Posted by : Fatinah Munir 15 June 2014



Aku masih merasakan kehadirannya.

Hangat tangannya menyentuh jemariku. Sesekali menyingkap rambut yang menutupi sebagian wajahku. Aku masih merasakan jari-jarinya yang besar, yang membelai rambutku dengan sangat perlahan. Lalu dia meletakkan kepalaku di salah satu pundaknya.

Aku menghabiskan tujuh malam menjelang purnama bersamanya. Seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Tujuh malam menjelang purnama, dia memanggilku ketika langit barat tak lagi biru. Sejak bias jingga mengkhatulistiwa hingga ufuk timur kembali merona, dia ada di sampingku.

Selama itu, dia tak berbicara. Hanya mengajakku berjalan menelusuri jalan ibu kota dan duduk di tempat yang nyaman untuk menatap bentangan gulita. Selama itu dia diam tanpa mau memberi cerita atau kata-kata manis selayaknya lelaki yang sering singgah di hati wanita.

Jika aku sudah menunjukkan tanda-tanda kebosanan, dia mulai tersenyum dan menggenggam tanganku semakin erat. Atau bahkan sesekali merangkulku di balik tangannya yang kekar tapi lembut dalam menyentuh.

***

Beberapa purnama lalu, setelah sebaris doa aku sampaikan pada rembulan sendiri di langit malam. Sama seperti diriku yang sendirian di tengah ruang penuh jendela yang tak bertirai. Yang dengan lugu aku berharap bulan itu menyampaikan doaku kepada Tuhan.

Menjelang purnama selanjutnya, aku menunggu balasan dari rembulan, dari Tuhan. Kukira rembulan lupa menyampaikan doaku kepada Tuhan, atau Tuhan lupa mengabulkan doa-doaku yang pernah kutitipkan. Pasrah. Kutenggelamkan wajah di atas bantal hijau yang tak lagi nyaman untuk merehatkan badan. Lalu aku terlelap bersama harap pengabulan doa.

Tiba-tiba….

Tubuhku terangkat, melayang di udara yang mengigilkan raga. Secepat hembusan angin dingin yang membalut kulitku yang pucat, secepat itu pula aku merasakan kehangatan yang membuatku semakin nyaman. Aku meneruskan tidurku masih dalam keadaan melayang.

Lama aku terpejam hingga ketika aku membuka mata secara perlahan, aku tak dapat melihat. Semuanya gelap.

Ada gerak lembut yang membuatku takut. Kubuka mata ragu-ragu dan kudapati aku terbangun di atas pangkuan lelaki yang tak kukenal. Perlahan dia mengangkat kepalaku dari pangkuannya. Dia tersenyum ramah. Dia tak berkata, hanya membiarkanku mematung, bingung.

Aku terdiam lama hingga aku menyadari aku sudah berada di tempat yang indah. Gelap tapi bergemerlap. Dia menunjuk ke langit. Memerintahkanku memperhatikan lingkaran yang belum penuh. Kuning keemasan yang membuatku kepaku. Indah. Mataku terbuka sempurna untuk menikmatinya.

Aku bergumam sendirian bertanya, mengingatkan diri bahwa malam ini adalah tujuh malam sebelum purnama. Lelaki itu mengangguk dan menatapku dengan hangat.

Dia meraih tanganku yang terlipat di dada dan meletakkannya di atas kedua pahaku yang terbalut celana hitam yang mulai kelabu. Aku hanya diam, menuruti segala geraknya yang tanpa kata dan aku tetap memperhatikannya.

Tangan lelaki itu terbuka, memperlihatkan sesuatu yang tak asing di mataku. Rembulan separuh ada dalam genggaman lelaki itu. Aku tersenyum, berusaha menampakkan wajah seindah-indahnya. Sebagai tanda bahwa aku senang dengan apa yang ada di depan mata, dengan yang dia bawa.

Lelaki itu mengangkat tangannya ke udara dan memperlihatkan bahwa rembulan separuh yang ada di genggamannya akan menyempurnakan rembulan yang ada di langit malam itu. Sekali lagi aku tersenyum, semakin sumbringah.

Tiga per empat putaran sudah rembulan bergerak ke timur dan aku terpejam tanpa sadar. Aku merasakan hangat tangannya membelai rambutku dengan mesra dan meletakkan kepalaku di dadanya. Mendekapku hingga aku lelap bersama ritmik napas di balik dada lebarnya.

Aku terbangun di atas kasur berselimut tebal berdebu, tempatku tidur di setiap malam. Aku baru sadar, bahwa rembulan menyampaikan doaku dan Tuhan baru saja mengabulkan permintaanku. Aku bisa tersenyum, setelah dua belas purnama tak sanggup meraih bahagia.

Malam-malam selanjutnya, aku kembali terjaga ketikta dia menempelkan segaris cahaya yang dibawanya untuk rembulan yang menggantung di langit. Hingga rembulan itu bulat sempurna, menjadi purnama.

***



Tujuh malam sebelum purnama, lelaki itu selalu datang membawa separuh rembulan dalam genggamannya. Sebelum rembulan di langit bulat sempurna.

Tujuh malam sebelum purnama, aku selalu terbangun saat rembulan sedang ada di puncak khatulistiwa. Terbangun dalam pangkuan lelaki yang dapat membuatku tertawa.

Tujuh malam sebelum purnama, lelaki itu menemaniku duduk di atas menara tua bercat usang yang nyaris tak terlihat di waktu malam. Hingga rembulan itu bulat sempurna, menjadi purnama.

Purnama, aku memanggilnya.

Aku masih merasakan kehadirannya, menjelang malam-malam purnama. Meski kini dia menghilang, kehangatannya masih saja menyapa ketika aku menatap rembulan yang nyaris sempurna.

Rembulan separuh, tujuh malam sebelum purnama, adalah hari-hari indah bagiku yang selalu bermurung durja. Mengingat kedatangannya, merasakan napasnya, dan kehangatan jemari besar miliknya yang menyentuh jemariku.

Purnama. Lelaki ang membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya, meski hingga pertemuan terakhirku dengannya tak sekalipun ada berbicara. Purnama. Lelaki yang membuatku tersenyum setelah murung menguasa jiwa. Purnama, kehadirannya masih kurasa. Tujuh malam sejak rembulan separuh menenangkan malamku.

Leave a Reply

Terima kasih atas komentarnya :)

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -