Posted by : Lisfatul Fatinah 22 June 2014






Sering kakiku melangkah dengan tapak-tapak ragu. Meniti bebatuan diam dengan pikir yang panjang. Lalu di persimpangan jalan, di antara dua pohon besar yang berhadapan, aku memilih untuk berdiri saja. Sejenak. Mengingat langkah pertama yang mengantarkanku hingga persimpangan jalan ini. 

Melangkah saja, tepis saja suara-suara ragu di telinga dan hatimu. Begitu seru suara dari balik  pohon-pohon besar, kala aku memaku kaki, menunggu siapapun yang datang dari belakang untuk membawaku membuntuti. 

Tetiba langit bergemuruh, menitahkan titik hujan jatuh ke bumi. Aku menoleh ke belakang, masih berharap akan ada yang datang. Tapi yang kutemukan adalah tapak-tapak ragu yang mengiringiku telah hilang. Aku tersenyum sendirian, lalu kumenuju salah satu jalan di persimpangan dengan langkah kaki penuh keyakinan.


***

Aku memasuki Mal F(X) dengan langkah ragu. Meniti tangga kecil khusus pejalan kaki dengan pikiran yang melesat pada rencana-rencana yang akan dibatalkan dan mencari jalan untuk mengungkapkan rencana ini agar tidak menyinggung siapa pun. Aku kembali ragu pada setiap keputusan-keputusan yang hendak kubuat. Selalu saja begini!
                                                    
“Aduh!” aku mengaduh kala kaki kanan tak berpijak sempurna pada anak tangga terakhir.

“Mikirin apa sih, Lis?” tanya Kak Firdha yang tampak sudah mulai membaca air wajahku.

Hanya tawa yang mulanya menjadi jawabku. Belum kuberitahu apa yang sebenarnya sedang bersiteru dalam pikiranku.

Kurang dari lima menit sejak aku terjatuh di anak tangga sebelum masuk ke dalam mal, aku dan Kak Firdha sudah menapakkan kaki di lantai tiga mal ini. Tepat di sisi kanan eskalator, sebuah standing banner besar berdiri dengan nuansa hijau, menandakan kami sudah semakin dekat dengan tempat pendaftaran ulang lomba lari Jakarta International 10 K.

Lima loket yang dibuka untuk mendaftar ulang dan kelima loket tersebut dipenuhi barisan orang yang mengantre. Aku melangkahkan kaki ke loket nomor tiga dibuntuti Kak Firdha yang berbaris tepat di belakangku. Saat baru saja kaki ini berdiri ajeg, menunggu gilirannya maju, tetiba Kak Firdha membuka wacana.

“Jadi naek? Kapan jadinya?”

O God, kenapa harus ditanyakan sekarang. Jawabku dalam hati.

“Ya gitu deh. Masih tetap rempong. Semakin rempong juga karena masih saling berdebat dan ngambek hanya karena hal-hal sepele,” jawabku, cukup melenceng dari apa yang ditanyakan.

“Yaelah, males banget dengernya. Terus kau jadi ikut?” Kak Firdha mengulang tanyanya.
“Bingung,” jawabku.

“Lah, kenape lu bingung?” tanya Kak Firdha.

Aku mulai menumpahkan segala kegundahanku untuk ikut serta ke pendakian ini. Bukan karena persiapan pendakian yang tidak seperti biasanya, melainkan karena perubahan destinasi waktu keberangkatan yang akan berbentrokan dengan Jakarta International 10 K.

“Pengin ikut lari aja kayaknya. Nanti insya Allah mau kopdaran nih yang pada naek. Insya Allah nanti sekalian ngomong kalau gak jadi ikut,” aku menutup percakapan sambil melangkahkan kaki ke depan, mengisi urutan kedua saat orang yang ada di depanku mulai merunduk di meja pendaftaran ulang untuk mengisi sejumlah data.

Selang beberapa menit, saat Kak Firdha sudah keluar dari antrean dan sudah memegang nomor punggung, sebuah pesan masuk ke handphone-ku.

Di mana? Ane udah di depan F(X)

Sahabatku sudah tiba. Kebingungan kembali mengisi benakku.

Masih di atas. Tungguin sebentar.

Aku membalas smsnya sambil melangkah beriringan dengan Kak Firdha, mengantarnya ke arah toilet yang hanya berjarak beberapa meter dari posisi kami. Sambil menunggu Kak Firdha keluar dari toilet, aku masih menimbang-nimbang kalimat apa yang harus aku katakan pada teman-teman bahwa aku batal mengikuti pendakian.

“Gue udah ditungguin, Kak Fir, di bawah. Nanti di bawah jangan ngomong-ngomong ya kalo gue ngambil nomor punggung juga buat ikut lomba lari. Biar gue sendiri yang ngomong kalo gue gak jadi naek,” kataku kala Kak Firdha menghampiriku.

“Oke. Tenang aja,” jawabnya.

Kami melangkah keluar mal menuju lokasi sahabatku yang sudah menunggu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di luar mal, aku mencoba mengubah ekspresi wajah. Menghapus titik-titik bimbang dan ragu. Menggantinya dengan seulas senyum, berusaha semaksimal mungkin mengurangi kekecewaan atas apa yang akan aku katakan pada teman-teman sependakian nantinya.

“Lama banget. Udah kayak tukang ojeg nih gue nungguin lu pada,” celetuk sahabatku ketika kami baru menghampirinya yang sedang duduk di atas motor Jupiter merahnya.

Sedikit sapaan dan cengkrama membuka pertemuan kami di siang hari ini. Sahabatku mengabarkan pertemuan teman-teman sependakian yang semula di Kota Tua dialihkan menjadi di Kopi Doeloe. Pertemuan pukul 17.00, sedangkan jam di handphone saya masih menunjukkan pukul 14. 45.

“Makan dulu ya. Laper nih. Hehehe,” kataku pada keduanya.


Kami memutuskan makan di pinggir jalan sekitaran Senayan, sambil berbincang banyak hal. Hingga tepat pukul 15.30, kami memutuskan berangkat ke lokasi kopdar setelah mengantar Kak Firdha ke lokasi bus yang mengatarnya pulang.


Kopi Doeloe dan Ingatan Itu

Tepat pukul 16.30, aku dan sahabatku sudah memarkirkan motor di Kopi Doeloe yang ternyata berada di Rempoa Factory. Kami langsung menuju mushalah untuk menunaikan shalat Ashar dan bergegas memasuki Kopi Doeloe, melewati anak-anak tangga yang ada di depan mushalah.

“Nadira…,” seruku dalam hati saat pertama kali melangkahkan kaki di Kopi Doeloe. Suasana kafe yang tenang, sofa-sofa putih gading dengan bantalan besar, dan lampu-lampu yang redup di bagian dalam kafe membawaku pada sebuah imaji yang pernah kubuat.

Kafe seperti ini pernah ada dalam benakku, di dalam sebuah novel ratusan lembar yang sudah rampung tapi belum juga berani dikirim ke penerbit. Nadira, tokoh utama yang mencintai kopi menemukan serpihan kisahnya di kafe kopi bernuansa nyaris mirip dengan Kopi Doeloe.

“Di sini aja ya,” aku melangkahkan kaki ke salah satu sofa besar berkapasitas enam orang yang berbentuk huruf U. Sahabatku membuntutiku. Kemudian ia mengambil posisi duduk tepat di sampingku.

Tak lama setelah kami duduk, seorang pelayan menghampiri kami. Dengan salam dan senyum yang tersimpul di wajahnya, pelayan tersebut menyodorkan dua buah buku menu. Setelah beberapa menit memilih dan bertanya perihal nama-nama minuman yang tertera dalam menu, Frozen Cappucino dan Coffe Lava Blue menjadi pilihan masing-masing untukku dan sahabatku.

Nyaris pukul 17.00, di grup WhatsApp berhampuran maaf atas keterlambatan kedatangan mereka. Aku mengulur waktu sambil doodling dan membincangkan tulisan kami masing-masing.

“Ingat Nadira. Dia suka duduk di dekat kaca di salah satu sudut kafe kopi sambil menulis, membaca surat, atau hanya untuk diam, menenangkan pikirannya yang terlanjur melesat dan membuatnya nyaris gila,” kataku pada sahabatku.

“Itu Nadira atau kamu?” sahabatku menggodaku. “Di sini malah teringat Anggun.”

“Itu kamu bukan Anggun. Hahaha,” kataku, membalikkan ucapannya.

Menjelang pukul 17.30, suasana kafe sudah berubah. Di meja paling ujung, seorang pelayan membawa lampu-lampu minyak berwadah gelas kaca untuk diletakkan di setiap meja pengunjung, termasuk di meja kami. Tak lama setelah pelayan itu meletakkan lampu minyak di meja kami, datanglah seorang lelaki tinggi dengan kaos merah marun.

“Ais sama Fatin?” katanya sambil meletakkan jaket di sofa seberang kami.

Aku dan sahabatku mengiyakan seraya mengangguk nyaris bersamaan.

“Ini siapa?” tanyaku.

“Dhika,” jawabnya sambil melepas kacamata.

Saat pertama kali melihat Dhika, aku merasa pernah mengenalnya. Entah kapan, entah di mana. Hingga akhirnya aku tersadar, Dhika cukup mirip dengan salah satu teman yang sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri, Vitharr.

Suasana masih beku di menit-menit pertama kami sudah berkumpul bertiga. Mungkin karena ini adalah kali pertama pertemuan kami. Mungkin pula karena aku jadi kembali teringat Vitharr, kembali memikirkannya, dan kembali mengkhawatirkannya.

“Tiwi masih di jalan katanya. Yudhit sama Babeh nyusul habis maghrib. Palingan cuma berenam ini nanti,” kata Dhika membuyarkan hening.

Hingga nyaris pukul 18.00, kami tetap bertiga. Entah apa yang kami bicarakan selama masih bertiga, aku tak cukup mampu mengingatnya kembali, karena saat itu pikiranku sedang terlempar jauh ke tempat dan waktu yang lainnya.

Kala itu langit sudah mulai gelap, pertanda sore sudah pergi dan berganti malam yang akan menemani kami. Tetiba Kak Tiwi datang dari pintu yang sama dengan kedatangan Dhika.

“Oh ini Fatin,” kata Kak Tiwi saat pertama kali menjabat tanganku.

Beberapa jenak setelah Kak Tiwi datang, kami pergi ke mushalah untuk shalat Maghrib bergantian. Aku bersama sahabatku dan Kak Tiwi bersama Dhika.


Menghapus Jejak Ragu

Matahari semakin lembah dan malam kian pekat. Satu satu teman sependakian datang, Yudhit dan Babeh. Obrolan kami sudah mulai mengarah pada persiapan pendakian. Mulai dari SIMAKSI, perlengkapan per orang, perlengkapan kelompok, serta fiksasi jumlah anggota pendakian. Aku berpikir, inilah waktunya aku menghapus jejak ragu dengan mengatakan bahwa aku batal mengikuti pendakian ini. Tapi sayang, belum juga mulut ini terbuka untuk mengucapkan sepatah kata, tetiba Kak Tiwi mengabarkan keikutsertaan kami yang semakin menciut jumlah.

“Yang fiks ikut 9 orang nih, termasuk yang ada di sini,” kata Kak Tiwi yang duduk di sisi paling ujung salah sofa.

Aku hanya mendengarkan. Mencoba berpikir ulang apakah keputusanku untuk mundur merupakan keputusan yang baik buatku dan buat yang lainnya.

Seperti hamparan pasir di Gurun Sahara yang berhamburan tertiup angin, seperti itu pula keraguan yang saat itu tak mau mangkir dari benakku. Aku terbawa arus kehendakku sendiri, ingin mengikuti lomba lari tapi aku sedang merindukan rerimbunan pohon di hutan. Ah, aku terjebak dalam pikiranku sendiri.

Kebimbangan membuatku memilih banyak diam di pertemuan ini. Aku hanya bisa terus berpikir dan berpikir apa yang paling baik aku lakukan. Maka di sini, di salah satu bagian Kopi Doeloe bersama lima orang unik yang pernah kukenal, aku hanya mengiyakan dan mencoba mengikuti arus pembicaraan meski pikiranku melesat jauh di luar sana.

Pukul 9.00 WIB, tak ada tanda-tanda kemantapan dalam diriku atas apa yang hendak kupilih. Seperti pepasiran di Gurun Sahara, aku terhuyung hembusan angin inginku sendiri. Yang kubutuhkan hanya sejenak hujan yang bisa merdam angin bimbang dan menghapus jejak-jejak ragu.


June 1, 2014; Mandalawangi, I'll be Hiking for You!

Juni tanggal satu dan aku masih dikurung ragu. Pagi harinya, sebelum berangkat lari ke silang Monas, aku masih berpikir atas keberangkatanku. Berbagai hal menjejal di kepalaku. Mulai dari alasan hingga dampak aku mengundurkan diri dari salah satu agenda ini.

Pertimbanganku hanya satu, agenda manakah yang jika aku tinggalkan justru akan menyusahkan orang lain? Berangkat dari pertimbangan inilah aku belajar memilah antara hasrat dan emosi, kehendak dan kontrol diri.

Saat aku sedang menikmati ayunan kaki, berlari di tengah jalanan yang bebas dari kendaraan, keputusan itu datang. Dengan satu pertimbangan, aku mulai memantapkan pilihan.

Bismillah! SemogaTuhan menghendaki ini sebagai keputusan yang bijak. Aku memilih untuk mundur dari perlombaan lari dan ikut ke pendakian. Keputusan ini karena jika aku mengundurkan diri hanya karena mengejar target berlari, maka aku akan menyusahkan delapan orang. Tugas bawaan kelompok yang seharusnya kubawa pasti akan dilimpahkan ke orang lain, itu artinya paling tidak aku akan menyusahkan satu orang. Belum lagi kesalahanku saat diamanahi mengurus Simaksi yang ternyata setelah pembayaran dan proses verifikasi, kami kehabisan quota. A, belum juga pergi aku sudah menyusahkan orang lain. Egois sekali diriku jika aku mengundurkan diri dari pendakian untuk ikut lomba lari yang sebenarnya hanya untuk mengukur kemampuanku sendiri.

Setelah memantapkan diri untuk tetap ikut ke pendakian ini, tanpa berpikir panjang, untuk mengikat keikutsertaanku, kutawarkan diri untuk membawa tenda dan aku pun mengajak satu orang lagi sahabatku untuk ikut serta.

Lepas sudah segala ragu dan bimbang yang menyempal di hati. Kini saatnya bersiap untuk pergi dengan tujuh orang baru yang akan memberikanku pengalaman dan cara pandang yang baru.

Seperti semua perjalanan yang punya ceritanya sendiri, akan ada cerita baru juga di pendakianku kali ini. Bersama segenggam rindu atas langkah kaki mendaki titik tertinggi, kisah pendakian dengan dua sahabat dan tujuh orang asing yang baru kukenal akan diwarnai banyak cerita dan berjuta rasa yang timbul tenggelam.



Bersambung…,

Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -