Posted by : Fatinah Munir 19 July 2017




Beberapa hari lalu saya mendapatkan kiriman video yang sama dari beberapa teman melalui instagram ataupun pesan WhatsApp yang ternyata menjadi viral hingga saat ini. Dalam video tersebut terekam seorang mahasiswa dengan autism yang sedang dibully oleh teman-temannya hingga membuat yang dibully marah dan melempar tong sampah kepada pembully. Pertama kali menonton video tersebut, seketika hati saya hancur. Sedih dan amarah melebur menjadi satu perasaan yang hanya bisa saya ekspresikan dengan airmata.

Sebagai ortopedagogik yang sering berinteraksi dengan individu berkebutuhan khusus, apa yang saya rasakan tidak seberapa besar dibandingkan dengan apa yang dirasakan orang tua dan keluarga korban dalam video tersebut. Hati mereka pasti lebih hancur daripada saya, demikian pula yang dirasakan para orang tua anak dengan berkebutuhan khusus lainnya.

Mengingat kondisi emosional inilah saya berusaha menyusun tulisan ini dari sudut pandang kependidikan dan dari beberapa sumber terpercaya yang telah saya baca, guna menghindari tendensi kekecewaan, kekesalan, ataupun kebencian pada pihak pembully.  Semoga tulisan ini bisa membuka pengetahuan bagi pembaca yang awam pada dunia individu berkebutuhan khusus dan sedikit memberikan solusi atas masalah ini.  

Sebelumnya, mengingat kasus bullying kali ini melibatkan mahasiswa berkebutuhan khusus, ada banyak hal yang perlu kita sorot secara bersamaan. Di antaranya adalah bullying itu sendiri, kedisabilitasan yang mana dalam kasus ini adalah autism, dan keinklusian.

Bullying

Secara bahasa, dilangsir dari kamus Cambridge, Oxford, dan Longman, saya simpulkan bahwa bully /ˈbʊl.i/ merupakan kata kerja sekaligus kata benda yang berarti perilaku atau orang yang menggunakan kekuatannya untuk menyakiti atau menakuti orang yang lebih kecil dan lebih lemah daripadanya dan terkadang memaksa disakiti untuk melakukan hal yang tidak disukai. Dalam bahasa Indonesia, bully berarti rundung, mengganggu, atau merisak.

Secara terminology, tidak ada arti baku untuk bullying. Beberapa sumber yang saya dapatkan mengartikan bully adalah perilaku berulang menyakiti orang lain secara fisik dan psikis karena ras, agama, gender, ataupun aspek lain yang tampak berbeda dari lingkungan sekitar seperti kedisabilitasan. Bullying dapat dilakukan secara fisik (memukul, meludahi), perkataan (mencela, memanggil dengan panggilan yang buruk), dan psikis (mengucilkan).

Ada banyak hal yang menyebabkan terjadinya bullying. Salah satu sebabnya adalah karena pembully melihat orang yang dibully sebagai orang yang berbeda dari kebanyakan orang pada umumnya, misalnya memiliki kondisi fisik yang berbeda atau kedisabilitasan. Bullying juga bisa terjadi ketika seseorang berego tinggi merasa dirinya jauh lebih baik daripada orang lain. Itulah sebabnya mengapa bullying kerap dilakukan kepada orang yang lebih lemah atau lebih kecil secara fisik daripada pembully.

Beberapa sebab bullying lainnya yang saya dapati adalah lebih kepada faktor internal pembully. Pembully cenderung merupakan orang yang kesepian, sehingga secara sadar ataupun tidak, tindakan membully dilakukan untuk menarik perhatian orang di sekitarnya. Pembully juga memungkinkan adalah orang yang memiliki masalah di dalam keluarganya. Perilaku membully yang dilakukan pelaku merupakan hasil dari emosional yang tidak seimbang dan pikiran yang  mudah pecah (fragile mind). Faktor ini biasanya membuat pembully umumnya menunjukan sikap seperti tidak mampu berempati kepada orang lain. Yang mengejutkan adalah hasil penelitian yang dilakukan komunitas antibullying di Inggris menyebutkan bahwa 14% dari pelaku bullying pernah menjadi korban bullying. Dikatakan pula bahwa korban melakukan bullying sebagai bentuk perlindungan diri agar tidak dibully kembali oleh lingkungannya.

Autism Spectrum Disorder

Autism Spectrume Disorder merukapan istilah yang digunakan untuk menyebut gangguan perkembangan kompleks pada otak. Gangguan ini meliputi dua aspek; (1) gangguan perkembangan interaksi dan komunikasi sosial, dan (2) ganggu perkembangan perilaku.

Umumnya perspektif masyarakat terhadap individu dengan autisme menyebut mereka sebagai individu yang mempunyai dunianya sendiri. Hal ini sebenarnya dampak dari gangguan perkembangan yang ada, sehingga individu dengan autisme seolah-olah memiliki dunianya sendiri. Yang sebenarnya terjadi adalah otak individu dengan autisme mengolah informasi yang datang dengan cara yang berbeda. Misalnya ketika kita melihat sebuah mobil, informasi yang diolah umumnya adalah sebuah kendaraan yang membantu kita menuju suatu tempat. Tetapi bagi individu dengan autisme informasi berupa mobil dapat diolah menjadi informasi yang jauh lebih spesifik lagi. Misalnya mereka hanya memikirkan jenis mobil tersebut, hanya ban mobil tersebut, dan mobil secara fungsional sebagai alat transportasi seringnya tidak diolah oleh otak individu dengan autisme.

Contoh lainnya adalah ketika kita mendengar bunyi satu dua klakson yang berbunyi hampir bersamaan, umumnya kita akan menerjemahkannya sebagai isyarat dari sesama pengguna lalu lintas. Tetapi bagi individu dengan autisme informasi “bunyi satu klakson” bisa terdengar seperti bunyi puluhan klakson di tengah kemacetan dan diterjemahkan sebagai hal yang sangat mengganggu. Di sisi lainnya, hal ini dikarenakan kesensitivitasan pancaindra yang tinggi pada sebagian individu dengan autisme. Ditambah lagi adanya kesulitan komunikasi dan interaksi sosial menjadikan individu dengan autism kurang mampu mengungakapkan ketidaknyamanan atau perasaan lainnya kepada orang lain.

Bullying pada Individu dengan Autisme
Apa yang Harus Dilakukan?

Bertolak pada pembahasan di atas, bullying pada individu dengan autisme disebabkan karena kondisi individu dengan autism yang dianggap berbeda dengan mahasiswa lainnya. Keautistikkan pada individu tersebut seperti kurangnya kemampuan komunikasi dan interaksi sosial atau perilaku yang berbeda bisa menjadi pemicu adanya bullying. Faktor lainnya yang tidak kalah penting untuk ditelaah adalah dari sisi pembully itu sendiri. Perlu diketahui lebih lanjut lagi apa faktor internal yang mendorong seseorang melakukan bullying. Apakah pembully berasal dari keluarga bermasalah yang menjadikan pembully tumbuh dengan empati yang kecil dan fragile-minded? Apakah pembully tidak memiliki self-esteem sehingga membully untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungannya? Atau bahkan apakah pembully merupakan korban bullying di masa lampaunya? Lebih spesifik lagi dalam kasus bullying kepada individu dengan autisme ini perlu diketahui pula apakah pembully memahami apa itu autisme? Apakah pembully tahu cara  yang benar untuk berinterksi dengan individu dengan autisme?

Mungkin akan ada pertanyaan mengapa kita harus ikut fokus kepada pelaku, bukannya fokus kepada korban? Jawabannya adalah karena melindungi diri dari bullying bukan hanya menjaga diri agar tidak menjadi korban bullying melainkan juga bagaimana agar seseorang tidak melakukan tindakan bullying.

Kembali kepada bullying yang menimpa individu dengan autisme, pembully sebaiknya memperoleh tinjauan lebih dalam dari seorang psikolog agar penyebab internal bullying dapat segera diketahui. Terlepas dari apapun hasil tinjauannya, pembully harus tetap mendapatkan treatment khusus dari ahli untuk mengatasinya faktor internal ini. Hal ini memang bukanlah sebentuk hukuman kepada pelaku, melainkan langkah awal untuk menolong pelaku. Sehingga diharapkan pelaku mengetahui bahwa permasalahannya bukan pada tindakan bullying yang dilakukan olehnya, melainkan permasalahan ini ada tersimpan jauh di dalam dirinya sendiri.

Setelah mengetahui faktor internal mengapa pelaku melakukan bullying, saatnya dicari tahu apakah pelaku memiliki pemahaman yang baik tentang individu berkebutuhan khusus, khususnya autisme. Apabila pelaku tidak mengetahui informasi yang benar tetang kedisabilitasan terutama autisme, di sinilah ortopedagogik dan psikolog bertugas mengedukasi pelaku dan lingkungan tempat terjadinya bullying tentang individu berkebutuhan khusus.

Dalam pengedukasian ini para ahli tidak hanya menyampaikan siapa aja yang disebut individu berkebutuhan, ciri-cirinya, dan bagaimana berinteraksi dengannya. Pada tahap ini sebaiknya para ahli juga mengenalkan nilai-nilai keinklusian yang semestinya tertanam pada masyarakat terumata lingkungan individu berkebutuhan khusus. Sehingga diharapkan pelaku dan lingkungan bullying selanjutnya dapat memberikan kesempatan yang sama kepada individu berkebutuhan khusus, contohnya kesempatan menjalin pertemanan, mengerjakan tugas bersama, dalam sebagainya.

Pengedukasian pelaku dan lingkungan tempat terjadinya bullying dapat dilakukan dengan berbagai cara. Beberapa cara yang pernah saya lakukan adalah dengan melakukan diskusi ringan dan terbuka yang melibatkan pelaku, keluarga individu berkebutuhan khusus, dan orang-orang dalam instansi terkait; penyebaran poster edukatif tentang individu berkebutuhan khusus atau kedisabilitasan; nonton bareng film tentang kehidupan individu berkebutuhan khusus; atau bahkan dengan melakukan aktivitas santai seperti tamasya bersama individu berkebutuhan khusus.

Lalu bagaimana dengan bentuk hukuman untuk pelaku bullying? Bukankah nantinya tidak meninggalkan efek jera jika pelaku bullying mahasiswa dengan autime hanya diedukasi tanpa dihukum?

Perlu diketahui bahwa efek jera hanya bisa dirasakan apabila pelaku merasa bersalah. Hal ini akan berbeda lagi jika pelaku tidak merasa bersalah. Untuk membuat pelaku bullying merasa bersalah, secara pribadi saya berpikir bahwa kita tidak perlu memarahi atau menghujat pelaku melalui media sosial. Karena jika kita sebagai pihak yang mendukung antibullying melakukan hal tersebut hingga pelaku merasa terganggu, takut, dan tertekan, maka itu artinya kita juga telah melakukan bullying kepada pelaku bullying.

Lebih jauh lagi jika pada kasus ini pelaku benar-benar dikeluarkan (drop out) dari kampusnya –sebagaimana tuntutan bebarapa komunitas pendukung disabilitas, maka hukuman seperti ini tidak akan menghilangkan masalah bullying yang terjadi. Sebaliknya, hukuman ini bisa menjadi masalah baru yaitu kemungkinan pelaku bullying  tidak akan diterima lagi di universitas lainnya atau lebih parahnya adalah pelaku tidak diterima kerja di manapun karena wajah dan identitas pelaku sudah tersebar di dunia maya.

Ada banyak cara untuk menimbulkan efek jera pada pelaku yang membully individu dengan autisme ini. Salah satunya adalah dengan menghentikan sementara para pelaku bullying dari aktivitas perkuliahan dan sebagai gantinya selama tidak kuliah mereka harus menjadi pengajar pendamping anak-anak berkebutuhan khusus di SLB, sekolah khusus, ataupun inklusi. Atau para pelaku bisa dikirim ke panti atau yayasan pendidikan khusus berasrama dan ditugaskan untuk tinggal di dalamnya sambil membantu aktivias panti atau yayasan tersebut selama beberapa hari. Beberapa contoh ini niscaya akan membuat pelaku lebih memahami arti kesedihan dan kemarahan orang tua atau orang-orang yang terbiasa berinteraksi dengan individu berkebutuhan khusus dibandingkan dengan komentar-komentar bertendensi amarah dan hujatan yang tersebar di media sosial.

Terakhir dan yang paling penting adalah bagaimana menghindari individu dengan autisme dari bullying. Selain mengenalkan individu dengan autisme pada lingkungan sekitar dan berusaha bersama-sama mewujudkan masyarakat inklusi, orang tua juga harus tetap waspada dengan adanya bullying yang tidak terdeteksi seperti bullying secara psikis.

Karena individu dengan autisme memiliki masalah persepsi, sebaiknya mereka diajarkan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dalam pertemanan. Misalnya boleh tertawa bersama-sama teman, tetapi tidak boleh menertawakan teman yang terjatuh atau menangis. Atau diberikan pemahaman bahwa sesama teman diharuskan saling membantu dan memanggil dengan panggilan yang baik, tetapi tidak boleh memaksa, memukul, atau memanggil dengan panggilan yang buruk. Hal ini perlu dijelaskan dengan baik kepada individu dengan autisme, karena mengingat individu dengan autisme cenderung kurang bisa membedakan ekspresi dan dikhawatirkan juga tidak mampu membedakan yang mana bercanda dan yang mana bullying. Contoh-contoh perilaku bullying atau yang tidak semestinya dilakukan seseorang kepada individu dengan autisme dapat disampaikan orang tua melalui aktivitas bercerita atau menggunakan video edukasi.

Setelah memberitahu individu dengan autisme batasan-batasan dalam pertemanan, mereka dapat diajarkan tentang apa yang harus dilakukan jika teman-temannya melakukan hal-hal di luar batas pertemanan atau saat teman-temannya membully. Individu dengan autisme bisa dilatih untuk mengungkapkan atau menyatakan ketidaknyamanannya kepada orang lain yang dipercayanya. Kemudian orang tua atau instansi pendidikan terkait bisa memberikan daftar nama orang-orang yang bisa ditemui ketika mereka merasa tidak nyaman dengan  perilaku  teman-temannya.

Berbeda lagi ketika di rumah bersama orang tua, sebaiknya orang tua memberikan waktu khusus kepada anak untuk menceritakan aktivitas atau kejadian penting yang terjadi di lingkungan belajar atau selama tidak bersama keluarga. Mengingat individu dengan autisme memiliki hambatan dalam komunikasi, maka bercerita di sini tidak dapat diekspektasikan sebagai waktu curhat sebagaimana umumnya. Di sini orang tua harus lebih aktif bertanya untuk menstimulus individu dengan autisme agar menceritakan perasaan dan pengalamannya selama di tempat belajar.

Membuat setiap orang dan berbagai lini masyarakat memahami individu dengan autisme memang bukanlah hal yang mudah. Ini menjadi pekerjaan berat bersama mulai dari keluarga, tenaga, pendidikan, dan tenaga ahli lainnya yang terlibat dengan individu dengan autisme. Pekerjaan ini pun tampaknya akan memakan waktu yang cukup lama, sehingga tidak ada cara lain untuk mewujudkannya selain terus dan terus mengenalkan individu dengan autisme kepada masyarakat dan memberikan mereka ruang untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan yang lainnya. Pekerjaan ini akan semakin mudah jika setiap kita yang memahami kondisi individu dengan autisme mampu “menginklusikan” teman-teman terdekat dan lingkungan dengan cara yang baik.


Penulis berharap informasi yang ada di dalam tulisan ini bisa menjadi pengetahuan awal masyarakat awam tentang individu berkebutuhkan khusus sehingga masyarakat mau lebih mengenal dan menerima mereka. Penulis juga berharap tulisan ini bisa menjadi bagian solusi dari kasus yang terjadi saat ini. Lebih dari itu penulis mengajak seluruh pihak untuk ikut berempati kepada kasus cara ikut memberikan solusi yang nyata tanpa mengedepankan amarah dan hujatan sehingga bisa menghindari tindakan membully pelaku bullying itu sendiri.(*)

@fatinahmunir

{ 4 komentar... read them below or Comment }

  1. sebenernya setuju banget dengan tulisan ini. cuman saya berandai2 terlalu jauh,seandainya semua orang tua mampu mendidik anaknya dengan baik, dan seandainya pelajaran ppkn di sekolah bukan hanya sekedar tulisan yg diujiankan.lalu setelah mereka pulang sekolah,nonton tv,nonton tayangan yg mendidik..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi.... terima kasih sudah berkunjung. Apa yang Anda sampaikan tidak jadi angan2. Kita bisa mulai itu dari diri sendiri dan dari keluarga kita :)

      Delete
  2. setuju dengan tulisan ini,,
    pelaku bullying itu sebenarnya jg butuh arahan, mungkin dia begitu karna lingkungan dari keluarganya yg cuek, atau teman-temannya yg jg mendukung tindakan tersebut. Biasanya pembully adalah org yg merasa dirinya lebih kuat atau superior dibandingkan orang yg dia bully dan tentunya mempunyai teman yg banyak. Sedangkan yg dibuly biasanya org yg lemah dan mempunyai sedikit teman atau tdk punya sama sekali.
    Sedih, sekali rasanya menjadi seseorang yang dibuly, dia merasa tertekan dan pasti sulit sekali untuk berangkat sekolah/kuliah karna dia tidak nyaman di lingkugan tersebut. Semoga ini menjadi contoh untuk kita semua agar tidak terjadi lagi kasus seperti ini. Apapun bentuk hukumnya saya harap itu yg terbaik. Dan tentunya semoga kita selalu lebih peka dan peduli terhadap sesama.

    -DH

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin... semoga harapan kita terkait kasus bullying bisa terwujud. Aamiin.

      Delete

Terima kasih atas komentarnya :)

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -