Posted by : Fatinah Munir 17 June 2014



Laksana kunang-kunang yang keluar mengendap-endap, terbang rendah menelusuri jalan gelap untuk menuangkan kerinduannya pada malam. Saat itu, aku pun begitu. Aku ingin menuangkan rinduku dari gumpalan masa lalu yang terlanjur berjejal. Aku rindu kala kaki ini tak ingin berhenti berlari dan mendaki. Menelusuri rerimbun hijau hingga menapaki titik tertinggi.

Malam itu aku duduk di bangku merah, di seberang pintu teras atas rumah, dan menghadap pada layar laptop yang menyala. Tak ada yang ingin kutulis meski sekata pun. Aku hanya memainkan kursor laptop hingga jemariku menjejaki tuts-tuts keyboardnya dan memasuki folder kedelapan berjudul “Enjoy, Fatinah!”. Di sana kubuka kotak gambar berisi kenangan pendakian.

Bersama terbukanya warna-warni kenangan di layar laptop, terbuka pula memori di kepala. Tentang obsesi yang tertuang dan kembali terkurung. Tentang hasrat menelusuri alam yang mengalir apa adanya tanpa kusadari. Kemudian memori ini melucur pada masa kubebaskan obsesi di alam lepas hingga harus kukurung kembali sampai ada yang bisa menerimaku apa adanya.

Aku kangen naik gunung. Seruku pada diri seraya mengingat perencanaan pendakian terakhir bersama teman-teman C-Ker Backpacker yang gagal di detik-detik keberangkatan. Aih, selalu saja begitu. Aneh kupikir, setiap perjalanan yang terlalu direncanakan lebih sering gagal terealisasikan di detik-detik akhirnya.


Yes, Im in!

 “Lisfa, kau mau ikut gak ke Gede?” sebuah ajakan muncul di layar percakapan WhatsApp antara  aku dengan salah seorang sahabat di sana. Laksana hujan yang dirindukan rerumputan tanah gersang, pertanyaan itu benar-benar membayar kerinduan yang sedang melanda hatiku. Sejenak setelah membaca pesan itu, semangat pada diri ini kembali menyeruak jauh lebih lebat dari biasanya.

“Mauuuuu,” balasku jelas.

“Ayo! Bareng anak-anak SPJ nih!” jawab sahabatku lagi.

“Peduli Jilbab? Perempuan semua dong? Gak ada laki-lakinya? Berangkat kapan?” tanyaku untuk memastikan

“Ada cowoknya, temennya Kak Tiwi. Akhir Mei ini jalan.”

“Oke. Ikut!”

Sesingkat itu percakapanku dengan salah satu sahabat yang mengajakku melakukan pendakian, kurang lebih dua bulan sebelum keberangkatan yang ditentukannya. Sebuah ajakan singkat yang ternyata memiliki cerita yang cukup panjang. Sejak awal hingga berakhirnya pendakian kami.


Hallo Strangers, Im Lisfah!

Berselang beberapa hari dari percakapan itu, sebuah notifikasi asing masuk ke WhatsApp-ku saat aku sedang melepas lelah dengan teman-teman Kopaja sehabis berkeliling Sanggar Anak Akar, Kalimalang.

Gede, yuk!
 Begitu nama grup yang baru kuhuni pada 9 Aprli 2014 lalu.

“Where am I?” adalah pertanyaan yang pertama kali kulontarkan dalam grup.

“Ini grup pendakian yang ane kasih tau itu, Lis,” jawab sahabatku dalam grup tersebut, meskipun kami sedang duduk berjarak lima kaki.

“Hai, salam kenal. Aku Lisfatul Fatinah Munir. Bisa dipanggil Lisfah, Fatul, atau Fatin!” tulisku pada sebuah perkenalan virtual ini sambil membubuhkan emoticon cengiran selayaknya cengiran yang akan kuberikan jika mereka berkenalan langsung denganku di dunia nyata.

Dalam grup ini hanya satu nomor yang dikenali phonebook-ku, yaitu nomor sahabat yang menarikku ke dalam grup. Selebihnya, aku hanya mengenal mereka melalui serangkaian kata yang mereka kirim di grup.

Yang kuingat, pada awal bergabung di grup ini yang paling aktif adalah nomor dengan nama profile ~andhika (Dhika), sebuah nomor yang tetiba menanyakan arti namaku. Selanjutnya ada nomor dengan nama profile ~Ratih Pratiwi (Kak Tiwi) yang kemudian aku tahu bahwa kami akan menjadi teman di tempat lainnya. Kemudian nomor dengan nama profile ~Yudhit Beda (Yudhit) yang menjadi admin di grup. Sedangkan yang lainnya aku kurang tahu, karena yang lain memang sangat jarang muncul.

Di grup ini sebenarnya aku awalnya tidak terlalu aktif, hanya sesekali muncul jika memang perlu. Lagipula, ada kecanggungan dalam diriku saat melihat cara bercanda yang lainnya –yang tampak sudah saling mengenal sangat dekat. Karena belum terbiasa dengan gaya bercanda mereka, maka aku lebih memilih menjadi silent reader sambil belajar mengenal karakter diri masing-masing dari mereka.


Destinasi yang Berubah dan Hati yang Gundah, Hufh!

Hampir sebulan aku menghuni grup ini. Entah bagaimana ceritanya, destinasi kami yang mulanya adalah Gunung Gede, kini berubah menjadi Pangrango dan nama grup tetiba berubah menjadi Pangrango, anyone?

O, God! Setelah tahu destinasi kami berubah, mood untuk ikut ke pendakian ini mulai menurun. Surya Kencana di Gunung Gede adalah alasan aku mau bergabung dengan tim ini. Tapi jika destinasi sudah berubah? A, entahlah!

Menyebalkan sekali rasanya saat tahu aku tidak akan bertemu Surya Kencana. Dan yang paling menyebalkan adalah dalang pengubah destinasi ini! Meskipun aku belum tahu siapa dalangnya, tapi pada saat itu rasa sebalku dominan tertuju padanya.

Tidak cukup kedongkolanku pada tim ini karena destinasi yang berubah. Ternyata tanggal  pendakian pun ikut berubah. Pendakian yang mulanya diagendakan akhir Mei kini berubah menjadi awal Juni, tepatnya pada 6-8 Juni 2014.

Aaaarrrggghh! >_<

Saat itu juga aku panik! Aih, bagaimana tidak panik, karena mulanya pendakian berlangsung akhir Mei, maka pada akhir April lalu aku mendaftar lomba lari 10 Km yang diadakan Jakarta International 10 K pada 8 Juni 2014.

Berhubung registrasi sudah diurus dan pada 29 Juni 2014 aku sudah bisa registrasi ulang sekaligus mengambil nomor punggung, jadi untuk saat itu aku memutuskan untuk mengundurkan diri saja dari pendakian ini. Sayangnya, aku tidak cukup berani mengatakan bahwa aku akan mengundurkan diri. Maka, aku mengulur waktu untuk mengundurkan diri dan menunggu moment yang cukup tepat untuk memberitahu batalnya keikutsertaanku pada pendakian ini.

Kendati aku berniat mengundurkan diri dari pendakian ini, tetapi aku tetap berusaha menggurus hal-hal yang menjadi tanggung jawabku atas tim ini. Misalnya menyiapkan kompor, mencari pinjaman tenda untuk back-up perlengkapan, termasuk untuk mengurus simaksi. Ya, meskipun akhirnya simaksi yang sudah diregistrasi dan dibayar tersebut tidak diverifikasi dengan alasan kuota penuh. Fiuh!


Bapak Rempong dan Persiapan Membahana

Ada yang menarik dalam pendakian kali  ini. Selama dua tahun terakhir memulai kembali aktivitas pendakian, aku nyaris tidak pernah melakukan persiapan yang matang. Planning pendakian dilakukan dengan mendadak. Paling lama persiapan dilakukan sepekan sebelum perjalanan dan perlengkapan yang dibawa pun tidak memntingkan keselamatan.

Nah, berbeda dari biasanya, persiapan pendakian kali ini bernar-benar heboh, menurutku. Persiapan heboh yang cukup mengingatkanku pada masa-masa aku masih aktif dalam aktivitas alam.

“Sebelum naek, gue minta lu semua pada olahraga ya. Buat latihan fisik sebelum naek. Minimal olahraganya lari. Yang males-malesan olahraganya mending out dari sini.”

Kurang lebih begitu kalimat yang dikirim Dhika pada suatu pagi. Respon dari teman-teman di grup pun bermacam-macam. Tapi dominan dari yang mereka merespon malas berolahraga. Lucu sebenarnya melihat respon mereka, mungkin karena dominan dari penghuni grup adalah orang-orang yang belum pernah mendaki, jadi mereka belum tahu untuk apa olahraga dilakukan sebelum pendakian. Kala itu yang aku lakukan hanya diam dan menuruti perintah itu saja.

Sebenarnya sejak dua tahun ini kembali ke aktivitas alam, aku juga sangat jarang memerhatikan persiapan fisik. Pendakian dan penjalanan dua tahun belakangan aku lakukan bermodalkan kesenangan yang membuatku bisa menyelesaikan pendakian dan perjalanan. Ya, meskipun cara ini sebenarnya salah. Maka di pendakian kali ini –sejak menerima intruksi pertama dari Dhika, aku langsung melakukannya dengan semangat baru.

Hari pertama melakukan persiapan fisik, aku berlari di tempat, push-up, sit-up, back-up, dan menguji kekuatan kaki dengan melakukan kuda-kuda selama beberapa menit di teras atas rumah.  Di sinilah aku seperti kembali ke masa lalu. Setiap gerakan yang kulakukan membawaku pada kenangan enam tahun lalu yang sudah terkubur terlalu jauh. Jatuh ke palung memoriku yang terdalam, yang membuatku pernah melesat dan terpental.

Enam tahun lalu, saat pertama kali aku melakukan pendakian bersama teman-teman kelompok Pecinta Alam, persiapan fisik memang dilakukan minimal dua bulan sebelum pendakian. Semua anggota atau calon anggota pengembaraan (istilah pendakian yang digunakan di kelompok Pecinta Alam yang aku ikuti) dikenakan latihan fisik wajib dua kali setiap pekan.

Dulu yang aku lakukan saat latihan fisik adalah berlari minimal 10 putaran tanpa boleh berhenti dan dilakukan dengan pola seri; berlari satu putaran lapangan sekolah kemudian push up, sit up, dan backup masing-masing sepuluh kali. Dilanjutkan berlari satu putaran lagi kemudian push-up, sit-up, dan back-up. Begitu seterusnya hingga 10 putaran. Semakin hari, latihan fisik akan semakin bervariatif dan bertambah sulit.

Latihan fisik tambahan selain berlari di lapangan adalah berlari naik turun tangga membawa carrier sambil menenteng jerigen air di dua tangan. Latihan fisik ini biasanya ditutup dengan latihan dengan wall climbing bersama teman-teman dan senior kelompok Pecinta Alam.

Aaah, menyenangkan sekali rasanya jika bisa latihan fisik seperti itu lagi. Yang aku lakukan saat mengenang semua itu hanya mengulas sebuah senyum sambil berseru pada diri sendiri. Just to it, Fah! Kala itu aku yakin akan ada masa aku bisa melepaskan keliaran yang terkurung alam diriku dengan caraku sendiri bersama orang-orang baru yang bisa menerimaku apa adanya.

Hampir setiap hari grup WhatsApp pendakian selalu ramai. Sejak memberi tugas berlari secara rutin dan melaporkan hasil berlari menggunakan Endomondo, aplikasi android untuk aktivitas olahraga, Dhika lebih sering muncul di grup, terutama untuk memberikan pengarahan untuk persiapan pendakian. Perlengkapan individu, perlengkapan kelompok, logistik, estimasi dana, hingga itinerary (jadwal perjalanan) diurusnya. Melihat betapa prepare-nya Dhika, yang mulanya aku pikir posisi leader ada pada Kak Tiwi sepertinya keliru. Yup, secara performance, Dhika adalah leader pandakian ini, because I think he has more experiences adventure.

Tak ada yang aneh menurutku dari segala persiapan yang sudah diatur Kak Tiwi dan Dhika. Tapi entah bagaimana semua persiapan yang dilakukan dua manusia yang belum aku ketahui wujudnya ini serasa sangat membahana bagiku. Terlebih lagi Dhika yang sempat mengancam akan mengundurkan diri dari pendakian karena satu bulan pertama persiapan hampir tidak ada yang melaporkan hasil olahraganya. Karena betapa prepare-nya Dhika, aku punya panggilan khusus untuknya selama persiapan pendakian ini. Bapak Rempong, begitu aku memanggilnya di belakang. Hahaha XD

Kerempongan lain yang aku temukan adalah betapa update-nya bapak yang satu ini tentang alat-alat pendakian. Sebelum pendakian, Dhika sering memposting berbagai info sale peralatan pendakian seperti sepatu gunung dan carrier. Kak Tiwi tidak ketinggalan juga untuk ikut promosi rok celana untuk perempuan-perempuan di grup ini. Cuma decak heran yang aku lakukan saat melihat tingkah dua orang ini.

Dua orang ini semakin membuatku geleng-geleng kepala dan merasa aneh sejak kami membincangkan makanan yang akan dimasak selama di gunung. Ayam lada hitam. Itu pilihan Dhika. O God, ke gunung makan ayam lada hitam? Gak salah? Mana kesan gunungnya? Spontan responku dalam hati.

Sejak pertama kali melakukan pendakian, yang biasa aku masak di gunung hanya hal-hal simple seperti tumis kangkung, telur, ikan asin, mie, dan nasi. Bahkan selama masih menjadi anggota muda di Pecinta Alam, sumber makananku hanya daun-daunan yang ada di sekitar tenda dan cacing. Pernah juga aku hanya memakan ikan asin dan minum minyak tawon untuk menghangatkan badan.

Semua kehebohan persiapan di grup ini secara spontan aku ceritakan pada salah satu teman yang biasa melakukan pendakian bersamaku. Responnya hanya satu kalimat, “Gue mah males, Lis, kalo kudu repot gitu.”

“Gak apa-apa deh, Kak. Buat pelajaran juga nih. Sekian lama perjalanan gak pernah serempong ini. Gegara Bapak Rempong nih, gue jadi ikutan rempong gini. Hihihi,” jawabku sambil tersenyum lebar menunjukkan gingsul.


Sebuah Rencana Hati

Tepat satu pekan sebelum pendakian, entah siapa yang pertama kali mengusulkan, akhirnya kami yang ada di grup memutuskan untuk melakukan kopdar pada 29 Mei 2014. Update terakhir yang kubaca dalam WhatsApp, kami akan kopdar di Kota Tua. Okelah, Kota Tua cukup dekat dari rumahku, tidak ada masalah dengan lokasi pertemuan kami yang akan dilakukan pukul 17.00 WIB.

Sebenarnya aku kurang berminat untuk turut serta dalam Kopdar sebab beberapa urusan. Pagi hari aku latihan lari di Monas, dilanjutkan dengan mencuci pakaian kotor, dan siang harinya aku sudah membuat janji dengan salah seorang teman, Kak Firdha, untuk melakukan pendaftaran ulang lomba lari Jakarta Internatonal 10 K di Mal F(X), Senayan.

Pukul 14.00 WIB, aku dan Kak Firdha sudah ada di atas bus menuju Mal F(X) untuk melakukan pendaftaran ulang lomba lari dan mengambil nomor punggung. Tetiba sebuah telepon masuk dari sahabat yang mengajakku ke pendakian kali ini.

“Di mana kamu, Lisfah? Di kirimin pesan WhatsApp gak dibalas-balas!” suara di seberang sana menyergahku.

“Di bus menuju F(X), mau nemenin Kak Firdha ke pendaftaran Jakarta International 10 K. Lagi gak aktifin WA. Ada apa memangnya?” aku berbohong pada sahabatku. Padahal saat itu aku tidak hanya menemani, melainkan juga ingin melakukan pendaftaran ulang dan mengambil nomor punggung.

“Udah baca WA grup, belum? Nanti kita kopdaran. Kalo mau kita ketemuan di Lapak Kebayoran, habis itu angkutin buku ke Rawamangun, terus kita langsung ke Kotu buat kopdaran,” sahabatku berbicara cukup panjang. Saat itu kepalaku benar-benar dijejal rasa bersalah dan rasanya ingin meneriakkan GUE GAK JADI IKUT!

“Umm, aku di F(X) nanti. Ngantri pendaftaran ulangnya juga lama kayaknya deh. Gak yakin keburu kalau mau ngangkutin buku dari Kebayoran ke Rawamangun. Ketemuan dulu deh di F(X). Insya Allah aku ikut kopdarannya,” aku menjawab sambil berpacu dengan pikiran untuk segera menentukan keputusan.

Di akhir percakapan lewat telepon ini, aku memutuskan untuk tetap menghadiri kopdar. Di saat kopdarlah aku berencana akan menyampaikan kebatalanku untuk ikut pendakian. Setelah telepon dari sahabatku berakhir, aku terus memikirkan kata-kata yang tepat untuk menyampaikan batalnya keikutsertaanku dalam pendakian ini.

“Lisfah, udah sampe!” seru Kak Firdha, membuyarkan lamunanku.

Aku melangkahkan kaki kiri, menuruni tangga pijakan untuk keluar dari bus dengan perasaan gundah dan penuh pertimbangan. Ah, siapapun tolong ajari aku mengambil keputusan dengan bijak!


Bersambung …,

Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -