- Back to Home »
- Ibu Lisfah dan Murid Istimewa »
- Melly; Kurungan Harapan (2)
Posted by : Lisfatul Fatinah
02 September 2016
Tiga tahun
lalu saat saya masih kuliah, seorang ibu datang ke rumah saya. Beliau bertamu ketika
saya sedang membuang sampah selapas menyapu teras rumah di sore hari.
“Kak Lis,”
panggilnya dari balik pagar rumah saya.
Saat saya
menoleh, dia mendekati saya. Beliau tersenyum meski raut wajahnya tidak bisa
menutupi kelelahannya.
Namanya Bu
Tuti, anak seorang lelaki paruh baya yang saya kenal baik sebagai guru mengaji
di perkampungan tempat tinggal kami.
“Kak Lis
katanya ngajar di SLB ya?” tanyanya langsung.
“Saya masih
kuliah, Bu. Sambil ngajar juga. Tapi bukan di SLB,” jelas saya.
“Tapi
ngajarin anak-anak yang kayak begitu kan?” tanyanya lagi.
Saya
mengerutkan kening. Sebenarnya kata “begitu” ketika membicarakan profesi saya
adalah salah satu kata yang membuat saya merasa sangat tidak nyaman. Kata itu
membuat seolah-olah anak-anak berkebutuhan khusus tidak memiliki kriteria lain
selain keabstrakan yang tidak terdefinisi di masyarakat. Di sisi lain,
kurangnya informasi kepada masyarakat tentang keberadaan anak-anak berkebutuhan
khusus ini menjadi salah satu sebab munculnya kata “begitu”.
“Iya kan,
Kak Lis?” tanyanya lagi dengan suara yang lebih menarik keprihatinan saya.
“Iya, saya
ngajar anak-anak yang autis. Tapi di sekolah inklusi, Bu. Sekolah umum yang
nerima anak-anak autis,” saya mencoba menjelaskan.
“Ini…,”
suaranya menggantung antara keraguan dan harapan. “Ada anak di TPA saya yang
diam terus. Gak mau berbaur dengan anak-anak lain. Kemampuannya juga di bawah
yang lain.”
“Oh, terus
gimana, Bu?” tanya saya.
“Kak Lis
bisa liatin anak itu dulu? Kali aja Kak Lis bisa nanganin anak itu,” beliau
memegang tangan saya. Sebuah kontak fisik antara guru dan wali murid ini kurang
saya sukai. Bukan karena alasan agama melainkan saya akan sulit menolak karena
ketika tangan saya disentuh, maka dengan sendirinya saya menjadi luluh untuk
melakukan sesuatu untuk anak mereka.
Saya
mengiyakan permintaannya. Membuat janji pertemuan yang ternyata tidak pernah
dapat saya tepati karena tugas-tugas di kampus yang saat itu cukup menyita
waktu.
***
Itu adalah
pertemuan pertama saya dengan orang tua Melly yang kemudian saya tahu dari Emak
bahwa yang dimaksud dengan murid TPA-nya adalah Melly. Entah kenapa Bu Tuti
menyebut anaknya sebagai muridnya. Tapi saya yakin, beliau memiliki alasan untuk
hal itu dan saat ini saya tidak terlalu mempedulikan alasan itu.
Kini
saatnya saya focus kepada Melly, membayar hutang pertemuan itu.
***
Pertemuan
kedua. Melly diantar ibunya hingga teras rumah. Tubuhnya menggelantung di
tangan ibunya, tidak mau masuk. Melly merajuk tanpa suara, kakinya yang memaku
di teraslah yang menyuarakan keengganannya masuk bersama saya. Maka dengan
terpaksa saya melepas tangannya dari tangan ibunya dan menuntunnya ke dalam
rumah.
Tangan
Melly dingin. Mungkin sepertinya selalu dingin, karena di pertemuan pertama pun
tangannya dingin. Secara fisik Melly sama seperti anak kelas tiga sekolah dasar
pada umumnya, malah tubuhnya cenderung tinggi. Tubuhnya sudah mencapai telinga
saya yang memiliki tinggi seratus lima puluh sentimeter saja. Badannya kurus
dengan kulit kuning langsat, bersih. Mata sipit dan postur tubuhnya yang sering
membungkuk adalah beberapa hal yang membuatnya agak berbada dengan anak-anak
lainnya di sekitar rumah.
***
Saya
mengajak Melly duduk bersama saya. Kami dipisahkan sebuah meja lipat bergambar
tokoh kartun Spongebob Square Pants. Saya kembali mengambil kardus berisi
buku-buku dan memintanya mengambil buku baru untuk dibaca bersama –yang kenyataannya
hanya saya yang membaca.
Melly tidak
merespon. Dia hanya menunduk. Rambutnya yang tak cukup panjang agak menjuntai,
membantunya menutup diri dari pandangan saya.
“Hari ini
kita mau mambaca buku ya mana nih?” saya bertanya.
Tetap tidak
ada respon. Saya memutuskan untuk mengambil sebuah buku tipis dari Serial
Profesi yang berjudul “Pengusaha Boneka”.
“Aku
bacakan yang ini ya. Kamu mau?”
Melly tetap
diam. Tidak ada suara. Tidak ada isyarat ataupun gesture tubuh yang menjawab
pertanyaan saya.
“Kamu suka
boneka? Aku suka boneka. Waktu aku esde, aku punya banyak boneka. Aku juga suka
bikin baju boneka sendiri. Buku yang mau kita baca ini tentang boneka loh.
Sebenarnya ini tentang pengusaha boneka. Orang yang punya banyak banget boneka.
Mau tahu gak kenapa orang ini punya banyak banget boneka? Aku mulai baca ya.
Melly dengarkan ya, nanti kita gentian bacanya!”
Kurang
lebih seperti itulah saya berbicara sendiri agar tidak ada kesunyian di antara
kami. Harapan saya, Melly serupa dengan anak-anak lainnya yang tidak mau
berbicara di tempat belajar dan kemudian “terpancing” untuk berbicara setelah
saya menjadi cerewet, banyak bercerita.
Sayangnya,
usaha saya belum menunjukkan hasilnya. Melly tetap diam. Bahkan tidak ada satu
katapun yang keluar dari mulutnya. Selama pertemuan ini, Melly hanya memainkan
tangannya. Memasukkan seluruh jarinya ke mulut, mengayunkan badannya ke depan
dan belakang, atau memonyongkan mulutnya.
Mungkin
saya kurang menarik baginya, atau memang pendekatan saya yang salah? Saya
mencoba menerka-nerka. Dan saya tidak bisa menemukan jawabannya.
Pertemuan-pertemuan
selanjutnya saya variasikan dengan bermain, menonton video, dan bernyanyi.
Meskipun tidak membuahkan hasil, saya terus mencoba. Bahkan saya mulai
bercakap-cakap dengannya –meskipun itu hanya seperti berbicara sendiri. Saya
bertanya apapun tentang dirinya meskipun
saya sudah tahu jawabannya dan saya menjawab pertanyaan saya sendiri. Saya
berbicara apa saja yang memiliki hubungan antara saya dan dirinya.
“Waktu aku
sekolah esde, aku gak bisa nulis huruf “a” loh, Mell. Aku coba nulis huruf “a”
botak tapi jadinya aneh banget. Gak mirip huruf “a”. Sediiih banget. Padahal
kalau disuruh nulis, pasti banyak banget kan huruf “a”-nya. Aku belajar nulis huruf
“a” sampe satu buku tulis ini nih, Mell. Pernah juga kertasnya sampai bolong
gara-gara aku selalu ngehapus huruf “a” yang salah. Tapi sekarang aku udah bisa
nulis huruf “a”. Soalnya aku coba terus, Mell.”
Melly tetap
diam hingga satu setengah jam yang berlalu terasa sangat melelahkan dan membuat
saya tampak terlalu bodoh sebagai seorang guru.
(bersambung)