Posted by : Fatinah Munir 02 July 2017




"What makes you happy today?"

Adalah tanya yang dilontarkan instruktur yoga saya sebelum kami meninggalkan ruangan. Ini terjadi beberapa bulan silam, saat kali pertama saya bergabung di kelas yoga sekaligus pertama kalinya saya menerima pertanyaan serupa itu.

"What makes you happy today, Miss?" instruktur yoga saya mengulang tanya. Saya hanya tersenyum lebar, menunjukkan gingsul sambil menutupi kebingungan; saya harus menjawab apa.

Selintas saya teringat ketergesahan saya pada pagi sebelum memasuki kelas yoga. Saya menghela napas sambil menerka-nerka apakah jawaban yang akan saya gunakan akan terdengar konyol ataukah tidak di telinga instruktur yoga saya.

"Well, I'm happy because this morning I was able to attend to this class on time," jawab saya, "dan saya bahagia karena bisa minum sekotak susu strawberry." Saya kembali tersenyum, malu.

"That'd good!" mata instruktur yoga saya berbinar. Dia tersenyum lebar. Sebuah ekspresi di luar espektasi.

Tiba saat yang lainnya mendapat pertanyaan yang sama. Jawaban yang lainnyalah yang membuat saya lebih tercengang daripada pertanyaan simple yang sebelumnya membuat saya agak berpikir lama.

I'm happy today, karena saya bisa bertemu teman-teman saya. Karena saya bisa terhindar dari kemacetan. Karena saya bisa sarapan enak. Karena saya tetap sehat.


Itulah beragam jawaban yang saya dengar dengan wajah yang berseri cerah. "Cuma begitu?" tanya saya pada diri sendiri.

Tetapi setelahnya, saya merasa malu telah menyelimuti diri. "Sesimpel itu jawaban yang harus diberi, kenapa harus berpikir banyak?" saya berseru pada diri sendiri, lebih tepatnya menegur diri sendiri.

What makes you happy today?

Semestinya ada banyak jawaban dari pertanyaan ini. Tapi saya, yang mengambil jenak untuk menjawab, cukup menandakan kurangnya seni bersyukur dalam diri ini.

Saya jadi teringat satu ayat dalam rangkaian al-Luqman yang menjadi acuan pendidikan dalam Islam. Bersyukur adalah poin pertama yang termaktub di dalamnya. Sehingga mensyukuri nikmat menjadi hal utama yang dianjurkan diajarkan kepada anak-anak sebelum mengenalkan keesaan Allah SWT.


Iya, pada kisah dalam al-Luqman ayat 12-19, Allah Menyerukan Luqman agar bersyukur kepada-Nya yang sejatinya rasa syukur itu bukan untuk Allah melainkan untuk dirinya sendiri. Yang agar dari setiap syukur yang terulur, terdapat nikmat yang terus terjulur.

Saya juga kembali teringat, bukankah doa-doa dalam setiap jeda aktivitas ini selalu diselipkan hamdalah, alhamdulillah, puja puji sebagai bentuk terima kasih kepada-Nya. Tapi mungkin selama ini bagi saya pribadi doa-doa baru sebatas kata-kata yang dilafazkan dan belum meresap dalam nadi dan nurani.

Jika memang nikmat Allah SWT tak bertepi, mungkin kita, terlebih saya, masih harus terus berlatih menakar bahagia dari hal-hal yang tak diperhitungkan. Sehingga menjadi bahagia tak harus dirayakan dengan hal-hal berlebih. Mungkin perlu berlatih menyederhanakan bahagia, sehingga setiap detik yang terlewat menjadi nikmat yang besar nilainya.

Jadi apa yang membuatmu bahagia?

Seperti menikmati setiap masa yang terlewati, sehingga syukur selalu mengikuti.

Demikianlah.

Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -