- Back to Home »
- Autisme »
- Siapa Itu Anak Autis?*
Posted by : Fatinah Munir
02 April 2013
Sejak 1943, istilah autis dikenalkan oleh Leo
Kaanner. Hingga kini, istilah dan segala aspek yang bersangkutan dengan autis
telah menarik banyak perhatian dari banyak kalangan profesional, seperti
psikolog, psikiater, neurolog, dan tentu saja ortopedagog.
Sementara itu, seiring dengan banyaknya
perhatian yang tertunpah pada permasalahan anak autis, angka kejadian
terlahirnya anak autis di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Dalam pendahuluannya pada buku Autism is Treatable, Dr. Kresno Mulyadi,
Sp.Kj., motivator keluarga berkebutuhan khusus, menyatakan bahwa kini angka
kelahiran anak autis di Indonesia mencapai 1 kasus dari 165 kelahiran.
Di balik meningkatnya angka kelahiran anak
autis masih banyak masyrakat, bahkan keluarga yang memiliki anak autis yang
belum memahami siapa sebenarnya anak autis dan bagaimana cara berinteraksi
dengan anak autis. Selain itu, tidak sedikit keluarga merasa kesulitan berinteraksi dengan anak autis.
Dengan Dunianya
Sendiri
Secara harfiah kata
autis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu ‘aut’ yang
berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang secara tidak langsung menyatakan
orientasi, arah, atau suatu keadaan. Berdasarkan pengertian ini Reber (1985)
dalam Trevarthen (1998) menyatakan bahwa
autis dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asyik
dengan dirinya sendiri. Pengertian ini menunjuk pada bagaimana anak-anak autis
gagal bertindak dengan minat dengan orang lain, tetapi juga kehilangan beberapa
penonjolan perilaku mereka.
DSM-IV
Berbeda
dengan pengertian di atas, APA (American Psychiatric Association)
menetapkan beberapa kriteria untuk menetapkan apakah seorang anak dapat
dikatakan sebagai anak autis. Kriteria tersebut dikenal dengan nama Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder edisi IV (DSM-IV). Berdasarkan
criteria DSM-IV, seorang anak dapat dikatakan mendang autis apabila:
1.
Memiliki minimal dua kriteria gangguan dalam interaksi sosial:
a.
Rendahnya kemamppuan berinteraksi
sosial melalui komunikasi nonverbal seperti kontak mata, ekspresi muka, dan
gerak tubuh.
b.
Tidak mampu berinteraksi sosial
dengan kelompok sebayanya.
c.
Tidak memiliki keinginan untuk
berbagi kesenangan, prestasi, perasaanya atau keingintahuannya dengan anak
lain.
d.
Kurang mampu melakukan hubungan
timbal balik dalam hubungan sosial dan emosional.
2.
Memiliki minimal dua kriteria
gangguan komunikasi:
a.
Terlambat atau tidakadanya
perkembangan kemampuan berbicara dan tidak ada usaha untuk mengimbangi
komunikasi dengan cara lain, seperti isyarat atau gerak tubuh.
b.
Jika bisa berbicara, kemampuan
berbicaranya tidak digunakan untuk berkomunikasi.
c.
Sering menggunakan bahasa yang
“aneh” dan berulang-ulang.
d.
Kurang mampu bermain dengan
permainan variatif, meniru, imajinatif, atau spontan.
3.
Memiliki minimal satu kriteria
tingkah laku dan pola yang sering diulang-ulang dalam kegiatannya.
a.
Rasa tertarik yang abnormal dari
segi fokus dan intensitas terhadap suatu kegiatan yang khas atau terbatas.
Misalnya, mengulang-ulang sebuah adegan dari video secara terus menerus,
berjalan tanpa henti membentuk lingkaran, dan lain-lain.
b.
Memiliki kebiasaan rutinitas yang
sering kali tidak bermakna apa-apa bagi orang lain.
c.
Memiliki rasa ketertarikan pada
suatu bagian saja dari benda.
d.
Sering melakukan gerakan-gerakan
tertentu yang khas dan berulang-ulang.
Dari
tiga kategori kriteria di atas, seorang anak dapat dikatakan autis apabila
memiliki jumlah akumulatif minimal enam kriteria.
Gejala di atas akan tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Bahkan apabila anak mengalami
autis infantile (autis sejak kandungan), gejala di atas sudah ada sejak bayi.
Autis
juga merupakan suatu konsekuensi dari perbedaan perkembangan otak yang kompleks
yang mempengaruhi banyak fungsi otak, seperti persepsi, intending, imajinasi,
dan perasaan. Dengan kata lain, autis dapat dinyatakan sebagai suatu kegagalan
dalam penalaran sistematis.
Dalam
suatu analisis mikrososiologikal tentang logika pemikiran anak autis dan
interaksinya dengan orang lain, Durig (1996) dalam Trevarthen
(1998) menyatakan bahwa anak autis memiliki kekurangan dalam membuat
penalaran, misalnya penalaran yang bergerak dari premis-premis khusus menuju
kesimpulan umum atau sebaliknya.
Autism Spectrum Disorder
Anak
yang dideteksi memiliki gangguan autis tidak semuanya memiliki gejala yang sama. Jika
anak autis diibaratkan warna biru, maka warna biru itu bisa beragam spektrumnya
mulai dari biru muda hingga bitu tua. Dengan kata lain, setiap anak autis
memiliki kekhasannya masing-masing, dengan masing-masing gelaja yang unik dan
tidak pernah sama persis antar satu anak autis dengan anak autis lainnya.
Perbedaan yang ada
antar anak autis ini biasanya menandakan perbedaan tingkat gangguan yang ada
pada anak. Untuk mendeskripsikan perbedaan tingkat ganguan anak autis, maka
muncullah istilah Autism Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autis.
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa anak autis adalah anak yang mengalami hambatan perkembangan
otak yang kompleks dan signifikan (akan tetap seperti itu jika tidak ditangani)
yang mempengaruhi perkembangan komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku,
semua gelaja autis ini terjadi sebelum usia tiga tahun berdasarkan gejala ada
di DSM-IV. (nir)
(*) Tulisan ini pernah dimuat di kartunet.com