- Back to Home »
- Autisme »
- AUTISM IS NOT A JOKE
Posted by : Fatinah Munir
03 June 2017
Bersama mahasiswa dengan ASD dalam agenda Summer Camp 2017 lalu ^^ |
Siapakah individu dengan autisme?
Autisme atau Autism Spectrum
Disorder (ASD) umumnya dikenal sebagai istilah yang digunakan untuk menyebut gangguan perkembangan kompleks pada otak, yang mana gangguan ini meliputi berbagai karakteristik dan tingkatan gangguan pada tiga aspek; kesulitan
berinteraksi sosial, komunikasi verbal dan nonverbal, serta perilaku yang
berulang. ASD itu sendiri menjadi payung dari beberapa tipe gangguan yang
berbeda seperti, autism, Childhood Disintegrative Disorder (CDD), Pervasive
Developmental Disorder-not otherwise specified (PDD-NOS), Rett Syndrome, dan
Asperger Syndrome.
Per Mei 2013, bersamaan dengan
dirilisnya DSM-5, semua tipe keautistikkan dilebur menjadi Autism Spectrum
Disorder (ASD) saja. Jadi, setiap individu yang telah didiagnosis mengalami
gangguan spesifik dalam naungan payung ASD sebelumnya kini hanya diberikan
diagnostik sebagai individu dengan ASD. Sesuai dengan namanya, istilah Autism Spectrum Disorder (ASD) menunjukkan kondisi individu dengan ASD yang sangat beraneka ragam, mulai dari spektrum rendah hingga tinggi.
Berbeda dengan DSMIV-TR sebelumnya
yang membagi aspek identifikasi ASD ke dalam tiga aspek, pada DSM-5
pengidentifikasian ASD hanya memiliki tiga domain utama yakni persistent
social communication and social interaction dan restricted and
repetitive patterns of behavior. Pada DSM-5 juga terdapat kategori tambahan
berupa Social Communication Disorder (SCD) yang merupakan kategori untuk
mendiagnosis individu yang memiliki ketidakmampuan dalam komunikasi sosial
tanpa adanya gangguan perilaku. Untuk membaca keseluruhan kriteria dalam DSM-5
bisa mengunjungi autismspeaks.org/dsm-5.
Terkait populasi individu dengan
ASD, tidak ada kajian yang dapat menjawabnya dengan pasti. Hasil statistic US
Center for Disease Control and Prevention pada Maret 2014 menyebutkan bahwa 1
dari 68 anak di Amerika merupakan individu dengan ASD dan diprediksi presentase
ini akan terus meningkat hingga 40 tahun ke depan sekitar 10-17% per tahun.
Seperti statistik populasi individu
dengan ASD, penyebab ASD pun belum dapat dijelaskan secara pasti oleh berbegai
penelitian. Pada sekitar 15% kasus individu dengan ASD pernah dikatakan
merupakan dampak genetik. Akan tetapi hal ini tidak diperkuat oleh kajian
keilmuan lainnya yang lebih spesifik. Di sisi lain, justru faktor lingkungan seperti
pola hidup sehat, polusi air, kehamilan, dan kondisi anak saat melalui proses persalinan sejauh ini menjadi faktor utama yang mempengaruhi perkembangan
otak yang menjadi permasalahan pada individu dengan ASD.
Bagaimanakah Penanganan individu
dengan ASD?
Individu dengan ASD memerlukan
beberapa penanganan dari berbagai bidang keilmuan sekaligus. Setidaknya adalah
dokter, psikolog, dan orthopedagog (guru pendidikan khusus) yang nantinya akan terlibat dalam penangan
individu dengan ASD. Sebagai orthopedagog sendiri, diagnosis ASD tidaklah
cukup. Seorang orthopedagog membutuhkan informasi lebih spesifik dari dokter,
psikolog, dan observasi selama proses pembelajaran yang meliputi evaluasi awal,
pemberian penanganan, dan evaluasi akhir yang dilakukan secara bersiklus atau
berkesinambungan. Sehingga dari hasil evaluasi berkala itulah orthopedagog bisa
menyiapkan pola pembelajaran yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan individu
dengan ASD.
Pengalaman Menangani Individu dengan
ASD
Berdasarkan sedikit pengalaman yang
saya punya dalam menangani individu dengan ASD usia anak-anak dan dewasa,
ditemukan berbagai tantangan yang berbeda-beda pada setiap individu dan jenjang
pendidikannya. Contohnya pada individu dengan ASD usia anak-anak,
permasalahannya adalah bagaimana mengajarkan mereka mengkomunikasi apa yang
mereka inginkan dengan komunikasi verbal ataupun nonverbal. Beranjak ke usia di
atasnya, permasalahannya berubah menjadi bagaimana mengajarkan individu dengan
ASD mengontrol emosi yang datang beriringan dengan masa pubertasnya. Berbeda
lagi dengan individu dengan ASD usia dewasa, salah satu tugas orthopedagog
adalah mengajarkan mereka memahami peranan sosial masing-masing individu dalam masyarakat. Misalnya adalah memahami
perbedaan interaksi dengan lawan jenis, dosen, petugas parkir, orang yang tidak
dikenal, dan sebagainya. Atau bagaimana membedakan peranan individu dengan ASD di rumah sebagai anak dan jika di kampus sebagai mahasiswa yang memiliki kewajiban serta tidak boleh tergantung dengan orang tua.
Contoh-contoh di atas hanyalah sedikit permasalahan yang pernah saya hadapi dalam penanganan individu dengan ASD di
berbagai tingkat pendidikan. Lantas bagaimana dengan pemahaman diri mereka
terhadap kondisi mereka sendiri?
Dalam beberapa kasus yang pernah saya
peroleh, terdapat individu-individu yang memahami kondisi mereka sebagai
individu dengan ASD dan ada pula yang tidak. Untuk individu dengan ASD pada
spektrum tinggi kemungkinan besar mereka tidak memahami bahwa diri mereka memiliki keautistikan. Tetapi pada individu dengan ASD pada spekrtum rendah, sangat memungkinkan bagi mereka untuk memahami kondisi
keautistikan mereka sendiri. Hal ini lebih sering membuat mereka yang telah memahami kondisi mereka justru memiliki cara sendiri untuk
menangani kesulitan mereka dalam berinteraksi sosial, bahkan mereka bisa saling
menolong sesama individu dengan ASD.
Contoh spesifiknya adalah ada beberapa
individu dengan ASD yang saya tangani yang memahami kondisi keautistikannya. Pada kelas Perkembangan Kepribadian, bersama psikolog kampus, kami memberikan pemahaman tentang “Proper Questions”. Yakni memahami nilai sosial bahwa ada pertanyaan
yang layak ditanyakan dan ada yang tidak. Diberikannya pemahaman tentang “Proper Question” ini
karena individu dengan ASD kerap menanyakan hal-hal yang tidak sesuai kondisi dan tidak pantas
ditanyakan secara nilai sosial, seperti menanyakan berulang-ulang agama seseorang.
Pada suatu kesempatan, salah satu
mahasiswa dengan spektrum tinggi bertanya pada temannya yang berspektrum rendah, “Apa agama Ma’am Erni?”
Peserta didik yang menerima
pertanyaan tersebut tiba-tiba berkata kepada teman yang lainnya yang kurang
lebih katanya, “Dia sama seperti si X, masih suka mengulang pertanyaan yang
tidak layak. Kita tidak perlu menjawab pertanyaannya! Itu tidak penting!”
Begitulah kira-kira pola komunikasi
dan interaksi sosial antar individu dengan ASD pada spektrum rendah yang bisa saling
mengingatkan temannya.
Lalu apakah semua individu dengan
ASD perlu mengetahui kondisi diri mereka? Jawabannya adalah seberapa perlu
mereka membutuhkan informasi itu dan apakah pengetahuan mereka akan membantu
perkembangan mereka.
Pada beberapa kasus yang saya
tangani, terkadang individu dengan ASD mencari tahu sendiri tentang kondisi
dirinya. Ketika seorang mahasiswa saya mengetahui kondisinya sebagai individu dengan ASD,
dia berkata, “Saya tahu saya autis. Tapi saya butuh perlindungan dari kata-kata autis, karena itu
mengganggu privasi saya.”
Pada suatu hari sebelum perkuliahan dimulai,
salah satu temannya memanggilnya, “Hi, autis!” Tepat di depan saya, mahasiswa yang dipanggil autis ini menonjok temannya sambil berteriak, “Saya tidak suka
disebut autis! Kamu mengganggu privasi saya! Saya butuh perlindungan lebih
kalau caranya seperti ini!”
Lalu apa yang dilakukan jika mereka saling tersinggung dengan istilah autis? Pihak kampus biasanya memanggil anak-anak bermasalah ke ruangan khusus, kemudian memberikan pemahaman kepada kedua mahasiswa tersebut bahwa sebutan autism adalah bagian dari privasi mereka masing-masing. Selain itu, mereka juga harus memahami bahwa cara memanggil orang dengan baik adalah dengan menyebut namanya bukan dengan menyebutkan gangguan yang dimilikinya, tidak memanggil dengan panggilan yang buruk, termasuk tidak memanggil dengan panggilan yang tidak disukai teman-temannya.
Orang Tua dan Keberterimaan Individu
dengan ASD
Di sisi lainnya, orang tua dari
individu dengan ASD juga memiliki berbagai kondisi. Ada yang menerima dan ada
yang tidak. Untuk orang tua yang menerima dan memiliki tingkat kesejahteraan
sosial yang baik, biasanya mereka akan mencari komunitas sesama orang tua dari
individu dengan ASD dan bersama-sama membuka cela untuk mengasah kemampuan yang
dimiliki anak-anaknya. Akan tetapi, sebesar apapun keberterimaan orang tua
terhadap kondisi mereka, orang tua lebih cenderung tidak menggunakan kata autis
dan memilih menyebutkan kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh
masing-masing individu. Hal ini jugalah yang semestinya dilakukan oleh
masyarakat kita, meninggalkan pelabelan dan fokus pada menangani kekurangannya dan meningkatkan kelebihannya.
Berbeda lagi dengan orang tua yang tidak menerima kondisi individu dengan ASD, beberapa kasus yang ada pada mahasiswa saya
justru mereka ditinggalkan oleh orang tuanya. Misalnya ada seorang mahasiswa saya yang selalu disebut sebagai "anak tidak berguna" oleh ayahnya karena keautistikannya. Mahasiswa ini memahami dengan sangat baik kondisinya sebagai individu dengan ASD dan dia mengetahui alasan
ayahnya meninggalkannya adalah karena kondisinya. Karena rasa bersalahnya pada ibunya
sendiri dan merasa tidak berguna, mahasiswa ini pernah melakukan percobaan bunuh diri sebanyak dua
kali.
Autism As a Joke
Tulisan di atas adalah sedikit gambaran pengalaman saya dengan
peserta didik saya yang di dalamnya bisa kita lihat bahwa keautistikan mereka
terkadang tidak mengahalangi mereka untuk memahami kondisi mereka sendiri. Dengan demikian, memungkinkan mereka memahami makna dari istilah autis itu sendiri.
Loh, kan peserta didiknya sudah dewasa? Iya mereka telah dewasa dan memahami kondisi mereka. Tapi pemahaman mereka akan kondisi mereka itu terkumpul sejak mereka masih kecil. Pada beberapa kasus, meskipun mereka tidak memahami makna autis yang sebenarnya, tetapi istilah autis yang mereka dengar bisa menjadi hal yang menyakitkan dan menakutkan jika istilah tersebut sering muncul bersamaan dengan pengalaman ditertawakan, dijauhi, atau dibully. Sehingga pengalaman-pengalaman buruk itulah yang memicu trauma buruk kata "autis" pada individu dengan ASD.
Salah satu pengalaman saya di atas
sedikit menjelaskan bahwa istilah autis di antara mereka pun menjadi hal yang
sensitive. Hal ini pun memungkinkan ketika ada orang non-ASD yang menyebut
mereka autis –meskipun tanpa tendensi mengejek, mereka akan merasa tersinggung atau tidak nyaman.
Lalu bagaimana menanggapi penggunaan istilah
autis dalam candaan sehari-hari di masyarakat? Sebenarnya, setiap individu
memiliki perilaku autistik. Contohnya saat duduk menunggu ada beberapa orang
cenderung refleks menggoyangkan kaki atau saat berpikir ada beberapa orang yang
cenderung refleks mengetuk-ketuk jari atau pulpen di atas meja. Semua itu
adalah perilaku autistik yang terdapat pada setiap individu pada umumnya dan itu normal selama masih dalam frekuensi yang wajar.
Kendati demikian, penggunaan istilah autis tidak dapat digunakan di berbagai aspek.
Hal ini dikarenakan dalam lingkungan ini kita mengenal konteks sosial dan etika
di dalamnya. Istilah autis seperti di pemaparan awal telah menjadi istilah untuk
sebuah gangguan pada individu tertentu, sehingga jika istilah yang sama
digunakan dalam konteks berbeda akan memungkinkan menimbulkan kesalahtafsiran
meskipun gurauan tersebut tidak bertujuan menyakiti individu dengan ASD.
Selain itu seperti yang telah saya paparkan di atas, terkadang ketidaksukaan atau trauma individu dengan ASD pada kata "autis" bukan hanya karena pemahaman keterkaitan diri mereka dengan kata "autis" itu sendiri. Melainkan karena pengalaman-pengalaman buruk yang dilakukan orang-orang yang memanggil autis.
Bagaimana agar istilah autis tidak
digunakan lagi dalam gurauan? Hal ini adalah pekerjaan kita sebagai
orthopedagog dan orang-orang yang telah memiliki info yang cukup tentang keautistikan. Di sinilah kita bertugas mencerdaskan masyarakat tentang istilah autis, memberikan
pemahaman yang benar tentang autis, serta mengajak mereka turut respek,
menerima, dan lebih jauh lagi adalah membantu individu dengan ASD berinteraksi
sosial. Hal ini agar masyarakat luas bisa menerima individu dengan ASD dengan layak.
Jakarta, 8 Ramadan 2017
@fatinahmunir
ditulis untuk diskusi online DISLEKSIA (Diskusi Intelek Mahasiswa) UNJ