- Back to Home »
- Belajar dari Jepang , Pendidikan »
- Belajar dari Jepang: Sistem Pendidikan Hati untuk Anak Usia Dini
Posted by : Fatinah Munir
11 December 2018
Konnichiwa,
Minna-san!
Hallo semuanya!
Kali ini saya mau membicarakan tentang
salah satu negara yang saya kagumi, terutama tentang pendidikannya. Jepang,
bagi saya adalah negara luar biasa karena negara ini tumbuh dan berkembang
dengan teknologi yang terus dimutakhirkan tanpa menanggalkan tradisi dan
budayanya. Dua hal yang berseberangan ini tidak asal dipadu-padankan di sana,
tetapi benar-benar digabungkan denga harmonis dan membuat negara ini menjadi
begitu besar sekaligus manis buat saya.
Walaupun saya belum pernah ke Jepang
(Semoga bisa segera tinggal di sana, ya Allah!^^), tapi saya suka membaca
buku-buku dan reality show di Jepang terutama yang berkaitan dengan pendidikan
dan budayanya. Nah, belakangan ini saya suka banget membaca tentang pendidikan anak
usia dini di Jepang di buku, blog, atau ipusnas. Tulisan kali ini adalah buah
dari membaca buku-buku tersebut yang saya pikir akan bermanfaat kalau dibaca
oleh orang lain. Semua hal yang saya tulis di sini benar-benar terinspirasi
dari system pendidikan anak usia dini di sana yang saya namakan sebagai Sistem
Pendidikan Hati. Mohon bersabar selama membaca tulisan sebanyak hampir 3000
kata ini ya ^^3
Sebelum membahas tentang sistem pendidikan
hati pada anak usia dini. Saya mau menjelaskan dulu kenapa harus anak usia dini
dan mengapa harus dibahas sekarang. Ini ada kaitannya dengan Indonesia Emas
2045 nanti.
Indonesia Emas 2045
Ada yang menarik dari perjalanan menuju
seabad kemerdekaan Indonesia. Genap seratus tahun lepas dari penjajahan,
Indonesia diramalkan akan memiliki bonus demografi yang hanya hadir ribuan
tahun sekali. Pada 2045 nanti Indonesia diprediksi memiliki 70% penduduk dengan
usia produktif atau usia 15-64 tahun dan 30% penduduk sisanya berusia tidak produktif atau usia
kurang dari 14 tahun. Bonus demografi inilah yang menjadi asal muasal digaungkannya
Indonesia Emas. Di mana pada seabad usianya, Indonesia diasumsikan memiliki
banyak pemuda.
Dominasi para pemuda dalam 70% penduduk
berusia produktif pada 2045 nanti, pastinya tidak sekadar menjadi pembahasan kuantitas
dong ya. Pastinya ada napas cita-cita besar Indonesia yang mengalir di
dalamnya. Ada Indonesia yang maju, mandiri, makmur, dan adil yang menanti untuk
diwujudkan keberadaannya oleh para pemuda. Lalu kekhawatiran pun mengemuka
tentang seperti apa 70% penduduk usia produktif yang akan dimiliki Indonesia kelak
dan bagaimana kualitas pemuda yang akan mendominasi di dalamnya.
Masih ada waktu 27 tahun untuk menjawab
kekhawatiran di atas. Itu artinya pemuda yang berusia 27 tahun hingga 35 tahun pada
masa itu baru saja dilahirkan atau sedang tumbuh pada 2018 ini. Bersamaan
dengan itu, pemuda saat ini yang berusia kisaran 20 tahun, akan menginjak usia
50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa bayi-bayi dan anak-anak Indonesia saat
inilah yang akan menjadi generasi emas Indonesia.
Kekhawatiran akan Indonesia di usia
emasnya ini terus timbul tenggelam bersama harapan akan hadirnya karakter pemuda
yang tidak hanya produktif dan inovatif, tetapi juga bermoral baik, damai,
sehat, dan secara sadar menjaga keseimbangan alam. Di sinilah sebenarnya memastikan
Indonesia melahirkan pemuda cerdas beradab adalah haluan utama dari perjalanan
menuju Indonesia Emas dan menjadikan pendidikan sebagai kendaraan untuk mencapainya.
Indonesia Emas dan Pendidikan Anak Usia
Dini
Well. Mengingat bahwa bayi dan anak-anak
di masa sekarang adalah para calon generasi emas Indonesia, maka memberikan
pendidikan terbaik kepada anak-anak usia dini, usia 0 hingga 8 tahun atau
hingga anak mencapai pendidikan kelas 3 Sekolah Dasar, adalah solusi
fundamental untuk mempersiapkan generasi yang cerdas beradab. Pendidikan ini
harus menguatkan karakter anak menjadi pemuda yang modern tetapi tetap
Indonesia. Pendidikan yang tidak hanya menjadikan pemuda sebagai pengguna tapi juga
berdaya cipta. Nah, di Jepang memang seperti ini konsen pendiidikannya.
Di Jepang, semua pendidikan usia dini
mengembalikan pendidikan kepada fitrahnya sendiri. Maksudnya anak harus dilihat
sebagai individu utuh yang tidak hanya memiliki kemampuan berpikir, tetapi juga
punya hati yang mampu mengontrol segala pekertinya. Pendidikan juga harus menjadi
sarana anak mengembangkan diri sesuai kebutuhkannya. Oleh sebab itu, pendidikan
anak usia dini harus dijalankan dengan sistem pendidikan hati, sebagaimana yang
dilakukan di Jepang, di mana sekolah menjadi tempat anak mengoptimalkan
pengembangan hati sekaligus bertumbuh kembang sesuai dengan tahapan usianya.
Ki Hajar Dewantara dan Soerjono –atau
lebih dikenal dengan panggilan Pak Kasur, pernah bilang kalau pelaksanaan
pendidikan harus melatih rasa, di mana anak usia dini bermain untuk
menyempurnakan hati, mengembangkan budi pekerti, dan meluhurkan budaya bangsa
sendiri. Dengan kata lain, sistem pendidikan hati untuk anak usia dini
memusatkan pendidikan pada hati, pikiran, mentalitas dan kemanusiaan
dibandingkan dengan tugas akademik yang belum terlalu dibutuhkan oleh perkembangan
anak pada saat itu. Keren ya pemikiran beliau-beliau. Love you both so much
Bapak Pendidikan Indonesia dan Bapak Pejuang Pendidikan Anak :*
Okay, lanjut ya. Untuk mengelaborasi apa
yang dimaksud dengan sistem pendidikan hati pada anak usia dini ini, ada beberapa
aspek yang perlu disiapkan terlebih dahulu. Di antaranya adalah kurikulum tersembunyi
yang bermodifikasi, kegiatan harian berbasis disiplin mandiri, aktivitas
keterampilan dasar, dan pengoptimalan kebersihan dan kesehatan.
Kurikulum Tersembunyi yang Bermodifikasi
Kurikulum tersembunyi yang bermodifikasi
adalah kurikulum yang memiliki dua cara kerja yang berjalan secara beriringan,
yakni tersembunyi sekaligus bermodifikasi. Kurikulum tersembunyi adalah kurikulum
di mana segala aspek pendidikan yang mengembangkan kemampuan anak tidak
tertuang dalam bentuk mata pelajaran. Dengan menggunakan kurikulum tersembunyi
ini, justru target-target pendidikan dipadukan langsung ke dalam aktivitas harian
anak.
Tujuan sistem pendidikan hati yang saya
pelajari dari buku-buku pendidikan di Jepang memang berfokus kepada
mempersiapkan anak menjadi generasi cerdas beradab, tapi bukan berarti sistem
ini mengharuskan adanya mata pelajaran adab atau budi pekerti. Pada sistem
pendidikan hati, adab atau budi pekerti dimasukkan ke dalam setiap aktivitas
harian anak di tempat anak belajar, yakni di sekolah ataupun di rumah.
Sebagai contohnya adalah tujuan
pendidikan dalam mengembangkan anak menjadi warga negara yang berkasih sayang kepada
sesama mahluk tidak menjadikan sistem pendidikan hati memiliki mata pelajaran kasih
sayang. Sebaliknya, pelajaran berkasih sayang dileburkan ke dalam aktivitas
menyiram tanaman atau memelihara hewan peliharaan bersama-sama di lingkungan
belajar di Jepang. Bahkan ada sebuh buku yang memaparkan kalau salah satu tugas
anak kelas 1-3 SD adalah merawat tanaman di rumah atau memelihara serangga.
Lalu anak-anak diminta mencatat, menggambar, dan menceritakan pertumbuhan tanaman
atau serang itu di rumah.
Demikian juga ketika pendidikan
menargetkan anak menjadi warga negara yang inovatif, tidak serta merta membuat
sekolah memiliki mata pelajaran inovasi dan kreasi. Dalam sistem pendidikan
hati yang dianut Jepang, anak dapat dikondisikan bermain secara berkelompok
untuk membangun sebuah menara dari tumpukan stik es krim. Atau pada contoh
lainnya, anak melakukan membuat kreasi bangunan dari lego secara kelompok. Beberapa
referensi yang saya dapatkan malah menyebutkan kalau di SD ada matapelajaran
kreasi. Anak-anak biasanya diminta membawa barang bekas atau sampah yang bisa
didaur ulang. Nanti di sekolah anak-anak akan berkreasi dengan projek daur ulang
masing. Kalau sudah begini, katanya yang heboh bukan hanya anak-anaknya
melainkan ibu-ibunya yang harus selalu mengumpulkan sampah rumah tangga yang
bisa dikreasikan anak.
Pada contoh ini materi inovasi dan
kreasi dalam kurikulum tersembunyi sebenarnya dapat dilakukan secara individu.
Namun jauh lebih baik jika dilakukan secara berkelompok. Hal ini dikarenakan
untuk sekaligus menjadikan aktivitas ini sebagai sarana bermain sambil belajar hidup
berkelompok untuk saling percaya, interaksi sosial dan kerja sama sebagaimana
kondisi nyata kehidupan.
Contoh pengaplikasian kurikulum tersembunyi
yang lainnya adalah aktivitas berbincang-bincang singkat di setiap akhir kelas.
Di sini guru dan murid dapat membicarakan aktivitas yang terjadi selama sehari
penuh di tempat belajar, termasuk permasalahan yang ada pada hari itu. Dengan
sistem pendidikan hati, guru di Jepang sepertinya punya kesadaran yang lebih
besar untuk menstimulus kemampuan anak mengemukakan perasaan dan pendapatnya di
dalam bincang-bincang kelas ini. Ketika kelas membahas suatu masalah, guru pun
dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan stimulus agar anak bisa berdiskusi
dengan teman sekelasnya untuk memecahkan masalah tersebut bersama.
Beralih kepada kurikulum bermodifikasi,
yakni kurikulum yang terpusat pada pemerintah tetapi sekolah atau tempat
belajar mempunyai hak untuk memodifikasi kurikulum tersebut sesuai kebutuhan
anak dan budaya yang ada di lingkungan belajar tersebut. Artinya walaupun
menggunakan kurikulum yang sama dan mempunyai target pendidikan yang serupa,
pelaksanaan pendidikan usia dini di beberapa daerah pasti akan berbeda sesuai
dengan kebutuhan anak di daerah tersebut. Akan tetapi meskipun berdampak pada
berbedanya pengaplikasian kurikulum di lapangan, tetapi modifikasi kurikulum
ini tetap harus dilakukan tanpa melenceng dari acuan kurikulum pusat. FYI, kurikulum
pendidikan Jepang terpusat loh, tapi fleksibel dan sekolah bisa dengan leluasa
menyesuaikannya dengan kebutuhan anak-anak.
Sebagaimana penjelasan di atas, maka
kurikulum tersembuyi yang bermodifikasi menjalankan nilai-nilai pengembangan
kognitif, afektif, dan psikomotorik secara bersamaan. Kemudian semua aspek
dalam kurikulum bukan berbentuk penyampaian materi di dalam kelas melainkan terintegrasi
ke dalam aktivitas anak bersama lingkungan belajarnya di sekolah ataupun di
rumah.
Kegiatan Harian Berbasis Disiplin
Mandiri
Kemudian ada aspek kegiatan harian
berbasis disiplin mandiri yang bagian pelaksanaannya sangat melekat dalam
hampir seluruh aktivitas anak. Karena kegiatan harian berbasis disiplin mandiri
ini adalah bagian dari kurikulum tersembunyi, maka sama seperti sebelumnya, tidak
ada pemberian materi tentang apa itu disiplin dan mandiri. Tetapi lingkungan
dan aktivitas dibentuk untuk mengembangkan anak menjadi pribadi yang disiplin
juga mandiri. Anak dikembangkan kemampuannya untuk berdisiplin atas tanggung
jawabnya sendiri tanpa mendapatkan ancaman dalam bentuk apapun.
Kedisiplinan anak dalam konsep sistem
pendidikan hati ini tidak hanya mengarahkan anak untuk mengikuti aturan atau
perintah. Akan tetapi secara tidak langsung guru juga telah memberikan tanggung
jawab dan kepercayaan kepada anak, sekaligus memberikan anak ruang untuk
belajar bekerja sama dengan anak lain di dalam kelompoknya. Kemandirian anak
dalam konsep sistem pendidikan hati bukan hanya menjadikan anak dapat melakukan
berbagai hal secara mandiri. Tetapi kembali lagi kepada memberikan anak
kepercayaan bahwa apa yang menjadi tugas anak adalah tanggung jawabnya sendiri
dan harus diselesaikan sendiri.
Implementasi disiplin mandiri ini dapat melalui
pemberian tanggung jawab kepada anak secara berkelompok. Misalnya guru memberikan
tanggung jawab kepada lima sampai enam anak yang berbeda di setiap harinya untuk
membereskan mainan atau perlengkapan kelas. Dapat pula guru memberikan tanggung
jawab bergilir kepada anak secara individu atau berkelompok untuk mengelap kaca
di kelas setiap pulang sekolah. Penerapan tugas secara berkelompok pada aspek
aktivitas disiplin mandiri ini ditujukan agar anak memahami bahwa mandiri tidak
berarti dilakukan sendirian saja tanpa teman atau bersosialisasi. Akan tetapi
anak dipahamkan bahwa mandiri dalam lingkungan berkelompok berarti setiap
individu mempunyai dan menyelesaikan tugasnya sendiri.
Dalam praktik aktivitas berbasis
disiplin mandiri di atas, guru, orang tua, dan lingkungan belajar sangat tidak
dianjurkan nih untuk memberikan ancaman atau perintah tanpa contoh. Sebagai
gantinya, anak harus diberikan kepercayaan penuh dan tetap dibantu jika anak
mengalami kesulitan. Maksudnya adalah dalam segala aktivitas belajarnya bukan
berarti anak dibiarkan sendirian ya. Tetapi tetap ada pengawasan guru atau
orang dewasa ketika anak sedang menikmati ruang dan waktunya untuk belajar dari
pengalaman dan kesalahan yang dilakukan bersama-sama dengan teman sebayanya.
Aktivitas Keterampilan Dasar
Aspek selanjutnya adalah aktivitas
keterampilan dasar yang dalam sistem pendidikan hati aspek ini akan membantu anak
mengembangkan keterampilan hidup dan daya kreativitasnya. Pada aktivitas ini
anak diberikan kesempatan untuk berimajinasi dan mengekspresikan diri. Secara
tidak langsung, jiwa anak diberi stimulus pembelajaran agar tumbuh menjadi
pemuda yang merasa dan mencipta.
Dalam penerapannya, anak diberikan
aktivitas belajar yang berkaitan langsung dengan keterampilan hidup. Contohnya
adalah aktivitas merapikan dan membersihkan ruang belajar bersama-sama,
menyapu, mengepel, dan mengelap kursi dan meja bersama. Melalui aktivitas ini
anak disiapkan menjadi pemuda yang merasa, yang sedikit demi sedikit diberi
aktivitas nyata agar anak mempunyai pengalaman dan mampu saling menjaga.
Aktivitas lainnya adalah aktivitas seni
dasar seperti bernyanyi, bermain alat
musik, dan mendaur ulang sampah menjadi prakarya baru dalam bentuk projek
individu ataupun kelompok. Pada keterampilan inilah anak diberikan pengalaman
untuk mencipta melalui kesenian dan projek yang dibuatnya sendiri.
Pengoptimalan Kebersihan Dan Kesehatan
Terakhir adalah aspek pengoptimalan
kebersihan dan kesehatan anak usia dini. Aspek yang kerap kali diremehkan oleh
masyarakat Indonesia ini tanpa disadari memiliki dampak yang cukup besar dalam
tumbuh kembang anak usia dini loh. Karena jika kebersihan dan kesehatan anak
tidak diperhatikan, maka anak dapat mudah terkena penyakit hingga aktivitas
anak menjadi terhambat dan terbatas. Kalau sudah begini, pastinya sia-sia sudah
semua sarana dan prasarana pendidikan sebagus apapun itu.
Pengoptimalan kebersihan dan kesehatan pada
sistem pendidikan hati tetap diterapkan dalam bentuk bermain dan beraktivitas
keseharian di lingkungan belajar. Contohnya adalah merutinkan aktivitas pagi
dengan menyikat gigi bersama dan mencuci tangan. Dapat pula diterapkan dalam aktivitas
membersihkan tempat belajar setiap hari bersama-sama dan bermain olahraga
setiap pekannya. Kalau yang ini sudah sering lihat mungkin ya di film atau dorama
Jepang saat anak-anak SD mengepel lantai kelas atau menyikat kamar mandi. Aktivitas
ini bukan hal yang aneh di Jepang, karena kebersihan sekolah adalah tanggung
jawab seluruh warga sekolah dan tidak akan pernah ada petugas kebersihan di SD.
Tidak cukup sampai di situ, kebersihan
tempat belajar dan pelaksanaan olahraga bersama juga perlu ditunjang dengan
terpantaunya gizi dan nutri. Makan siang bersama dengan gizi seimbang yang
disiapkan oleh sekolah adalah contoh usaha besar dari sistem pendidikan hati
agar anak usia dini tetap terjaga asupan nutrisinya. Melalui penerapan makan
siang ini, anak yang berasal dari keluarga berekonomi rendah pun tetap memiliki
setidaknya satu kali asupan gizi yang baik dalam sehari.
Akan lebih baik lagi jika sekolah
melakukan pemeriksaan pertumbuhan anak seperti mencatat perubahan berat badan
dan tinggi badan anak setiap semesternya. Pencatatan berat dan tinggi badan
anak bertujuan untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya permasalahan
pertumbuhan anak. Pencatatan BB dan TB ini benar-benar dilakukan di Jepang.
Jadi selain ada buku laporan perkembangan kemampuan social dan akademik anak,
ada juga loh buku laporan yang isinya perkembangan kesehatan anak yang ditulis
oleh dokter anak yang ditugaskan ke sekolah setiap semesternya.
Berbagai aspek dari sistem pendidikan
hati untuk anak usia dini di atas pastinya diperkirakan membutuhkan fasilitas
yang tidak sedikit. Tapi sebenarnya karena segala aspek tersebut merupakan
aktivitas keseharian. Maka untuk menerapkannya sekolah cukup dengan memaksimalkan
fasilitas yang ada di dalam atau di lingkungan sekolah. Tidak perlu media
khusus untuk menerapkan sistem pendidikan hati ini karena segala aspeknya
merupakan bagian dari kehidupan keseharian anak.
Dalam pengaplikasiannya, sistem
pendidikan hati untuk anak usia dini ini menuntut keterlibatan penuh dari setiap
figur lingkup pendidikan anak. Tidak
hanya guru dan orang tua, tetapi staff sekolah atau lembaga pendidikan juga
berperan sebagai motor pendidikan. Artinya orang tua bukanlah klien guru dan
staff di sekolah, melainkan rekan sesama motor pendidikan yang menjadikan anak
sebagai objek utama pendidikan itu sendiri. Oleh sebab itu para motor
pendidikan harus memiliki komunikasi, kerja sama, dan rasa saling percaya.
Jauh
lebih dalam lagi, motor pendidikan perlu menyadari betul bahwa
pekerjaan-pekerjaan yang ada di dalam sistem ini adalah pekerjaan lahir untuk
mendidik batin. Hal ini tentu saja demi mencapai tujuan jangka panjang sistem pendidikan
hati, yakni agar anak-anak tumbuh menjadi pemuda yang berpekerti baik dan
menggunakan kecerdasannya untuk kemaslahatan bersama.
Sistem pendidikan hati yang dirancang Jepang
ini agaknya bisa kita tiru untuk menyiapkan generasi emas Indonesia yang cerdas
beradab ini akan berjalan dengan baik jika wajib belajar diterapkan sebagaimana
mestinya. Yang mana wajib belajar seharusnya menjadi masa anak memperoleh hak
belajarnya tanpa ada tinggal kelas dan ujian masuk atau ujian penentu kelulusan
selama dalam masa tersebut. Jika wajib belajar diterapkan cara demikian,
program wajib belajar telah mendukung sepenuhnya kebutuhan perkembangan anak
dan hal ini sama dengan mendukung menyiapkan generasi emas Indonesia yang
cerdas beradab.
Dalam sistem pendidikan hati pada anak
usia dini ini tentunya pendidikan tidak begitu saja melupakan aspek kognitif
dan meniadakan aktivitas akademik anak usia dini. Pengenalan ruang, bentuk,
meningkatan motorik kasar dan halus, semuanya tetap ada meskipun dileburkan ke
dalam aktivitas keseharian. Aktivitas ini dapat tidak melulu menggunakan kertas
dan gunting, anak bisa belajar ruang dan bentuk dari contoh benda-benda di
sekitar lingkungan belajar. Demikian juga dengan pengenalan huruf dan angka,
tidak selalu dilakukan murid dengan kertas dan pensil. Aspek kognitif ini tetap
dileburkan dalam aktivitas keseharian seperti aktivitas mengenal huruf dan
angka di atas pasir, mengenal hitungan sederhana dari dengan mengenal jumlah
bangku di dalam kelas saat merapikan kelas, dan sebagainya.
Tugas besar para motor pendidikan untuk
menerapkan sistem pendidikan hati ini pastinya adalah bagaimana memindahkan
segala tuntutan kurikulum ke dalam aktivitas keseharian. Hal ini tentu tidak
mudah, tetapi akan menjadi mudah jika membaginya ke dalam aspek-aspek sistem
pendidikan hati seperti yang telah dijelaskan di atas.
Seperti itulah rancangan sistem
pendidikan hati pada anak usia dini yang diterapkan di Jepang. Jadi tidak heran
lagi ya, bagaimana orang-orang Jepang didominasi dengan orang-orang yang
inovatif tapi tetap punya budi pekerti yang tinggi. Kalau kata teman Jepang
saya mungkin karena budaya malu di Jepang sangat tinggi, jadinya orang akan
selalu berhati-hati bersikap dan tidak mau merepotkan atau menggangu orang
lain. Kembali ke sistem pendidikan hati pada anak usia dini ya. Siapa tahu ada
teman-teman yang mau mendirikan sekolah atau sudah punya anak dan mau
menerapkan system seperti ini, kayaknya akan sangat bagus untuk Indonesia ke
depannya nih. Ya kalau diterapkan kita semua bisa bersama-sama menaruh
napas-napas harapan, untuk menyiapkan anak-anak Indonesia menjadi generasi emas
yang cerdas beradab dan mampu menjadikan Indonesia bersinar di usia emasnya.
Aamiin.
@fatinahmunir | 11 Desember 2018