- Back to Home »
- Sepotong Inspirasi »
- Untuk Sri dan Nuy
Posted by : Fatinah Munir
16 August 2016
“Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling
bermanfaat bagi orang lain” [Rasulullah SAW]
Ada empat
jenis manusia di dunia ini. Begitu kata seorang teman. Manusia wajib, manusia
sunnah, manusia makruh, dan manusia haram.
Manusia
wajib adalah orang yang keberadaannya bermanfaat dan ketiadaannya dirindukan.
Manusia sunnah adalah mereka yang keberadaannya memberi manfaat, tetapi ketika
mereka tidak ada maka tidak apa-apa. Itu berarti keberadaan manusia sunnah
tidaklah memberi banyak pengaruh.
Lalu
manusia makruh adalah orang-orang yang keberadaan dan ketiadaannya tidak
memberikan pengaruh apapun. Terakhir, manusia haram yakni mereka yang
keberadaannya meresahkan dan kepergiannya dinantikan. Artinya, keberadaannya
tidak memberi manfaat tetapi justru mendatangkan masalah.
Empat jenis
manusia di atas ada di sekitar kita dan kita pastilah salah satu darinya. Sering
kali kita menakar nilai seseorang saat seseorang
tersebut telah meninggal dunia. Kita akan tahu apakah banyak orang yang
menangisi kematiannya atau justru biasa-biasa saja. Tapi bagaimana kita bisa
tahu di manakah posisi kita di hadapan masyarakat sebelum kita berhadapat
dengan-Nya?
Dan saya
menemukan jawabannya beberapa pekan lalu saat Pak Anies Baswedan dicopot dari
jabatannya. Beliau tidak meninggal dunia, hanya digantikan dengan yang lain.
Tapi hampir seluruh rakyat Indonesia terutama yang menggeluti dunia pendidikan
bersedih karenanya, menangisi pergantian posisi beliau. Itu artinya Pak Anies
adalah manusia wajib bagi Indonesia.
Di sinilah
saya belajar bahwa untuk mengetahui nilai kita di masyarakat, kita tidak harus
pergi untuk selamanya. Pergi dalam artian berpindah tempat juga bisa menjadi
takaran apa dan di mana nilai kita bagi masyarakat.
Datang dan
pergi. Itulah sejatinya keberadaan kita saat ini. Terlebih untuk teman-teman
yang memilih lingkup pengabdian masyarakat seperti mengajar di daerah-daerah
pelosok. Yang perlu dipikirkan setelah memikirkan cara bertahan hidup adalah
memikirkan bagaimana kita bisa menjadi manusia wajib di tempat mengabdi.
Dalam hal
ini, menjadi manusia wajib di daerah pengabdian bukan hanya dirindukan
kepergiannya atas rasa kekeluargaan. Harus lebih dari itu. Yakni ketika kita
bisa meninggalkan kebaikan jangka panjang di tempat pengabdian.
Dalam
setiap perjalanan, kita semua pasti membawa sesuatu tapi tidak semua dari kita
mampu meninggalkan sesuatu. Hal ini serupa dengan perjalanan pengabdian di
pelosok. Setiap yang mengabdi pasti membawa sesuatu; niat baik, konsep
perubahan, dan lainnya. Tapi tidak semuanya meninggalkan sesuatu untu tempat
mengabdinya.
Meninggalkan
sesuatu bukan berarti meninggalkan benda, pakaian bagus ala kota, sepatu, atau
lainnya yang “hanya” berupa kenangan yang mengingatkan mereka pada kita lalu
sudah. Bukan! Bukan itulah yang seharusnya ditinggalkan meskipun semua hal itu
diperbolehkan.
Pengabdian
di pelosok yang umumnya untuk guru, sependek yang saya pahami adalah bagaimana membantu
pendidikan di pelosok menjadi lebih baik, tidak sebatas memberikan harapan tetapi memberi jalan untuk menjadi lebih baik, termasuk mengestafetkan visi pendidikan yang
selama ini dimiliki Indonesia. Di Jakarta berpendidikan berarti menjalankan 12
tahun sekolah, kuliah, lalu berkarya untuk lingkungannya. Tapi di tempat lain,
di bagian lain Indonesia, berpendidikan
cukup tentang bisa membaca dan menulis. Hanya itu.
Hal inilah
yang semestinya menjadi sorotan kita. Kekokohan diri para pendidik dan peserta
didik akan pentingnya pendidikan yang lebih dari sekadar baca tulis. Terkadang
kondisi yang berbeda drastis dengan kenyamanan di kota membuat kita merasa iba
hingga kita rela memberikan apapun yang kita punya. Demikian pula yang saya
rasakan selama berkecimpung dengan anak-anak jalanan. Bnayak donator yang iba
pada kondisi anak-anak hingga mereka rela memberikan barang apapun untuk
anak-anak.
Tapi
nyatanya, bukan benda-benda dan hadiah itu yang mereka perlukan. Karena justru
pemberian benda atau hadiah kepada mereka bisa menjadi boomerang untuk kita.
Kata-kata “apa hadiah yang kakak atau ibu guru punya untuk kami?”, “hadiahnya
apa?” lambat laun akan menjadi hasil dari iming-iming hadiah yang telah
diberikan. Lebih jauh lagi adalah kemarahan warga dan bentrok antar warga
karena persoalan hadiah adalah buahnya. Itulah yang pernah saya rasakan.
Pernah
seorang teman saya mengajar di pelosok Papua dengan segenap ilmu kependidikan
dan semnagat perubahan yang dia bawa. Dia pun telah menyiapkan apa yang harus
dia tinggalkan. Bukan sebuah kado, melainkan semngat belajar dan pola pikir
yang baru untuk mencapai perubahan yang lebih baik melalui pendidikan. Tapi
sayangnya di akhir pengabdiannya, sesame guru yang mengabdi memberikan banyak
hadiah kepada anak-anak di sana. Hingga murid-muridnya bertanya, “Mama ibu guru
punya apa untuk hadiah kami?”
Sebuah
pertanyaan simple yang mungkin sebagian beranggapan hanya sekadar hadiah,
kenapa tidak diberikan saja. Sekali lagi bukan! Ini bukan sekadar hadiah,
melainkan tentang mental anak-anak kita kelak.
Berbicara
tentang pengabdian adalah berbicara tentang sebuah gerakan perubahan, bukan
sekadar sebuah belas kasih memberi. Lantas apa yang akan kita tinggal dan masih
berguna dengan ada atau tiadanya kita? Maka memikirkan apa yang akan dijadikan
hadiah adalah hal yang tidak akan berlangsung lama dampaknya. Berubah pola
pikir, menanamkan semangat bermimpi, dan kekuatan untuk berubah menjadi lebih
baik adalah apa yang sejatinya mereka butuhkan.
Jika
anak-anak kita merasa bahagia akan hadiah-hadiah yang kita berikan, maka yang
akan kita dapatkan adalah hadiah-hadiah kita bisa lebih berarti daripada
keberadaan kita. Maka menjadi yang dirindukan karena keberadaannya, karena
kedekatannya dengan anak-anak, karena ketauladanannya adalah lebih utama dari
sekadar hadiah.
Satu tahun
di tempat pengabdian bukanlah waktu yang sebentar untuk mengabdi, bukan pula
waktu yang lama untuk menciptakan perubahan. Terlebih lagi bagaimana mengatur
strategi agar perubahan yang telah kita buat dapat diestafetkan ke generasi
pengajar selanjutnya dengan visi pendidikan yang sama. Apakah ini mudah? Sama
sekali tidak. Tapi kita harus memulainya.
***
Tulisan ini
saya hadiahkan untuk dua adik saya sekaligus teman yang saya sayangi; Sri
Hildayati dan Nur Asyah. Selamat atas terpilihnya kalian menjadi pengajar di
pelosok. Jadilah manusia wajib di sana dan siapkan apa yang akan kalian
tinggalkan di sana.
Ada satu
hal lagi yang ingin saya sampaikan. Di manapun kita berada, kita adalah duta
untuk negara dan agama kita.
Di sana, di pelosok sana, sampaikanlah kepada
murid-murid kalian bahwa mereka adalah Indonesia. Tunjukkan kepada mereka
betapa indah negeri yang mereka punya.
Ceritakan perjuangan pejuang-pejuang terdahulu untuk bebas mengibarkan Merah Putih
hingga saat ini. Tunjukkan kepada mereka keberagaman Indonesia dengan damai dan
cinta. Tunjukkan kepada mereka bahwa mereka dan kalian adalah Indonesia yang
patut berbangga menyebut nama tanah airnya di mana pun berada. Tunjukkan kepada
murid-murid kalian bagaimana menjadi Indonesia yang menjunjung tinggi budi pekerti
dan membela kemuliaan negeri.
Di pelosok
sana, sampaikan kepada mereka bahwa kalian adalah muslimah yang taat kepada
Allah SWT. Sampaikan kepada mereka akan cinta kasih Allah SWT kepada ummat-Nya. Ceritakan kepada mereka kelembutan Rasulullah berserta kewibawaannya
dalam memimpin ummat Islam. Ceritakan kesetiaan para khulafaur Rasyidin kepada
Rasulullah dan perjuanga mereka meneruskan dakwah Rasul. Tunjukkan kepada mereka
keindangan Islam dalam bermuamalah. Tunjukkan kepada mereka kesejukan Islam
melalui sikap lembut dan loyal kalian kepada murid dan lingkungan. Tunjukkan
kepada mereka, bahwa setiap muslim bukanlah orang yang sempurna tapi tunjukkan
pula betapa sempurnanya Islam mengatur kehidupan kita semua. Tunjukkan semua itu melalui tindak tanduk kalian selama bersama mereka.
Tidak ada
temu dan peluk di antara kita. Hanya tulisan ini yang mengantarkan kepergian
kalian dalam mengabdi. Beriring doa dari sini, semoga kalian menjadi duta
Indonesia dan Islam yang sesungguhnya di sana. Tetaplah fokus pada apa yang
akan kalian tinggalkan. Jadilah manusia wajib bagi mereka, sosok yang
keberadaannya bermanfaat dan senantiasa dirindukan bahkan sebelum kaki kalian
melangkah pulang.
Salam sayang untuk anak-anak Indonesia di pelosok sana. Kita mengabdi dengan hati yang sama, di tempat berbeda. Semoga Allah selalu memberkahi kalian, Nuy, Sri. Amiin :')
Sebuah kado perpisahan yang indah Dan titipan hadiah ini InsyaAllah aku sampaikan kepada mereka kak. Doakan ya kak makasih banyak ��
ReplyDeleteSelalu didoakan yang terbaik Sri Sholehah :)
DeleteKembali kasih. Semoga tetap amanah :)
This comment has been removed by the author.
Delete