- Back to Home »
- Ekspedisi Dieng , Travel and Adventure »
- Ekspedisi Negeri di Atas Awan (Bag.4)
Posted by : Lisfatul Fatinah
04 January 2013
Sekali lagi saya ucapkan selamat datang di catatan perjalanan luar biasa di Negeri di Atas Awan. Bagian ini saya jamin adalah bagian paling mengejutkan sekaligus menakjubkan dibandingkandari Bagian 1, Bagian 2, dan Bagian 3. Oke. Tanpa berlama lagi. Inilah kisah luar biasa yang selalu tersimpan di memori dan hati saya :)
"Tanpa Titik" hasil jepretan Kakek di Singgasana Matahari
Ahad, 17 Nobvember 2012
Pendakian Ke
Singgasana Raja Siang
Saat yang dinantikan
pun tiba. Inilah puncak dari tujuan perjalanan kami, pendakian ke singgasana
Raja Siang atau pendakian ke puncak Gunung Pakuwaja untuk melihat kegagahan
matahari yang baru terjaga.
Pukul 2.30 waktu Dieng
kami semua membuka mata dan bersiap melakukan pendakian ke puncak Gunung
Pakuwaja. Di sini, semuanya harus siap fisik dan batin. Maksudnya, siap fisik
untuk melangkah lebih jauh lagi di jalanan mendaki, siap batin untuk
menyaksikan keindahan mahakarya Allah yang lainnya “dari atas awan” ^_^
Pada pendakian
ini, kami ditemani seorang bapak yang
kami panggil Mas Wawan. Karena khawatir kami akan telat mencegat matahari
“keluar rumah”, Rizki berinisiatif atau Mas Wawan menawarkan –kurang tahu
persisi– dalam perjalanan pendakian kami akan menumpang motor selama jalanan
masih bisa ditempuh motor.
Tapi, karena motornya
hanya ada satu, jadi kami dicarter dua dua. Kendati dicarter, kami semua
tetap berjalan sejauh kemampuan kami dan
sampai Mas Wawan kembali lagi untuk menjemput giliran selanjutnya. Dan, di
sesi ini saya bersama kembaran saya, Erny, memperoleh giliran carter paling
belakang.
Suasana saat saya dan
Erny berjsalan benar-benar gelap. Lampu jalanan hampir tidak ada, kami hanya bermodalkan
cahaya senter yang kami bawa. Sedangkan jalanan benar-benar sepi, hanya kami
berdua sepanjang jalan. Sebelah kiri kami hutan, sebelah kanan kami ladang
dengan bingkai view tebing-tebing dan gunung-gunung tinggi yang terlihat
sangat gahar di tengah gelap.
Saat berjalan hanya
berdua dengan Erny di tengah gelap, pikiran nyeleneh saya kumat. Um, ini
dipengaruhi tontonan saya juga. Masih sambil berzikir dalam hati, saya bertanya
pada Erny, “Tebak, apa yang ada di pikiranku sekarang.”
“Gak tau. Pasti aneh,” jawab Erny, frontal -,-
“Hehe. Mau tau
gak? Tapi jangan takut ya,” saya
cengar-cengir.
“Iiih, Lisfa mah. Lagi
berduaan nih.” Erny mulai ketakutan :P
“Nih Er, kita kan Cuma
berdua nih. Jalanan udah gelap sepi banget lagi. Aku ngebayangin tiba-tiba dari
balik semak-semak, dari dalam hutan-hutan itu muncul zombi-zombi kayak di film
horor Amerika. Hehe,” saya bercerita sambil cengar-cengir.
“Iiiih, Lisfaaa. Serem
banget sih pikiran kamu,” Erny manyun.
“Hehehe…,” saya hanya
nyengir, menunjukkan gingsul :D
Setelah mengkhayal
yang nyeleneh, saya dan Erny tetap berjalan. Saling mepet dan semakin
mengencangkan genggaman tangan karena kedinginan. Saya dan Erny sama-sama diam, tapi hati kami tetap bergemuruh zikir. Hanya suara kibasan gamis yang berpapasan dengan angin yang menjadi pengiring langkah kami, dua perempuan aneh bergamis yang nekad mendaki Gunung Pakuwaja.
Setelah hampir 3 Km, alias ketika saya dan Erny sudah hampir melewati Telaga Warna, Mas Wawan akhirnya datang. Alhamdulillah :)
Setelah hampir 3 Km, alias ketika saya dan Erny sudah hampir melewati Telaga Warna, Mas Wawan akhirnya datang. Alhamdulillah :)
Saat di perbatasan
aspal dengan bebatuan menuju puncak gunung, di sana kami berjumpa dengan banyak
pendaki lainnya. Suasana jalan setapak semakin ramai, kami salinng berbagi area
pengelihatan menggunakan cahaya senter dan sesama pendaki Gunung Pakuwaja
saling bertukar senyum di antara cahaya kuning redup senter. Sejak di posisi
inilah kami semua berbaris, mulai membuat langkah menuju satu tempat,
Singgasana Raja Siang.
Perjalanan pendakian
ini standar. Terus mendaki atau menurun.
Semakin naik oksigen menipis, udara
semakin dingin, dan ujung-ujung jari saya mulai membeku. Di tengah perjalanan,
cukup banyak pendaki yang harus berhenti karena sakit.
Dari rombongan kami
pun sama, sesekali berhenti, menepi untuk beristirahat untuk minum. Nah, dalam
perjalanan naik ini biasanya pendaki harus membawa gula merah. Sejak saya mengenal dunia pendakian di bangku SMA,
gula merah memang bawaan wajib setiap ingin mendaki atau caving
(menelusuri goa). Gula merah yang mengandung glukosa ini berguna sebagai bahan bakar utama dalam asimilasi karbon yang
hasilnya berupa energi untuk tubuh kita. Oleh karena itu, jangan heran
kalau di tengah perjalanan banyak pendaki
yang mengemot gula merah ß penjelasan ala farmasis :P
Selayaknya sebuah
perjalanan, sejauh apapun jalan yang ditempuh, dan seletih apapun tubuh pasti
ada akhir perjalanan yang membayar semua pengorbanan dengan setimpal. Pun itu dengan
pendakian kami ke puncak Gunung Pakuwaja ini.
Alhamdulillah, sekitar
pukul 5.30 waktu Dieng kami tiba di puncak Gunung Pakuwaja. Ada kejadian
menegangkan sekaligus lucu di momen ini. Saat kami sudah berkumpul, tiba-tiba
kami merasakan ada yang kurang. Kakek tidak ada di antara kami. KAKEK
MENGHILANG!
Saat itu juga kami
semua kompak berteriak menyebut nama Kakek. Turun beberapa meter agar suara
kami terdengar lebih lantang hingga bawah. Kami semua mulai panik, karena tadi
Kakek adalah orang yang berdiri paling depan di antara pendaki yang lain.
Saat kami sedang
berteriak memanggil nama Kakek, tiba-tiba Mas Wawan berkata, “Si Yudis nyasar
kayaknya.” Sontak kami semua terkejut. Menurut Mas Wawan, tadi beliau melihat
Kakek berbelok ke arah yang salah bersama beberapa pendaki lainnya. Mereka
sudah dipanggil tapi tidak menengok.
Ekspresi wajah kami
dengan cepat berubah, dari panik menjadi semakin panik dan sedih. Tepat saat
ekspresi wajah kami berubah, dari bawah, dari semak-semak yang merah, muncul satu
sosok kecil berjaket merah tua melambai-lambaikan tangan sambil memegang three
pot. KAKEK KEMBALI! :D
“Gila, gue salah belok
tadi. Begonya lagi orang di belakang gue ngikutin gue lagi. Hahaha,” Kakek
menceracau tak kenal sikon. Padahal kami sudah panik -,-
“Untung kagak ilang.
Yuk ke ujung sana. Spot-nya bagus buat ambil gambar,” salah satu dari kami
langsung melupakan kepanikan beberapa menit tadi dan langsung beralih ke
matahari yang perlahan muncul dari singgasananya.
Saya tidak ikut
mereka, tapi duduk sebentar untuk meneguk air, melepas lelah, dan saya langsung menunaikan salat Subuh di tengah padang rumput, menghadap jurang, membelakangi
lautan awan dan matahari yang mengintip dari balik singgasananya. Sungguh,
momen salat di tempat tertinggi di Dataran Tinggi Dieng ini adalah momen yang
paling menggetarkan hati. Saya benar-benar merasakan, betapa mahaindahnya Karya
Allah dan betapa kerdilnya diri ini tanpa kuasa Allah. Terima kasih kepada
Allah Mahakasih yang telah memperkenankan saya menginjakkan kaki ini di
bumi-Nya yang begitu menakjubkan. Jika ciptakaan-Nya saja sudah sangat
menakjubkan seperti ini, apalagi wujud yang Menciptakan. Masya Allah. Allahu
Akbar.
Setelah salat, saya
bergabung dengan yang lainnya. Menikmati mahaindahnya karya Allah yang Mahaindah. Kalimat subhanallah,
tak pernah berhenti terlafazkan di mulut dan di hati. Langkah kaki yang tak mau
berhenti, peluh yang membanjir, dan dingin angin yang membekukan jemari terbayar
sudah dengan potret matahari terbit dari balik puncak gunung yang berbalut
awan.
Matahari yang terbangun dari balik selimut awan di Negeri di Atas Awan
Kurang dari sepuluh
menit, matahari sudah merangkak dari titik terindahnya di balik gunung dan awan
yang menghampar. Aih, bayangkan, perjalanan mendaki ini ternyata hanya untuk
sebuah “pertunjukan alam” yang berlangsung kurang dari 10 menit! Ckck. Betapa
“gila”-nya kami para pendaki yang rela berlelah-lelah melangkah hanya untuk
dibayar dengan fenomena yang terjadi kurang dari 10 menit :)
Ya, memang beginilah
esensi dari sebuah perjalanan dan petualangan. Perjalanan yang panjang dan
berlelah-lelah ini memang hanya untuk sebuah “pertunjukan alam” berdurasi
kurang dari 10 menit. Tapi percayalah, kejadian kurang dari 10 menit di puncak
Gunung Pakuwaja ini mempunyai nilai seumur hidup.
Ketika tak ada mata yang ingin berpaling dari mahakarya-Nya. Subhanallah
Kenangan di atas
puncak Gunung Pakuwaja ini sejatinya tidak berusia kurang dari 10 menit, tapi
berusia abadi di dalam memori. Menyaksikkan “pertunjukan alam” ini bisa menjadi
sebuah cerita dan kenangan indah yang bisa saya wariskan kepada kalian yang
membaca tulisan ini, kepada suami saya kelak, bahkan kepada anak-anak dan
cucu-cucu saya suatu saat nanti :’)
Karena saya yakin, Allah
tidak pernah menciptakan hal yang sia-sia. Pun itu dengan pengalaman yang terjadi
kepada saya. Maka setiap pengalam adalah berarti dan memiliki misteri,
sekalipun pengalaman itu buruk dan menyakitkan, apalagi kalau pengalamannya
seindah ini ^_^
Sepuluh menit yang
abadi di memori telah selesai dilewati. Ini saatnya kami turun melewati jalur berbeda
untuk melihat apa yng disebut “Pakuwaja”, sebuah batu panjang yang sangat panjang,
yang tertancap dari lembah terendah di Dataran Tinggi Dieng hingga menulang
tinggi di antara tebing-tebing Gunung Pakuwaja.
Beristirahat di tengah penurunan Gunung Pakuwaja
Selama perjalanan
turun, kanan dan kiri kami semuanya putih. Kabut mulai turun, saya pribadi merasakan
sensasi seperti berjalan menelusuri awan. Sungguh semua letih hilang seketika
seiring dengan mata yang selalu terperangah dengan indahnya mahakarya Allah swt
;)
Bersama dua sahabat. Menafakuri nikmat dan memanjatkan mimpi-mimpi di bibir tebing Gunug Pakuwaja
Saat perjalanan pulang
ini, kami juga menyaksikkan kebun-kebun dan ladang sayur penduduk Dieng. Alih-alih
di Jakarta hampir tidak ada kebun atau ladang sayur mayur, kami malah “menjarah”
kebun orang sebagai objek berfoto ^^
"Menjarah" kebun penduduk sebagai view narsis
Di tengah perjalanan pun kami menemukan orang-orangan sawah. Saya dan kembaran saya yang sudah “menandai” orang-orangan sawah itu sejak mendaki juga tidak mau ketinggalan momen berfoto dengan orang-orangan sawah :D
Perjalanan turun ini kami lanjutkan ke Kawah Sikidang. Sebuah Kawah yang terbentuk juga karena letusan gunung yang membentuk Dataran Tinggi Dieng. Di Negeri di Atas Awan ini, kami seperti tidak mengenal lelah. Langkah ini tidak pernah mau berhenti, mata ini tidak pernah beralih dari keindahan yang terhampar di kanan kiri dan di atas kami.
Hampir pukul 10.00
waktu Dieng, kami memutuskan kembali ke penginapan. Sebelum ke penginapan, kami
memutuskan untuk makan karena sedari
mendaki, kami memang belum memakan
sesuap nasi. Hanya biskuit dan gula
merah yang mengganjal perut kami :)
Menu makan pagi yang
terlalu siang ini tidak jauh beda dengan makanan di Jakarta. Ada sate, soto,
sup, ayam bakar, daln lain-lain. Tapi, yang membuat beda adalah purwaceng,
minuman tradisional khas Dieng yang bisa memberikan rasa hangat dan memulihkan
stamina. Rasanya, nikmaaaat sekali. Subhanallah enaknya :9 (ini selera
saya, karena menurut Erny, purwaceng tidak enak)
Waktunya kembali ke
penginapan. Kami semua membersihkan
badan, sedikit beristirahat, dan menyiapkan kepulangan kami ke Jakarta ba’da
zuhur.
Huaa. Rasanya tidak
ingin balik ke Jakarta. Saya masih ingin berlama-lama di Negeri di Atas Awan
ini. Saya ingin lebih lama lagi terperangah oleh keindahan alam ciptaan Allah
yang Mahasempurna. Kalau boleh, ingin rasanya membawa sepotong Dieng untuk saya
bawa pulang dan saya taruh di Jakarta. Agar orang-oarang di Jakarta yang sok
sibuk dengan aktivitasnya bisa tahu bahwa ada tepian surga yang terjatuh di
bumi Allah, agar semakin banyak yang tahu bahwa Indonesia luar biasa.
Sungguh, ini adalah
perjalanan luar biasa bersama teman-teman yang luar biasa ajaib. Kenangan ini
akan selalu saya kenang, Seperti yang saya tuliskan di atas, kenangan ini akan
menjadi cerita di masa depan, untuk
kalian pemuda-pemudi yang katanya orang Indonesia, untuk suami saya, anak-anak saya, dan
cucu-cucu saya.
Saya di mata kamera Kakek
This is the most my favorite picture :)
Terima kasih banyak
kepada Allah swt. yang telah Memberikan
saya kesempatan untuk bisa melangkahkan kaki ini ke bagian-bagian bumi-Mu yang
indah. Terima kasih juga atas naluri yang Engkau sisipkan di diri ini untuk
menjadi wanita biasa yang senantiasa ingin tahu dan ingin bergerak menelusuri
bagian bumi-Mu yang selalu memesona.
Terima kasih kepada
orang tua saya yang selalu memercayai
saya untuk menempuh pilihan saya. Terima kasih kepada sahabat-sabahabat saya
yang ternyata punya “keanehan” yang sama dengan
saya, yaitu berpetualang ke bagian bumi Allah yang berbeda. Terima kasih
kepada teman-teman Kompas Khatulistiwa atas penngalaman luar biasa yang tak
terlupa. Save culture, save nature, in “our” adventure!
Semoga Allah terus
memercayai kita untuk membuka mata, menangguhkan langkah, dan menguatkan niat
untuk terus menelusuri Karya-Nya yang Mahasempurna :’)
-Belum
Selesai-
(Karena ada banyak lagi kisah petualangan
luar biasa yang masih menjadi rahasia-Nya)
Foto siluet nya keren mbak,,
ReplyDeleteCiptaan Allah itu selalu mempesona :)
Salam kenal dari Batam ^^
Foto siluet nya keren mbak,,
ReplyDeleteCiptaan Allah itu selalu mempesona :)
Salam kenal dari Batam ^^
Hai, Mbak Dian. Salam kenal juga dari Jakarta. :)
ReplyDeleteMakasih udah mampir, Mbak Dian :) Iya, keren. Itu foto favorite saya.
Mbak Dian menetap di Batam? Itu fotonya sedang di laut Batam ya?
keren :)
ReplyDeletemau banget diajak ekspedisi
Hayuk, Teh Euis, berekspedisi bareng. Ke tempat yang lebih Subhanallah lagi :)
ReplyDeletehuhu.. keren ceritanya, jika cerita erni itu terkesan simple, menarik dan lucu. tulisanmu epik dan menarik. aku tersanjung banget >_< menjadi photografer kalian apa lagi di perkenalan ada namaku n sedikit deskriptif tentang aku hahaha
ReplyDeleteiya mbak, saya kelahiran Batam,,
ReplyDeleteIni fotonya waktu jalan ke Lagoi, KEPRI
mampir ke blog saya mbak
lailaturrahmaniyah.blogspot.com
^^
KEPRI? Di daerah mana itu?
DeleteFotonya keren :)
Iya, saya udah mampir. Nice blog ^^
HAh?? serius mbak ga tw KEPRI? Kepri Itu Kepulauan Riau, yg Ibu kotanya tanjung pinang Mbak,, #ternyata Kepri ga' terkenal Hiks,,
DeleteSeriusan gak tau. Mungkin Kepri terkenal, cuma saya aja yang gak kenal :)
Deletenice story
ReplyDeletemisi gan kunjungi juga blog ane ya nellybatubara.blogspot.com