutama teman-teman yang lelaki. Aku ingin bertukar tas, karena aku merasa
tidak kuat membawa tas Kak Tiwi yang penuh dengan logistik.
“Mas, mau
tukeran tas dong!” aku berseru padaMas Awal yang muncul pertama kali.
“Oh, tuker?
Sama siapa?” tanya Mas Awal. Bersamaan dengan itu Mas Wadi muncul.
“Mas Wadi,
aku boleh tukeran tasnya? Ini berat banget. Gak kuat,” pintaku.
“Tuker? Oh.
Boleh boleh,” Mas Wadi menghampiriku yang duduk di tangga sebuah bangunan. Kami
bertukar tas dibantu Mas Awal.
“Ini
enteng!” aku berseru spontan saat tas Mbak Aby yang dibawa Mas Wadi berpindah
ke pundakku.
“Luar biasa!
Yang seperti ini enteng!” kata Mas Wadi dan Mas Awal senada.
“Bukan gitu,
Mas. Maksudnya ini lebih enteng daripada tas yang aku bawa sebelumnya,” aku
meralat ucapanku.
Setelah bertukar
tas, aku dan yang lainnya meneruskan perjalanan. Hingga kami bertemu dengan yang lainnya pada sebuah jembatan yang berdekatan dengan warung kecil. Beberapa
teman yang sudah tiba lebih awal tampak sedang menikmati pemandangan berupa
hamparan sawah yang menghijau, bebatuan besar yang membentuk formasi
mengagumkan di sungai yang ada di bawah jembatan. Aku meletakkan tas di kursi
bamboo yang ada di depan warung dan bergabung dengan yang lainnya untuk
berfoto. Yang lainnya tampak ada yang duduk-duduk saja, ada yang menyanntap
camilan di warung seperti yang dilakukan Pak Madinah, bahkan Mbak Nina
menyempatkan diri untuk turun ke sungai dan duduk di atas batu yang paling
besar.
Kurang lebih
sepuluh menit kami berhenti, kemudian kami melanjutkan perjalanan.
Sebuah bukit
tampak jauh di depan kami, kata Kak Solihun, Cibuyutan ada di balik bukit itu.
Aku benar-benar lupa dengan jalur dan seberapa jauh kami harus berjalan. Entah
mungkin karena tiga tahun lalu aku sibuk menikmati pemandangan dan tidak
memperhatikan jauhnya jarak yang kutempuh.
Hamparan
sawah, barisan pepohonan, semak-semak, satu dua wanita dan lelaki tua yang
berpapasan, hingga sapi-sapi dengan gemerincing lonceng yang tergantung di
leher menjadi pemandangan kami selama perjalanan. Di tengah perjalanan ini aku
kembali bertukar tas dengan Mas Awan mulai merasa sangat lelah. Apalagi
matahari kian merangkak ke tengan langit, menunjukkan sinarnya yang menyengat
tubuh.
Nyaris pukul
11.00 WIB, aku menghentikan langkah. Bergabung bersama beberapa teman yang sudah
lebih dahulu beristirahat di antara rerumputan dan semak-semak. Kami memutuskan
berkumpul di tempat ini, karena menurut Kak Solihun, Cibuyutan sudah dekat.
Kurang lebih 10 menit lagi, katanya menambahkan.
Di tempat
pemberhentian ini kami saling melempar canda, ejekan, dan tawa bersama. Membaur
dengan sendirinya di tengah lelah yang menggelantung di pundak. Beberapa di
antara kami memang sudah saling kenal, tapi banyak juga yang baru kami kenal di
perjalanan ini, tapi semua itu tidak menghalangi kami untuk bisa berbaur.
Misalnya saja Mbak Nina yang datang dari Cilegon. Kepolosannya membuat kami
tertawa hingga sakit perut. Apalagi saat Mbak Nina mempraktikkan cara membuka
buah kecapi dengan gigi. Kepribadiannya yang apa adanya selalu membuatku
tertarik untuk menyimak setiap ucapannya. Hehehe :D
Cukup lama
kami sudah beristirahat, sekitar setengah jam kalau tidak salah. Kami
memutuskan melanjutkan perjalanan. Sebagian mempercepat langkah agar semakin
lekas sampai. Aku berjalan agak lambat karena kepala yang pusing dan perut yang
kurang nyaman. Mungkin karena tadi pagi aku belum sarapan.
Selamat Datang
Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak!
Lima belas
menit sejak kami meninggalkan tempat beristirahat tadi, tampak sebuah bangunan
merah muda dengan jejeran rumah-rumah kayu di kejauhannya.
“Sampai!
Kita sampai! Alhamdulillah!” aku berseru kencang. Semakin dekat aku ke banguan
merah muda itu, semakin tampak beberapa teman sudah duduk asik melepas lelah
setelah terbakar matahari selama perjalanan.
“Alhamdulillah!”
yang lainnya menyusul berseru.
Di dalam
salah satu ruangan bangunan sekolah terlihat Kak Ihsan, seniorku yang
mencetuskan ide membina Desa Cibuyutan. Ada juga Pak Mista, sesepuh Cibuyutan
yang wajahnya sudah kukenal tiga tahun lalu. Lalu ada Pak Idris, kepala sekolah
sekaligus guru di sekolah Cibuyutan.
Saat
mendengar Pak Mista mengucapkan ‘ibu-ibu dan bapak-bapak’, keningku berkerut.
Ingin mengintrupsi bahwa kami belum menikah dan rata-rata masih berstatus
mahasiswa. Tapi Kak Ihsan yang melihat ekspresi wajahku langsung tersenyum dan
mengarahkan telapak tangannya kepadaku seolah tahu apa yang ingin aku lakukan dan
dia menghentikannya sebelum aku memulai. Maka, aku diam dan hanya mendengarkan
Pak Mista dan Pak Idris berbicara bergantian.
“Jadi,
teman-teman, usia seperti kita ini kalau di sini sudah jadi ibu-ibu dan
bapak-bapak. Makanya Pak Mista dan Pak Idris memanggilkan kita ibu-ibu dan
bapak-bapak, bukan kakak-kakak. Iya kan ya, Pak?” Kak Ihsan menjelaskan tanpa
dipinta. Aku hanya cengar-cengir malu atas apa yang sudah aku pikirkan
sebelumya. Kulihat Pak Mista dan Pak Idris mengangguk, mengiyakan apa yang
diucapkan Kak Ihsan.
“Anak-anak
mulai jam 1 siang ya, Lis. Sekarang dibagi-bagi aja tugasnya,” kata Kak Ihsan
sebelum aku mem-briefing teman-teman.
Aku hanya mengangguk. Bukan karena aku paham, tapi karena hanya mengiyakan di
tengah kebingunganku.
Briefing dilakukan dengan sangat
singkat. Semuanya merapikan barang bawaan dan pindah ke rumah warga yang akan
kami tumpangi. Kami terbagi ke dalam empat rumah dengan tiga rumah untuk wanita
dan satu rumah untuk lelaki.
Sejujurnya
saat itu aku benar-benar panik, bingung harus memulai dari mana. Semua itu
karena jadwal kami yang molor. Aku menjadwalkan pukul 13.00 WIB untuk Teaching Class, sedangkan realitanya di
jam itu kami baru mau mulai. Aku memilih beristirahat sebentar di rumah Bu
Rani, ibu beranak dua yang kami tumpangi rumahnya. Bersama Klara, aku membuat jadwal acara yang
baru hingga sore nanti serta mematangkan konsep outbond yang rencananya akan dilakukan sore selepas ashar.
Setelah
cukup tenang dan letih sudah berkurang, aku dan Klara memilih kembali ke sekolah
dan mempersiapkan acara di rumah guru. Dari ruang sebelah terdengar suara
anak-anak bernyanyi dibimbing Kak Ihsan. Mereka terdengar sangat kompak. Satu
dua celotehan dari mereka yang sangat menggemaskan, membuatku sedikit relaks.
Setelah
shalat Zuhur dan baru saja kembali berkutat dengan perlengkapan acara, tetiba
Kak Ihsan masuk ke dalam ruangan.
“Mau dimulai
kapan, Lis? Ini udah jam 1 loh! Anak-anak udah siap dari tadi. Teman-temannya
yang di acara diarahin dong buat segera mulai,” ucapan Kak Ihsan menyerbuku.
Aku terdiam
beberapa saat hingga akhirnya aku hanya menyahut, “Hehg? Hu’um. Iya, Kak.”
Mukaku
tertekuk saat itu, bingung harus melakukan apa. Sejak tadi kembali lagi ke
sekolah, teman-teman masih banyak yang belum datang. Melihat ketegasan Kak
Ihsan dalam waktu dan kekurangsiapan diriku, saat itu rasanya aku ingin
menangis saja. Tapi aku pikir menangis pun tidak ada gunanya dna tidak akan
memperbaikin keadaan.
Aku keluar,
mencari beberapa teman yang aku butuhkan untuk mengisi acara. Beruntungnya Vany
yang tadi saat aku kembali ke sekolah masih tidur-tiduran, kini tampak sudah
berdiri di ruangan. Aku langsung memintanya untuk masuk ke dalam ruangan dan
membuka acara dengan perkenalan. Yang kuingat, saat itu Vany ditemani Mas Awal,
Dhika, dan Mas Awan.
Satu satu
teman yang lain muncul. Aku meminta beberapa teman yang bertugas menjadi
pendamping kelompok anak-anak untuk stand by di depan kelas. Sedangkan aku
melanjutkan menyiapkan perlengkapan outbond.
Aku terus
berkutat dengan persiapan acara di dalam ruang guru ditemani beberapa teman
yang memang sedang tidak melakukan apapun. Di luar ruangan terdengar suara
Klara yang sedang memandu game anak-anak. Sebenarnya aku mau bergabung, ikut
bermain dengan anak-anak. Tapi itu mustahil. Hiks. Sedihnyaaa T_T
Akhirnya aku
tetap berkutat dengan persiapan perlengkapan acara dibantu Kak Sari, Babeh, Dhika
dan Vany yang merapikan bingkisan untuk anak-anak. Di luar, suasana sudah
berubah. Anak-anak sudah terbagi menjadi kelompok-kelompok kecil didampingi
kakak-kakaknya. Mereka sibuk menentukan nama kelompok dan membuat yel-yel. Oh,
serunyaaaa tapi tetap saja aku tidak bisa gabung. Huhuhu T_T
Teaching Class pn tiba. Kelas 5 dan 6 dipegang Mas Wadi yang hendak mengajarkan keterampilan dokter kecil. Kelas 3 dan 4 dipengang oleh Mbak Aby dan Vany yang akan mengajarkan Bahasa Inggris. Aku dan Farah mengajar menggambar di kelas 1 dan 2.
Di kelasku
dan Farah, ada 11 anak dengan 5 anak kelas 2 dan 6 anak kelas 1. Semuanya duduk
rapi sambil menunjukkan wajah-wajah polos mereka yang selalu menggemaskan. Dengan
sebuah kapur di tangan, aku menulis namaku besar-besar di papan tulis untuk
memperkenalkan diri.
Kemudian,
dilanjutkan dengan mengajak anak-anak berimajinasi dengan coretan-coretan yang
kubuat di papan tulis dan membuat ikan-ikan dari coretan-coretan tersebut.
Wajah anak-anak tampak sangat antusias untuk menemukan gambar ikan di balik
coretan jelek yang kubuat. Bahkan beberapa teman yang menyaksikkan aku mengajar
pun ikut mencari gambar ikan dalam coretan yang kubuat.
Yang paling
membuatku senang adalah saat setiap anak berebut maju untuk menggambar ikan di
dalam coreta yang kubuat. Beberapa malah harus digendong untuk meraih gambar
ikan yang terletak di bagian atas papan tulis. Bagi seorang guru, manalah lagi
yang lebih menyenangkan hati jika bukan saat melihat anak-anaknya belajar
seperti tidak merasa belajar, belajar dengan tertawa, antusias, dan
menyenangkan. Di sini, aku merasakan benar-benar menjadi guru dibandingkan
sebelumnya :)
Ada satu
anak yang paling menonjol di kelasku dan Farah. Namanya Intan, gadis kecil
dengan rambut lurus sepundak. Setiap kali ditantang untuk maju ke depan, Intan
selalu mengacungkan tangan lebih cepat dari teman-temannya. Bahkan sesekali
dirinya langsung maju ke depan. Sayangnya, Intan tampak seperti anak yang tidak
terbiasa berbicara. Saat maju ke depan tanpa diintruksi, Intan langsung
mengambil kapur di tanganku tanpa izin. Bahkan saat berganti aktivitas
menjiplak bebek dengan tangan, Intan langsung menarik spidol yang ada di tangan
Farah.
Saat itu
Klara yang mengamati kami mengajar langsung memberi kode kepadaku untuk melihat
ke arah Intan. Melihat Intan mengambil spidol yang ada di tangan Farah tanpa
izin, aku mengambil spidol itu kembali sambil berkata, “Tidak langsung diambil
ya, Sayang. Coba bilang ‘kakak, aku mau pinjam spidolnya ya’.”
Intan
mengulang apa yang sudah kucontohkan. Dia kembali berkumpul dengan anak-anak
yang lainnya, melanjutkan menjiplak bebek dengan kedua tangannya yang belepotan
dengan cat dan memberi gambar pada karyanya menggunakan spidol yang baru saja
dipinjamnya dari Farah.
***
Selesai Teaching Class, giliran ibu-ibu belajar membaca dan menulis bersama Inta dan Nengsri. Anak-anak kembali
bergabung menjadi kelompok besar, bermain bersama kakak-kakak pendampingnya dan
juga Vany tentunya.
Yang
lainnya, termasuk aku mempersiapkan makan sore bersama. Seharusnya ini adalah
makan siang, tapi karena kami tiba telat di Cibuyutan, jadilah ini makan sore.
Maka sejak tiba di Cibuyutan kami belum mengisi perut, tapi lapar menjadi
hilang begitu saja saat pikiran hanya tertuju pada acara.
Waktu berlaju
menuju pukul 15.30 WIB sore saat kami hendak makan. Seharusnya kami sedang
siap-siap untuk memulai outbond tapi
ini kami malah baru akan makan. Lalu kapan outbond
dimulai? tanyaku pada diri sendiri. Maka 15 menit kemudian, aku bilang ke Klara
untuk memberitahukan ke anak-anak untuk berkumpyl kembali pukul 16.30 WIB untuk outbond.
Jam tangan
Mbak Pupun menunjukkan pukul 16.15 WIB, tapi tidak ada tanda-tanda kedatangan
anak-anak. Aku berbicara pada Yudith, meminta sarannya apakah outbond tetap
diadakan sore itu juga atau tidak. Yudith bilang kalau outbond dilakukan besok
saja, apalagi langit sudah mulai gelap. Well, akhirnya aku kembali ke rumah,
mengambil senter dan siap-siap ke menuju salah satu rumah yang ingin aku kunjungi.
Anak Setan
“Kak Ihsan
gak apa-apa nganterin” tanyaku padanya yang sedang mengecek sekolah dan hendak
mengunci seluruh ruangan.
“Gak
apa-apa. Kita ke rumahnya aja. Biasanya saya lihat anaknya main sih,” jawab Kak
Ihsan.
“Oh gitu.
Okay!” kataku sambil membuntuti Kak Ihsan.
Aku mengajak
Yudith dan Klara ke rumah yang hendak aku sambangi. Sebuah rumah yang cukup
besar dibandingkan rumah-rumah lainnya yang berada di bawah sekolah. Bagian
depan rumah tersebut dijadikan warung dengan sebuah meja dan bangku panjang
yang bisa diduduki tiga orang.
“Assalamualaikum.
Ibu, ini ada ibu guru dari Jakarta mau
ketemu,” Kak Ihsan memberi salam kepada seorang ibu yang sedang di dalam
warung.
Saat itu
pula ibu tersebut keluar warung, lalu seorang bapak muncul dari samping rumah. Keduanya
menjabat tangan kami. Kak Ihsan mengulang maksud kami menggunakan bahasa Sunda.
Lalu suami istri di depan kami mengatakan anak yang kami cari sedang pergi
bermain di atas, bersama beberapa anak lainnya. Aku, Klara, dan Yudith diantar
Kak Ihsan mencari anak yang ingin kami temui.
Rohni
namanya. Seorang anak yang tiga tahun lalu kutemui di Cibuyutan ini. Dulu, pada sore hari setelah aku dan
yang lainnya selesai mengerjakan tugas di desa ini, tetiba seorang teman
menghampiriku dengan tergesa-gesa.
“Kak Lis! Kak
Lis!” katanya sambil berlari masuk ke rumah yang kami tumpangi bersama, -sama
seperti Klara, temanku yang satu ini pun memanggilku kakak meskipun kami satu
angkatan dan aku lebih suka langsung dipanggil nama.
“Kenapa,
Nuy?” tanyaku yang saat itu sedang berbincang dengan teman lainnya.
“Aku kan
dapat tugas ngedata warga. Di sana itu pas tadi ngedata ada anak DS,” jawabnya
dengan napas tersenggal.
“Kamu yakin
dia DS? Liat langsung anaknya?” aku terkejut dan mengklarifikasi lagi pesannya.
“Bener, Kak!
Aku liat sendiri. Ayo aku antar sekarang!” Nuy menarik tanganku.
Aku menolak
ajakan Nuy. Bukan karena tidak mau, tapi karena sore itu sampai malam nanti aku
masih mempunyai tugas di mushalah desa. Akhirnya aku hanya mendengarkan cerita
Nuy tentang anak DS yang ditemuinya.
DS adalah
singkatan dari Down Syndrome, salah satu syndrome pada anak yang menyebabkan
kondisi fisik anak tersebut berbeda dengan yang lainnya bahkan sangat mudah
dikenali oleh orang awam sekalipun, dominan kasus anak DS disertai dengan IQ di
bawah rata-rata yang menyebabkan anak mengalami mental retarded. DS kadang disebut Mongolia Syndrome atau Sindrome
Kembar Sedunia karena wajah anak DS menyerupai orang Mongol dan wajah anak DS
di seluruh dunia ini nyaris serupa. Lidah anak DS lebih pendek dan lebih tebal
dari lidah manusia pada umumnya. Jemari anak DS juga pendek-pendek dengan
telapak tangan yang kasar.
Sedikit yang
aku tahu, DS disebabkan kelebihan kromosom pada anak yang konon hal ini
bersifat genetik. Selebihnya aku kurang tahu, sebab sebagai guru pendidikan
khusus aku tidak dituntut untuk mengetahui secara detail tentang penyebab
kelainan pada anak, aku fokus pada perkembangan anak. Termasuk saat bertemu
Rohni, tujuanku kali ini ingin bermain dengannya, melihat perkembangannya, dan
berbincang banyak hal dengan orang tua Rohni tentang masa depan Rohni ke depan.
Beberapa
menit kami berkeliling di sekitar rumah rumah Rohni, mencari keberadaannya.
Beberapa anak yang kami temui bilang kalau Rohni ada di atas, di rumah salah seorang
warga. Saat memasuki pekarangan umah warga yang dimaksud, aku melihat sesosok
anak lelaki yang sedang bermain dengan dua anak perempuan. Itu Rohni, kataku
senang.
“Punten, Bu.
Ada Rohni?” tanya Kak Ihsan pada salah satu wanita paruh baya yang sedang duduk
di bangku yang ada di depan rumah.
“Rohni? Itu
Rohni! Niiii, dicari ibu bapak guru itu!” teriak wanita lain yang ada di
pekarangan.
Mendengar teriakan
itu, Rohni berlari ke arah kami smabil berteriak, “Aaaaaaaaah!”
Klara dan
Yudith yang ada di sampingku langsung tertawa, aku membungkuk sambil
membentangkan tangan. Rohni memeluk, meski hanya memeluk pinggangku. Lalu
bergantian memeluk yang lainnya.
“Salim, Ni,
salim!” seru ibu-ibu yang ada di dekat kami.
Kami
mengucapkan salam berbarengan, Rohni menjawab salam dengan speech yang lucu dan
mencium satu satu tangan kami. Kami semua tertawa. Aku mengacak-acak rambutnya
yang tipis.
“Rohni, ini
ibu guru dari Jakarta mau maen sama Rohni!” kata Kak Ihsan dari kejauhan. Dia
tetap berdiri di tempatnya sejak kami memasuki pekarangan rumah ini.
“Bu Gulu!
Aaaaaaaah!” kata Rohni sambil menunjuk kami dan tertawa. Lalu matanya beralih
ke sebuah kantung yang kubawa. Tangannya menunjuk kantung tersebut dan bertanya
denganku menggunakan ekspresinya.
“Ini kado
buat Rohni. Buat belajar,” kataku sambil membuka kantung plastik yang di dalamnya terdapat
hadiah yang sengaja kusiapkan untuknya.
“Ka…, Kaaa!”
katanya.
“Tidak.
Tidak. Dibukanya tidak sekarang. Kita ke rumah Rohni dulu ya, baru buka kadonya,”
Klara mengambil alih. Yudith hanya menyaksikan kami. Mungkin Yudith sedikit
bingung harus bersikap seperti apa pada Rohni, karena Rohni terlihat berbeda
dengan anak lainnya.
Rohni
sendiri bukannya mendengarkan ucapan Klara malah menunjuk benda lain yang
sedang dipegang Klara. “Ape. Apeeee!” katanya.
“Hape? Kamu
mau lihat hape? Untuk apa?” tanya Klara dengan ekpresi yang sedikit dilebih-lebihkan.
“ Toooo!”
kata Rohni sambil melompat.
“Oooh. Mau
foto? Yuk Yuk kita foto bareng. Ibu yang fotoin ya!” Klara menyahut dan mulai
mengambil posisi untuk memfoto kami. Aku, Yudith, Rohni, dan seorang anak lainnya.
Kemudian kami bergantian berfoto. Kak Ihsan masih berdiri di tempatnya, melihat
kami yang bercengkrama dengan Rohni.
Klara dan
Yudith membujuk Rohni untuk pulang ke rumahnya. Kata mereka, di rumah kita akan
membuka kado dan berfoto lagi. Oleh karena itu Rohni mau pulang, malah sangat
senang ^_^
Saat tiba di
rumahnya, Rohni kembali menunjuk kantung yang kubawa. Dia meminta kado itu
segera dibuka. Maka dengan bantuan Kak Ihsan dan ibunya, Rohni membuka kadonya.
Isinya hanya sedikit perlengkapan belajar untuk melatih motorik Rohni berupa
beberapa buku mewarnai yang berisi cerita, beberapa puzzle dan krayon.
“Ini ibu
guru dari Jakarta, Bu. Mereka ngajar anak-anak kayak Rohni di Jakarta. Mau maen
sama Rohni terus mau ngobrol sama ibu katanya.” kurang lebih begitu kata Kak
Ihsan menggunakan bahasa Sunda kepada ibu saat Rohni sangat antusias
membolak-balik buku mewarnai.
“Oooh, ya
Allah. Makasih, Bu,” jawab ibu Rohni dengan nada yang takzim.
Pembicaraan
sore ini mengingatkan aku pada pertemuan kami tiga tahun lalu. Dulu saat
pertama kali berbincang dengan ibu Rohni, bagaimana beliau menyebut Rohni saat
aku bertanya tentang kondisi perkembangan Rohni? Roh Kolot. Anak Setan. Itu
sebutan orang-orang, termasuk keluarganya kepada Rohni. Kala itu, sontak aku
dan teman-teman terkejut. Miris dan hampir
ikut menangis saat ibu Rohni mengucapkan ‘Anak Setan’ dengan mata
berkaca-kaca.
Ketika itu
juga aku dan teman-teman bilang pada beliau bahwa Rohni bukan Roh Kolot, Anak
Setan, atau Anak Kutukan seperti yang disebut oleh warga. Kami bilang bahwa
kami mengajar anak-anak seperti Rohni di Jakarta. Ada banyak anak-anak yang
seperti Rohni di Jakarta, bahkan di seluruh dunia.
“Ibu masih
ingat saya? Saya pernah ke sini dulu. Waktu
pertama kali mahasiwa UNJ datang ke sini,” kataku mengingatkan
kedatanganku beberapa tahun lalu.
Aku
berbincang sedikit dengan ibu Rohni dibantu Kak Ihsan yang menjelaskan ulang
menggunakan bahasa Sunda kepada beliau. Klara dan Yudith, bermain bersama Rohni
dengan krayon dan buku mewarnai baru miliknya. Rohni telihat sangat antusias
mewarnai. Saat Klara meminta Rohni menggunakan krayon dengan warna tertentu,
Rohni menolak dan mengambil seluruh krayonnya. Dia ingin memilih warna sendiri.
Hahaha.
Sore kian
beranjak hingga langit menjadi gelap. Kak Ihsan mengajak kami pamit.
“Rohni, ibu
guru pulang yaaa!” kataku, disusul Klara dan Yudith, “Iya, nanti kita main lagi
ya!”
Setelah
mendengarkan kami pamit, air wajah Rohni berubah drastis. Dia langsung
merangkak ke arahku, langsung duduk di pangkuanku sambil menunduk.
“Duuh,
ngambek nih ngambek,” Kak Ihsan meledek.
“Ooh,
ngambek. Hahaha,” aku, Yudith dan Klara tertawa.
“Eh,
Rohniii. Ibu pulang dulu ya. Nanti malam sama besok ibu guru ke sini lagi,”
kataku membujuk Rohni. Ketika dibilang begitu, Rohni merosot dari pangkuanku.
Menunduk dengan mulut memonyong.
Klara
memanggil Rohni. “Rohni…” Disusul Yudith yang ikut membujuk, “Rohni, ibu guru
pulang ya. Besok main lagi.”
Rohni
memalingkan wajah saat Yudith dan Klara menyentuhnya. Uuuuuh, anak ini ngambek
ternyata. Hehehe. Kami akhirnya membujuk bahwa setelah shalat maghrib kami akan
kembali ke sini untuk bermain bersamanya. Akhirnya Rohni membolehkan kami
pulang.
“Peluk dulu
dong!” kataku sebelum kembali ke sekolah.
Satu satu di
antara kami berpelukan dengan Rohni. Dia mencium tangan kami sambil berseru, “Aikuuuuuuum!”
kami semua menjawab kompak, “Wa’alaikumussalaaaaam!” sambil melambaikan tangan
:)
Night of The
Crybaby
Selepas
shalat Isya, aku dan Nengsri kembali ke rumah Rohni. Mala mini aku berniat
untuk berbincang banyak dnegan ibu Rohni terkait Rohni selama tiga tahun
belakangan ini. Aku mengajak Nengsri sebagai translator pembicaraan kami.
Hehehe.
Sepulangnya
dari rumah Rohni, aku dan Nengsri bergabung dengan yang lainnya yang sudah
berkumpul di selasar sekolah. Yeeaaach! Dinner is coming! Makanan kami
memang hanya dengan lauk seadanya tapi rasanya
enak! :P
Sehabis
makan, kami membentuk lingkaran untuk evaluasi acara hari ini dan membahas apa
yang kami lakukan besok. Tapi anehnya Kak Tiwi minta evaluasi di belakang,
padahal setahuku di mana-mana eveluasi lebih dulu baru membahas acara
selanjutnya. Tapi ya sudahlah, terserah saja, begitu pikirku.
Sebagai
orang yang wara-wiri di acara, aku kebagian berbicara paling akhir. Aku
menjelaskan apa saja kekurangan acara selama satu hari ini dan meminta maaf
atas kekurangan acara juga kesalahan yang telah aku lakukan. Tapi tiba-tiba aku
dikejutkan dengan Kak Tiwi yang mengatakan bahwa outbond tadi sore dibatalkan karena aku sibuk sendiri dan tidak mau
meminta tolong kepada yang lain. Belum lagi yang lain mengiyakan. Ditambah Mbak
Aby, Vany, dan Mbak Nina berkata kalau sore tadi ada 20 anak yang datang untuk
mengikuti acara. Tapi karena aku, Klara, dan Yudith tidak ada di lokasi,
anak-anak dipulangkan.
Setelah itu,
yang lainnya ikut berbicara. Dan aku merasa sangat bersalah. Memang tadi sore
saat berjalan ke arah Rohni, aku melihat anak-anak berkumpul dengan pakaian
yang rapi di belakang sekolah, di dalam pagar tempat panel surya berjajar. Tapi yang kulihat hanya
beberapaa anak, tidak sampai 20, bahkan 10 anak pun tidak.
Aku mencoba
menjelaskan pada semuanya bahwa aku pikir lebih baik outbond di-cancel saja.
Bukan untuk ditiadakan, hanya diundur sampai besok pagi. Lagi pula sebelumnya
aku sudah berdiskusi dengan Yudith yang bertanggung jawab atas acara ini. Tapi
yang lainnya terus berkata bahwa ada 20 anak yang berkumpul di lapangan dan
akhirnya dibubarkan karena aku tidak ada di lokasi.
Aku meminta
maaf atas kesalahanku. Aku benar-benar tidak tahu kalau anak-anak datang. Aku
juga minta maaf karena tadi sore sudah pergi tanpa pamit kepada yang lain. Tapi
sepertinya teman-teman tidak menerima alasanku. Aku pun melempar pandangan ke
Klara yang duduk di depanku. Jujur saat itu aku bingung dan ingin menangis.
Klara tidak tahu apa-apa, tadi sorepun aku yang mengajak Klara ke rumah Rohni.
Jadi kalaupun mau dibilang salah, ini memang salahku.
“Hancur! Hancur
acaranya!” suara tinggi Mas Awal mengejutkanku. Aku sempat melihat tangannya
berayun ke lantai, seperti hendak memukul lantai.
Mendengar
Mas Awal berkata demikian, aku tidak bisa menahan airmataku. Tangisku pecah,
merasa sangat bersalah sekaligus takut. Saat itu yang ada dipikiranku adalah
betapa kasarnya Mas Awal berteriak seperti itu kepadaku, apalagi di hadapan
teman-teman. Aku benar-benar terkejut dan tak bisa menahan tangis. Nengsri yang
duduk di sampingku memelukku. Aku sedikit tenang, tapi masih takut dan sangat
sedih.
Aku semakin berdebar
saat Pak Madinah, ayah Klara, ikut berbicara. Jangan merasa terdusut! Begitu
kata Pak Madinah. Aku menggeleng dengan airmata tetap mengalir. Tidak, aku
menangis bukan karena merasa tersudut, ucapku dalam hati. Kita belajar tanggung
jawab, kata Pak Madinah kepadaku. Aku malah semakin menangis. Aku jadi semakin
merasa bersalah. Hiks. Tolong maafkan, maafkan Lis dong T_T
Pak Madinah
terus sanja berbicara, aku tidak mendengar jelas ucapannya karena aku masih
terus menangis karena kesalahanku. Lalu tiba-tiba semua bertepuk tangan sambil
berteriak, “Selamat ulang tahuuuuun!” Dan semuanya tertawa.
Nyebelin!
Seruku dalam hati. Aku ingin berhenti menangis saat itu, tapi tidak bisa T_T
“Maaf ya,
Lisfah, kita gak nyediain apa-apa!” kata Yudith. Aku hanya mengangguk sambil
mengusap airmata.
“Mau tau gak
siapa yang ngasih tau ulang tahun kamu?” tanya Kak Tiwi.
“Nggak.
Nggak mau!” serbuku. Aku tidak pernah mempublikasikan tanggal lahirku, di sosial
media pun aku selalu memprivasi tanggal lahir. Orang yang tahu tanggal lahirku
pasti orang yang pernah melihat KTP-ku dan itu pasti salah satu di antara
mereka yang pernah naik gunung denganku.
Okay, malam
itu berakhir dengan tawa teman-teman dan kedua mataku yang sembab. Ada satu
yang membuatku kesal. Klara! Selama evaluasi wajahya begitu panik dan terlihat
sangat melas. Mungkin persis seperti wajahku yang panik.
“Muka melas
lu tadi bikin kesel banget sih, Ra! Ternyata lu sekongkolan! Huh!” kataku
sambil mencubit pinggangnya. Klara hanya tertawa.
Pukul 22.00
WIB. Cibuyutan gelap. Panel surya sudah dinyalakan sejak Maghrib tadi dan kini mengalirkan
listrik ke rumah-rumah untuk sekadar memberi penerangan dengan satu dua buah
lampu. Saatnya kami beristirahat untuk kembali bermain bersama anak-anak di
keesokan hari.
Terima kasih
atas kejutan yang menyebalkan tapi sangat berkesan. Terima kasih atas doanya,
teman-teman :)
Bersambung…,
©
Lisfatul Fatinah Munir
Tanah
Merah, 19 Maret 2015