- Back to Home »
- Ibu Lisfah dan Murid Istimewa »
- Doa di Sujud Terakhir 2; Percaya dan Sabar
Posted by : Fatinah Munir
12 August 2016
Kami masih
membahas tentang mimpi-mimpi besar. Bukan hanya mimpinya untuk mendapatkan
beasiswa hingga kuliah dan menjadi seorang pramugari, melainkan juga mimpi
saya yang turut saya bagikan kepadanya.
“Kak Lisfah
udah lama gak lapak. Katanya kakak sekolah lagi ya?” tanyanya.
Saya memang
sudah setahun lebih tinggal di tempat yang jauh, di kota kecil tempat
orang-orang bermimpi besar singgah untuk sementara dan mereka tidak akan meninggalkan kota kecil itu kecuali untuk
beranjak ke anak tangga yang lebih tinggi untuk mencapai impian mereka. Selama
hampir satu setengah tahun saya belajar, bukan melanjutkan S2 melainkan untuk
mempersiapkan keberangkatan kuliah S2. Saya juga bercerita kepadanya serta kedua orang
tuanya bahwa impian saya untuk melanjutkan kuliah S2 tahun ini harus saya tunda
hingga waktu yang tidak dapat saya perkirakan.
“Kenapa,
Kak?” tanya mereka.
Saya akan
melanjutkan kuliah jika saya sudah yakin bisa meninggalkan mereka, ketika
mereka sudah benar-benar terselamatkan dari jalanan. Saya akan melanjutkan
kuliah saat mereka sudah benar-benar terselamatkan dengan Islam mereka,
setidaknya saat mereka sudah memiliki sifat muroqobatullah (selalu merasa diawasi Allah) dan mereka sudah terbiasa shalat tanpa diingatkan terlebih dahulu.
“Saya mau ambil
beasiswa buat lanjutin kuliah di Inggris, Bu. Makanya berat untuk ninggalin jauh anak-anak,” saya mengakhiri cerita saya kepada ibunya.
Saya
melihat berpasang-pasang mata satu keluarga di depan saya berbinar mendengar cerita saya.
Lalu lagi-lagi dia berceletuk, celetukan yang saya tahu datang dari sudut hatinya.
“Beasiswa,
Ma. Mau kayak, Kak Lisfah,” katanya.
Itu adalah
bagian percakapan personal yang sering saya lakukan dengan warga Lapak Pemulung. Saya
senang bisa berbicara dari hati ke hati dengan mereka, bercerita tentang
masalah mereka. Jika memang saya tidak bisa membantu mereka secara langsung,
setidaknya kami bisa berbagi suka, duka, semangat, dan doa.
***
“Kak Lisfah
pernah jalan-jalan ke mana aja?” tanyanya saat kami sedang di dalam angkot
selepas berkumpul dengan teman-teman saya.
“Kakak
belum pernah ke Papua dan Nusa Tenggara. Alhamdulillah semua pulau besar di
Indonesia sudah pernah kakak kunjungi. Tapi kakak dibayarin. Kak Lisfah mah gak
punya duit buat jalan-jalan,” saya tertawa diikuti oleh renyah tawanya.
“Naik
pesawat dong, Kak?” tanyanya dengan mata membesar.
“Iya dong.
Kan jauh-jauh,” jawab saya masih dengan tertawa kecil. Tapi saat itu saya lihat air wajahnya berubah.
“Yaaah, aku
gak pernah naik pesawat. Gimana bisa jadi pramugari yaa, naik pesawat aja belom
pernah,” jawabnya jujur.
“Iiih, gak
apa-apa, kan belom pernahnya kemaren-kemaren. Besok-besok juga bakalan naik
pesawat,” saya mencoba menyemangatinya, “Kakak pernah cerita kan kalo Kak
Lisfah jalan-jalan hampir selalu gratis. Itu karena kakak coba ikut banyak
kegiatan. Di sekolah gak cuma belajar untuk dapet nilai, tapi juga untuk cari
pengalaman. Pengalaman itu didapat kalau kita aktif ikut banyak aktivitas. Misalnya
kayak gini, kamu latihan keroncong, ikut OSN, ikut lomba tari. Itu gak dapet
nilai sih memang, tapi itu dapet pengalaman. Siapa tahu dari ikut-ikut begituan kamu
bisa pergi ke tempat jauh naik pesawat. Bisa ketemu pramugari deh. Bisa lihat
cara pramugari kerja. Iya gak?” saya mendadak cerewet.
“Amiin, ya
Allah. Mudah-mudahan ya, Kak. Semoga bisa naik pesawat!” suaranya penuh
semangat dan saya jauh lebih bersemangat untuk terus mendukung dan
mendoakannya.
Dia adalah
satu dari banyak anak asuh saya dan teman-teman seperjuangan yang sangat
semangat belajar, di sekolahnya memang dia bukanlah head and shoulders student,
tapi dia cukup cerdas. Berkali-kali dipercayai gurunya untuk mewakili sekolah
di berbagai ajang perlombaan akademis ataupun non-akademis. Terakhir, alhamdulillah sekolahnya mempercayai anak-anak untuk tampil di
Taman Ismail Marzuki untuk merayakan Festival Pelestarian Keroncong dan saya diminta untuk mendampingi mereka dalam latihan hingga penampilan di acara.
“Doa di
sujud terakhir setiap shalat itu pasti terkabul, Kak?” tanyanya untuk diri.
“Pasti
terkabul. Tapi syaratnya kamu benar-benar percaya dan sabar. Minta doa juga
sama banyak orang supaya kamu dapat beasiswa,”
“Amiin ya
Allah. Aku harus bisa masuk sekolah negeri biar ngeringanin beban mama, Kak.
Biar gampang juga dapetin beasisiwanya,” jelasnya.
See! Dia
sudah merencanakan segalanya untuk mimpi kecil yang akan membesarkan dirinya
kelak. Dia tahu mendapatkan beasiswa tidak mudah dan perlu strategi untuk
mendapatkannya. Dia tahu bahwa lembaga beasiswa akan melirik siswa-siswa dari
sekolah yang terpercaya kualitasnya. Oleh karena itu dia selalu menyebut
beberapa nama sekolah negeri yang menjadi targetnya. Dan saya selalu mengamini
impiannya.
“Tapi mamanya
XX pernah bilang gini, Kak. Anak saya mah di XYZ (nama sekolah yayasan
terdekat), memangnya situ maunya sekolah gratisan terus?” dia menirukan gaya
ibu-ibu berbicara, “Emangnya salah ya, Kak, kalau aku mau di sekolah negeri
yang gratis?” tanyanya.
“Sama
sekali gak salah dong. Itu hak kamu. Itu bukti kalau kamu mampu diterima di
sekolah pemerintah. Gak usah didengerin ah yang kayak gitu mah. Ngerusak mimpi
kamu nanti!” imbuh saya.
“Iya juga
ya, Kak. Itu kan artinya aku bisa ya, Kak. Ya Allah, mudah-mudahan bisa ya,
Kak,” tandasnya.
“Pasti!”
saya menjawab dengan mantap. Memeluknya.
***
Apa yang sudah
saya tinggalkan untuk mereka? Tanya saya pada diri saya sendiri. Berkali-kali.
Tapi saya
tidak pernah mendapatkan jawabannya. Keberadaan saya di dekat mereka tidak akan
lama. Mungkin satu, dua, atau lima tahun lagi. Dana bantuan bukanlah hal yang
dia dan anak-anak marjinal lainnya butuhkan. Kedekatan mereka dengan Allah dan
satu dua cerita bernasihat adalah apa yang saya percayai benar-benar mereka
butuhkan.
Doa di
sujud terakhir, mungkin hanya sebuah pesan singkat, aktivitas rutin yang sangat
sederhana. Tapi yang luar biasa adalah ketika mereka mempercayai itu dan
melakukannya dengan sepenuh hati. Lebih dari itu, mereka membuktikan bahwa
mimpi mereka benar-benar ingin mereka bebaskan menjadi kenyataan.
Percaya dan
sabar, adalah dua hal yang mungkin jauh dari kehidupan mereka, anak-anak yang
termarjinalkan. Sebagian kecil dari mereka hidup sebagai anak-anak pada umumnya
di sekolah selama enam jam dan sisanya mereka habiskan di jalanan untuk
mendapatkan uang. Terkadang di akhir pekan mereka kedatangan tamu yang bisa tiba-tiba dengan akrabnya bermain bersama mereka,
kadang berjanji pada mereka untuk datang lagi tapi kebanyakan malah tak pernah
datang lagi.
Begitulah,
kadang mereka sulit percaya pada orang lain. Seperti ada tembok pemisah antara
kehidupan mereka dengan kehidupan kita kebanyakan yang mendapatkan kemudahan. Sebab
itu, meskipun mereka tidak mudah percaya pada orang lain, setidaknya saya harus
meyakinkan mereka bahwa ada satu Dzat yang harus mereka percayai ketika tidak
ada lagi yang dapat dipercayai di dunia ini. Dialah Allah SWT.
Kebanyakan
dari mereka terbiasa mendapatkan fasilitas dari orang yang menamakan diri
mereka donator. Atau kedatangan orang-orang yang senang mengucapkan, “Ayo duduk
sini, nanti dikasih hadiah” dan banyak kalimat serupa lainnya. Sehingga sangat
memungkinkan mereka mengira bahwa mereka bisa dengan mudah mendapatkan hadiah
dengan duduk manis meskipun pikiran mereka melalang buana ke tempat entah.
Bersabar mungkin adalah hal yang jarang mereka pelajari, maka mengajak mereka
bersabar akan jawaban doa adalah satu dan banyak cara yang baru bisa saya
berikan kepada mereka. Tidak mudah memang, tapi lagi-lagi saya yang harus lebih
dulu menerapkan sabar demi mengajak mereka untuk bersabar.
Doa di
sujud akhir setiap shalat, percaya, dan bersabar akan menjadi rangkaian senjata
mereka untuk meraih mimpi. Saya percaya dan saya akan terus berdoa untuk mereka
atas hal ini di dalam sujud terakhir setiap shalat saya.
Untuk
anak-anak tercinta yang semoga Allah senantiasa melindungi mereka. Amiin.