Posted by : Lisfatul Fatinah 04 January 2013


Beberapa pekan lalu, saya melakukan kunjungan ke SLB E Handayani, sebuah SLB di bawah naungan dinas sosial yang mendidik anak-anak Gangguan Emosi dan Tingkah Laku (GETL). Tujuan saya ke SLB E ini untuk mengamati proses pembelajaran matematika untuk anak GETL. Sebagai bentuk sharing, berikut ini saya cantumkan apa saja yang telah saya amati di SLB E Handayani ini 

***

Pada studi lapangan yang saya lakukan di SLB E Handayani saya dapati bahwa pembelajaran matematika di SLB E Handayani tidak jauh berbeda dengan sekolah regular. Hanya saja, memang ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru pada saat mengajar matematika, di antaranya adalah strategi dan media belajar.

Dalam pembelajaran guru SLB E Handayani biasanya estimasi waktu pelaksanaannya kurang tidak sesuai dengan RPP. Jika di RPP suatu materi direncanakan tercapai dengan tiga kali pertemuan, dalam pelaksanaanya di SLB E Handayani satu materi matematika bisa tercapai dengan lima kali pertemuan. Hal ini bukan dikarenakan murid-murid SLB E Handayani tidak memahami pelajaran, melainkan karena murid-murid  terlalu malas berpikir.

Untuk mengantisipasi hal ini, biasanya guru matematika SLB E Handayani mengurangi tingkat pencapaian murid dalam memahami suatu materi. Jadi, estimasi waktu yang terlaksana sesuai dengan rancangan yang dibuat. Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah media pembelajaran. Untuk media pembelajaran matematika, khususnya bangun datang dan bangun ruang, guru menggunakan media nyata yang terbuat dari kardus atau kayu.

Media yang dibuat guru harus besar dan mudah dilihat murid jika guru memeganggnya di depan kelas. Media yang dibuat juga harus aman untuk kelas, karena jika murid melempar-lempar media dapat dipastikan bahwa media aman dan tidak melukai murid lainnya.

Strategi pembelajaran yang diterapkan tidak jauh berbeda dengan anak-anak pada umumnya, Hanya saja, guru harus bertindak lebih keras dan tegas agar murid-murid mau mengerjakan tugas dengan baik dan benar.

Di SLB E Handayani juga diterapkan sistem peer teaching atau tutur sebaya. Murid dengan kemampuan memahami yang lebih lamban daripada murid yang lain akan dibantu oleh murid lain yang sudah terlebih dahulu memahami  atau yang memiliki kemampuan menangkap pelajaran yang lebih baik dari yang lainnya. Akan tetapi, sebagaimana umumnya murid SLB E, tutur kata dan penyampaian yang lakukan murid SLB E Handayani kepada temannya cukup  kasar dan dan frontal.

Ada satu hal unik yang disistem pembelajaran matematika di SLB E Handayani ini, yang mungkin juga akan kita temukan di SLB E lainnya. Yaitu, setiap pelajaran matematika entah itu sistem penguranga, penambahan, perkalian, dan pembagian hampir selalu dianalogikan dengan benda-benda yang berhubungan dengan dunia anak GETL. Misalnya, anak diberi ilustrasi cerita dalam proses membeli rokok atau minuman keras. Atau, anak diberi sebuah soal cerita tentang proses diskon sebuah perusahaan rokok.

Analogi ini tidak secara kontinyu. Analogi ini hanya dilakukan ketika anak kehilangan semangat atau ketika anak mulai "nyeleneh" di dalam kelas. Jadi, analogi ini bisa disesuaikan dengan situasi. Cara penyampaiannya pun bisa dimodifikasi guru sesuai kebutuhannya di kelas.


Selebihnya tidak ada yang berbeda dalam pembelajaran matematika anak GETL dengan anak umum. Hal ini dikarenakan kemampuan intelektual  mereka sama dengan anak umum, hanya saja motivasi dari dalam diri mereka kurang.

Dari hasil observasi di SLB E Handayani ini tidak jauh berbeda dengan beberapa teori yang sudah diteliti oleh para ahli. Seperti pada karakteristik belajar anak tunalaras yang dikemukakan Cruickshank (1980) bahwa ada kesenjangan antara kemampuan potensial mereka dengan kemampuan yang aktual, atau dengan istilah sederhana cenderung berprestasi dibawah potensinya dikarenakan manifestasi dari problem emosionalnya. Hal ini berarti bahwa problem belajar merupakan faktor akibat dari adanya problem emosional. Murid di sini juga banyak yang malas belajar, terutama dalam pelajaran matematika sehingga prestasi mereka kurang baik, bukan karena kemampuan intelektual mereka kurang tetapi karena emosionalnya yang kurang baik.

Pembelajaran yang dilakukan guru di SLB E Handayani juga sudah cukup  sesuai dengan teori (Weiss dalam Hallahan dan Kauffmann, 2006), dimana guru sudah menerapkan strategi khusus agar siswa mau mempelajari suatu pelajaran terutama pelajaran matematika yang menurut mereka membosankan. 





{ 2 komentar... read them below or Comment }

  1. Ah, mantab! Saya paling demen nih baca artikel beginian... :D Jadi nambah wawasan... :D

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya :)

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -