- Back to Home »
- Ibu Lisfah dan Murid Istimewa »
- Melly; Kurungan Harapan
Posted by : Fatinah Munir
31 August 2016
Nyaris satu
setengah tahun saya menjadi guru biasa, mengajar anak-anak, remaja, dan dewasa
yang tidak luar biasa. Itu artinya selama itu pula saya vacuum menjadi guru
pendidikan khusus, mengajar anak-anak dengan autism ataupun kesulitan belajar. Selama
itu tidak berhubungan dengan anak-anak dengan difable cukup membuat saya agak
kikuk saat diminta mengatasi kasus baru dari seorang anak.
***
Hari itu
saya sedang terburu-buru keluar rumah, melewati jalan yang tidak biasa saya
lewati karena jalan yang biasa saya lewati ditutup. Di tengah ketergesahan
saya, sebuah suara memanggil-manggil dari belakang.
“Kak Lis, bisa
bantu saya?” katanya dari balik pagar rumah.
“Iya,
kenapa, Bu?” tanya saya.
“Tolong
bantu anak saya. Bisa ajarin dia, Kak?” suaranya penuh harap.
Saya tidak mengiyakan
ataupun menolak permintaan beliau, karena saat itu saya memang sedang mengurus
anak-anak jalanan di tempat lain dan hanya ingin focus di sana. Saya hanya
khawatir akan memberi harapan palsu jika saya mengiyakan, tapi ternyata
sebenarnya saya tidak sanggup. Maka pembicaraan kami kala itu ditutup tanpa
kesimpulan.
***
“Tadi ada
yang nyariin kamu,” kata Emak saat saya baru saja tiba di rumah.
“Siapa? Ada
perlu apa?” tanya saya.
“Itu…. ibu
belakang rumah. Dia ke sini minta tolong anaknya diajarin sama Lis. Kasihan ih,”
jawab Emak dengan penuh dramatisasi.
Saya tidak
banyak menyahut . Saya hanya bilang kalau tubuh saya sudah cukup lelah dengan
aktivitas di luar rumah dan tidak ingin menambah aktivitas lain. Tapi semalaman
Emak terus mendesak saya untuk bersedia mengajarkan anak tetangga belakang
rumah yang tempo hari memanggil saya yang sedang lewat di depan rumahnya.
“Anaknya
memang beda kayaknya, Lis. Udah kelas tiga tapi gak bisa baca. Nilainya banyak
yang nol. Kalau belajar, bukunya pasti diberantakin. Teriak-teriak. Kalau
dibilangin sama ibunya, dia malah mukul-mukul ibunya. Buku-bukunya juga
dibuangin,” Emak terus mengulang cerita itu.”Ajarin dia aja ya. Hitung-hitung
membantu gitu.”
Emak tahu
kalau saya sudah menolak lebih dari sepuluh anak tetangga yang minta diajari karena
saya ingin focus mengurus anak-anak jalanan. Namun sepertinya kali ini saya
tidak bisa menolak. Saya kalah dengan janji saya. Meskipun saya senang mengajar
tapi saya berjanji pada diri sendiri untuk memprioritaskan mengajar anak-anak
dengan difable daripada mengajar anak-anak pada umumnya. Saya pun menerima
permintaan tolong itu.
***
Senin pukul
empat sore adalah waktu saya dan anak ini membuat janji. Saya tidak tahu anak
ini. Yang saya tahu anak ini sedang duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar.
Selebihnya adalah informasi objective dari Emak dan ibu anak ini yang kurang
dapat saya percayai sebelum saya melihatnya sendiri.
Ya, karena
kebanyakan orang tua memberikan informasi yang bersifat harapan atau ilusi.
Misalnya adalah orang tua merasa mendengarkan anaknya mampu mengucapkan kalimat
utuh, padahal yang diucapkan anak adalah gumaman panjang dan orang tua hanya
menerjemahkan sesuai apa yang diharapkannya. Demikian juga dengan anak ini.
Ibunya bilang kalau anak ini memiliki kemampuan membaca dan menulis yang baik,
tetapi nilai semua matapelajarannya selalu di bawah empat dan anak ini sering
diam bahkan tidak berbicara.
Di
pertemuan pertama, saya mengeluarkan satu kardus buku bacaan anak yang sejak
pertama kali turun mengajar saya gunakan sebagai bahan ajar tambahan atau untuk
sekadar menarik perhatian anak. Proses perkenalan dengan anak ini tidak bisa
dibilang lancar, karena dia bahkan tidak mau (–entah– tidak bisa) menyebut namanya.
MELLY.
Begitulah ibuya memperkenalkan kami. “Lis” adalah nama yang saya sebut saat
berkenalan dengannya. Selebihnya saya bebaskan dia memanggil saya “Bu Lis”
ataupun “Kak Lis”.
Melly
memasuki rumah saya sambil terus memegangi tangan ibunya. Ibu Melly
membujuk agar Melly tetap di dalam
ruangan bersama saya. Sedangkan ibu Melly menunggu di teras rumah, sesekali
mengintip ke dalam ruangan.
Saya
kembali memperkenalkan diri saya saat kami hanya berdua. Saya menjabat
tangannya yang kecil dan dingin. “Kamu boleh panggil aku Kak Lis atau Bu Lis
ya, Mell,” kata saya.
Melly hanya
diam. Menunduk. Lebih tepatnya membungkuk dalam duduknya hingga saya hanya bisa
melihat rambutnya yang jatuh terurai menutupi wajahnya. Saya memiringkan badan,
mengintip apa yang sedang dia lakukan di balik rambutnya itu. Saya melihat
Melly memainkan tangannya. Sesekali dia memasukkan jemarinya ke dalam mulut.
“Kamu suka
membaca buku? Aku punya banyak buku di sini. Kamu boleh pilih satu buku yang
kamu mau,” kata saya setelah beberapa menit berbicara apa saja demi menarik
perhatiannya.
Melly tetap
diam. Kali ini punggungnya sedikit terangkat, sehingga saya bisa sedikit
melihat wajahnya yang kuning langsat. Saya berpura-pura tidak memperhatikannya.
Saya terus berbicara sendiri untuk menghindari kesunyian sambil memilih satu
buku yang akan saya bacakan untuknya. Sebuah buku berjudul “Domba; Pabrik Penghasil Wol” menjadi pilihan pertama saya.
Saya
menanyakan Melly tentang buku yang akan saya bacakan untuknya. Saya ingin tahu
ketertarikannya pada buku yang saya pilih. Maka saya tunjukkan sampul muka buku
yang bergambar domba dan anak-anak kecil. Tapi Melly tetap diam. Dia tidak
berekspresi atau memberi isyarat apapun yang membuat saya mengerti apakah dia
suka atau tidak menyukai buku yang saya pilih.
Saya membaca
dengan suara seolah-olah saya sedang di depan anak yang sangat antusias
mendengarkan saya. Saya tetap berpura-pura mengabaikan sikap Melly yang diam.
Sesekali saya meliriknya. Wajahnya kini terangkat. Melly mengeluarkan jari-jarinya
dari dalam mulut. Menurunkannya dan menyembunyikannya di bawah meja. Kini dia
melihat ke arah buku dan sesekali saya dapat merasakan dia melihat ke arah saya.
Gottcha! Melly mulai tertarik atas apa yang saya lakukan.
Satu jam
berlalu sangat lambat dengan proses komunikasi yang hanya satu arah ini. Saya
memutuskan bertanya tentang cerita yang telah saya bacakan kepadanya. Tapi
Melly hanya diam. Dia tidak merespon sedikit pun. Jari-jari tangannya kembali
memenuhi mulutnya. Saya terus berbicara namun tidak tampak gelagat Melly akan
menanggapi saya.
Jari-jari
tangannya memenuhi mulutnya saat ini saya mencoba menarik tangannya,
mengisyaratkan agar dia mengeluarkan jari-jarinya dari mulut. Melly menurut,
meski tidak ada satu katapun yang dikeluarkannya. Tidak pula ada suara.
Waktu kami
tinggal lima belas menit lagi. Saya masih terus berbicara sendiri dengan Melly,
dengan buku. Saya kembali mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan
dengan cerita yang baru saja saya baca.
“Benang wol
bisa dibuat apa aja yaaa? Ini apa nih yang dari wol?” seru saya antusias sambil
menunjuk gambar topi merah jambu yang terbuat dari wol.
Tiba-tiba, “Topi.”
Ada suara yang kecil dan nyaris tidak terdengar dari mulut Melly.
Saya
berteriak girang, “Tooopiiiii! Hebat! Tos dulu ah!”
Tapi Melly
kembali tidak merespon. Nyaris satu setengah jam di pertemuan pertama ini,
Melly akhirnya mengeluarkan suara pertama dan terakhirnya hingga beberapa hari
ke depan.
(bersambung)