- Back to Home »
- Ibu Lisfah dan Murid Istimewa , Trip Teach and Shared »
- Trip Teach and Shared: Kami Berkumpul Karena Cinta
Posted by : Fatinah Munir
17 March 2015
Those who live, sees. Those
who travel, sees more.
(Ibnu Batutah)
Sebermula Rindu
Semua
berawal dari rindu. Rindu pada aktivitas yang berbaur dengan alam. Rindu
bercengkrama dengan anak-anak. Rindu berkumpul dengan banyak teman-teman baru.
Rindu yang kian menggerumbul kala rutinitas semakin membosankan dan berbagai
urusan semakin mempenatkan pikiran.
Maka pada
suatu malam, aku membuka wacana di grup WhatsApp bernama “Ngesoters”, grup
yang sudah hampir satu tahun kuhuni bersama teman-teman yang kukenal melalui
pendakian ke Gunung Pangrango pada 7 Juni 2014 lalu. Wacana ini pun
mengumpulkan kami yang masih bertahan di grup dengan teman-teman sependakian
yang sudah meninggalkan grup.
Perbincangan
pun dimulai. Yang kami inginkan hanya berpergian sambil memberikan manfaat bagi
orang-orang sekitar. Informasi demi informasi kami kumpulkan hingga terpilih
satu tempat bernama Cibuyutan, sebuah desa terpencil yang pernah kusambangin
tiga tahun lalu.
Cibuyutan
terletak di Kabupaten Bogor, di atas bukit yang harus ditempuh dua hingga empat jam berjalan kaki dari jalan raya terakhir di kaki bukit. Tak ada listrik di
Cibuyutan, listrik hanya tersedia sejak pukul enam sore. Tak semua rumah
memiliki kamar mandi ataupun MCK, sehingga sebagian warga harus ke sungai atau
ke MCK umum untuk mandi ataupun buang air. Tidak ada fasilitas kesehatan yang
memadai, jika ada warga yang sakit dan ingin berobat harus dibawa turun ke
bawah. Dan yang paling menyedihkan buatku adalah hanya ada satu sekolah di
Cibuyutan. Sekolah yang ada merupakan madrasah ibtidaiyah (setara sekolah
dasar) dengan bangunan empat ruangan; tiga ruangan untuk ruang kelas yang
artinya satu ruang digunakan untuk dua tingkatan kelas dan satu ruangan untuk
ruang guru sekaligus ruang perpustakaan.
Tiga tahun lalu saat pertama kali aku ke Cibuyutan, kondisi Cibuyutan jauh lebih buruk lagi. Tidak ada listrik selama 24 jam. Hanya beberapa keluarga yang cukup mampu yang dapat membeli jenset dan bisa menikmati pijaran lampu di malam hari. Sisanya, warga hanya menggunakan lilin atau obor. Sekolahnya pun jauh lebih buruk. Setiap yang pertama kali melihat bangunan sekolahnya, pasti tidak akan mengira bahwa itu adalah bangunan sekolah, sebab bangunannya lebih mirip dengan kandang kambing dengan bangku dan meja yang nyaris semuanya rapuh. Dan ternyata memang jika tidak digunakan untuk belajar, bangunan itu digunakan untuk kandang ternak warga sekitar.
Pada
kesempatan kali ini, aku kembali bersama teman-temanku. Tak hanya teman
sependakian Gunung Pangrango, tapi juga bersama teman-teman baru yang juga
mempunyai alasan yang sama bernama cinta, dan tujuan yang sama untuk berbagi. Maka inilah kami, dalam
sebuah perjalanan bernama Trip Teach and Shared. Taraaaa..., these are us! ^_^
Atas kanan-kiri: Babeh, Nengsri (Pororo), Putu, Aby, aku, Wadi, Vany, Awan, Minka, Sari, Pak Madinah Bawah kanan-kiri: Tiwi, Rahma, Yolla, Klara, Farah, Mumpuni, Inta, Awal, Nina, Dhika, Yudith |
20 Februari 2015
Malam ini
adalah hari keberangkatanku dan teman-teman menuju Cibutuyan. Dalam itinerary (rencana perjalanan), kami akan
menuju Cibuyutan pukul 9 malam menggunakan sebuah tronton dari depan Stasiun
Tanah Abang. Kami memutuskan berkumpul di Stasiun Tanah Abang karena
perlengkapan untuk acara ini banyak disimpan di tempat tinggalku yang berjarak
15 menit berjalan kaki dari stasiun.
Awalnya aku
pikir semua akan berjalan dengan tepat waktu, nyata tidak. Satu hari ini sangat
crowded hingga membuatku datang telat ke lokasi berkumpul, meskipun jarakku
dengan lokasi kumpul hanya 15 menit :(
Di hari
keberangkatan ini, seharusnya aku mulai packing
sedari pagi lalu beristirahat penuh karena kondisi badan yang kurang sejak
beberapa hari. Tapi nyatanya tidak. Di pagi hari aku harus dua kali bolak balik
ke pasar tradisional dekat rumah untuk membeli berbagai keperluan untuk
konsumsi karena Kak Tiwi yang seharusnya menyiapkan konsumsi dari Jakarta
memiliki banyak urusan dan tidak dapat mengurusnya sendiri.
Setelah
belanja beberapa keperluan konsumsi, aku harus ke kampus untuk menyerahkan
hasil revisi skripsi setelah sidang pada 16 Februari 2015 lalu. Meksipun harus
menunggu dosen penguji hingga 2 jam, beruntungnya saat menyerahkan hasil revisi
yang tidak terlalu banyak ini dosen pengujiku langsung membaca dan meng-ACC
hasil revisiku hari itu juga.
Selepas
mengurus skripsi di kampus, aku juga tidak langsung kembali ke rumah :( Aku masih harus ke Slipi untuk
menjemput Yolla dan Mbak Nina. Keduanya harus menungguku 2 jam di dalam mal
sebelum aku jemput. Hiks. Maafkan ya, Mbak Nina dan Yolla, jam kedatangan
kalian di luar prediksi >,<
Aku, Mbak
Nina, dan Yolla tiba di rumah kurang lebih pukul 16.00 WIB. Aku membiarkan keduanya
beristirahat di ruang tengah sambil mengobrak-abrik tumpukan buku di lemari
depan.
Sedangkan
aku menyiapkan barang bawaan pribadi yang hanya sedikit dan mengeluarkan
beberapa logistik yang masih di dalam kulkas.
“Kak Lisfah
mandi geh. Kan belom mandi dari pagi!” seru Yolla saat melihat aku duduk dan
hanya bengong. Iya, karena kondisi badan yang kurang fit dan demam, sejak tadi
pagi aku tidak mandi >,<
“Nanti aja,
Yol. Ini beresin ini dulu. Ini loh masih ada yang belum dibungkus. Konsumsi
juga belum dibeli semua. Mau ke Pasar Kencar dulu. Jam 5 stok sayurannya baru
datang dari Pasar Induk, jadi masih segar,” aku menyahut.
Sambil
menunggu sore beranjak. Mbak Nina dan Yolla masih berkutat dengan buku-bukuku.
Hingga hampir pukul 17.00 WIB, bapak pulang. Aku meminta bapak mengantarku ke pasar
menggunakan motor untuk membeli beberapa sayuran yang akan dibawa.
Selama aku
tinggal ke pasar, Yolla dan Mbak Nina merapihkan tumpukan perlengkapan,
bingkisan, dan logistik yang akan kami bawa. Mereka juga sempat mengajak kakak
pertamaku pergi mencari bakso untuk mengisi perut kami sebelum berangkat.
Sepulangnya
dari pasar, aku bersama yang lainnya makan sore bersama sambil mengingat-ingat
apa saja yang belum dibeli dan apa saja yang belum disiapkan.
Biskuit dan
susu! Jagung! Gula merah untuk kacang ijo! Tronton apa kabar? Ah! Putuuuu! Putu
belum ada kabar! Satu satu hal yang tercecer muncul di kepala. Seketika itu juga
perlahan-lahan kepanikan datang. Aku mempercepat makanku dan mengajak kakakku
kembali ke pasar untuk mengambil sekardus biskuit dan susu yang sudah kupesan. Lewat
pukul 18.00 aku mengajak Yolla kembali ke Pasar Kencar untuk membeli jagung.
Aku dan
Yolla tiba di rumah tepat saat azan maghrib berkumandang di televisi,
berbarengan dengan pesan dari Yudith yang sudah tiba di jembatan penyeberangan
dekat rumah dan minta dijemput. Aku dan Yolla menjemput Yudith. Mbak Nina masih
berkutat dengan merapihkan barang-barang tim.
Selepas
menjemput Yudith, aku mendata ulang hal-hal yang kurang. Apalagikah yang
kurang? Um..., Putu! Putu belum membalas pesan-pesanku sedari tadi.
Aaaaarrrgggghhh! Jangan-jangan dia lupa. Atau dia ketiduran? Atau jangan-jangan
dia benar-benar tidak mendapat izin dari tante? Duh, bagaimana ini? Sejak awal
aku sudah mengingatkan untuk izin dulu ke tante. Kalau tante tiba-tiba datang
ke rumah bagaimana? Kalau tante marah kepadaku karena mengajak Putu tanpa izin
bagaimana jadinya? Panik! Aku benar-benar panik!
“Kak Lisfah
mandi dulu geh!” Yolla lagi-lagi mengingatkan.
“Shalat
dulu deh habis itu mandi. Kalian mau ambil wudhu duluan?” seruku menanggapi Yolla.
Selepas shalat
dan mandi aku merapikan kembali perlengkapan pribadi yang akan kubawa. Tinggal
memasukkan beberapa perintilan, pikirku. Maka aku membiarkannya begitu saja dan
membantu yang lainnya merapikan barang-barang yang sedari tadi tak
habis-habisnya dirapikan.
Jam dinding
di ruang tengah menunjukkan pukul 19.30. Beberapa pesan masuk di hapeku.
Lisfah di mana? Saya sudah di depan Stasiun Tanah
Abang tapi kok belum lihat kelompok kamu ya? –Solihun
Mbak, saya sudah sampai di Stasiun Tanah Abang.
Pesan pertama
datang dari Kak Solihun, seniorku di kampus sekaligus salah satu relawan di
Cibuyutan yang akan mendampingi perjalanan kami. Pesan kedua datang dari sopir
tronton.
“Astaghfirullah!
Yudiiith, sopir trontonnya sampe. Kak Solihun juga. Klara tadi juga ngabarin
udah sampe. Gimana doong?” aku bingung.
“Yaudah ayo
jalan habis beresin ini!” sahut Yudith.
“Itu Yudith
makan dulu. Tadi yang lain udah makan. Apa mau makan lagi bareng Yudith?” emak menyambung
percakapan, “Itu bapaknya masih cari taksi buat angkut barang.”
Yudith
mengiyakan perkataan emak. “Putu mana, Lis?”
Aaaarrrrgggghh.
Aku kembali panik. Telepon tidak diangkat, pesan pun tidak dibalas.
“Insya
Allah dia ikut. Tungguin dulu sebentar ya,” kataku dan tiba-tiba aku teringat
sesuatu, “Ya Allah Yudith! Belom ngeprint yang buat Mas Wadi!”
“Ya ampun
Lis. Yaudah diprint dulu. Ditungguin!,” sahut Yudith. Aku melirik jam yang sudah menunjukkan
pukul 20.00 WIB.
“Ngapain
lagi? Dari kemaren tuh diurus yang bener. Disiapin jauh-jauh hari!” seru emak
yang melihatku berlari ke kamar atas untuk mengeprint.
Sejak itu
aku ingin menangis. Ingin menyahut bahwa semuanya sudah disiapkan dan bagian
yang ini tinggal diprint, aku fokus dengan persiapan sidang dan revisi hasil
sidang. Tapi semua itu tertahan di tenggorokan. Aku cuma diam.
Saat aku
mengklik print, mesin printer berbunyi sebagai tanda bahwa ia hendak
menjalankan tugasnya. Satu lembar sudah keluar. Sepuluh lembar lagi maka aku
bisa tenang. Sayangnya aku malah semakin panik saat sebuah notifikasi muncul di
layar laptop. Tinta warna printerku hampir habis!
Ya Tuhan!
Salah apa aku! Aku mencoba terus menjalankan printer, bagaimanapun hasilnya
nanti. Saat itu aku mendengar suara dari lantai bawah. Tampaknya taksi sudah
datang dan barang-barang sudah diangkut ke dalam taksi yang menunggu di depan
gang rumah.
“Masih
ngapain, Lis? Katanya jalan jam 8 malam. Ini udah jam 8 lewat,” seru bapak dari
bawah.
“Masih
ngeprint. Tunggu dulu!” suaraku serak hampir menangis.
“Ini
barangnya udah diangkutin. Temennya udah siap! Dari kemaren kemana aja, udah
mau jalan baru ngeprint!” bapak kembali berbicara dari bawah.
“Iyaaa Lis
tau. Aduuh, jangan didesak gitu. Lis bingung!” aku mengintip dari atas ke arah bapak,
menatap bapak dengan mata berkaca-kaca.
“Kebiasaan!
Mana tasnya? Biar diangkut ke taksi,” kata bapak sambil berpaling.
“Jangaaaan!
Ada yang belum dimasukin,” jawabku. Aku melihat ke arah printer yang
mengedipkan lampu merah tanda tinta habis. Hufh! Aku menghembuskan napas berat.
Bagaimana nanti bilangnya ke Mas Wadi kalau bahan penyuluhannya tidak ada. Hiks T_T
Aku turun
ke bawah dengan tergesah. Mengambil mukena di kamar dan memasukkannya ke dalam
tas bersama beberapa alat mandi.
Saat
menggunakan sandal di teras, Putu muncul. Napasku lega sekali melihat dia
akhirnya ikut. Aku menebak ini adalah pengalaman Putu bepergian jauh dengan bersusah-susahan
menggunakan tronton. Karena yang aku tahu, teman kecilku ini selalu menggunakan
kendaraan pribadi setiap kali bepergian dan tidak sering ikut aktivitas bersama
anak-anak.
Saat itu
perhatianku tertuju pada barang-barang yang melekat di tubuh Putu. Rambutnya
masih sedikit basah. Lehernya berbalut plasmina. Tangannya memegang hape yang
tersambung dengan power bank. Yang paling menarik perhatianku adalah tasnya.
Putu membawa tas kecil berserut dan sebuah tas selempangan yang digantungkan
dipundak kanannya. Seriusan mau bawa dua tas begitu sambil naik? Tanyaku pada
diri sendiri.
“Putu,
barangnya mau dititipin ke Lis gak? Ini tas Lis masih kosong loh.” aku memberikan
tawaran.
“Eh, gak
usah, Lis. Enteng kok ini,” Putu menjawab, lalu berbincang dengan emak dan
kakakku di dekat pagar.
“Ayo
cepetan! Nunggu apa lagi!” seru bapak dari luar pagar.
Putu,
Yudith, Yolla, dan Mbak Nina yang ada di luar pagar langsung berjalan keluar
gang menuju taksi di temani bapak. Aku membuntuti dari belakang bersama emak.
Saat tiba
di depan taksi, aku terdiam. “Ada yang lupa! Hape Lis masih di cash,” aku
mengerutkan kening sambil berseru takut-takut kepada bapak.
“Astaghfirullah.
Cepetan! Kebiasaan lupa lupa melulu!” jawab emak kala aku sudah berlari kembali
ke rumah.
Beberapa
menit kemudian aku sudah tiba di dekat taksi. Yolla tampak menenteng botol-botol
air minum dari warung. Aku teringat bahwa aku belum membeli air minum. Tapi
Yolla mengatakan bahwa air minum yang dibawanya sudah termasuk untukku.
Syukurlah kalau begitu. Tapi aku teringat sesuatu.
“Ada yang
lupa lagi, Pak,” kataku pada bapak yang mau melepaskan tas dari pundakku.
“Apa lagi?
Astaghfirullah, Nak! Udah yang lain jalan duluan, biar Lis jalan jam 11 malam
sendirian!” jawab bapak. Emak hanya diam di sampingku. Yolla menatapku dari
seberang.
“Bapak ih,
jangan ngomong gitu!” aku menangis saat itu juga. Emak menyuruhku untuk
bergegas kembali. Kali ini aku berlari lebih kencang dari sebelumnya.
Akhirnya
aku dan yang lainnya duduk di dalam taksi yang akan mengantarkan kami ke
Stasiun Tanah Abang.
“Lewat fly
over aja ya, Pak. Nanti belok pas Hotel Milenium,” seruku pada bapak sopir
taksi.
Beberapa
menit kemudian, taksi yang kami tumpangi akan melewati lampu merah Hotel
Milenium dan berbelok kea rah Stasiun Tanah Abang. Tapi anehnya, bapak sopir
taksi malah tancap gas melaju lurus ke depan.
“Loh, kok
ke sini, Pak?” tanyaku heran.
“Emang Mbak
mau kemana?” bapak sopir taksi kembali bertanya.
“Ke Stasiun
Tanah Abang, Pak.” jawabku.
“Katanya
mau ke Jonggol. Ya makanya saya lurus,” bapak sopir taksi menimpali dengan
santai.
“Hah? Ya
kali, Pak, ke Jonggol naik taksi. Iya, memang mau ke Jonggol. Tapi kami cuma minta
diantar ke Stasiun Tanah Abang,” aku menjelaskan.
“Lah saya
tanya ke bapak tadi mbak-mbak ini mau kemana, katanya mau ke Jonggol. Ini
makanya lurus biar masuk tol langsung,” bapak sopir taksi menjelaskan kembali.
Bapaaaaak. Seruku dalam hati dengan wajah kembali ditekuk.
“Yasudah,
Pak, belok kiri di depan. Muter di air mancur Monas itu ke arah Tanah Abang
lagi. Stasiun ya, Pak!” seruku pada supir taksi.
Well. Kami
akhirnya tiba di Stasiun Tanah Abang. Lokasi yang hanya berjarak 15 menit berjalan
kaki dan malam itu menghabiskan Rp55.000,- menggunakan taksi. Syududududu.
***
“Hai,
semuanya. Aku Lisfah yang wara-wiri hubungin kalian. Maaf ya, telat! Hehehe!”
aku berseru kepada teman-teman yang sudah duduk rapi di dalam tronton. Ada
perasaan sangat bersalah saat itu, karena aku terlambat. Tapi bingung
menjelaskannya kenapa aku bisa terlambat. Maka aku memilih tidak menjelaskan
apa-apa.
Tinggal
menunggu Babeh yang sedang menjemput buku dari donatur, juga Dhika dan Kak Tiwi
yang masih di perjalanan menuju Tanah Abang. Aku memilih ngobrol bersama Klara dan ayahnya sambil menunggu anggota tim ini
lengkap.
Sebelum naik ke dalam
tronton, Yudith menepuk bahuku. Hendak mengatakan sesuatu.
“Udah ngomong, Lis?”
tanya Yudith.
“Ngomong?” aku belum
mengerti.
“Ke Mas Wadi,” lanjut
Yudith.
Aku menekuk wajah. “Belum.
Takut. Gimana ngomongnya? Gak enak ih. Temenin dong!”
“Yaudah yang penting
ngomong sebelum sampai Cibuyutan,” seru Yudith.
“Hu’um. Tapi takut
ngomongnya. Temenin ya!” jawabku.
Meskipun Yudith
mengiyakan, entah kenapa aku tetap takut dan merasa bersalah. Aku sudah janji
akan membawa hasil print untuk penyuluhan. Tapi karena lupa dan saat diprint
tinta printer habis, jadilah aku tidak membawa apa yang sudah aku janjikan ke
Mas Wadi :(
Pukul 22.00 WIB seluruh tim lengkap. Kami pun berangkat. Di dalam tronton ini tampak tak banyak
yang saling berkenalan. Itu jelas karena mereka sudah saling berkenalan
satu sama lainnya sebelum aku datang. Tapi saat itu aku masih berusaha menghapal
wajah-wajah dan nama mereka.
Perjalanan malam ini aku habiskan dengan berbincang apa saja bersama Klara. Mulai dari konsep
acara, karena Klara aku todong untuk ikut menggantikan Sofiah yang seharusnya
menemaniku di bagian acara, perbincangan kami perlahan mengalir pada pembahasan
tentang anak-anak, parenting, perkuliahan, dosen-dosen, hingga banyak hal
lainnya tentang kampus yang akan kami tinggal beberapa pekan lagi.
***
21 Februari 2015
Sebuah
tangan menepuk pundakku, membangunkanku yang tertidur. Jam tangan yang
dikenakan Klara menujukkan hampir pukul 1.00 WIB dini hari dan hari sudah berganti.
Seluruh tim turun dari tronton dan barang-barang siap diturunkan pula. Kami sudah tiba di Desa
Tanjung Sari, desa terakhir sebelum kami harus berjalan kaki 2 – 4 jam berjalan
kaki menuju Cibuyutan.
Kami yang
perempuan mengangkut barang pribadi kami ke gedung TK dan beristirahat di
lantai dua. Sedangkan perlengkapan tim dan teman-teman yang lelaki di mushalah untuk
beristirahat. Menunggu matahari pagi muncul dan kami siap melanjutkan
perjalanan.
Saat tiba
di lantai dua TK, seluruh teman sudah mengambil posisi. Ada pula yang sudah
memejamkan mata. Aku memilih sudut kanan ruangan tepat di antara Klara dan Kak
Sari. Tinggal Yolla yang masih bolak-balik mencari tempat tidur yang nyaman.
“Kak Lisfah
gak tidur? Biasanya paling cepet tidur,” kata Yolla.
“Belum
ngantuk. Hehehe,” sahutku.
Aku
mengecek hape. Terlihat sebuah notifikasi di sudut layarnya.
“Barokallohu
fii umrik!” sebuah tulisan tampak di layar hapeku. Oh my God! Aku tersenyum
melihat tulisan itu.
Aku
mengeluarkan mukena dan sabun pencuci wajah. Klara yang ada di sampingku masih
membolak-balikkan badan dan belum tampak sudah tertidur.
“Ada yang
mau ikut ke bawah?” tanyaku pada siapa saja yang mendengarkanku di ruangan ini.
“Mau
ngapain, Kak?” tanya Klara, -meskipun satu angkatan Klara memanggilku dengan sebutan kakak meskipun aku lebih
senang dipanggil nama secara langsung.
“Buang air
kecil, ambil wudhu,” aku tersenyum pada Klara.
“Ikut, Kak!”
Yolla menyahut.
Malam itu,
di ruangan asing yang pernah aku tempati tiga tahun lalu, aku sempatkan shalat
beberapa rakaat dan membaca beberapa surat yang kusukai. Entah mengapa sebuah
tulisan “Barokallohu fii umrik” yang beberapa menit lalu kubaca membuatku ingin
memulai hari ini dengan hal-hal yang baik dan menenangkan. Dan senangnya
melihat Yolla dan Klara ikut shalat di sampingku. Lalu keduanya tidur lebih
dulu.
Saat jam di
hape menujukkan pukul 2.00 WIB, aku memilih tidur. Mengistirahatkan tubuh yang
sedari tadi terus terbatuk. O God, aku tidak sabar menunggu bertemu dengan
anak-anak Cibuyutan! Semoga besok lebih sehat, lebih baik, dan lebih
menyenangkan!
Bersambung…,
© Lisfatul Fatinah Munir
Tanah Merah, 17 Maret 2015