- Back to Home »
- Sepotong Inspirasi »
- Parameter Cinta
Posted by : Fatinah Munir
02 July 2017
"Andai yang bersyahadat ini bukan ayahku," ucap Abu Bakr as-Shiddiq di hadapan Rasulullah saat menyaksikkan ayahnya, Abu Quhafah, menjabat tangan Rasulullah guna mengultuskan keimanannya.
Bukannya berbahagia, As-Shiddiq malah menangis hingga berguncang kedua pundaknya, "Lebih kusukai jika itu adalah tangan Pamanmu, Abu Thalib, ya Rasulullah yang menggantikan jabat tangan ayahku, lalu dia masuk Islam dan dengan begitu Allah membuatmu Ridha."
Apalah arti tangis sahabat atas keislaman ayahnya sendiri?
Adalah cintanya pada Rasulullah yang melebihi kecintaannya pada diri sendiri. Sehingga kala semestinya bahagia terhantur di dada, as-Shiddiq memilih menangis dan berharap Paman Rasulullah memiliki kesempatan yang sama untuk mengikrarkan keislamannya.
Pada kisah lainnya, ketika Rasulullah mengantarkan Julaibib, lelaki shaleh tak bernama, yang tak dikenal karena rupanya yang tak elok di kalangan Bumi Jazirah. Tujuan Rasulullah tak lain menyunting gadis jelita untuk Julaibib, lelaki yang tak dikenal dunia tapi dirindu surga.
Ayah bunda sang gadis kecewa, mengapa bukan Rasulullah sendiri yang meminang putrinya. Lalu keduanya tak terima apabila keelokan gadisnya bersanding dengan Julaibib yang tak baik rupa.
"Jika Rasulullah yang memintanya, maka aku ridho menikah dengan Julaibib, pilihan beliau," sahut si gadis jelita saat ayah bundanya masih berselubung bimbang.
Apalah arti diterimanya pinangan Julaibib oleh si jelita?
Adalah kecintaannya pada Rasulullah yang berbuah taat. Jika pernikahan adalah kendaraan menuju surga, si jelita yakin bahwa pilihan Rasulullah adalah kendaraan terbaiknya yang akan menjadikannya keluarga sakinah, mawaddah, rahmah, dan kaya berkah.
Berlari ke ribuan tahun sebelumnya, di situlah Ismail memasrahkan diri saat hendak disembelih oleh ayahnya sendiri, "Jika ini adalah perintah Allah azza wajallah maka lakukanlah, Ayahanda!"
Dengan derai duka, Sang Ayah melakukannya. Meskipun tepat sebelum pisaunya mengiris leher anak tercinta, Allah gantikan ia dengan hewan qurban sebagai tanda cinta umat-Nya.
Apalah arti kecintaan ayah dan anak ini yang nyaris menjadi tragedi?
Adalah kecintaannya pada Allah yang jauh melampaui kecintaan yang ada di antara keduanya. Diletakkannya cinta itu pada tahta tertinggi demi mewujudkan ketundukan pada Ilahi.
Masih teringat pula saat Ismail masih merah dan ayahnya, Ibrahim, hendak meninggalkan dirinya dan Hajar, sang ibu tercinta. Hanya satu tanya yang memantapkan, "Apakah Allah Memintamu meninggalkanku seperti ini?" Lalu keduanya berpisah dengan penuh kelapangan dada di tengah haus dan lapar. Tak ada keluh ataupun kesah. Keduanya, Ibrahim dan Hajar, hanya berdoa dan menunjukkan ikhtiar yang sebaik-sebaiknya.
Apalah arti cinta yang dipisahkan?
Adalah kecintaan keduanya pada Allah yang membuat mereka rela atas segala ketentuan-Nya. Tatkala Allah menjadi alasannya, maka tunduk patuh adalah jawabannya.
Setidaknya inilah empat dari ribuan kisah para shaleh/shalehah terdahulu yang tak pernah menjadikan diri mereka sendiri sebagai pengukur kecintaan. Mengembalikan segalanya kepada Allah dan Rasulullah adalah sejatinya paremeter cinta itu sendiri.
Apalah diri ini? Sudahkah menjadikan seruan Allah dan Rasulullah sebagai parameter cinta dalam segala cinta?
Saat ribuan tahun lalu mereka sudah mengenyampingkan kecintaan di hati atas ukuran diri sendiri, di sini kita masih disibukkan dengan memandang sesuatu yang baik adalah baik menurut takaran masing-masing diri.
Saat kini mereka telah tiada, di sini kita masih terseok-seok menahan ego agar takaran cinta kita cukup dengan mengembalikan semuanya pada Perintah Allah dan tauladan Rasul-Nya.
Sanggupkah kami mencintai apa yang Engkau cintai ya Allah, ya Rasulullah?
Bukannya berbahagia, As-Shiddiq malah menangis hingga berguncang kedua pundaknya, "Lebih kusukai jika itu adalah tangan Pamanmu, Abu Thalib, ya Rasulullah yang menggantikan jabat tangan ayahku, lalu dia masuk Islam dan dengan begitu Allah membuatmu Ridha."
Apalah arti tangis sahabat atas keislaman ayahnya sendiri?
Adalah cintanya pada Rasulullah yang melebihi kecintaannya pada diri sendiri. Sehingga kala semestinya bahagia terhantur di dada, as-Shiddiq memilih menangis dan berharap Paman Rasulullah memiliki kesempatan yang sama untuk mengikrarkan keislamannya.
Pada kisah lainnya, ketika Rasulullah mengantarkan Julaibib, lelaki shaleh tak bernama, yang tak dikenal karena rupanya yang tak elok di kalangan Bumi Jazirah. Tujuan Rasulullah tak lain menyunting gadis jelita untuk Julaibib, lelaki yang tak dikenal dunia tapi dirindu surga.
Ayah bunda sang gadis kecewa, mengapa bukan Rasulullah sendiri yang meminang putrinya. Lalu keduanya tak terima apabila keelokan gadisnya bersanding dengan Julaibib yang tak baik rupa.
"Jika Rasulullah yang memintanya, maka aku ridho menikah dengan Julaibib, pilihan beliau," sahut si gadis jelita saat ayah bundanya masih berselubung bimbang.
Apalah arti diterimanya pinangan Julaibib oleh si jelita?
Adalah kecintaannya pada Rasulullah yang berbuah taat. Jika pernikahan adalah kendaraan menuju surga, si jelita yakin bahwa pilihan Rasulullah adalah kendaraan terbaiknya yang akan menjadikannya keluarga sakinah, mawaddah, rahmah, dan kaya berkah.
Berlari ke ribuan tahun sebelumnya, di situlah Ismail memasrahkan diri saat hendak disembelih oleh ayahnya sendiri, "Jika ini adalah perintah Allah azza wajallah maka lakukanlah, Ayahanda!"
Dengan derai duka, Sang Ayah melakukannya. Meskipun tepat sebelum pisaunya mengiris leher anak tercinta, Allah gantikan ia dengan hewan qurban sebagai tanda cinta umat-Nya.
Apalah arti kecintaan ayah dan anak ini yang nyaris menjadi tragedi?
Adalah kecintaannya pada Allah yang jauh melampaui kecintaan yang ada di antara keduanya. Diletakkannya cinta itu pada tahta tertinggi demi mewujudkan ketundukan pada Ilahi.
Masih teringat pula saat Ismail masih merah dan ayahnya, Ibrahim, hendak meninggalkan dirinya dan Hajar, sang ibu tercinta. Hanya satu tanya yang memantapkan, "Apakah Allah Memintamu meninggalkanku seperti ini?" Lalu keduanya berpisah dengan penuh kelapangan dada di tengah haus dan lapar. Tak ada keluh ataupun kesah. Keduanya, Ibrahim dan Hajar, hanya berdoa dan menunjukkan ikhtiar yang sebaik-sebaiknya.
Apalah arti cinta yang dipisahkan?
Adalah kecintaan keduanya pada Allah yang membuat mereka rela atas segala ketentuan-Nya. Tatkala Allah menjadi alasannya, maka tunduk patuh adalah jawabannya.
Setidaknya inilah empat dari ribuan kisah para shaleh/shalehah terdahulu yang tak pernah menjadikan diri mereka sendiri sebagai pengukur kecintaan. Mengembalikan segalanya kepada Allah dan Rasulullah adalah sejatinya paremeter cinta itu sendiri.
Apalah diri ini? Sudahkah menjadikan seruan Allah dan Rasulullah sebagai parameter cinta dalam segala cinta?
Saat ribuan tahun lalu mereka sudah mengenyampingkan kecintaan di hati atas ukuran diri sendiri, di sini kita masih disibukkan dengan memandang sesuatu yang baik adalah baik menurut takaran masing-masing diri.
Saat kini mereka telah tiada, di sini kita masih terseok-seok menahan ego agar takaran cinta kita cukup dengan mengembalikan semuanya pada Perintah Allah dan tauladan Rasul-Nya.
Sanggupkah kami mencintai apa yang Engkau cintai ya Allah, ya Rasulullah?