Posted by : Lisfatul Fatinah 19 December 2011

Bismillahirrahmanirrahim

Sedikit kemanisan, sedikit ketidaknyamanan, sedikit kedekatan. 
Tidak terlalu banyak.
Sesungguhnya, yang kubutuhkan hanya kebebasan.
Aku hanya ingin menganyam mimpi sehangat sweater dan melewati awan putih sebagai duniaku.
Ada banyak anak yang seperti aku, sangat banyak.
Aku tidak sendiri berjalan dalam mimpi dengan penuh keheranan.

Bukalah mata kalian, lihat bagaimana aku berlari, bagaimana aku berputar ke sisi lain. 
Sekali aku menunjukkan duniaku, aku akan mengejutkan semua orang. 
Termasuk kamu

Syair di atas adalah penggalan lagu yang menggambarkan suasana hati seorang anak dalam film Bollywood yang sudah berkali-kali saya tonton. Judul film tersebut sama dengan judul catatan ini, Taare Zameen Par, Every Child is Special.

Dalam opening film ini penonton disajikan rentetan huruf dan angka yang berantakan dan membuat mata sakit. Lalu disusul oleh ekpresi guru yang sedang membacakan nilai murid-muridnya. Ketika membacakan nilai untuk murid yang pandai, mata yang bersinar dan senyuman ramah hinggap di wajah sang guru. Tapi, saat giliran membacakan nilai dalam kategori buruk, sang guru malah mengernyitkan dahi dan menggelengkan kepala. Sebuah opening yang sulit ditebak, pikir saya saat pertama kali menonton film ini.

Film ini menceritakan tentang seorang anak bernama Ishaan Awasthi. Ishaan adalah anak sembilan tahun yang sudah dua kali tidak naik kelas. Di sini diceritakan bagaimana nakalnya seorang anak sembilan tahun. Ishaan dikarakterkan sebagai anak yang memiliki dunianya sendiri. Di dalam kelas hanya melamun, melihat keluar jendela dan mengimajinasikan banyak hal.

Tulisan tangan Ishaan tidak bisa terbaca, bahkan nyaris tidak menyerupai tulisan. Ishaan juga tidak bisa membaca dan berhitung. Pernah Ishaan disuruh oleh gurunya untuk membaca, tapi yang dia katakana, “Huruf-huruf ini menari, Bu. Saya tidak bisa membacanya.”

Ishaan juga tidak pernah mengerti ketika diperintah untuk membuka sebuah halaman buku. Rentetan kekurangan Ishaan membuatnya sering dihukum keluar kelas. Jadi, dalam bahasa awamnya, banyak yang mengatakan Ishaan bodoh dan nakal. Eit, meskipun begitu, Ishaan pandai menggambar. Superb! Itu kata yang tepat untuk setiap goresan cat airnya.

Hal ini berbeda jauh dengan Yohan Awasthi, kakak Ishaan, yang pandai di setiap pelajaran dan unggul dalam olahraga tenis. Banyak yang tidak percaya bahwa Ishaan adalah adik kandung Yohan.

Puncak kesedihan film ini (menurut saya) adalah ketika Ayah Ishaan, sosok yang selalu menginginkan kesempurnaan dari anaknya, memasukkan Ishaan ke dalam asrama khusus anak laki-laki. Keputusan ini diambil karena Sang Ayah menganggap kenalakan Ishaan sudah tidak bisa ditolerin. Di saat ini, meskipun Ishaan menangis dan membujuk akan menjadi anak yang baik, Ibu Ishaan tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti kehendak suaminya.

Di dalam asrama, perkembangan Ishaan jauh dari yang diharapkan. Ishaan menjadi anak yang tertinggal dengan yang lainnya. Temannya hanya satu, Rajan, anak manager asrama yang menyandang disabilitas tubuh (Rajan menggunakan kaki kanan palsu dan alat pengangga tubuh/kruk).

Ishaan sering mendapatkan hukuman, nilai nol di setiap pelajaran dan selalu menjadi ejekan teman-temannya.  Tak ada yang tahu di mana letak kekeliruan dalam sistem pengajaran yang diterima Ishaan. Tak ada yang memedulikan apa yang salah dalam sistem belajar Ishaan.

Di tengah cerita, datanglah seorang guru Kesenian Kontemporer yang baru, Ram Shankar Nikumbh yang diperankan oleh Aamir Khan. Guru Nikumbh awalnya mengajar di SLB C Tulip (SLB untuk penyandang grahita). Berbeda dengan guru sebelumnya yang selalu memukul buku-buku jari Ishaan dengan penggaris, guru Nikumbh datang ke kelas dengan memainkan seruling dan menari bersama murid-muridnya. (Bollywood banget ini mah :D)

Saat guru Nikumbh membagikan kertas untuk menggambar, Ishaan yang tadinya suka menggambar malah membiarkan kertas itu dikumpulkan dalam keadaan kosong. Guru Nikumbh merasakan keanehan dengan Ishaan. Dia sering melihat Ishaan dihukum dan merasa ketakutan. Lalu, Rajan sebagai teman dekat Ishaan menceritakan masalah Ishaan bahwa Ishaan tidak bisa baca tulis dan dikirim orangtuanya ke asrama sebagai tanda hukuman atas “kenakalan”nya.

Guru Nikumbh akhirnya mencari tahu letak kesulitan Ishaan dalam belajar. Dia memeriksa tulisan Ishaan yang sangat buruk. Dalam tulisannya, Ishaan selalu salah dalam menulis ejaan, tidak mampu membedakan b dan d, m dan w, u dan n, L dan 7, dan lainnya.

Setelah diidentifikasi, dalam dunia pendidikan khusus namanya asasmen, ternyata Ishaan mengalami kesulitan dalam mengenal huruf atau bisa dikatakan Ishaan adalah anak penyandang disleksia.

Guru Nikumbh mendatangi orang tua Ishaan untuk memberitahukan kondisi Ishaan yang sebenarnya. Tapi kedua orang tuanya tidak terima, terutama ayahnya. Kedua orang tua Ishaan tidak ingin dikatakan sebagai orang tua yang tidak memerhatikan anaknya.

Guru Nikumbh meminta kepada kepala sekolah agar Ishaan diperkenankan ujian lisan, bukan tulisan. Dan guru Nikumbh memberikan pelajaran intensif  kepada Ishaan untuk melatih keseimbangan sensorik dan motorik Ishaan, Agar Ishaan lebih bisa konsentrasi dan tidak lagi melihat huruf-huruf itu menari.

Alhasil, guru Nikumbh berhasil membangkitkan semangat belajar Ishaan. Ishaan yang tadinya merasa tidak ada yang mengerti dia, akhirnya merasakan hangatnya perhatian seorang guru. Tidak hanya itu, ayah dan ibu Ishaan mulai memerhatikan Ishaan dan tidak membedakan Ishaan dengan Yohan, kakaknya yang lebih pintar.

Kisah ini ditutup dengan menangnya Ishaan dalam kontes melukis antara murid dan guru. Ishaan tak bisa berhenti menangis saat tahu gambarnya menjadi juara pertama, sedangkan gambar guru Nikumbh menjadi juara kedua. Yang lebih mengharukan, ternyata guru Nikumbh melukis wajah Ishaan yang sedang tertawa.

***

What an amazing story it is!

Sebuah tontonan yang tak hanya menghibur, tapi kental akan pelajaran bagi para orang tua dan calon orang tua. Dari film ini saya belajar bagaimana memosisikan anak sebagai makhluk Allah. Maksudnya, menyadari bahwa setiap makhluk adalah berbeda, setiap makhluk adalah istimewa, pun itu anak kita nantinya.

Memang semua orang tua menginginkan anaknya menjadi yang terbaik dan mendapatkan yang terbaik. Sama seperti obsesi saya kepada keponakan saya. Tapi, perlu sedikit rasa sabar dan sadar bahwa yang terbaik menurut kita sebagai pendidik belum tentu baik untuk mereka yang dididik.

Belum lagi jika memang anak tersebut membutuhkan kekhususan, seperti Ishaan yang disleksia. Sebagai orang tua hendaknya mampu mengasesmen anaknya sendiri sekalipun orang tua tidak memiliki ilmu asasmen secara formal. Ya, paling tidak mengonsultasikannya pada orang yang kira-kira mengerti tentang pendidikan anak.

Saya jadi teringat kalimat yang dikatakan oleh dosen saya sebagai landasan kami (guru pendidikan khusus) dalam membimbing murid-murid kami.

“Jika saya tidak dapat mengerti dengan cara yang Bapak/Ibu ajarkan, dapatkah Bapak/Ibu mengajarkan saya dengan cara yang dapat saya mengerti.”

Dari dosen ini saya belajar bagaimana mengendalikan emosi dan obsesi seorang guru maupun orang tua, bahwa tidak ada anak yang sama, secara kemampuan maupun kekurangan. Mempelajari atau menurut bahasa saya adalah melebur dalam dunia anak tersebut adalah hal bijak yang dapat kita lakukan. Tidak hanya memperoleh kedekatan emosional, tapi kita juga dapat memberikan penanganan khusus sesuai kekhususan setiap anak. Khusus di sini bukan berarti si anak harus disabilitas, cacat, atau berkekurangan. Bukankah setiap orang berkekhususan? :)

Jika dibayangkan, memang sulit menerapkan ini pada sekolah regular yang mayoritas dihuni oleh anak normal pada umumnya. Tapi setidaknya orang tua yang berperan sebagai pendidik pertama harus mampu menerapkan ini.

Saya tidak ingin memperpanjang kata, karena saya pun belum punya anak (hehe, nikah aja belum :P). Ya, paling tidak film ini adalah rekomendasi terbaik untuk para orang tua, guru, calon guru, dan calon orang tua.

***

“Bukalah mata kalian, lihat bagaimana aku berlari, bagaimana aku berputar ke sisi lain.

Sekali aku menunjukkan duniaku, aku akan mengejutkan semua orang.”
Dan benar saja, seluruh mata membelalak saat lukisan Ishaan mampu mengalahkan lukisan guru Nikumbh. Dan ternyata, guru Nikumbh juga penyandang disleksia. Surprise!

-Lisfatul Fatinah Munir-
Tanah Merah,
Kamis malam, 15 Desember 2011

{ 1 komentar... read them below or add one }

  1. Saya suka kalimat dari dosennya, mbk...
    “Jika saya tidak dapat mengerti dengan cara yang Bapak/Ibu ajarkan, dapatkah Bapak/Ibu mengajarkan saya dengan cara yang dapat saya mengerti.”
    ^_^

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya :)

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -