Posted by : Lisfatul Fatinah 19 December 2011

Oleh: Lisfatul Fatinah Munir
(Mahasiswa Pendidikan Khusus Universitas Negeri Jakarta)


Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil adalah sebuah novel psikologi yang diangkat dari kisah nyata seorang anak bernama Sheila. Torey Hayden, penulis novel ini, adalah seorang Bachelor of Art bidang Kimia Fisika di Whitman College, Walla Walla, Washington. Ketertarikannya kepada dunia anak-anak berkebutuhan khusus mengantarkan wanita bernama lengkap Victoria Lynn Hayden ini untuk mengambil gelar master di bidang pendidikan khusus. Torey, begitulah panggilan akrabnya, juga sempat meneruskan pendidikannya di tingkat doctoral, namun tidak diselesaikannya.
Torey lahir pada 21 Mei 1951 di Livingston, Montana, Amerika Serikat. Pada usianya yang ke-28 tahun, Torey mencoba menulis catatan pribadinya mengenai salah seorang muridnya yang bernama Sheila. Karena kelayakan tulisannya untuk diterbitkan, pada 1980 tulisannya diterbitkan dalam bentuk novel yang berjudul One Child. Tanpa disangka, dalam waktu dekat novelnya menjadi best seller dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, salah satunya dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Qanita dengan judul Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil.
Kini Torey tinggal bersama putri tunggalnya, Sheena. Di samping menjadi penulis, Torey juga bekerja sebagai konsultan bagi anak-anak korban kekerasan. Bahkan ia menjabat sebagai ketua pada sebuah yayasan bagi anak-anak korban kekerasan di daerah tempat tinggalnya, North Wales, Inggris.
Torey selalu menyajikan kisah yang penuh dinamika di setiap halaman bukunya. Karya-karyanya kaya akan warna dari setiap sosok anak berkebutuhan khusus yang dididiknya. Kegigihannya dalam mengajar dan membimbing anak-anak berkebutuhan khusus tertuang dalam bentuk cerita yang sarat akan ilmu dan wawasan. Maka tak heran jika karya-karyanya sering menjadi rujukan para guru pendidik khusus, konseling, dan psikolog.
Kisah dalam novel ini dibuka dengan sepenggal cerita mengenai artikel pendek dalam sebuah koran yang berisikan berita tentang seorang gadis kecil berusia enam tahun yang menculik seorang bocah di lingkungan rumahnya. Peristiwa yang terjadi bulan November itu tak sampai di situ. Gadis kecil itu kemudian mengajak bocah berusia tiga tahunan itu ke hutan kecil dekat rumah mereka dan mengikatnya di sebuah pohon. Kekejaman gadis kecil itu dilanjutkan dengan dibakarnya bocah lelaki tersebut.
Saat membaca artikel yang tak lebih dari dua paragrap ini, Torey baru saja menerima tawaran untuk menjadi guru di kelas yang dikenal dengan sebutan “kelas sampah” di sekolah tempatnya bekerja. Kelas tersebut diberikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus yang tidak memiliki klasifikasi dalam kekhususan mereka.
Kelas tersebut berisikan delapan orang anak dengan karakter dan kekhususan yang berbeda-beda. Salah satu murid di kelas tersebut adalah seorang anak lelaki delapan tahun bernama Peter yang memiliki kondisi neurologis yang buruk. Kondisi ini menyebabkannya sering mendapatkan serangan hebat dan perilaku kekerasan yang semakin parah.
Lalu ada Tyler, anak perempuan delapan tahun yang sudah pernah melakukan percobaan bunuh diri sebanyak dua kali. Max dan Freddie, anak lelaki enam dan tujuh tahun yang penyandang  autisme.
Ada juga Sarah, anak perempuan tujuh tahun yang menjadi korban penyikasaan fisik dan seksual. Karena pengalaman buruknya, Sarah menjadi anak yang selalu marah dan pembangkang juga tidak mau berbicara kecuali dengan ibu dan saudara perempuannya.
Selain itu, ada Suzzanah Joy. Seorang anak perempuan enam tahun yang cantik yang menyandang skizofrenia. Kemudian ada William, anak lelaki sembilan tahun yang memiliki ketakutan pada air, kegelapan, mobil, alat penyedot debu, dan debu di bawah tempat tidurnya. Terakhir adalah Guillermo, anak lelaki sembilan tahun yang pemarah dan memiliki disabilitas pengelihatan.
Dalam kelas yang berwarna ini Torey didampingi oleh dua asisten, yakni Anton, pria 29 tahun yang belum lulus SMA, dan seorang murid SMP bernama Whitney yang menghabiskan waktu luangnya untuk membantu Torey.
     Sejak tahun ajaran baru dimulai di bulan Agustus hingga Desember, semuanya berjalan dengan lancar. Bahkan, banyak perkembangan yang terjadi pada murid-murid Torey. Peter yang mulai terkontrol emosinya, Tyler yang hampir tidak pernah membicarakan tentang bunuh diri, juga Sarah yang kini mau berbicara dengan siapa saja.
Tapi semuanya berubah setelah libur Natal usai. Awal Januari, Sheila datang dan menjadi bagian dari kelas Torey. Sheila yang seharusnya ditempatkan ke rumah sakit negara, sementara waktu harus ditempatkan di kelas Torey sambil menunggu dibukanya kamar untuk unit anak-anak. Dengan pakaian lusuh dan tubuh yang jauh dari kategori bersih, Sheila datang ke kelas dengan wajah penuh kewaspadaan pada lingkungan barunya.
Kewaspadaann Sheila terhadap lingkungan barunya terbentuk karena ketakutan dan ketiadaan kasih sayang dalam kehidupannya selama enam tahun ini. Menjadi seorang anak empat tahun yang ditinggal di jalan oleh ibunya yang baru berusia empat belas tahun adalah trauma terberat Sheila. Sejak kejadian itu hingga ia memasuki kelas Torey, Sheila masih menyimpan banyak pertanyaan perihal mengapa ia ditinggalkan.
Tak cukup sampai di situ, kerasnya kehidupan harus diterima Sheila yang masih kecil ketika ayahnya yang seorang pemabuk, pecandu dan sering keluar masuk penjara selalu melakukan kekerasan kepadanya. Torey juga sepertinya memaklumi ketika tak sedikit orang yang mengalami kesulitan untuk berusaha mencintai Sheila. Karena memang perilaku Sheila mencirikan bahwa ia tak tahu bagaimana caranya untuk dapat dicintai oleh orang lain.
Torey tidak dapat menyimpulkan kasus yang sebenarnya terjadi pada gadis kecil yang tak pernah menangis ini, terlebih ketika hasil tes psikologi mengatakan bahwa gadis berambut pirang ini memiliki IQ di atas 180. Sebuah angka yang mustahil dimiliki oleh seorang anak dari perkampungan migran. Apalagi jika mengingat Sheila bukanlah anak yang mau mengerjakan setiap tugas sekolah dan selalu merusak lembar tugasnya.
Meskipun banyak hal yang menciutkan nyali Torey untuk membantu Sheila, ia tetap berusaha sebisa mungkin, paling tidak sekadar menjinakan sikap “liar” Sheila. Hingga akhirnya, dengan penuh kerja keras, Torey berhasil menarik perhatian dan kepercayaan Sheila kepada dirinya. Dengan sikap keibuannya, setiap pagi sebelum kelas dimulai, Torey memandikan Sheila yang sebelumnya tak pernha mengenal kebersihan. Jauh daripada itu, Sheila kini sudah mau menceritakan banyak hal kepada Torey meskipun yang ia ceritakan adalah hal-hal yang berulang; kepergian ibunya dan kekerasan yang sering ia terima.
Kedekatannya dengan Sheila terlibat terlalu jauh dalam masa lalu Sheila dan dengan setiap perkembangan psikis muridnya itu. Hal ini membuatnya lupa bahwa Sheila sedang menunggu unit anak-anak di rumah sakit negara dibuka. Karena merasa bahwa Sheila tidak layak digabungkan dengan orang-orang gila di rumah sakit Negara, dengan bantuan kekasihnya, Chad, Torey mengajukan ke pengadilan agar Sheila tidak dipindahkan ke rumah sakit negara.
Usaha Torey pun membuahkan hasil dan hari-hari selanjutnya berjalan lebih baik hingga satu peristiwa mengerikan terjadi pada Sheila yang malang. Pamannya yang baru saja keluar dari penjara mencoba menyetubuhi Sheila karena gaun indah pemberian Torey yang dikenakannya. Sebilah pisau merobek kemaluan Sheila hingga ia nyaris kehabisan darah. Dengan wajah pucat, Sheila memasuki ruang kelas dan berulang kali ke kamar kecil untuk menyembunyikan darah yang terus mengalir dari kemaluannya.
Berkat insting keguruannya, Torey melihat ada yang ganjal dengan tingkah Sheila hari itu. Setelah mengetahui apa yang sedang menimpa muridnya, Torey langsung membawa Sheila ke rumah sakit dan pamannya segera kembali dimasukkan ke penjara.
Kisah dalam novel ini diakhiri dengan perpisahan antara Torey dan Sheila di akhir tahun ajaran sekolah. Sheila yang memiliki IQ di atas rata-rata anak seusianya diloncat kelaskan ke kelas tiga. Akan tetapi sekalipun Sheila sudah mampu menguasai emosinya, ia tetap tidak dapat menerima dan memahami perpisahan.
Dalam novel ini diceritakan bagaimana Torey menaruh perhatian yang mendalam kepada Sheila. Saya sendiri menilai bahwa kepriatinan Torey tumbuh karena latar belakang Sheila yang jauh dari bahagia. Oleh kerena itu, sedikit perhatian yang Torey berikan kepada Sheila menyebabkan Sheila merasakan keanehan. Terlebih lagi di awal pertemuan Sheila menampakkan rasa ketakutannya. Pengajaran Torey yang mengedepankan kemampuannya membaca perasaan atau jalan pikir muridnya inilah yang saya kagumkan. Sejak melihat raut ketakutan pada wajah Sheila karena keramahan yang ia berikan, Torey mengubah sikapnya dengan sedikit cuek namun tetap memerhatikan dari jauh.
Berdasarkan apa yang telah saya baca, cara Torey menghadapi Sheila seperti di atas dapat dikatakan seperti menjalani perang grilya. Torey tidak langsung mengambil perhatian ataupun mendekatkan diri secara personal kepada Sheila, namun mempelajari apa yang ada di balik gadis kecil itu. Dengan berbekal sedikit informasi yang didapatakannya dari berkas tipis yang menceritakan latar belakang Sheila, Torey berhasil menggunakan pendekatan diam-diamnya kepada Sheila.
Torey membiarkan Sheila menampakkan sikap aslinya dalam kelas dan mencoba memahami apa yang ada dalam pikiran Sheila. Untuk menangani kekhususan yang dimiliki Sheila, Torey memiliki pendekatan yang sedikit berbeda. Jika kepada anak-anak lainnya Torey melakukan pendekatan dan berusaha saling membentuk kepercayaan, dengan Sheila mulanya ia membiarkan Sheila meminimalisir bentuk traumatik yang didapatkan dari masa lalunya seperti takut dicambuk setiap melakukan kesalahan.
Sedikit demi sedikit Torey mengubah mindset Sheila dengan mengatakan apa yang seharusnya terjadi, apa yang harus dilakukan beserta dengan alasan yang mudah dipahami anak kecil.  Hal ini pun seperti menjadi bagian yang harus ada dalam pola pengajaran Torey, karena hampir di setiap teguran yang dilakukannya memiliki pola seperti ini.
Teknik pengajaran yang Torey lakukan adalah dengan “menguasai” suasana hati muridnya. Hal ini jelas terlihat ketika setiap pagi Torey mengajak murid-muridnya bernyanyi dan mengajak murid-muridnya mengungkapkan perasaannya satu per satu. Dengan cara ini, menurut saya, paling tidak Torey sekaligus dapat mengajarkan kepada murid-muridnya bagaimana mengontrol emosi.
Adapun cara pengajaran yang Torey lakukan kepada Sheila yang tidak pernah mau dikatakan salah adalah dengan membiarkan anak tersebut memahami sendiri terlebih dahulu apa yang ada di dekatnya setelah itu Torey megoreksi apa yang dipahami Sheila dengan menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan Sheila.
Satu lagi sarana pengajaran yang Torey bedakan antara Sheila dan murid-muridnya, yakni sudut diam. Sudut diam yang Torey sediakan untuk Sheila digunakan ketika Sheila kehilangan kontrol emosinya. Menurut saya, sudut diam yang dikhususkan bagi Sheila adalah satu penerapan pengajaran yang sesuai dengan kekhususan Sheila. Pemberian sudut diam ini, berdasarkan pandangan saya, paling tidak mampu mengurangi sikap destruktif Sheila. Ditambah lagi dengan adanya sudut diam ini Sheila dapat meminimalisir sikap balas dendam yang biasa ia lakukan, seperti dalam salah satu kasus ini adalah merusak ruang kelas seorang guru yang memarahinya.
Satu hal yang kurang saya setujui dari cara pengajaran Torey adalah adanya pendekatan personal yang terlampau jauh, sehingga menyamarkan batas hubungan seorang guru dan murid. Keterlibatan Torey dalam hal ini menyebabkan Sheila tidak ingin berpisah dengannya. Meskipun ketidakinginan Sheila untuk berpisah dengan Torey adalah salah satu bentuk traumatik yang pernah dialaminya, setidaknya jika masih ada sekat pemisah hubungan seorang guru dan murid Torey mampun membuat Sheila memahami bahwa mereka hanyalah guru dan murid.
Sikap implusif Torey dalam novel ini saat menangani beberapa hal yang berkaitan dengan Sheila, menurut pandangan saya juga tidak selamanya buruk. Keinginan Torey untuk membebaskan Sheila dari tuntutan pengadilan memang melampaui batasannya sebagai seorang guru, tapi dengan ini kita belajar bagaimana seorang guru mau mempertaruhkan keadaan (dia didukung atau tidak oleh pihak sekolah).
Di samping itu, implusif ini menjadikan kekeraskepalaan Torey dalam mengambil keputusan tidak selamanya baik. Setelah implusif yang Torey lakukan membuahkan hasil sesuai dengan keinginannya, kedekatannya dengan Sheila juga semakin menjadi. Kekurangannya di sini adalah Torey kurang mampu memberikan realita kepada Sheila bahwa hubungan mereka hanya sebatas guru dan murid, sehingga tidak membuat Sheila kecewa ketika sedikit perubahan dilakukan oleh  Torey.
 Adapun poin penting dalam teknik pengajaran Sheila adalah pemahaman Torey terhadap latar belakang kekhususan yang dialami muridnya. Selain itu, seorang guru seperti Torey harus mampu menaruh perhatian yang menyeluruh kepada setiap muridnya. Hal ini terbukti dari hasil pengajaran Torey selama setahun murid-muridnya mengalami perubahan yang pesat ke arah yang lebih baik.
Adanya kesadaran pada realita juga bisa dimasukkan kedalam poin utama dalam teknik pengajaran yang Torey punya. Torey tidak memiliki suatu target atau tuntutan yang besar kepada anak didiknya, tetapi murid-muridnya tidak dianggap lagi sebagai “murid sampah” dan mampu bersosialisasi dengan anak normal pada umumnya sudah cukup bagi Torey.
Sikap kooperatif  Torey dengan pendamping atau asistennya, juga bisa menjadi contoh bagi pengajar anak dengan kekhususan. Selain itu, menurut saya hal yang cukup penting dari teknik pengajaran Torey adalah pemahaman seorang guru terhadap kondisi psikologi muridnya. Karena ketika seorang guru dengan kekhususan mampu membaca psikis yang terjadi dalam muridnya, ini dapat sangat membantu proses belajar mengajar agar berjalan sesuai dengan harapan. Selain itu, pemahaman psikologi seorang guru tak hanya membantu guru itu sendiri, tapi juga membantu murid agar tidak merasa tertekan selama proses belajar mengajar berlangsung.
Terlepas dari berbagai aspek yang saya sampaikan dalam review ini, saya rasa novel ini bukan sekadar untuk mengundang rasa kasihan pembacanya, melainkan agar masyarakat, awam maupun pendidik, dapat belajar dari Torey bagaimana menangani murid-murid spesialnya dengan kekhususan yang berbeda.(*)

{ 2 komentar... read them below or Comment }

Terima kasih atas komentarnya :)

You are The

Hallo Happy Readers!

Hallo Happy Readers!
Selamat datang di blog pribadi saya. Di blog ini teman-teman akan membaca tulisan-tulisan saya seputar pendidikan, kedisabilitasan dan inklusivitas, pengalaman mengajar, dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat atas inspirasi di sekitar saya. Semoga tulisan dalam blog ini bermanfaat dan menginspirasi pada kebaikan. Selamat membaca!

Contact Me

@fatinahmunir

fatinahmunir@gmail.com

Educator | Writer | Adventurer

Berbakti | Berkarya | Berarti

My Friends

- Copyright © Fatinah Munir -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -