Posted by : Fatinah Munir 25 February 2018



Setelah menerima materi ketiga di kelas matrikulas IIP, itu artinya saya juga menerima   tugas ketiga. Seperti biasa, ada rasa dag-dig-dug setiap kali ingin menerima tugas dari fasil. Dan benar saja, kali ini tugasnya benar-benar mengejutkan dan lebih berat dari sebelumnya. Sebuah tugas yang buat saya bukan sekadar tugas untuk membuat, menuliskan, dan mengumpulkan. Sama sekali bukan. Tugas-tugas yang telah diberikan, terutama tugas kali ini benar-benar tricky, setengah ngerjain peserta kelas, setengah lagi memaksa kami untuk berpikir. Tapi secara keseluruhan, tugas kali ini benar-benar meminta kita untuk jujur kepada diri sendiri, jujur kepada hati, jujur kepada pikiran. Semuanya seolah-olah dirancang demi kejujuran kami, peserta kelas, kepada masa lalu dan masa depan kami.

Anyone can guess what is my third task that makes me so nerves during doing it?

Ada dua tugas untuk dikumpulkan pada pekan ketiga ini. Pertama adalah melihat siapa kita dan lingkungan kita. Tugas ini terbagi lagi menjadi tiga bagian, tugas untuk melihat diri sendiri dan menentukan potensi diri yang dimiliki, melihat kondisi keluarga dan menemukan alasan mengapa kita dilahirkan di keluarga tersebut, dan melihat kondisi lingkungan dan menemukan alasan mengapa kita dilahirkan di lingkungan tempat tinggal kita sekarang. Tugas kedua jauh lebih tricky, yaitu setiap peserta diminta menuliskan surat cinta untuk masing-masing pasangannya. Untuk saya yang belum menikah, maka surat cinta tersebut ditujukan kepada calon pendamping hidup saya.

Duh! Baru memikirkan tugas ini saja saya sudah kebingungan. Bingung apa yang harus diungkapkan, karena khawatir akan melibatkan terlalu banyak emosi dan malah jadi gagal mengetik. Hehehe. Tapi bismillah. Saya akan berusaha sebisa saya untuk menjawab seluruh pertanyaan tersebut apa adanya sesuai dengan kondisi saya saat ini.

***

Bismlillahirrahmanirrahim.

Lihatlah diri anda, tuliskan kekuatan potensi yang ada pada diri anda!

Bagi saya, diri saya kurang lebih adalah seorang ingin banyak tahu, perfeksionis, dan melankolis.

Saat ada hal yang ingin saya ketahui atau pelajari, biasanya saya akan mencari tahu dari sumber informasi yang saya anggap cukup terpercaya. Oleh sebab itu saya tidak terlalu suka dengan penjelasan yang katanya-katanya tanpa sumber yang jelas. Sebab buat saya, setiap hal adalah ilmu yang bisa dipelajari dan dijelaskan dengan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Ketertarikan saya pada ilmu ini membuat saya senang belajar banyak hal dan cenderung menyukai tantangan.

Mungkin sebab di atas, teman-teman saya cenderung menganggap saya orang yang kaku dan kurang bisa bercanda. Hehehe. Tapi sejujurnya, begitulah apa adanya otak saya bekerja. Saya kurang bisa menerima hal-hal yang hanya bersifat diskusi katanya dan saya cenderung lebih butuh sumber ilmu yang terpercaya dibandingkan info-info yang hanya berseliweran di sosial media. Saat di kelas matrikulasi saya justru semakin pemilih dalam menyerap informasi di sosial media. Persis seperti prinsip “menarik tapi tidak tertarik”yang diajarkan di IIP pada kelas pertama. Hehehe.

Nah, setelah saya merasa apa yang ingin saya ketahui sudah cukup terjawab, maka saya memiliki dua pilihan, lanjut mempelajarinya atau menghubungkan ilmu tersebut dengan ilmu yang kini saya tekuni. Biasanya saya akan memilih mengonbinasikan ilmu baru tersebut dengan ilmu yang saya tekuni. Alias mencari celah agar saya bisa belajar keduanya tanpa saling menyingkirkan salah satunya. Contohnya saat saya memutuskan untuk menekuni dunia literasi, maka dunia literasi saya jadikan alat untuk menyampaikan ilmu-ilmu saya berkaitan dengan pendidikan autisme.

Di sisi lain, melankolis saya juga mendominasi. Saya cenderung memilih tempat yang tenang dibandingkan tempat yang ramai. Saya sering berpikir keras untuk suatu kejadian simple yang menurut sebagian teman saya, saya tidak seharusnya menganggap serius hal tersebut. Saya juga cenderung cengeng, entah ini karena melankolis yang saya miliki atau memang sikap kekanak-kanakan saya. Saya bisa dengan mudah menangis untuk hal kecil, misalnya saat kehilangan barang, saat panik, atau saat melihat suatu hal yang menurut saya tidak seharusnya terjadi seperti saat melihat anak-anak berjualan, keluarga tinggal di gerobak, dan sebagainya. Ya, bisa dibilang saya mudah tersentuh dan selalu ignin berbuat lebih untuk orang-orang di sekitar saya meskipun tidak jarang saya belum banyak tahu apa yang dapat saya lakukan untuk lingkungan saya.

Keingintahuan saya yang cukup besar membuat saya sering melakukan hal-hal yang menantang untuk diri saya. Contohnya adalah aktivitas traveling dan naik gunung yang saya gemari sekalipun saya berhijab dan selalu menggunakan rok. Atau aktivitas sosial bersama anak-anak jalanan dan berususan dengan preman. Lainnya adalah berbagai aktivitas keilmuan yang berhubungan dengan lapangan, seperti bertemu dengan banyak orang, mengajar, belajar dengan menghadiri berbagai majelis ilmu seperti seminar, workshop, klub, dan kajian keislaman.

Menengok lagi sosok saya seperti di atas, saya menemukan bahwa saya memiliki setidaknya tiga kekuatan diri yang dibarengi dengan kesenangan saya dalam belajar. Yakni saya senang mengajar, suka berbagi, dan gemar menulis,. Ketiga hal ini saya kombinasikan dalam ilmu yang saya tekuni saat ini, pendidikan autisme. Saya senang sampai saat ini bisa menikmati waktu yang berputar di dalam kelas. Saya senang sekali Allah SWT telah Memberikan saya kesempatan untuk mengajar pendidikan khusus autism. Keinginan saya untuk mengajar autsime dewasa pun terpenuhi selama hampir dua tahun ini. Sambil mengajar, alhamdulillah saya juga masih bisa memiliki kesempatan belajar banyak hal dari psikolog dan dosen-dosen di tempat saya mengajar.

Lalu kesukaan saya dalam aktivitas sosial saya salurkan dengan mendirikan sebuah komunitas Kitainklusi bersama teman-teman seprofesi yang sevisi. Di komunitas ini kami insya Allah nantinya akan membantu teman-teman disabilitas untuk menikmati keinklusian, membantu teman-teman untuk mengenal lebih banyak teman-teman disabilitas. Termasuk juga membantu keluarga yang memiliki anggota keluarga disabilitas untuk mengenali dan mendukung disabilitas dalam keluarga mereka. Insya Allah. (Mohon doanya ya dari kalian yang membaca tulisan ini. Heheh ^^)

Sedangkan dunia literasi atau baca tulis, buat saya adalah senjata untuk memaksimalkan dua kekuatan saya di atas. Pernah mendengar kalimat dari Imam Syafi’i yang berbunyi, “Ilmu itu ibarat hewan buruan dan pena adalah tali pengikatnya. Maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat!”.

Dengan menulis saya bisa berbagi lebih banyak tentang pengalaman saya membersamai murid-murid saya, termasuk berbagi informasi dengan orang tua dan masyarakat yang masih awam dengan disabilitas dan keinklusian.

Lihatlah orang tua dan keluarga anda! Silakan belajar membaca kehendak-Nya, mengapa anda dilahirkan di tengah-tengah keluarga anda saat ini dengan bekal/senjata potensi diri anda. Temukan misi rahasia hidup apa yang Allah SWT Titipkan ke diri anda. Tuliskan apa yang anda rasakan selama ini.

Bebicara tentang keluarga, saya dilahirkan di tengah keluarga keturunan Madura yang sangat sederhana. Kedua orang tua saya sudah menetap di Jakarta sejak keduanya menikah. Hingga kini kakak pertama saya berusia tigapuluh enam tahun dan saya duapuluh lima tahun, bisa dibilang hampir empatpuluh tahun emak dan bapak menetap di Jakarta.

Keluarga besar kami dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan pesantren dengan nilai-nilai keislaman yang cukup kental. Hampir seluruh sepupu saya adalah lulusan pesantren, paham kitab-kitab agama, dan bahkan beberapa merupakan guru al-Quran. Tetapi tidak demikian dengan keluarga inti saya.

Emak dan bapak saya seorang pedagang kecil di salah satu komplek perkantoran di Jakarta. Keduanya tidak banyak tahu tentang ilmu agama. Bahkan emak dan bapak tidak cukup lancar membaca dan menulis. Seingat saya bapak baru belajar membuat tanda tangan saat saya masuk ke sekolah dasar. Sedangkan emak giat belajar membaca walau terbata-bata sejak mengikuti pengajian ibu-ibu kampung, kurang lebih saat saya di kelas tiga sekolah dasar. Kendati demikian, emak dan bapak selalu mendidik kami untuk selalu menomorsatukan shalat dan sedekah. Emak dan bapak juga membiasakan kami membaca al-Quran setiap selesai salat subuh dan maghrib. Untuk belajar al-Quran dan ilmu lainnya, alhamdulillah emak dan bapak selalu memcarikan guru terbaik buat kami, anak-anaknya.

Kakak pertama saya hanya lulusan sekolah dasar. Kakak sempat belajar di pesantren, tetapi gagal karena kakak saya kurang berminat mempelajari ilmu agama. Maka selepas keluar dari pesantren, kakak hanya mengikuti sejumlah kursus keterampilan hingga akhirnya kakak menikah dengan seorang lelaki melalui perjodohan keluarga besar di usianya yang belum genap duapuluh.

Kakak kedua saya, tidak banyak yang saya tahu tentang dirinya pun tidak banyak yang saya ingat tentangnya. Yang saya tahu sejak saya kecil, kakak kedua saya sudah dan tetap seperti sekarang. Tubuh kakak kedua saya kecil dan tingkah lakunya seperti anak kecil. Entah sejak kapan saya mencoba mencari tahu tentang apa yang terjadi pada kakak kedua saya, yang saya temukan adalah kakak kedua saya mengidap kretin atau penyakit kerdil. Penyakit ini disebabkan banyak faktor dan menyebabkan pengidapnya mengalami pemberhentian tumbuh kembang. Oleh sebab itu kondisi kakak kedua saya, meskipun usianya kini sudah memasuki tigapuluh dua, tetapi fisik dan perilakunya masih seperti anak-anak.

Pernah saya bertanya kepada kakak pertama dan emak saya tentang kondisi kakak kedua ini. Mereka bercerita bahwa saat dilahirkan, kakak kedua saya seperti anak pada umumnya dan memiliki pertumbuhan seperti anak-anak pada umumnya hingga usianya lima tahun. Tapi pada tahun kelima tersebut kakak mengalami demam tinggi, rambut kakak rontok dan kulit kakak kering karena demam yang dialami. Keluarga kami yang saat itu tidak memiliki banyak biaya untuk berobat sama sekali tidak tahu apa yang menjadi penyebab demam tinggi kakak. Kemudian saat demam kakak menurun, tahun berganti tahun, pertumbuhan dan perkembangan kakak kedua saya tidak mengalami kemajuan. Sejak saat itu emak, bapak, dan kakak pertama saya tahu bahwa kondisi kakak kedua saya akan terus seperti itu.

Lalu pada Februari 1992 lahirlah saya. Anak ketiga dengan jarak usia yang jauh dari kedua kakak saya. Usia saya terpaut sebelas tahun dengan kakak pertama dan sembilan tahun dengan kakak kedua. Mungkin karena jarak usia yang terlampau jauh ini, saya agak kurang dekat dengan kedua kakak saya. Dan mungkin karena saya tidak dekat dengan keduanya, maka saya memiliki karakter dan kebiasaan yang sangat berbeda dengan keduanya, terutama dengan kakak pertama saya.

Jika kakak pertama saya kurang suka memperlajari sesuatu dan senang melakukan banyak pekerjaan rumah bersama emak, saya adalah sebaliknya. Saya senang sekali belajar apapun yang saya anggap menarik, sehingga sejak kecil saya akan sangat senang jika diberikan banyak aktivitas di luar dibandingkan hanya di dalam rumah. Misalnya saja sebelum saya masuk sekolah dasar –dulu emak dan bapak tidak punya banyak uang untuk memasukkan saya ke taman kanak-kanak, saya memiliki jadwal rutin berkeliling kampung. Yang saya lakukan saat itu adalah meniru tulisan yang ada di nomor rumah setiap orang. Dari situlah saya belajar menulis hingga salah seorang tetangga mengajarkan saya menulis dan berhitung.

Siang hari adalah waktu saya harus beristirahat. Emak akan mengunci pintu rumah dan pagar, lalu mematikan seluruh lampu di rumah agar suasana redup. Alasannya satu, supaya saya mau tidur siang. Di samping itu, saya juga belajar al-Quran setiap selesai waktu salat ashar (sore hari) hingga waktu salat isya (malam hari kurang lebih pukul 19.30-20.00) di rumah salah satu rekan bapak.

Saat saya memasukin sekolah dasar, emak juga mendaftarkan saya ke sekolah agama. Jadi setelah pulang sekolah sekitar pukul 10.30 dan istirahat di rumah, saya akan mengikuti kelas agama pukul 13.00 hingga 14.30. Lalu sore hari hingga malamnya tetap sama, belajar al-Quran di rumah rekan bapak.

Aktivitas saya berubah saat saya memasuki bangku Tsanawiyah, setingkat dengan SMP. Di masa ini saya mulai aktif di berbagai kegiatan, seperti rohis, qasidah dan nasyid, pramuka, dan mengikuti berbagai perlombaan. Alhamdulillah, emak dan bapak selalu mendukung saya beraktivitas. Kebiasaan bapak adalah menunggu saya yang pulang lebih sore daripada murid lainnya, karena aktivitas yang saya ikuti. Bapak akan duduk di atas motornya, di luar pagar sekolah. Bapak akan memperhatikan saya beraktivitas di lapangan atau aula yang tidak jauh dari tempat bapak menunggu. Hal ini berlanjut hingga saya duduk di bangku SMA dan kuliah. Berbagai aktivitas yang saya ikuti selalu memperoleh dukungan emak dan bapak. Keduanya memberikan saya kebebasan untuk melakukan apapun yang saya mau selama hal itu positif dan saya bertanggung jawab atasnya.

Karena salah satu kesukaan saya adalah beraktivitas sosial, tidak jarang bapak juga ikut andil dalam aktivitas saya yang satu ini. Contohnya bapak ikut menyortir dan merapikan barang-barang donasi yang datang ke rumah. Jika ada waktu senggang di akhir pekan, akan mengantar saya mengajar anak-anak jalana di lapak pemulung atau membantu saya dan tim mengantarkan barang-barang donasi kepada penerima bantuan.

Ada masa di mana emak dan bapak tidak mampu membantu saya. Yakni saya akan masuk kuliah, saat saya harus memutuskan akan menekuni ilmu apa. Emak dan bapak bukannya tidak mampu membantu, tetapi emak dan bapak memang tidak paham tentang apa itu kuliah dan apa saja yang akan saya lakukan selama kuliah.

Karena terlalu banyak hal yang saya lakukan, saat itu saya bingung apa yang sebenarnya ingin saya tekuni. Saya sempat kuliah farmasi pada 2010 karena mengikuti apa yang diharapkan wali kelas dan guru BK SMA saya. Alasan keduanya hanya satu, yakni nilai saya yang cukup tinggi dan saya dinilai layak menekuni ilmu farmasi. Sayangnya, setelah satu tahun kuliah saya baru menyadari bahwa nilai yang tinggi tidak cukup mampu membantu saya menemukan apa yang saya mau. Saya pun menemukenali diri saya sendiri, bahwa saya tidak memiliki passion di dunia farmasi.

Pada semester ketiga di farmasi saya memutuskan kembali mengikuti tes masuk universitas untuk jalur ilmu campuran. Saya memilih jurusan Ilmu Biologi dengan alasan saya senang mempelajari makhluk hidup, juga jurusan Sastra Indonesia sebab saya menyukai literasi, terakhir saya memilih jurusan Pendidikan Khusus dengan keponakan saya sebagai satu-satunya alasan.

Ya, keponakan saya didiagnosis mengalami keautistikan sejak usia dua tahun. Saat saya memutuskan ikut ujian ulang, usia saya sudah mencapai sembilanbelas tahun dan keponakan saya berusia sebelas tahun. Qodarullah, alhamdulillah saya lulus di pilihan ketiga. Saya menjadi mahasiswa Pendidikan Khusus di Universitas Negeri Jakarta sejak September 2011 hingga Februari 2015, alhamdulillah.

Oh iya, tentang saya dan kakak pertama saya. Seiring dengan bertambahnya usia, sedikit demi sedikit saya mencoba berbaur dengan kedua kakak saya. Bisa dibilang usia delapanbelas adalah masa di mana saya baru cukup mampu menyeimbangi frekuensi kakak-kakak saya, terutama kakak pertama. Di usia itu saya baru bisa berbagi cerita dengan kakak, mengobrol dan saling curhat. Sayangnya, di usia itu juga kakak memiliki masalah serius dengan suaminya. Ditambah dengan kondisi keponakan yang mengalami keautistikan sedang memasuki masa remaja. Masalah baru di usia perkembagan baru, sedangkan saya baru saja mempelajari ilmu tentang anak dengan autisme.

Sejak kedekatan saya dengan kakak inilah, kakak selalu menanyakan banyak hal kepada saya, menunggu pendapat saya untuk memutuskan suatu hal –bukan hanya tentang anaknya, dan meminta bantuan saya untuk banyak hal. Bisa dibilang, sejak saat itu sampai saat ini kakak banyak mengandalkan saya. Sejak saat itu pula saya merasakan kendati saya anak terakhir, tetapi peran saya di keluarga sama seperti anak pertama.

Lalu semuanya berubah lagi. Hampir dua tahun lalu suami kakak meninggal. Emak dan bapak menjadi tempat kakak kembali. Emak dan bapaklah yang setelahnya bertanggung jawab atas kakak dan keponakan saya. Setelah saya sudah berpenghasilan, saya juga ikut membantu emak dan bapak untuk memenuhi beberapa kebutuhan kakak dan anaknya.

Hampir setahun lalu, saat setahun setelah suami kakak meninggal, bapak juga berpulang. Itu artinya tidak hanya kakak pertama dan keponakan saya yang harus saya pikirkan. Emak dan kakak kedua saya ikut masuk dalam daftar tanggung jawab saya.

Tanggung jawab, bukan itu yang menjadi kekhawatiran saya. Jauh dari hal itu, beradaptasi dengan ketiadaan bapak adalah hal lain yang lebih mengkhawatirkan saya. Sejak kecil saya sangat dekat dengan bapak. Berbagai aktivitas lebih sering saya lakukan bersama bapak, termasuk aktivitas yang semestinya saya lakukan bersama emak. Contohnya adalah berbelanja kebutuhan sekolah setiap kenaikan kelas, belajar memasak, hingga belajar menjahit saya lakukan bersama bapak. Alasan lain dari kedekatan saya dengan bapak bisa jadi karena karakter saya dan bapak yang hampir sama. Oleh sebab itu sampai usia duapuluh lima pun saya lebih sering bersama bapak dan tidak dekat dengan emak dan kakak saya.

Masa adaptasi inilah yang harus saya lewati dengan sangat sulit. Saya harus melawan diri saya yang introvert untuk bisa mendekat dengan emak dan kakak yang sangat ekstrovert. Saya harus melawan masa lalu saya yang sama sekali tidak dekat dengan emak dan kakak. Saya harus melawan kenangan-kenangan kedekatan saya dengan bapak. Semuanya demi bisa berdamai dengan kehidupan saya saat ini dan menyelamatkan masa depan saya dan keluarga.

Sambil berdamai dengan diri sendiri, saya juga harus menyadari bahwa saya tidak bisa mengandalkan emak dalam segala hal. Kondisi emak yang semakin tua dan sendirian mengurus dagangan keluarga, membuat saya meletakkan keluarga di posisi paling atas; sebagai prioritas amat sangat paling utama. Jika sebelumnya saya senang jalan-jalan dan naik gunung, kini saya harus menahan diri dari hobi tersebut. Daftar tempat yang menjadi target jalan-jalan dan naik gunung harus saya hapus semuanya. Jika sebelumnya saya senang beraktivitas di luar, untuk projek sosial atau ikut mengikuti aktivitas komunitas, sekarang saya hanya meluangkan waktu dua kali dalam sebulan untuk ikut aktivitas tambahan di luar rumah.

Tidak hanya itu, kondisi saat ini juga membuat saya harus menyimpan impian-impian saya. Empat bulan sebelum bapak berpulang, saya mendapatkan restu bapak untuk melanjutkan kuliah di Eropa. Restu ini sudah saya nanatikan hampir dua tahun lamanya, setelah meyakinkan bapak bahwa saya akan baik-baik saja di tempat yang jauh dari Indonesia.

Qodarullah, bapak pun pergi setelah restunya yang saya idamkan dapat saya terima. Setelah itu emak dan kakak kompak meminta saya untuk membatalkan kepergian saya ke Eropa. Saya pun mengiyakan, demi amanat bapak agar saya tetap menjaga emak, kakak, dan keponakan saya. Impian melanjutkan pendidikan, bahkan untuk sekadar di Indonesia atau Jakarta saja pun tetap harus saya simpan rapat-rapat. Karena saya pikir saya akan tetap sama sibuknya seperti sebelumnya jika harus tetap bekerja sambil kuliah, sehingga akan sedikit waktu saya bersama keluarga.

Setelah melalui masa-masa ini, saya kembali bertafakkur, banyak merenung, dan lagi-lagi berefleksi diri lebih dalam. Bersamaan dengan itu, muncul banyak sekali pertanyaan untuk Allah SWT. Pertanyaan-pertanyaan yang terakumulasi dalam diri saya yang sedang dirundung sedih.

Mengapa Allah SWT Memanggil bapak di masa saya baru mandiri dan ingin membahagiakan bapak dengan peluh saya sendiri? Mengapa Allah SWT Memanggil bapak dengan kondisi tidak ada ada satu anggota keluarga laki-laki selain bapak? Mengapa Allah SWT Menakdirkan kakak saya sebagai janda bersama anaknya yang spesial? Mengapa Allah SWT Menghendaki kelahiran keponakan saya yang spesial? Mengapa Allah SWT Menetapkan kakak kedua saya juga menjadi yang spesial? Mengapa Allah SWT Menggariskan saya tidak dekat dengan emak dan kakak saya? Mengapa Allah SWT Membuat saya dekat dengan bapak? Mengapa Allah SWT Menghadirkan saya di tengah keluarga saya saat ini?

Ada banyak lagi pertanyaan yang menjejal di kepala saya. Dada saya begitu sesak dan terasa ingin meledak dibuatnya.

Kemudian Allah SWT Pertemukan saya dengan IIP. Di kelas matrikulasi ini, di pekan ketiganya, saya dibuat berpikir keras. Mengerjakan tugas ini pun dengan penuh emotional. Sesekali berhenti air mata yang tidak bisa ditahan atau memenangkan diri dari memori yang kembali digali. Alhamdulillah, sedikit demi sedikit saya menemukan jawaban dari pertanyaan saya.

Allah SWT Menitipkan misi besar-Nya ke tangan saya. Allah SWT Jadikan saya sebagai anak perempuan yang dekat dengan bapak, mungkin agar saya bisa belajar bertahan seperti kebertahanan bapak dalam sabarnya. Juga agar saya bisa menggantikan bapak, seperti di kondisi sekarang. Allah SWT Takdirkan saya sebagai satu-satunya anggota keluarga yang keranjingan belajar banyak hal baru, mungkin untuk menjadikan saya penyeimbang keluarga yang tidak banyak tahu tentang ilmu dunia. Termasuk juga di dalamnya ada rencana Allah SWT Mempersiapkan saya sebagai anggota keluarga yang bisa membantu kakak dan keponakan saya.

Allah SWT Buat saya “singgah” kuliah di Farmasi, pasti agar saya bisa bertemu dengan teman-teman penulis. Sebab saat di bangku kuliah Farmasi-lah saya menemukan wadah untuk membantu mengembangankan passion saya di dunia literasi. Allah SWT telah Merancang saya untuk menjadi saya seperti sekarang, di kondisi saya sekarang. Maka hal-hal yang telah saya lewati tanpa disadari adalah proses latihan yang Allah SWT Siapkan untuk saya di masa sekarang. Dan apa yang saya lewati saat ini adalah proses latihan yang Allah SWT Siapkan untuk menjadikan saya di masa depan.

Kini yang saya dapi adalah hidup saya bervisikan surga Allah SWT dan berharap menjadi muslimah terbaik-Nya dengan belajar untuk lebih bermanfaat. Di sini saya dapati Allah SWT Menitipkan beberapa misi rahasia-Nya kepada saya melalui keluarga, yakni menjadikan saya sebagai motor perubahan pada keluarga saya dari berbagai sisi. Melalui peranan inilah saya menemukan jawaban bahwa saya dirancang khusus oleh Allah SWT sebagai seorang anak sekaligus pengemban amanat emak bapak untuk terus menjadi keluarga, sebagai adik sekaligus pendamping buat kakak-kakak saya yang cukup bergantung kepada saya, dan sebagai tante sekaligus guru untuk keponakan saya.

Apa yang saya rasakan selama ini dan hingga saat ini?

Mungkin banyak teman yang mengatakan bahwa saya tampak seperti orang yang tidak mempunya masalah, tidak pernah galau, tidak pernah sedih, dan banyak lagi komentar positif lainnya. Alhamdulillah. Begitulah cara Allah SWT Menutupi semua kelemahan saya hingga tidak ada seorang pun yang percaya bahwa saya juga pernah melewati masa-masa tertekan, sedih berkepanjangan, dan keputusasaan. Hanya saja, selama ini hanya Allah SWT yang menjadi tempat saya menumpahkan itu semua, bukan sosial media ataupun sahabat dekat saya sekalipun.

Lalu apa yang sebenarnya saya rasakan? Penuh emosional. Ada rasa iri kepada kakak yang bisa lebih dekat dengan ibu dan dekat dengan hampir seluruh sepupu-sepupu saya. Rasa sedih karena harus menjadi yang berjuang sendirian dan semakin berat terasa ketika emak bapak menaruh harapan besar keluarga kepada saya. Tersesat sendirian karena saya merasa tidak ada yang bisa memahami cara berpikir saya, termasuk memahami impian-impian saya yang terlampau tinggi dibandingkan kakak saya.

Saya semakin sedih ketika harus berpisah dengan bapak secepat ini. Marah kepada emak dan kakak yang tampak tidak pernah berusaha mendekati saya agar saya bisa lebih dekat dengan keduanya. Saya merasa tersesat sendirian saat harus berjuang sendirian menyesuaikan diri tanpa bapak. Saya merasa menjadi yang harus paling mengalah, yang paling banyak harus menyesuaikan diri demi menomorsatukan keluarga. Semakin sesak dada saya ketika saya harus dengan suka rela menyimpan impian-impian besar saya dan menggantinya dengan tetap dekat dengan keluarga. Ingin berteriak rasanya. Tapi kepada siapa? Untuk apa? Saya hanya punya Allah SWT, yang kepada-Nya saya berserah dan menyimpan impian-impian saya. Teramat sangat besar harapan saya akan janji Allah SWT, agar Dia Menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dan Mengembalikan impian-impian yang saya titipkan kepada-Nya. Lalu Dia berkata kepada saya, “Inilah waktunya!”

Lihatlah lingkungan di mana anda tinggal saat ini! Tantangan apa saja yang ada di depan anda? Adakah anda menangkap maksud Allah SWT, mengapa anda dihadirkan di lingkungan ini?

Saya tinggal di lingkungan padat penduduk di Jakarta. Bisa dibilang ini seperti perkampungan di tengah kota. Kurang dari satu kilometer keluar dari perkampungan tempat saya tinggal, ada pusat perekonomian kota dan kawasan sentral. Kendati tidak terlalu jauh dari Kawasan sentral dan pusat perekonomian kota, sayangnya lingkungan saya sangat tidak sehat secara keseluruhan. Lingkungan di sini padat. Beberapa gang bahkan sangat rapat, sehingga untuk melintas di gang tersebut saya merasa tidak nyaman. Rata-rata tingkat pendidikan para tetangga tidaklah tinggi, beberapanya termasuk saya adalah yang bisa menikmati pendidikan hingga universitas, sebagiannya hingga SMA, dan banyak yang hanya sampai SMP atau SD, bahkan putus sekolah.

Sebenarnya secara perekonomian, tetangga saya cukup mampu membayar biaya sekolah, apalagi sekarang sekolah pemerintah tidak dikenakan biaya. Yang menjadi alasan utama rendahnya pendidikan orang-orang di lingkungan saya tinggal adalah rendahnya motivasi belajar dan visi ke depan bagi mereka. Hal ini terlihat dari bagaimana mereka keseharian bergaul. Hampir seluruh tetangga saya cenderung adalah orang-orang yang gemar menikmati kehidupan malam, baik laki-laki ataupun perempuan. Ya, bisa dibilang pergaulan orang-orang di lingkungan saya ini cukup bebas. Bahasa yang mereka gunakan pun kasar dan cukup vulgar buat saya. Maka tidak jarang di setiap tahunnya ada saja kasus tetangga saya yang ditangkap polisi karena mengonsumsi atau mengedarkan narkoba, sampai ketahuan menjadi komplotan pencuri. Dan sudah menjadi rahasia umum bagi lingkungan sekitar jika ada remaja wanita yang hamil di luar nikah. Beberapa di antaranya memilih mengugurkan kandungan dan sebagiannya memilih melahirkan anak yang dikandung dan memberikan anaknya kepada orang lain. Hiks. Hal ini selalu menjadi bagian tersedih dari lingkungan saya tinggal :’(

Karena kondisi lingkungan yang seperti ini, emak bapak tidak pernah memberikan saya waktu bermain yang banyak. Waktu yang saya punya lebih sering saya habiskan di dalam rumah atau di sekolah dan ikut aktivitas sekolah. Untuk menjaga pergaulan saya, emak bapak juga mencarikan sekolah yang cukup jauh dari lingkungan rumah. Dampaknya bagi saya pribadi adalah saya tidak banyak mengenal tetangga saya, bahkan sampai sekarang saya hanya tahu beberapa nama. Huhuhu.

Hal ini menjadi titik kelemahan saya untuk berbuat banyak di lingkungan saya. Saya tahu permasalahan di lingkungan saya tetapi saya belum bisa masuk ke dalam lingkungan saya sendiri. Jika sudah begini, saya sadar bahwa saya akan sangat kesulitan melakukan banyak hal untuk lingkungan saya. Dulu saat saya di bangku SMA dan terlibat di karangtaruna, alhamdulillah saya berhasil menyisipkan nilai-nilai keislaman di lingkungan saya. Misalnya mengadakan pengajian untuk remaja setiap kamis malam, membentuk tim nasyid, dan mengundang tokoh agama untuk memberikan ceramah untuk warga. Tapi sayangnya setelah lulus SMA, saya kembali kurang berinteraksi dengan lingkungan rumah. Sangat semakin berkurang malah.

Melihat kondisi lingkungan tempat tinggal yang seperti ini dan tidak ada banyak perubahan yang berarti sejak saya masih kecil, sejujurnya saat ini saya masih meraba-raba maksud Allah SWT Melahirkan saya di lingkungan ini. Akan tetapi saya tetap memiliki impian untuk bisa mengubah lingkungan rumah saya menjadi lebih baik. Belum lagi karena di sekitar rumah saya juga ada beberapa anak berkebutuhan khusus yang kurang mendapatkan perhatian dari keluarga mereka. Suatu hari nanti saya ingin berkontribusi untuk lingkungan ini agar setiap anak mendapatkan hak pendidikannya, memiliki motivasi belajar yang tinggi, mereka berbahagia di lingkungan yang anak, dan sangat berharap orang-orang tua bisa menjadi teladan bagi anak-anak dan pemuda.

Tantangan yang sangat besar ini pasti membutuhkan tenaga yang besar dan waktu yang tidak sebentar untuk melewatinya. Untuk itu sedikit demi sedikit saya akan belajar untuk berbaur dengan lingkungan rumah. Misalnya dengan cara berbelanja di warung-warung sekitar rumah, sering menyapa tetangga yang berpapasan di tengah jalan, dan bersilaturahim dengan beberapa tokoh lingkungan yang sekiranya bisa mempunyai pengaruh ke lingkungan tempat saya tinggal.

***

Whoaaaaa! Sudah di penghujung tulisan. Penuh emosional. Itulah dua kata yang pantas untuk mewakili tugas ketiga saya ini. Tapi syukur Alhamdulillah, di baliknya ada banyak pelajaran yang saya terima. Saya bisa melihat diri saya, keluarga, dan lingkungan tempat saya tinggal saat ini lebih dalam. Dari sanalah saya menemukan titik-titik jeda di mana semestinya saya meletakkan maaf, manaruh damai pada seluruhnya agar saya bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi saat ini hingga ke depannya.

Dari hasil melihat diri sendiri ini dan dari panjangnya tulisan ini saya menemukan maksud Allah SWT Melahirkan saya ke dunia ini. Allah SWT telah Merancang saya memiliki tiga peran besar dalam hidup ini dan membawa tiga misi besar di dalamnya. Pertama sebagai hamba-Nya, misi saya adalah menjadi hamba terbaik-Nya yang bervisikan surga terbaik-Nya kelak. Menjadi hamba terbaik Allah SWT adalah menjadi seorang muslimah yang menjaga diri dari keburukan dan kesia-siaan, juga yang gemar mempelajari islam, Qur’an dan hadits dengan benar.

Kedua sebagai perempuan, misi saya adalah menjadi anak perempuan yang patuh kepada kedua orang tua saya dan menjadi kunci surga buat keduanya. Dalam kondisi saat ini saya mengemban misi menjadi adik perempuan sekaligus tante yang bisa membantu menangani kedua anggota keluarga saya yang spesial. Suatu hari nanti jika saya sudah menjadi istri, maka misi saya adalah mengolaborasikan kekuatan saya dengan kekuatan  suami agar terbentuk kolaborasi kebaikan bagi keluarga kami. Lalu jika saya sudah menjadi ibu, maka misi saya adalah menjadi ibu sekaligus guru dan teman untuk anak-anak saya. Membangun peradaban berlandaskan Qur'an dan sunnah untuk mereka dari dalam rumah.

Terakhir sebagai manusia terbaik-Nya yang selalu menebarkan kebermanfaat. Di sini misi saya adalah menjadi pejuang autisme dan inklusivitas yang membantu orang-orang dengan autisme, orang tua, dan keluarga dengan autism untuk berjuang bersama mendapatkan hak-hak yang layak agar bisa diterima di masyarakat.

Bersama-Nya saya memang dirancang untuk membantu keluarga saya agar bisa hidup lebih baik terutama atas keberadaan kakak kedua dan keponakan saya. Lalu membantu orang tua yang memiliki anak dengan disabilitas agar bisa menerima kondisi keluarga, mempunyai informasi yang memadai, dan mendampingi mereka membersamai anggota keluarga mereka yang disabilitas. Misi lainnya adalah membantu masyarakat awam agar bisa mendapatkan informasi yang benar tentang disabilitas dan membantu mereka mengenal dan menerima keberadaan teman-teman disabilitas. Juga misi membantu teman-teman disabilitas agar bisa lebih diterima oleh masyarakat. Di luar dunia kedisabilitasan ini, ada misi lainnya yang tidak kalah beratnya untuk saya. Yakni misi memberikan pengaruh positif kepada lingkungan tempat tinggal saya.

Untuk misi rahasia ini saya menggunakan tiga kekuatan diri saya; mengajar, berbagi, dan menulis. Misi-misi tersebut insya Allah akan bisa terlaksana melalui tiga jalan ini. Insya Allah saya akan mendedikasikan diri saya untuk dunia disabilitas sebagai seseorang yang professional di bidang keautistikan dan keinklusian, mengajar anak-anak berkebutuhan khusus juga para guru dan orang tuanya. Di lingkungan rumah pun ingin sekali saya membuka perpustakaan kecil untuk anak-anak sekitar rumah sambil membuat aktivitas Montessori dan aktivitas bermain sambil belajar berdasarkan minat anak-anak. Selanjutnya, saya ingin sekali bisa berbagi dengan cara keliling Indonesia sambil berbagi ilmu kependidikan khusus yang saya miliki ini, kalau bisa sih sampai ke luar negeri. Hehehe. Terakhir, saya ingin sekali menuangkan setiap pengalaman saya bersama anak-anak berkebutuhan khusus dan banyak hikmah hidup lainnya yang saya peroleh melalui tulisan. Saya berharap suatu hari nanti bisa menjadi penulis professional yang menulis puluhan bahkan ratusan buku tentang anak dan kisah inspiratif.

Tulisan ini semoga menjadi awal dari terwujudnya semua impian-impian besar. Allahumma amiin ya mujibud du’a.


@fatinahmunir | Februari 2018






Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -