- Back to Home »
- Sepotong Inspirasi »
- Mencintai Diri Sendiri
Posted by : Fatinah Munir
02 July 2017
"Kenapa kamu memukul kepalamu sendiri?" pernah saya bertanya pada anak didik saya.
"Saya kesal, karena saya tidak bisa fokus. Jadi saya buruk," jawabnya.
"Apakah kita boleh memukul saat kita kesal?" saya kembali bertanya.
"Tidak. Saya salah. Saya tidak fokus," jawabnya.
Kemudian saya mengulang tanya, "It's okay jika kamu tidak fokus. Tapi, apakah boleh memukul saat kesal?"
"Tidak. Saya salah. Saya harus mengontrol emosi dan menyayangi diri sendiri. Saya tidak boleh pukul-pukul kepala," begitu katanya sambil mengatur napasnya hingga hitungan sepuluh.
Saya tersenyum mendengar jawabnya. Mengingat sejenak pada apa-apa yang terjadi pada diri.
Mencintai diri sendiri adalah hal yang sebenarnya pernah saya ucapkan beberapa bulan lalu kepada mereka. Saat itu saya berbicara kepada anak didik saya yang taat beragama -meskipun berbeda agama dengan saya, tentang mencintai Tuhan dengan cara mencintai diri sendiri. Tidak menyakiti diri sendiri adalah salah satu hal yang saya contohkan sebagai bentuk kecintaan yang bermuara pada Sang Pencipta.
Tentu saja apa yang saya sampaikan kepada anak didik saya ini berkonteks pada kehidupan mereka. Ucapan saya bertujuan agar mereka berhenti memukul atau mengigit diri mereka sendiri.
Tetapi semakin lama, semakin sering mereka mengulang apa yang mereka dengar dari saya, justru saya semakin berpikir tentang diri saya yang sebenarnya. Sudahkah saya mencintai diri sendiri sebagai wujud kecintaan saya pada Allah azza wajallah?
Bagi anak didik saya, menyakiti diri sendiri hanya sebatas melukai fisik. Tetapi agaknya berbeda dengan kita, orang-orang yang normal katanya, yang masih sering menyimpan luka, memendam benci, berkutat pada iri dengki, dan tanpa sadar tenggelam dalam kesombongan. Lalu sudahkah kita mencintai diri sendiri atas kecintaan pada Ilahi?
Saya tetiba teringat beberapa kalimat penulis terkenal. Dikatakanlah oleh beliau bahwa luka yang disimpan, benci yang dipendam, dan harap yang menjadi gundah tak berkesudahan sejatinya bukan untuk orang-orang yang pernah meluka, yang dibenci, atau yang pernah diharapkan. Bahwasanya semua sakit itu hanya untuk diri kita sendiri.
Kendati pernah ada yang berkata biarlah sakit hati menjadi pemicu diri untuk lebih baik lagi, tapi sejatinya perjuangan untuk melakukan yang terbaik itu tidak akan seringan hati dan kaki yang melepaskan rasa sakit hati. Bahwasanya kebencian hanya akan memperberat perjuangan.
Jadi mungkin terlalu banyak di antara kita yang tanpa disadari menyakiti diri sendiri, menzolimi hati yang semestinya tenang justru malah menjadi gelisah karena rasa-rasa yang seharusnya dibuang. Mungkin juga banyak di antara kita yang tidak menyadari bahwa sakit hati itu telah berubah menjadi penyakit hati. Yangmana semakin lama, semakin direnggutnya kebahagiaan diri sendiri.
Jadi mungkin sebenarnya diri kitalah yang bertanggung jawab atas apa yang kita rasakan. Karena setiap sakit pada hati dan pikiran biasanya datang dari harap-harap yang berlebihan pada makhluk yang juga masih mengharapkan.
Jadi, sudahkah kita mencintai diri sendiri? Melepas pergi semua sakit yang sejatinya menyakitkan diri sendiri?
Jadi, sudahkah kita mencintai diri sendiri? Meletakkan harap pada satu-satunya Pemberi Harap, sehingga jika kelak apa yang kita pinta ternyata tak berbalas justru itu membuat kita mensyukuri cara-Nya mengganti?